PEMBAHASAN
Dalam pasal angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sebelum dikenal istilah
lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan
merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan juga merupakan himpunan dari norma-norma dari segala
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.
Perlunya peninjauan ulang terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para warga
binaan untuk solusi lain mengantisipasi kerusuhan lapas.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut keputusan lama sampai modifikasi hukum Prancis yang dibuat pada tahun 1670
belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam tindakan penyandraan dengan penembusan uang
atau penggantian hukuman mati sebelum di tentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Di
inggris abad pertengahan kurang lebih tahun 1200-1400 di kenal hukum kurungan gereja dalam
sel (cell) dan pidana penjara bentuk kuno di Bridwedell (pertengahan abad ke 16) yang
dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk bekerja menurut Act of 1576 dan Act of 1609
dan pidana penjara untuk dikurung menurut ketentuan Act of 1711. 2[2] Dalam hal ini Howard
pada
Jones menerangkan, bahwa sejak zaman raja Mesir tahun 2000 sebelum Masehi (SM) di
kenal pidana penjara dalam arti penahanan selama menunggu pengadilan, dan ada kala sebagai
penahanan untuk keperluan lainmenurut romawi dari jaman Justianus abad 5 (SM).
Karena pemberian pekerjaan dianggap salah satu daya upaya untuk memperbaiki akhlak
terhukum, maka timbulah sistem campuran, yaitu :
2
Pada waktu bekerja mereka dilarang bercakap-cakap mengenai hal-hal yang tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan.Oleh karenanya maka sistem ini dinamakan pula “Silent
System”.
Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung sejak pertengahan abad ke-XIX atau
tepatnya mulai tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana; pertama,
hukum pidana khusus untuk orang Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa.
Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana
khusus, yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda.Pada saat itu orang
Indonesia disebut dengan “Inlanders”.Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk
pemindanaan yang seringkali dijatuhkan pada “inlanders”. Lama pidana kerja sangat bervariasi
bisa seumur hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua, yakni
kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya
lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah
lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah
disebut dengan istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut
“krakal”.
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 13,14a s/d f,15,16,17,23,24,25, dan pasal 29.
Peraturan penjara sebagai peraturan pelaksanaan dari Kitab Undang - undang Hukum
Pidana, khususnya pasal – pasal tersebut diatas merupakan dasar dari pelaksananaan pidana
hilang kemerdekaan seperti yang tercantum dalam pasal 10 Kitab Undang - undang Hukum
Pidana. Sampai sekarang masih tetap berlaku peraturan tersebut sebagai dasar hukum berlakunya
sistem Pemasyarakatan. Peraturan penjara itu berlaku adal;ah berpedoman kepada pasal II aturan
peralihan UUD 1945 yang berbunyi : “segala sesuatu belum diadakan yang baru menurut UUD
ini”.
Pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang hukum pidana sudah sejak
lama dilakukan, yang dalam hal ini meliputi hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan
hukum pelaksanaan pidana. Pembangunan hukum pidana pada dasarnya tidak hanya yang
bersifat struktural akan tetapi mencakup pula pembangunan substansial dan yang bersifat
kultural. Dewasa ini hakikat pembangunan hukum semakin penting apabila dikaitkan dengan
sistem peradilan pidana yang pelaksanaannya dilakukan oleh 4 (empat) lembaga penegak hukum
yaitu Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang diharapkan dapat
bekerja sama secara terpadu untuk mencapai tujuan tertentu.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana.Sistem
peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.Sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-
sistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan
terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian berhasil
tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka pendek
yaitu rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah untuk menekan kejahatan
serta tujuan jangka panjang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di samping
ditentukan/dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana yang lain yaitu kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan, selebihnya juga sangat ditentu¬kan oleh pembinaan yang dilakukan
Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksanaan dari pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya
pidana penjara.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana yang berdasarkan sistem
pemasyarakatan berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif yaitu membina dan
mengembalikan kesatuan hidup masyarakat yang baik dan berguna. Dengan perkataan lain
Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan perlindungan
baik terhadap narapidana serta masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Dengan
sistem pemasyarakatan sebagai dasar pola pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
diharapkan dapat berhasil dalam mencapai tujuan resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak
pidana/narapidana, maka pada gilirannya akan dapat menekan kejahatan dan pada akhirnya dapat
mencapai kesejahteraan sosial seperti tujuan sistem peradilan pidana (jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang). Dengan demikian keberhasilan sistem pemasyarakatan di dalam
pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan akan berpengaruh
pada keberhasilan pencapaian tujuan sistem peradilan pidana.
Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat, bagai mana mereka harus bertingkah
laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama
yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
Menjaga keutuhan masyarakat.
Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian social
(social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-
anggotanya.
Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari
kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga
kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
Lembaga kemasyarakatan berfungsi sebagai pedoman perilaku atau sikap tindak manusia
dan merupakan salah satu sarana untuk memelihara dan mengembangkan integrasi di dalam
masyarakat. Namun demikian, tidak semua norma di dalam masyarakat dengan sendirinya
menjadi bagian dari suatu lembaga sosial tertentu. Hal ini tergantung pada proses pelembagaan
dari norma-norma tersebut sehingga menjadi bagian dari suatu lembaga sosial tertentu
( Soekanto dan Taneko, 1984).
Literatur yang saya diambil dari (http://sosiologi-era.blogspot.com) menyatakan
bahwa Fungsi lembaga kemasyarakatan:
Memberi pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bersikap dalam
menghadapi masalah dalam masyarakat.
Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social
control) dan sistem pengawasan masyarakat terhadap perilaku anggotanya.
Sebulan sebelumnya, tepatnya pada 17 Juli 2013, kerusuhan juga terjadi di Rumah
Tahanan (Rutan) Batam dan kejadian tersebut menyebabkan beberapa narapidana kabur dan
sejumlah bangunan rutan dirusak.Masih di bulan Juli 2013, yakni pada tanggal 11, kerusuhan
besar melanda Lapas Tanjung Gusta Medan dan yang menyebabkan lima sipir tewas, 211
narapidana kabur, serta bangunan lapas dan dokumen penting dibakar. Pada 21 Februari Lapas
Krobokan Bali juga terjadi kerusuhan dan sejumlah bangunan dibakar; dan pada 21 Januari di
Lapas Salemba Jakarta juga terjadi baku pukul narapidana antarblok.
Rentetan kerusuhan yang melanda lapas sejak Januari hingga Agustus 2013 bagi Kepala
Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, Suwarso, merupakan pelajaran
untuk lebih meningkatkan kewaspadaan meskipun dalam sejarah di Jawa Tengah tidak pernah
terjadi kerusuhan seperti di Labuhan Ruku maupun Tanjung Gusta. Kerusuhan di lapas menurut
Suwarso, rentan terjadi dengan beragam alasan di antaranya karena berlebihnya kapasitas;
keterbatasan petugas, sarana, dan prasarana termasuk teknologi; serta emosi dari narapidana
yang tidak dapat diprediksi.
Terkait dengan kelebihan kapasitas, Suwarno menyebutkan jumlah rutan dan lapas di
wilayah Jawa Tengah terdapat 44 buah dengan total penghuninya sekitar 11 ribuan orang. Ia
mencontohkan di Lapas Kedungpane Semarang yang berkapasitas 500 hingga 600 narapidana,
tetapi diisi lebih 1.000 narapidana. Rumah tahanan di Kabupaten Boyolali dengan delapan
ruangan tahanan berkapasitas 87 penghuni, tetapi dihuni 113 orang.
