Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya hukum hadir sebagai suatu alat yang dapat mengontrol

tatanan kehidupan masyarakat dari segala aspek yang menyimpang, entah itu

berupa kejahatan maupun pelanggaran. Thomas Hobbes mengemukakan bahwa

tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban sosial, sejak itu pula ketertiban

dipandang sebagai sesuatu yang mutlak yang harus diciptakan oleh hukum.1

Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan

untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang

telah ditetapkan sebelumnya.2

Salah satu jenis kejahatan yang sering ditemukan di tengah kehidupan

masyarakat yang mengganggu ketertiban sosial adalah kekerasan. Secara umum,

kekerasan merupakan wujud perbuatan yang bersifat mengakibatkan luka, cacat,

sakit, atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan

disini adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan

pihak lain yang dilukai.3 Walaupun kekerasan identik dengan perilaku fisik,

1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenadamedia Group,
Jakarta, 2016, hal 128
2
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hal
135
3
Sofia Hardani & Wilaela, Perempuan dalam Lingkaran KDRT, Pusat Studi Wanita,
Universitas Islam Negeri Riau, 2010, hal 7
2

namun kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku baik verbal maupun

non-verbal yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang terhadap

seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif

secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap yang menjadi sasarannya.4

Sehingga kekerasan dapat berupa perbuatan fisik maupun non fisik.

Kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang dapat didasarkan atas latar

belakang sosial atau identitas sosial yang melekat pada diri seseorang. Hal ini

dikarenakan adanya perasaan unggul atau lebih kuat dibandingkan dengan korban

yang dianggap lebih lemah dan tidak berdaya, kemudian menjurus pada tindakan

yang ingin menguasai dan apabila tidak mendapat persetujuan dari korban maka

muncul tindakan kekerasan tadi. Identitas sosial dalam konteks ini adalah gender

yang melekat pada diri seseorang. Gender berbeda dengan jenis kelamin,

walaupun keduanya melekat pada diri seseorang namun memiliki konsep yang

berbeda.

Jenis kelamin adalah perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang

berkaitan dengan alat dan fungsi reproduksinya, laki-laki memiliki penis, testis,

jakun, dan sperma sedangkan perempuan memiliki rahim, indung telur, dan

payudara. Perempuan mengalami menstruasi, mengandung/hamil, melahirkan dan

4
Ibid, hal 8
3

menyusui. Alat dan fungsi ini adalah pemberian Tuhan yang tidak dapat

dipertukarkan.5

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun

secara sosial dan kultural yang berkaitan dengan peran, perilaku, dan sifat yang

dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang dipertukarkan. Sifat gender

merujuk pada sifat dan perilaku yang diharapkan pada laki-laki dan perempuan

berdasarkan pada nilai, budaya dan norma masyarakat pada masa tertentu. Dalam

konstruksi sosial gender tersebut, terdapat suatu sistem yang disebut dengan

patriarki. Patriarki adalah sebuah sistem sosial dimana laki-laki mendominasi,

menekan, dan mengeksploitasi perempuan. Dominasi laki-laki terhadap

perempuan berawal dari perbedaan biologis yang dimilikinya. Laki-laki dianggap

memiliki fisik yang lebih kuat sedangkan perempuan dianggap lemah.6

Budaya patriarki tersebut menormalisasi konsep dimana dominasi laki-laki

terhadap perempuan dan menimbulkan narasi bahwa perempuan sebagai makhluk

sosial yang lebih lemah (inferior) dibandingkan laki-laki, sehingga harus

mematuhi semua perintah laki-laki. Dominasi ini menjurus pada keinginan

menguasai dan mengambil kontrol atas perempuan, dan apabila tidak mendapat

persetujuan, maka dilakukan tindakan kekerasan.

