Anda di halaman 1dari 2

Hikmah Ramadhan: Islam Agama Lapang di Tengah Pandemi Covid-19

ISLAM adalah agama lapang. Ajaran agama, dalam bentuk perintah maupun larangan, tidak
pernah dirancang untuk menyulitkan manusia. Al-Qur’an menegaskan, “Bertakwalah kamu
semampumu” (QS. Al-Taghâbun/64: 16). Allah menciptakan manusia dan tahu persis kadarnya,
termasuk kemampuannya menanggung beban dan kesulitan. Perintah puasa diikuti dengan
penegasan, “Allah menghendaki bagimu kemudahan, bukan kesulitan” (QS. Al-Baqarah/2: 185).
Dia sama sekali tidak menjadikan untukmu agama yang sulit (QS. Al-Hajj/22: 78). Rasulullah
bersabda, “Apa yang aku larang, jauhilah. Apa yang aku perintahkan, kerjakanlah semampumu”
(HR. Bukhari-Muslim). Baca juga: Hikmah Ramadhan: Zuhud “Permudahlah, jangan persulit.
Gembirakanlah, jangan buat takut” (HR. Bukhari-Muslim). “Sesungguhnya kalian semua diutus
untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit” (HR. Bukhari). Karena itu, Rasulullah
mengecam orang yang ekstrem dalam beragama. “Celakalah orang yang berlebih-lebihan dalam
agama” (HR. Muslim). Dalam sejarah Islam, pernah muncul kelompok yang bernama Khawârij.
Kesalehan personalnya luar biasa. Ibn Abbâs menggambarkan, “Aku tidak pernah menemukan
orang yang tekunnya dalam ibadah melebihi mereka.” Tetapi, Rasulullah justru menyebut
mereka sebagai orang yang “keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya”
(HR. Bukhari-Muslim).

Islam datang dengan membawa semangat moderasi, dalam ibadah (QS. Al-Isrâ/17: 110), dalam
perilaku sosial (Ar-Rahman/55: 7), dalam perilaku ekonomi (QS. Al-Isrâ/17: 29; QS. Al-
Furqan/25: 67), dan sebagai komunitas (Al-Baqarah/2: 143). Baca juga: Simak, Ini Manfaat
Puasa Ramadhan bagi Kesehatan Tubuh dan Mental Ekstremitas dalam semua hal tidak
dikehendaki Islam. Islam tidak pernah mengajarkan puasa semalam suntuk. Teori puasa Islam
justru menjaga siklus kesehatan hidup. Di bagian bumi belahan utara, ada negara yang
mataharinya baru terbenam setelah 22 atau 23 jam. Ada ulama berijtihad, jadwal buka mereka
tidak harus mengikuti waktu Maghrib setempat, tetapi waktu Maghrib di Mekkah. Fatwa Majelis
Eropa untuk Fatwa dan Riset (ECFR): bukanya mengikuti waktu Maghrib bulan lain yang durasi
siang dan malamnya sama. Ijtihad ini sah, karena ajaran Islam mempermudah, bukan
mempersulit. Ramadan tahun ini datang bersama hari-hari yang sulit karena pandemi Covid-19.
Sudah berkali-kali kita tidak pergi Jumatan. Jumatan wajib, tetapi karena kondisi gahar, kita ganti
dengan shalat Dhuhur di rumah. Tuntunannya jelas. Ibn Abbas, pada hari Jum’at yang hujan,
menyuruh mu’adzin mengganti lafal hayya 'ala shalah dengan “shalatlah kalian di rumah-rumah
kalian.” Ada sahabat yang protes. Jawaban Ibn Abbas pendek, “Ini dilakukan oleh orang yang
lebih baik dariku (maksudnya Nabi Muhammad). Ibadah Jum’at wajib, tapi aku tidak mau
menyulitkanmu menempuh jalan yang licin dan becek” (HR. Bukhari). ‘Illat kedaruratan wabah
Covid-19 lebih besar daripada hujan. Pemerintah telah menetapkan protokol pencegahan
dengan jaga jarak fisik (physical distancing). Padahal, sejumlah ibadah—seperti shalat Jumat—
menuntut dilakukan berjamaah, yang artinya mengumpulkan banyak orang. Seluruh ulama di
dunia, termasuk Indonesia, telah mengeluarkan fatwa meniadakan Jumatan (ta’thîl al-jum’at).

Tetapi, seperti terjadi di zaman Ibn Abbâs, ada saja yang tidak terima. Mereka tetap menggelar
Jumatan, meski di zona merah. Salah satu syiar Ramadhan adalah shalat terawih, dilakukan
berjamaah. Pemerintah, MUI, dan ormas-ormas Islam telah mengimbau agar tahun ini terawih di
rumah saja. Shalat terawih sunnah, begitu juga dengan jama’ahnya. Tetapi, masih ada kabar
banyak masjid-mushalla yang tetap menggelarnya berjamaah. Alasannya zona hijau. Dalam
situasi sekarang yang terbatas, patut diduga seluruh wilayah Indonesia adalah zona merah dan
kuning. Menghadapi pandemi Covid-19 dibutuhkan kepatuhan dan kedisiplinan. Disiplin
terhadap aturan, patuh terhadap pimpinan. Islam menyuruh umatnya untuk taat dan patuh
kepada ulil amri (QS. An-Nisa’/4: 59). Menurut Ibn Abbas, ulil amri adalah ulama. Menurut Abu
Hurairah, ulil amri adalah umara’. Menurut Ibn Katsîr dan Al-Jashâsh, ulil amri adalah dua-
duanya. Sekarang umara’ dan ulama satu suara. Kedua-duanya mengimbau terawih di rumah.
Kita dituntut untuk taat dan patuh. Mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur, terawih di
masjid/mushalla dengan terawih di rumah, adalah bagian dari kemudahan syariat Islam. Maka,
permudahlah, jangan persulit

Anda mungkin juga menyukai