Meskipun lapas dan rutan di Jateng sebagian besar melampaui kapasitas standar,
Suwarno mengaku, Jateng justru menjadi daerah kiriman dari sejumlah wilayah dengan lapas
melampaui kapasitas seperti Jakarta dan Medan .Sementara keterbatasan petugas pengamanan
terlihat dari tidak berbanding lurusnya antara jumlah petugas dengan jumlah penghuni lapas
maupun rutan, seperti di Lapas Kedungpane Semarang terdapat 1.061 narapidana, sedangkan
jumlah petugas keamanan sebanyak 13 orang setiap giliran tugas. Lapas di Nusakambangan
dengan penghuni rata-rata 300 hingga 500 narapidana juga hanya dijaga empat petugas setiap
giliran jaga atau masih jauh dari standar.
Solusi
Solusi terhadap sejumlah kerusuhan lapas tersebut bagi pakar hukum pidana Universitas
Diponegoro Semarang, Prof Nyoman Sarikat Putrajaya, menjadi sangat penting karena kejadian
serupa dapat saja terulang kembali."Saya justru melihat kerusuhan lapas tengah menjadi tren,
karena tidak hanya di Indonesia tetapi di luar negeri kerusuhan juga terjadi,"
katanya.Permasalahan tersebut, menurut Nyoman, harus segera diantisipasi dan diwaspadai
dengan beragam upaya di antaranya mengatasi permasalahan klasik penyebab terjadinya
kerusuhan.Salah satu permasalahan penyebab terjadinya kerusuhan yakni kelebihan kapasitas
karena berdampak perhatian petugas terhadap warga binaan menjadi bertambah.
Terkait usulan lapas diserahkan ke swasta, Nyoman menyatakan tidak sepakat karena
anggaran yang diperlukan pasti lebih tinggi, sudah tepat ditangani oleh pemerintah.Permasalahan
over kapasitas, menurut Nyoman, dapat diatasi dengan menambah gedung baru karena banyak
lapas yang merupakan bangunan lama dan berada di tengah kota. "Pemilihan lokasi lapas di
daerah pinggiran perlu menjadi pertimbangan karena tingkat pengawasan akan lebih optimal,
berbeda dengan lapas yang berada di tengah kota dengan mobilitas lingkungan sekitarnya yang
sangat tinggi dan lebih mudah untuk melarikan diri," kata Nyoman.Kota Semarang menjadi salah
satu daerah yang sudah tepat mengalihkan lapas dari yang semula berada di Jalan dr. Cipto
dipindahkan ke Kedungpane dan langkah tersebut harus diikuti daerah lain yang saat ini lapas
atau rutannya masih berada di tengah kota. Selain lebih maksimal dalam pengawasan, lapas atau
rutan yang berada di daerah pinggiran untuk penambahan gedung serta perluasan sangat lebih
memungkinkan dilakukan, berbeda jika berada di tengah kota.
Solusi lain untuk mengantisipasi kerusuhan lapas, tambah Nyoman, yakni perlunya
peninjauan ulang terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para warga binaan. Menurut
Nyoman, sumber daya manusia atau petugas lapas harus dievaluasi dalam melakukan pendekatan
terhadap warga binaan. "Perlu diteliti lebih jauh karena bisa jadi permasalahan dipicu karena
ketidakpuasan para narapidana terhadap perlakuan yang mereka terima," katanya.Para petugas
juga perlu dibekali pengetahuan cara yang tepat menghadapi warga binaan yang notabene orang
yang menyimpang dari kelakuan di masyarakat. Resep-resep diatas menjadi ikhtiar untuk
meminimalisir potensi kerusuhan di lapas yang telah banyak menelan korban jiwa dan hancurnya
fasilitas lapas, juga yang tidak kalah pentingnya adalah tercabiknya rasa aman dan memuncukan
rasa takut yang menghantui masyarakat akibat rusuh lapas selama ini.
BAB III
PENUTUP
3
istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat
Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Solusi lain untuk mengantisipasi kerusuhan lapas yaitu perlunya peninjauan ulang
terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para warga binaan.