5
Siti Azisah Abdillah Mustari Himayah Ambon Masse, Kontekstualisasi Gender, Islam
dan Budaya, Alauddin University Press, Makassar, 2016, hal 4
6
Ibid, hal 5
4

Tindakan kekerasan yang ditujukan terhadap suatu gender ini disebut

dengan Kekerasan Berbasis Gender. Istilah Kekerasan Berbasis Gender ditemukan

dalam hasil ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination for All Form of

Discrimination Against Women) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Kekerasan berbasis gender ini pun kemudian semakin meningkat jumlah kasusnya

disebabkan oleh faktor perkembangan teknologi dan meningkatnya penggunaan

internet, salah satunya adalah penggunaan media sosial.

Setidaknya ada 8 bentuk kekerasan berbasis gender pada media sosial yang

dilaporkan kepada Komnas Perempuan, yaitu pendekatan untuk memperdaya

(cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking),

konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy),

ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama

baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment). Sementara

itu dalam Internet Governance Forum dipaparkan bahwa kekerasan berbasis

gender pada media sosial mencakup spektrum perilaku, termasuk penguntitan,

pengintimadasian, pelecehan seksual, pencemaran nama baik, ujaran kebencian

dan eksploitasi.7

7
Ellen Kusuma dan Nenden Sekar Arum, “Memahami dan Menyikapi Kekerasan
Berbasis Gender Online”, Panduan KBGO, Vol 2, Jakarta, 2019, hal 4, diakses dari
https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf, pada 27 Agustus
2020
5

Komnas Perempuan kemudian mencatat adanya peningkatan angka

pelaporan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (selanjutnya disebut KBGO)

dari tahun 2019 hingga saat ini, dimana pada tahun sebelumnya yang tercatat ada

65 kasus, dan menjadi 97 kasus di tahun 2019. Adapun jenis atau bentuk KBGO

yang dilaporkan diantaranya revenge porn, ancaman penyebaran foto maupun

video pribadi korban atau malicious distribution, pelecehan berbasis online atau

cyber harassment, impersonasi, peretasan atau hacking.8

KBGO meningkat dalam tiga tahun terakhir berbentuk ancaman dan

intimidasi penyebaran foto/ video dengan konten pornografi. Komnas perempuan

mengalami kesulitan mencari lembaga penerima rujukan layanan KBGO yang

disebabkan minimnya kapasitas lembaga layanan dalam penanganan kasus

KBGO. Dapat dilihat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya

meningkat dari tahun 2018 ke tahun 2019 sebagaimana data Catatan Tahunan

Komnas Perempuan (selanjutnya disebut CATAHU) Komnas Perempuan Tahun

2019:9

8
Zevica Rafisna, “Kekerasan Gender Berbasis Online Pada Perempuan” diakses dari
http://yayasanpulih.org/2020/06/kekerasan-gender-berbasis-online-pada-perempuan/, pada
tanggal 27 Agustus 2020
9
Wijatnika Ika, “Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia Meningkat: Bagaimana
Negara Membiarkan ini Terjadi? [Review Catahu Komnas Perempuan 2019]” , diakses dari
https://www.wijatnikaika.id/2020/05/kekerasan-terhadap-perempuan-indonesia.html?m=1, pada
tanggal 04 Januari 2021
6

Gambar 1.1 Data Kasus Cyber Crime dari Lembaga Layanan dan Pengaduan Langsung ke

Komnas Perempuan (sumber: wijatnikaika.id)

Berdasarkan CATAHU 2020, angka KBGO ini terus meningkat, sepanjang

tahun 2019 ada 281 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.10

Gambar 1.2 Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Sepanjang Tahun 2019

(sumber: jurnalperempuan.org)

10
Andi Misbahul Pratiwi, “Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat Delapan Kali Lipat
Selama 12 Tahun Terakhir”, diakses dari http://www.jurnalperempuan.org/warta-
feminis/kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir,
pada tanggal 04 Januari 2021
7

Dilihat dari banyaknya kasus kekerasan berbasis gender pada media sosial

dikarenakan semakin tingginya penggunaan media sosial dan platform online

lainnya. Munculnya media sosial bermula pada akhir abad ke-19. Titik awalnya

adalah teknologi telegraf yang dikirimkan oleh Samuel Morse pada tahun 1844,

hingga pada tahun 1999 muncul media sosial untuk Blogging yang membuat para

pengguna dapat membagikan tulisan dan berkomunikasi melalui blog dan jurnal

mereka sendiri. Sedangkan grup jejaring sosial mulai tumbuh pesat dengan

kemunculan Friendster pada tahun 2002. Platform ini memungkinkan pengguna

membuat profil dan terkoneksi secara virtual dengan orang di seluruh dunia. Pada

tahun 2004, kemudian muncul jejaring sosial dengan nama Facebook. Para pekerja

kreatif terus mengembangkan media sosial jenis lain, hingga pada tahun 2005,

Youtube diluncurkan dan pada tahun 2006 muncul Twitter.11 Dan kemudian

berkembang lagi dengan munculnya whatsapp pada tahun 2009 dan Instagram

pada tahun 2010.

Teknologi yang semakin berkembang mendorong penggunaan media

sosial semakin meningkat. Meskipun berdampak baik dalam penyaluran

informasi, namun interaksi antar pengguna yang ada di media sosial ini juga

membuka peluang adanya tindakan penyalahgunaan hingga dapat menimbulkan

11
Resa Eka Ayu Sartika, “Penemuan yang Mengubah Dunia: Media Sosial, Kenapa Bikin
Panik saat Diblokir?”, diakses dari
https://sains.kompas.com/read/2019/05/23/220400623/penemuan-yang-mengubah-dunia--media-
sosial-kenapa-bikin-panik-saat-diblokir-
?page=all#:~:text=Sejarah%20media%20sosial%20bermula%20pada,oleh%20Samuel%20Morse
%20pada%201844.&text=Sedangkan%20media%20sosial%20sendiri%20dianggap,awal%20mul
a%20dari%20media%20sosial., pada tanggal 13 September 2020
8

tindakan kekerasan seperti Kekerasan Berbasis Gender pada Media Sosial

tersebut.

Kasus kekerasan berbasis gender dapat kita temukan pada media sosial

seperti contohnya yang terjadi pada siswi bernama Nira yang mendapat teror

kiriman gambar penis dan video onani melalui pesan pribadinya pada akun media

sosial LINE oleh orang yang tidak dikenal, yang kemudian ia laporkan pada

Komnas Perempuan karena mendapat pesan tersebut berulang kali. 12 Kasus

lainnya adalah kasus Revenge Porn yang dilakukan dengan penyebaran gambar

atau video seksual/intim seseorang (biasanya perempuan) oleh mantan

pasangannya (biasanya laki-laki) secara daring, akibat kandasnya hubungan.

Revenge Porn ini juga diklasifikasikan dengan Image-Based Sexual Abuse (IBSA)

yakni pembuatan foto dan/atau video telanjang dan/atau yang berbau seksual tanpa

persetujuan, pendistribusian atau penyebarluasan foto dan/atau video telanjang

dan/atau berbau seksual tanpa persetujuan (termasuk foto-foto atau video-video

yang dibuat sendiri oleh korban atau dibuat atas persetujuan korban), serta

ancaman untuk menyebarkan video dan/atau foto telanjang dan/atau berbau

seksual.13

Patresia Kirnandita, “Kiriman 'Dick Pic' dan Video Porno Tak Konsensual Naik
12

Selama Pandemi”, diakses dari https://magdalene.co/story/tak-cuma-kdrt-kekerasan-seksual-


online-turut-naik-selama-pandemi, pada tanggal 27 Agustus 2020

Clianta de Santo, “Bukan ‘Revenge Porn’ Tapi Kekerasan Seksual Berbasis


13

Gambar”, diakses dari https://magdalene.co/story/bukan-revenge-porn-tapi-kekerasan-seksual-


berbasis-gambar, pada tanggal 27 Agustus 2020
9

Berdasarkan CATAHU Tahun 2020 kebanyakan laporan KBGO seputar

video berkonten seksual yang melibatkan korban, dikirim secara konsensual

olehnya dan disebarkan oleh pelaku. Kekerasan berbasis gender ini pun semakin

meningkat pada masa pandemi covid-19, selama physical distancing diberlakukan,

rata-rata laporan KBGO yang diterima Komnas Perempuan berupa kiriman

gambar atau video penis atau onani via pesan langsung kepada korban di
14
Instagram atau Twitter dari pelaku yang memakai akun palsu. Berdasarkan

CATAHU Tahun 2021, kekerasan terhadap perempuan di ranah personal atau

kekerasan dalam rumah tangga mengalami penurunan laporan yang mana tidak

lepas dari Pandemi Covid-19, dimana mobilitas istri dan anak perempuan terbatas

sehingga kesulitan untuk mengakses lembaga layanan dikarenakan selain

mengalami penutupan, juga sistemnya berubah menjadi online. Sedangkan angka

kekerasan dalam pacaran meningkat sejalan dengan naiknya kasus kekerasan

berbasis gender siber yang umumnya dilakukan dalam relasi pacaran.15

Kasus kekerasan berbasis gender, belum ada cukup peraturan yang

menjamin perlindungan hukum bagi korban sehingga membuat korban tidak

mengambil jalur hukum dalam menyelesaikan perkara, namun langsung memilih

untuk menghapus akun media sosial atau menarik diri dari interaksi sosial. Hal ini

Patresia Kirnandita, “Kiriman 'Dick Pic' dan Video Porno Tak Konsensual Naik
14

Selama Pandemi”, diakses dari https://magdalene.co/story/tak-cuma-kdrt-kekerasan-seksual-


online-turut-naik-selama-pandemi, pada tanggal 27 Agustus 2020
15
Komnas Perempuan, Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan
Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-
19, CATAHU 2021, Jakarta, 2021, hal 13-14
10

sangat bermasalah karena akan menimbulkan trauma berkepanjangan pada korban

dan perasaan tidak adil karena tidak dapat mendapat keadilan dengan memproses

pelaku melalui jalur hukum dan juga membuat para pelaku dapat bebas melakukan

hal tersebut tanpa takut akan jerat hukum pidana. Hal ini juga diperburuk dengan

kondisi korban kekerasan gender yang belum menentu dimana korban sering

mendapatkan tuduhan-tuduhan dan stigma-stigma sehingga membuat korban takut

untuk melapor. Aparat hukum sendiri cenderung menjatuhkan stigma yang

menyalahkan korban (victim blaming).16 Harus ada sebuah tindakan tegas dengan

tujuan penanggulangan sehingga dapat menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus

tersebut.

Dalam hukum pidana, upaya penanggulangan ini diatur dalam sebuah

konsep kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal adalah usaha rasional untuk

menanggulangi kejahatan. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada

hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat

(social defense) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Kebijakan kriminal ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua jenis upaya

yaitu upaya penal dan non-penal. Dimana upaya penal berfokus pada upaya

penanggulangan atau represif dan upaya non penal berfokus pada upaya

pencegahan atau preventif. Upaya yang tepat sangat dibutuhkan dalam

menanggulangi tindakan-tindakan kejahatan yang berada di tengah masyarakat.

16
Atikah Nuraini dkk, Hukum Pidana Internasional dan Perempuan, Komnas Perempuan,
Jakarta, 2006, hal 132
11

Berdasarkan kondisi di masyarakat, jika dibandingkan antara kedua

gender, perempuan cenderung menjadi gender yang termarginalisasi, mendapat

lebih banyak kekerasan dan tindakan-tindakan diskriminatif lain seperti victim

blaming dan stigrma dari masyarakat. Perempuan sangat rentan untuk mengalami

kekerasan, bukan hanya di sektor domestik namun hingga di dunia maya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul: KEKERASAN BERBASIS GENDER DI MEDIA SOSIAL.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender di media sosial?

2. Bagaimana upaya penanggulangan kekerasan berbasis gender di media sosial?

C. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis dan membahas bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender di

media sosial

2. Menganalisis dan membahas tentang upaya penanggulangan kekerasan

berbasis gender di media sosial

3. Sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian studi pada Fakultas Hukum

Universitas Pattimura

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui tentang bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender di media

sosial
12

2. Untuk mengetahui tentang upaya penanggulangan kekerasan berbasis gender di

media sosial

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Kekerasan

Hukum pidana merupakan cabang ilmu hukum yang khusus mempelajari

kejahatan dan sanksi yang diancam atas pelanggaran yang telah ditentukan

melalui undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa objek hukum pidana

adalah tindak pidana (criminal act/delik), tindak pidana sebagaimana

digolongkan dalam dua kelompok yakni kejahatan (misdrijven) sebagaimana

diatur dalam Buku ke-II, Bab I sampai dengan Bab XXXI Pasal 104 sampai

dengan Pasal 488, dan perbuatan yang digolongkan sebagai pelanggaran

(overtredingen) Bab I sampai dengan Bab IX Pasal 489 sampai dengan Pasal

569 Buku III.17 Hukum pidana harus mengakomodir segala bentuk kejahatan

dan pelanggaran yang terjadi pada masyarakat sekitar secara tegas.

Fungsi hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana ialah pertama-

tama sebagai sarana dalam menanggulangi kejahatan atau sebagai kontrol sosial

(pengendalian masyarakat). Dalam hal ini maka hukum pidana adalah bagian

dari politik kriminal yaitu usaha yang rasional dari masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan.18 Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum

pidana adalah menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan

17
M Ali Zaidan, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal 24
18
Maroni, Pengantar Politik Hukum Pidana, Aura, Bandar Lampung, 2016, hal 49
13

suatu tindak pidana. Dan pidana itu sendiri pada dasarnya adalah merupakan

suatu penderitaan atau nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada mereka

atau seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana.19

Pasal 89 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan

bahwa:

“Membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan


menggunakan kekerasan”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kekerasan adalah perbuatan

seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang

lain. 20

Definisi lain dikemukakan oleh Sanford Kadish dalam Encyclopedia of

Criminal Justice, bahwa kekerasan adalah semua jenis perilaku yang tidak sah

menurut kadang-kadang, baik berupa suatu tindakan nyata maupun berupa

kecaman yang mengakibatkan pembinasaan atau kerusakan hak milik. 21

Menurut Sally E. Merry, kekerasan adalah suatu tanda dari perjuangan untuk

memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan, kekerasan muncul

dalam analisa tersebut, sebagai sensitivitas gender dan jenis kelamin.22

19
Andi Sofyan dan NurAzisa, Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016, hal
84
20
Kekerasan. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 20 Agustus 2020 dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kekerasan
21
Mia Amalia, “Kekerasan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan Sosiokultural”,
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 25, Cianjur, 2011, hal 404, diakses dari
http://www.sthb.ac.id/jurnal/index.php/wawasanhukum/article/view/25, pada 20 Agustus
2020
22
Prisilla Viviane Merung, “Kajian Kriminologi Terhadap Upaya Penanganan Kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia”, Jurnal Unpar, Vol. 2 No. 2, Bandung,
14

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan adalah

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat


timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.“

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang merumuskan bahwa yang dimaksud ancaman kekerasan

adalah

“Setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar,


simbol atau gerakan tubuh baik dengan atau tanpa menggunakan sarana
yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki
seseorang.“

Menurut Douglas dan Waksler istilah kekerasan sebenarnya digunakan

untuk menggambarkan perilaku, baik terbuka (overt), tertutup (covert), baik

yang bersifat menyerang (offensive), atau yang bertahan (defensive), yang

disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu secara umum

ada empat jenis kekerasan yakni (1) kekerasan terbuka, kekerasan yang dilihat,

seperti perkelahian; (2) kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau

tidak dilakukan, seperti mengancam; (3) kekerasan agresif, kekerasan yang

dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti

2016, hal 402, diakses dari http://journal.unpar.ac.id/index.php/veritas/article/view/2273, pada


28 Agustus 2020
15

penjabalan; dan (4) kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan untuk

perlindungan diri.23

Menurut Mulyana W. Kusumah yang mengutip dari pendapat Rosa Det Olmo,

ada empat macam pengelompokan kekerasan yang harus diperhatikan yaitu: 24

1) Kekerasan individual, merupakan kekerasan perseorangan seperti


pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan;
2) Kekerasan struktural, terwujud sebagai pola-pola hubungan dalam
masyarakat yang mencerminkan ketidakmerataan dan ketidakadilan
penguasaan dan pengendalian sumber daya;
3) Kekerasan institusional, kekerasan yang dilakukan oleh alat-alat
pengendali sosial yang menguasai dan mengendalikan legitimized
violence dengan kata lain kekerasan institusional ini adalah kekerasan
yang dilembagakan atau yang dilaksanakan dalam rangka bekerja sama
lembaga-lembaga resmi;
4) Kekerasan revolusioner, kekerasan yang dilembagakan atau
dilaksanakan dalam rangka bekerjanya lembaga-lembaga resmi yang
berpengaruh terhadap terciptanya bentuk-bentuk kekerasan lain dalam
masyarakat dalam waktu cepat.

2. Konsep Gender

Gender pada dasarnya merupakan jenis kelamin sosial, yang berbeda

dengan jenis kelamin biologis. Dikatakan sebagai jenis kelamin sosial karena

merupakan tuntutan masyarakat yang sudah menjadi budaya dan norma sosial

masyarakat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan dan membedakan

berdasarkan pemenuhan peran dalam kehidupan sosial. Kata Gender berasal

dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender

23
Ibid.
24
Erniwati, “Kejahatan Kekerasan Dalam Perspektif Kriminologi”, Mizani, Vol. 25 No.
2, Bengkulu, 2015, hal 110, diakses dari
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/mizani/article/viewFile/73/73, pada 15
September 2020
16

diartikan sebagai ”perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan

dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan dalam Women’s Studies

Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah ”suatu konsep kultural yang

berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,

mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat. 25

Menurut Mansour Fakih, gender adalah semua hal yang dapat

dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah, baik itu

waktu maupun kelas. Selanjutnya diungkapkan bahwa sejarah perbedaan

gender terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan Gender terbentuk

oleh banyak hal yang disosialisasikan, diajarkan, yang kemudian diperkuat

dengan mengkonstruksinya baik secara sosial maupun kultural.26

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kesetaraan

Gender hasil ratifikasi Deklarasi Bersama Buenos Aires tentang Perdagangan

dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Tahun 2017, Pasal 1 butir 1 yakni:

“Gender adalah pembedaan perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil


konstruksi sosial budaya.“

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 4 menyatakan:

“Kekerasan gender adalah setiap perbuatan terhadap seseorang yang


dilakukan atas dasar jenis kelamin yang berakibat timbulnya kesengsaraan

25
9otjr, “4 Pengertian Gender Menurut Para Ahli”, diakses dari https://imn.co.id/4-
pengertian-gender-menurut-para-ahli/, pada tanggal 14 September 2020
26
Tips Serba Serbi, “Pengertian Gender, Kesetaraan Gender dan Istilah Terkait”, diakses
dari https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2016/10/pengertian-gender-kesetaraan-gender-dan-
istilah-terkait.html, pada tanggal 23 September 2020
17

atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,


termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum baik yang terjadi di
lingkup domestik maupun publik.“

Kekerasan Berbasis Gender merujuk pada definisi Kekerasan Berbasis

Gender oleh Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi

(UNHCR), yang mendefinisikan Kekerasan Berbasis Gender sebagai

Kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Ini

termasuk tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik, mental atau seksual,

ancaman untuk tindakan tersebut, penghapusan kemerdekaan.27

Kebijakan kriminal menurut Muladi adalah usaha rasional dan

terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan

kriminal selain di samping dapat dilakukan secara represif melalui sistem

peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan sarana “non

penal” melalui berbagai usaha pencegahan tanpa melibatkan sistem peradilan

pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum,

pembaharuan hukum perdata serta hukum administrasi.28

Upaya penal sebagaimana dikemukakan oleh Hoefnagels terletak pada

penerapan criminal policy, khususnya pada bagian criminal law application

atau penerapan hukum pidana. Artinya suatu perkara pidana dilakukan

27
Ellen Kusuma dan Nenden Sekar Arum, “Memahami dan Menyikapi Kekerasan
Berbasis Gender Online”, Panduan KBGO, Vol 2, Jakarta, 2019, hal 4, diakses dari
https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf, pada 26 Agustus
2020
28
M Ali Zaidan, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal 262
18

pengusutan mulai penyelidikan atau penyidikan, penuntutan, sampai

pemeriksaan di sidang pengadilan.29 Upaya non penal lebih menekankan pada

tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Sisi non penal yakni

upaya pemerintah untuk memengaruhi pandangan masyarakat tentang

kejahatan dan pemidanaan (influencing view of society on crime and

punishment) atau mass media. Upaya untuk mempengaruhi masyarakat

merupakan upaya yang secara sistematik untuk membangun kesadaran

masyarakat akan akibat tindak pidana dan dampak penghukuman.30

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif atau kepustakaan (library research). Penelitian hukum

normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah

bangunan sistem norma. Sistem norma yang dibangun adalah mengenai asas-

asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

perjanjian serta doktrin (ajaran).31 Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut

29
Ibid, hal 111
30
Ibid, hal 112
31
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Cetakan IV, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, hal 33
19

disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dipakai dalam penulisan ini bersifat deskriptif analitis.

Menurut Sugiono, penelitian deskriptif analitis merupakan suatu metode yang

berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang

diteliti melalui data yang telah terkumpul.32 Dengan alasan bahwa hasil yang

didapatkan dari studi kepustakaan selanjutnya dianalisis dan dibahas dengan

menggunakan alur pembahasan secara sistematis di dalam beberapa bab.

Kemudian hasil analisis pembahasan tersebut dideskripsikan untuk

mempermudah penarikan kesimpulan dan pengajuan saran.

3. Sumber Bahan Hukum

Adapun yang menjadi sumber bahan hukum yang diperlukan dalam

penelitian ini yaitu bahan hukum sekunder berdasarkan studi pustaka/studi

literatur (library research). Sumber bahan hukum tersebut diklasifikasikan

antara lain;

a. Bahan Hukum primer, terdiri dari:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

32
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2009,
hal 30
20

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT)

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang

6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kesetaraan Gender hasil

ratifikasi Deklarasi Bersama Buenos Aires tentang Perdagangan dan

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Tahun 2017

8. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman

Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum

b. Bahan Hukum Sekunder, meliputi bahan-bahan yang mendukung bahan

hukum primer yang bersumber dari studi kepustakaan seperti buku teks,

artikel, dan jurnal hasil penelitian dibidang hukum.

c. Bahan Hukum Tersier, diperoleh dari internet, kamus, dan faktor-faktor

hukum yang terjadi dalam praktek.


21

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Kegiatan pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini, penulis tempuh

dengan melakukan Library research dalam hal studi kepustakaan melalui

penelitian buku, jurnal online maupun literatur online sebagai sarana untuk

memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan

hukum tersier. Setelah bahan-bahan hukum yang telah diklasifikasikan serta

dipilah-pilah sesuai dengan semestinya dan dijadikan sebagai bahan analisis

terkait dengan permasalahan yang sudah dirumuskan sehingga memperoleh

jawaban dan solusi yang tepat untuk menjawab permasalahan yang akan

dibahas.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

setelah dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian diklasifikasikan

dan dianalisis dengan cara menghubungkan satu teori dengan teori yang lain

atau menghubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk menjawab permasalahan yang ada maka bahan hukum yang

dikumpulkan dianalisis secara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan adalah urut-urutan secara baik dari sebuah proses

penulisan. Untuk itu, dalam kaitannya dengan penulisan ini penulis menyusun

sistematikanya yang dimulai dari Bab I yaitu pendahuluan terdiri dari latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,


22

metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II yaitu kekerasan berbasis

gender di media sosial terdiri dari kekerasan dan bentuk-bentuknya, gender dan

jenis kelamin, perkembangan media sosial di Indonesia. Bab III yaitu upaya

penanggulangan kekerasan berbasis gender di media sosial terdiri dari kebijakan

kriminal dan kebijakan hukum pidana, jenis dan bentuk kekerasan berbasis gender

di media sosial, dan kebijakan penal dan non penal dalam penanggulangan

kekerasan berbasis gender di media sosial. Bab IV yaitu penutup terdiri dari

kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai