Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Hadis
Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Hadis
Tasmin Tangngareng
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 36, Samata, Gowa, Sulawesi Selatan 90222
e-mail: asrulmuslim88@yahoo.com
Abstrak:
Wacana kepemimpinan perempuan tidak pernah berakhir didiskusikan. Bebera-
pa pertimbangan teologis Islam selalu menjadi alasan utama untuk mendukung
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Artikel ini mencoba untuk menyaji-
kan analisis tekstual dan kontekstual tentang kepemimpinan perempuan di
ranah publik. Hal ini karena berdasarkan pemahaman secara tekstual terhadap
sunah Nabi dan opini dari sebagian ulama Muslim secara buruk menyatakan
bahwa kepemimpinan perempuan dalam urusan publik dilarang. Namun ber-
dasarkan pemahaman secara kontekstual tidak demikian dengan syarat mampu
mengemban amanah. Sejarah Islam mencatat „Â`isyah, al-Syifâ, dan Ratu Balqis
termasuk segelintir pemimpin perempuan yang menduduki jabatan publik. Oleh
karena itu, dalam memahami masalah kepemimpinan perempuan, pemahaman
secara kontekstual harus terlebih dahulu dipertimbangkan.
Abstract:
Discourse of women's leadership is never-ending to discuss. Some Islamic theo-
logical considerations has always been a major reason to support equality bet-
ween men and women. This article presents the textual and contextual analysis
of the leadership of women in the public sphere. It is based on textual under-
standing of the Sunnah of the Prophet and the opinion of the majority of Muslim
scholars poorly stated that the leadership of women in public affairs is prohi-
bited, but is based on a contextual understanding is not the case with the proviso
able to carry out the mandate. Islamic history records „Â`isyah, al-Syifâ, and
Queen Balqis including a handful of women leaders who occupy public office.
Therefore, in the understanding of women's leadership issues, contextual under-
standing must first be considered.
Kata Kunci:
Kepemimpinan, perempuan, hadis
DOI: http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v23i1.615
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
filsafatnya tidak banyak membicarakan ال لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم
َ ََن فَا ِر ًسا َملَّ ُكوا ابْنَ َة كِ ْسَرى ق
َّ َو َسلَّ َم أ
hak perempuan. Pada puncak peradaban 3
.ْامَرأًَة
Yunani, perempuan diberi kebebasan se-
Menceritakan kepada kami Utsman ibn
demikian rupa untuk memenuhi kebutu- al-Haytsam, menceritakan kepada kami
han dan selera laki-laki. Dalam ajaran „Awf dari al-Hasan dari Abu Bakrah ber-
Nasrani, perempuan adalah senjata Iblis kata, „Allah telah memberiku manfaat
untuk menyesatkan manusia. Bahkan dengan kalimat yang aku dengar dari Ra-
pada abad ke-6 Masehi diselenggerakan sulullah Saw pada Perang Unta. Abu
suatu pertemuan untuk membahas apa- Bakrah berkata, ketika sampai berita kepa-
kah perempuan itu manusia atau bukan. da Rasulullah Saw bahwa orang Persia
mengangkat putri Raja sebagai penggan-
Dalam pembahasan tersebut kemudian
tinya, Rasulullah bersabda, „Tidak sukses
disimpulkan bahwa perempuan adalah suatu kaum (masyarakat) yang menyerah-
manusia yang diciptakan semata-mata kan urusan mereka kepada perempuan.
melayani laki-laki.2 (HR. al-Bukhârî)
Islam datang membawa pesan mo- Tapi di lain pihak, ada ulama lain
ral kemanusiaan yang tiada bandingan- yang membolehkan perempuan menjadi
nya dengan agama mana pun. Islam tidak pemimpin di luar rumah tangganya, ka-
hanya mengajak manusia untuk melepas- rena Al-Qur‟an memberi isyarat perem-
kan diri dari belenggu dan tirani kemanu- puan pun bisa menjadi pemimpin, bukan
siaan, tapi lebih jauh lagi mengajak mem- hanya laki-laki. Oleh karena itu, sebagian
bebaskan diri dari belenggu ketuhanan ulama membolehkan kepemimpinan pe-
yang poleteis menuju ketuhanan mono- rempuan secara umum4 jika mereka me-
teis. Oleh karena itu, sebenarnya Islam miliki kemampuan untuk melaksanakan
menjadi sarana yang tepat untuk mem- amanah tersebut. Di samping itu, mereka
persatukan misi dan visi kesetaraan laki- juga memiliki kriteria-kriteria atau syarat-
laki dan perempuan. syarat5 sebagai seorang pemimpin.
Sejarah telah menunjukkan kedu-
dukan perempuan pada masa Nabi Mu-
hammad Saw. tidak hanya dianggap se-
3 Abû „Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ`îl ibn
Ibrâhîm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Juz V (Bei-
bagai istri, pendamping, dan pelengkap rut: Dâr al-Fikr, 1994), hlm. 160.
laki-laki saja, tapi juga dipandang sebagai 4 Kepemimpinan dalam kamus bahasa Indonesia
manusia yang memiliki kedudukan yang diartikan sebagai perihal memimpin, sedangkan
setara dalam hak dan kewajiban dengan urusan umum adalah urusan mengenai berbagai
manusia lain di hadapan Allah Swt. hal yang ada sangkut-pautnya dengan pekerjaan,
jawatan, dinas, dan sebagainya, yang mengurus
Adapun mengenai kepemimpinan sesuatu. Departemen Pendidikan dan Kebudaya-
perempuan dalam urusan umum, masih an, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
kontroversi. Mayoritas ulama melarang Pustaka, 1989), hlm. 864 dan 997.
perempuan menjadi pemimpin dalam 5 Adapun kriteria-kriteria atau syarat-syaratnya
urusan umum sesuai dengan hadis Ra- yaitu: 1) berpengetahuan luas, 2) kemampuan ber-
pikir secara konsepsional, 3) kemampuan meng-
sulullah Saw.: identifikasi hal-hal yang strategis, 4) kemampuan
الَ َاْلَ َس ِن َع ْن أَِِب بَكَْرَة ق
ْ ف َع ْن ٌ َحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن ا ْْلَْي ثَِم َحدَّثَنَا َع ْو berperan selaku integrator, 5) obyektif dalam
اَّللُ َعلَْي ِه
َّ صلَّى ْ لََق ْد نَ َف َع ِِن ا ََّّللُ بِ َكلِ َم ٍة أَََّّي َم
َّ ِ قال لَ َّما بَلَ َغ الن.اْلَ َم ِل
َ َِّب
menghadapi dan memperlakukan bawahan, 6)
cara bertindak dan berpikir rasional, 7) pola dan
gaya hidup yang dapat dijadikan teladan, 8)
2Ibid., hlm. 78; Khurshid Ahmad, Mempersoalkan keterbukaan terhadap bawahan, tanpa melupakan
Wanita (Jakarta: Gema Insani, 1989), hlm. 13-14. adanya hirarki yang berlaku, 9) gaya kepemim-
Munawwir, 1984), hlm. 415. 15 al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 472.
Dalam riwayat Humayd disebut- dan berbagai jabatan yang setara dengan-
kan lamma halaka kisrâ qâla al-nabiyyu yang nya dilarang. Menurut syara‟, perempuan
artinya ketika kisra Persia meninggal du- hanya diberi tanggung jawab untuk men-
nia, Rasulullah bersabda: “Siapa yang jaga suaminya.19 Menurut al-Khatthâbî,
menggantikannya? Mereka menjawab, a-
nak perempuannya.” Yang dimaksud de- qih tentang Perempuan” dalam Kepemimpinan
ngan Bintu Kisra adalah Burawan binti Petrempuan dalam Islam, ed. Syafiq Hasyim (Tk.:
Syayrawayh ibn Kisra ibn Barwaiz. tp, t.th.), hlm. 43.
18 Para ahli fiqih menyebutkan beberapa per-
Dalam riwayat al-Turmudzî dan
syaratan yang disepakati, yaitu: a) Muslim; b) be-
al-Nasâ`î dari jalur Humayd ibn al-Tawail rakal; c) dewasa dan merdeka; d) sehat jasmani;
dari al-Hasan dari Abû Bakrah dengan dan e) adil dan memahami hukum syariat. Semen-
redaksi ashamaniya Allah bi syay‟in sami‟- tara itu, persyaratan jenis kelamin diperdebatkan.
tuhû min rasulillâhi shallallâhu „alayhi wa- Ada tiga padangan ulama mengenai syarat te-
sallam kemudian disebutkan falammâ qa- rakhir. Pertama, Mâlik ibn Anas, al-Syâfi‟î, dan
Ahmad ibn Hanbal menyatakan jabatan ini
dimat „Âisyah dzakartu dzâlika fa‟ashama-
haruslah dipegang laki-laki dan tidak boleh pe-
niyallâhu. „Amr ibn Syu`bah meriwayat- rempuan. Menurut mereka, seorang hakim di
kan dari Mubârak ibn Fudhâlah dari al- samping harus menghadiri sidang-sidang terbuka
Hasan bahwa „Â‟isyah ra. diutus kepada yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki, ia juga
Abû Bakrah dan Abû Bakrah berkata: harus memiliki kecerdasan akal yang prima.
Padahal tingkat kecerdasan perempuan di bawah
“Engkau adalah seorang ibu dan sesung-
tingkat-tingkat kecerdasan laki-laki. Selain itu, ia
guhnya kebenaranmu agung, namun saya dalam posisi tersebut akan berhadapan dengan
mendengar Rasulullah bersabda: laki-laki. Kehadirannya seperti ini akan dapat me-
لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة nimbulkan fitnah. Kedua, mazhab Hanafî dan Ibn
“Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) Hazm al-Zhâhirî. Mereka mengemukakan bahwa
laki-laki bukan syarat mutlak untuk kekuasaan
yang menyerahkan (untuk memimpin)
kehakiman. Perempuan boleh saja menjadi hakim,
urusan mereka kepada perempuan.”16 tapi ia hanya dapat mengadili perkara-perkara di
luar pidana berat (hudud dan qishash). Hal ini
Ragam Pandangan Ulama karena perempuan-perempuan dibenarkan men-
Mayoritas ulama memahami hadis jadi saksi untuk perkara-perkara tadi. Di samping
tersebut secara tekstual. Mereka berpen- itu, hakim tidak sama dengan mufti, selain itu,
gagasan ini menolak hadis mengenai kepemim-
dapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis
pinan negara sebagai dasar hukum untuk fungsi
tersebut, pengangkatan perempuan men- yudikatif. Ketiga, Ibn Jarîr al-Thabarî dan al-Ha-
jadi kepala negara,17 hakim pengadilan,18 san al-Bashrî menyatakan bahwa perempuan bo-
leh menjadi hakim untuk menangani berbagai
perkara. Laki-laki tidak menjadi syarat dalam
16 Syihâb al-Dîn Abû al-Fadl Ahmad ibn „Alîy ibn kekuasaan kehakiman. Bagi mereka, jika perem-
Hajar al-„Asqalânîy, Fath al-Bârîy, Juz VIV, hlm. puan bisa menjadi mufti, maka logis kalau ia juga
558. menjadi hakim. Tugas mufti adalah menjelaskan
17 Para mufasir seperti al-Qurthubî, Ibn Katsîr, hukum-hukum agama melalui analisis ilmiah de-
Muhammad „Abduh, dan Muhammad Thâhir ibn ngan tanggung jawab personal, sementara hakim
„Âsyûr memiliki pendapat yang sama. Mereka juga mempunyai tugas yang sama. Tapi pendapat
sepakat bahwa kelebihan-kelebihan laki-laki ter- yang ketiga ini ditolak oleh al-Mâwardî dengan
sebut merupakan pemberian Tuhan, sesuatu yang mengemukakan bahwa pendapat Ibn Jarîr al-Tha-
fitri, alami, dan kodrati. Atas dasar semua inilah barî telah menyimpang dari ijmak ulama. Hasyim
mereka berpendapat perempuan tidak layak men- (ed.), Kepemimpinan Petrempuan, hlm. 39- 40.
duduki posisi-posisi kekuasaan publik dan poli- 19 al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 123;
tik, lebih-lebih kekuasaan kepemimpinan negara. Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Kahlânî, Subul al-Salâm
Hussein Muhammad, “Membongkar Konsepsi Fi- Syarh Bulûgh al-Marâm min Jâmi` Adillah al-Ahkâm,
hadis ini mengisyaratkan perempuan ti- sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
dak boleh menjadi seorang pemimpin perempuan yang saleh ialah yang taat ke-
atau seorang hakim. Ini sebagai konse- pada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
kuensi dia tidak bisa menikahkan diri-
memelihara (mereka) perempuan-perem-
nya sebagaimana dia tidak bisa menikah- puan yang kamu khawatirkan nusyûznya,
kan perempuan lain.20 maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
Di samping itu, ada beberapa dalil mereka di tempat tidur mereka, dan pukul-
mereka yang melarang perempuan men- lah mereka. Kemudian jika mereka menaati-
jadi pemimpin di luar rumah tangganya, mu, maka janganlah kamu mencari-cari
yaitu: pertama, QS. al-Nisâ‟ [4]: 34. Kedua, jalan untuk menyusahkannya. Sesungguh-
hadis Nabi Muhammad Saw. yang me- nya Allah Maha Tinggi lagi Maha Be-
nyatakan perempuan kurang cerdas di- sar.”22
banding laki-laki. Ketiga, hadis “lan yuf- Kata qawwâmûna pada ayat di atas
liha qawm wallau amrahum imra‟ah.” Ketiga tidak bermakna tunggal, tapi mempunyai
dalil tersebut saling terkait dalam mem- tiga pengertian: 1) Qawwâmûna bisa be-
perkuat argumentasi ketidakbolehan pe- rarti kepemimpinan, tapi kepemimpinan
rempuan memegang kepemimpinan. De- ini tidak permanen dan tidak disebabkan
ngan alasan lain, baik ayat maupun hadis oleh kriteria biologis. Sebab di belakang-
tersebut mengisyaratkan kepemimpinan nya dikaitkan dengan pemberian nafkah
hanya untuk laki-laki, dan menegaskan dan kelebihan laki-laki. Ketika kemam-
keharusan perempuan mengakui kepe- puan ini tidak ada, maka menurut Mâlik,
mimpinan ini. kepemimpinan ini bisa menjadi gugur; 2)
Al-Qurthubî dalam menafsirkan a- Qawwâmûna dapat be-rarti orang yang
yat tersebut cenderung melihat aktifitas bertanggung jawab atas keluarganya; dan
laki-laki sebagai pencari nafkah, laki-laki 3) Qawwâmûna dapat diartikan sebagai
yang menjadi penguasa, tukang bekam, ke-pemimpinan dalam keluarga.23
dan tentara. Pendapat al-Qurthubî diikuti Kata al-rijâl24 pada ayat di atas bu-
oleh para mufasir lainnya, namun para kan berarti laki-laki secara umum, tapi
mufasir kontemporer melihat ayat terse- 22 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terje-
but tidak harus dipahami seperti itu, apa- mahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Pe-
lagi ayat tersebut berkaitan dengan per- nerjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 2011), hlm. 123.
soalan rumah tangga.21 23 Hasyim (ed.), Kepemimpinan Perempuan, hlm. 9.
Alasan pertama yaitu QS. al-Nisâ‟ 24 Al-Qur‟an secara konsisten membedakan peng-
suami karena konsideran lanjutan ayat yaitu: 1) Faktor fisik dan naluri. Pe-
tersebut adalah “karena mereka (para rempuan diciptakan untuk mengemban
suami) menafkahkan sebagian harta un- tugas keibuan, mengasuh, dan mendidik
tuk istri-istri mereka.” Seandainya kata anak. Itulah sebabnya perempuan memi-
“laki-laki” adalah kaum pria secara u- liki perasan yang peka dan emosional.
mum tentu konsiderannya tidak begitu. Dengan naluri kewanitaan ini, wanita bia-
Lebih jauh lagi lanjutan ayat tersebut jelas sanya menonjolkan perasaan emosi dari-
berbicara tentang persoalan para istri dan pada penalaran dan hikmah; dan 2) Fak-
rumah tangga. Ayat tersebut secara jelas tor kodrati. Perempuan tidak terlalu tepat
menyajikan pembagian kerja antara sua- memangku jabatan dalam urusan umum,
mi istri, dan jika dikaitkan lagi dengan sebab perubahan fisiknya selalu terjadi
QS. al-Baqarah [2]: 288, maka pengertian karena menstruasi, hamil, melahirkan,
QS. al-Nisâ‟ [4]: 34 semakin jelas dikait- dan menyusui anak. Semua ini membuat
kan dengan urusan kerumahtanggaan. fisik, psikis, dan pemikiran perempuan ti-
Alasan kedua, hadis yang menya- dak mampu mengemban tugasnya di luar
takan perempuan kurang cerdas diban- rumah tangganya.25
dingkan dengan laki-laki, begitu pula da- Menurut al-Râzî, kelebihan laki-la-
lam sikap keberagamaannya. ki meliputi dua hal, yaitu ilmu penge-
Yûsuf al-Qardlâwî mengemukakan tahuan (al-„ilm) dan kemampuan fisiknya
alasan mengapa perempuan dilarang (al-qudrah). Akal dan pengetahuan laki-la-
menjadi pemimpin dalam urusan umum, ki, menurutnya melebihi akal dan penge-
tahuan perempuan dan untuk pekerjaan-
pekerjaan keras laki-laki lebih sempur-
manusia. Karena itu, tidak semua al-dzakar adalah na.26
al-rajul .Juga tidak semua al-nisâ` adalah al-mar‟-
Menurut al-Zamakhsyarî (467-538
ah/al-imra‟ah. Dalam ungkapan lain, hanya laki-
laki yang memiliki kualifikasi budaya tertentu, H), kelebihan laki-laki atas perempuan
misalnya dewasa, berpikir, matang, dan mem- adalah karena akal (al-„aql) ketegasan (al-
punyai sifat-sifat kejantanan dalam bahasa Arab hazm), tekadnya yang kuat (al-`azm), ke-
disebut al-rajlah. Demikian pula hanya perempuan kuatan fisik (al-qudrah) secara umum, me-
yang memiliki kualifikasi budaya tertentu, seperti
miliki kemampuan menulis (al-kitâbah)
dewasa, sudah menikah yang dapat disebut al-
imtâ`/al-nisâ‟. Di samping itu, berdasarkan kaidah dan kebenaran,27 sedangkan al-Thabâ-
bahasa Arab, kata al-rijâl tidak menunjukkan se- thabâ‟î berpendapat bahwa kelebihan la-
mua laki-laki, melainkan laki-laki tertentu, kemu- ki-laki atas perempuan adalah karena ia
dian kata tersebut menggunakan al yang menun- memiliki kemampuan berpikir (quwwah
juk pada arti definitif atau tertentu. Dengan demi-
al-ta`aqqul), yang karena itu kemudian
kian, ayat-ayat itu akan dipahami bahwa hanya
laki-laki yang memiliki kualifikasi tertentu yang melahirkan keberanian, kekuatan, dan
bisa menjadi pemimpin atas perempuan tertentu.
Lagi pula bahwa asbâb al-nuzûl ayat tersebut di-
turunkan dalam konteks kehidupan suami-istri di 25 Yûsuf al-Qardlâwî, Fiqih Daulah Perspektif al-
dalam rumah tangga. Dari perspektif ini ayat ter- Qur`an dan Sunnah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
sebut bermakna “para suami tertentu saja yang 1997), hlm. 240-244; Ahmad Muhammad Jamal,
dapat menjadi pemimpin bagi istrinya, dan kepe- Problematika Muslimah di Era Globalisasi (Tk.:
mimpinannya itu pun hanya terbatas di bidang Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 83.
26 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr, Juz X
domestik atau di rumah tangga.” Musdah Mulia,
Potret Perempuan dalam Lektur Agama: Rekonstruksi (Teheran: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, t.th.), hlm. 88.
Pemikiran Islam Menuju Masyarakat yang Egaliter 27 Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Juz I (Mesir:
dan Demokratis (Jakarta: tp., 1999), hlm. 38-40. „Isâ al-Bâb al-Halabî wa Syirkah, t.th.), hlm. 523.
Ma‟ârif, t.th.), hlm. 25. al-Mu‟âshir (Baghdad: tp., t.th.), hlm. 13.
Selain itu, dalam QS. al-Ahzâb kekuasaan setelah membunuh sang ayah
[33]: 35: dan saudara-saudaranya, tapi dia juga di-
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan takdirkan tewas sehingga kerajaannya di-
yang muslim, laki-laki dan perempuan pimpin oleh seorang perempuan. Peris-
yang mukmin, laki-laki dan perempuan tiwa ini, lanjut al-Thabarî, membawa ke-
yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki
hancuran kerajaan Kisra beserta ketu-
dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan runannya. Mereka mencabik-cabik kera-
perempuan yang khusyuk, laki-laki dan jaan mereka sendiri seperti yang telah
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan disumpahkan oleh Rasulullah Saw.34
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehorma- Oleh karena itu, sebagian ulama
tannya, dan laki-laki dan perempuan yang tidak berpendapat perempuan tidak bisa
banyak menyebut (nama) Allah, Allah menjadi pemimpin dengan alasan hadis
telah menyediakan untuk mereka ampu- tersebut hanya bersifat sekadar pembe-
nan dan pahala yang besar.32 ritaan bukan ketentuan hukum, dan hadis
Mahmûd Syaltût menjelaskan bah- tersebut tidak berlaku umum. Karena
wa tabiat kemanusian antara laki-laki dan hadis tersebut disabdakan oleh Nabi Saw.
perempuan hampir sama. Allah Swt. Te- Berkaitan dengan peristiwa suksesi di
lah menganugerahkan kepada perempu- Persia. Ketika itu, kaisar Persia meninggal
an sebagaimana menganugerahkan ke- dunia, para petinggi kerajaan melimpah-
pada laki-laki; Tuhan menganugerahkan kan pimpinan Persia kepada seorang
kepada mereka berdua potensi dan ke- ratu. Di tangan ratu itulah kekaisaran
mampuan untuk memikul tanggung ja- Persia berantakan. Peristiwa ini direspons
wab dan yang menjadikan kedua jenis ini oleh Nabi Saw. karena terbukti ratu ter-
dapat melaksanakan pelbagai aktifitas, sebut tidak berhasil mengendalikan ne-
baik yang bersifat umum maupun yang gara. Hadis itu tidak hanya berhenti di
bersifat khusus. Karena itu, syariat pun situ, ia juga tidak mengandung penega-
meletakkan keduanya dalam satu kerang- san melarang seluruh perempuan men-
ka yang sama.33 jadi pemimpin masyarakat.35 Kemudian
al-Thabarî mempertegas bahwa walau-
Al-Thabarî menjelaskan kebolehan
pun hadis tersebut digunakan sebagai
seorang perempuan menjadi pemimpin,
dasar hukum, tapi itu hanya menyangkut
yang bertolak dari kebolehan perempuan
satu masalah khusus, yaitu perempuan
menjadi saksi dalam proses pernikahan.
tidak boleh memegang pucuk pimpinan
Kesesuaian interpretasi al-Thabarî ini de-
tertinggi negara, perempuan tidak bisa
ngan konteks hadis dilihat dari segi bah-
menjadi khalifah, tapi selain itu bisa.36
wa hadis ini merupakan pelengkap kisah
Kisra yang merobek surat Rasulullah Dalam sejarah Islam, banyak
Saw. sebagai hukuman Allah Swt. dengan perempuan Islam yang tampil sebagai
menimpakan musibah terhadap kerajaan-
nya, sehingga anaknya mengambil alih
34 al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 123.
35 Ali Yafie, Kodrat, Kedudukan, dan Kepemimpinan
32 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Perempuan, dalam Memposisikan Kodrat Perempuan
Terjemahnya, hlm. 673. dan Perubahan dalam Perspektif Islam, ed. Lily Za-
33 Mahmûd Syaltût, Min Taujîhât al-Islâm (Kairo: kiyah Munir (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 72.
Al-Idârah al-„Âmah li al-Azhar, 1959), hlm. 193. 36 Ibid., hlm. 72-73.
pemimpin. „Â‟isyah ra., istri Nabi Mu- toris, yang bisa berubah dan menyebab-
hammad Saw., diakui sebagai seorang kan perempuan juga memiliki kemam-
mufti. Bahkan kedudukannya sebagai puan memberi nafkah dan memiliki akses
panglima perang Unta.37 Al-Syifâ, seo- di bidang publik. Oleh karena itu, kepe-
rang perempuan yang pandai menulis, mimpinan perempuan bisa terjadi tidak
ditugaskan oleh khalifah „Umar ibn al- hanya pada lingkup keluarga, tapi juga
Khaththâb sebagai petugas yang mena- pada lingkup yang lebih umum seperti
ngani pasar kota Madinah.38 Al-Qur‟an negara. QS. al-Nisâ‟ [4]: 34 jika dilihat,
juga menyebutkan tentang seorang ratu kalimatnya berbentuk pemberitaan, maka
di zaman Nabi Sulaiman As., yaitu Ratu kurang tepat bila seseorang menjadikan
Balqis yang memimpin rakyatnya dengan ayat ini sebagai sebuah legitimasi keharu-
baik, penuh hikmah, dan keadilan.39 san perempuan tidak boleh menjadi seo-
rang pemimpin keluarga dan negara.
Analisis Tekstual dan Kontekstual
Beragam pendapat ulama menge- Begitu juga kepemimpinan perem-
nai masalah kepemimpinan perempuan puan dalam perspektif hadis, yang memi-
di atas menunjukkan bahwa masalah ter- liki nuansa senada seperti kepemimpi-
sebut masih berada dalam wilayah yang nan perempuan dalam perspektif Al-
diperselisihkan. Artinya, tidak ada satu Qur`an. Ketidakbolehan perempuan men-
pun dalil agama yang secara pasti menya- jadi pemimpin ternyata masih perlu di-
takan perempuan tidak boleh menjadi kaji ulang. Pertama, dilihat dari sudut
pemimpin negara. Dalil QS. al-Nisâ‟ [4]: kualitasnya, hadis tersebut termasuk da-
34 ternyata menurut para mufasir memili- lam kategori hadis âhâd.40 Hadis âhâd ti-
ki makna yang tidak tunggal. dak memiliki petunjuk pasti (qath‟î) un-
tuk dijadikan dasar dalam menentukan
Sebagian ahli tafsir menyatakan sebuah keputusan hukum, karena hadis
bahwa kepemimpinan yang dimaksud tersebut masih bersifat zhannî.41 Kedua,
dalam QS. al-Nisâ‟ [4]: 34 adalah kepe-
mimpinan laki-laki dalam lingkup keluar- 40 Dari segi bahasa, hadis âhâd berasal dari kata
ga. Hal ini diperkuat oleh lanjutan ayat ahad yang muhtamil al-jam`dari wâhid yang berarti
satu. Dengan demikian, kata âhâd berarti satuan,
tersebut “bi mâ fadldlala Allâh ba‟dlahum
yakni angka bilangan dari satu sampai ke angka
„alâ ba‟dl wa bi mâ anfaqû”. Melihat po- sembilan, sedangkan menurut istilah hadis âhâd
tongan ayat ini, setidaknya ada dua ala- adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang seo-
san mengapa laki-laki pantas menjadi rang, atau dua orang atau lebih, tapi belum cukup
pemimpin. Pertama, karena laki-laki me- syarat untuk dimasukkan sebagai hadis mutawâtir.
Dengan kata lain, hadis âhâd adalah hadis yang
nafkahi, dan kedua, karena laki-laki pada
jumlah periwayatnya tidak sampai kepada jum-
masa itu memiliki akses yang lebih ke- lah periwayat hadis mutawâtir. M. Syuhudi Ismail,
pada dunia publik dibandingkan kaum Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991),
perempuan. Penafkahan dan kelebihan hlm. 141.
41 Ulama berbeda pendapat mengenai penga-
akses ini sangat bersifat sosilogis dan his-
malan hadis âhâd. Jumhur ulama sepakat seka-
lipun hadis âhâd bersifat zhannî al-wurûd, tapi
37 Ibid., hlm. 72-73. wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
38 Muhammad al-Ghazâlî, Al-Islâm wa al-Thâqah al- Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 158. Al-Syâfi‟î,
Mu‟atthalah (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, Abû Hanîfah, dan Ahmad ibn Hanbal menerima
1964), hlm. 138. hadis âhâd apabila syarat-syarat periwayatan yang
39 QS. Al-Naml (27): 23-24. sahih terpenuhi. Abû Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta:
dilihat dari segi historisnya, hadis ini Persia, Nabi Muhammad saw., tidak akan
adalah respons atas penobatan seorang bersabda demikian.
putri Kisra Persia sebagai ratu, yang di- Terkait hal tersebut, Fatima Mer-
anggap oleh Nabi Muhammad saw. tidak nissi telah melakukan kritik tajam terha-
memiliki kemampuan memimpin peme- dap hadis ini. Dia mengkritik dari sisi
rintahan. Penolakan Nabi Muhammad sanad dan matannya. Dalam kritiknya, ia
Saw. ini juga tidak didasarkan karena dia mempertanyakan kredibilitas Abû Bakrah
seorang perempuan, tapi lebih didasar- sebagai periwayat hadis, dan mengapa
kan kepada ketidakcakapan putri terse- Abû Bakrah baru memunculkan hadis ini
but dalam memegang kendali pemerin- pada saat terjadi kemelut politik dalam
tahan. Sangat mungkin apabila perem- perang Jamal antara „Â‟isyah dan „Alî bin
puan yang memimpin bukan putri Kisra Abû Thâlib setelah 23 tahun wafatnya
Rasulullah Saw., yang mana dirinya ber-
pihak kepada „Alî. Lagi pula konteks
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 156-157; T.M. Hasbi
hadis tersebut tertuju pada kasus suksesi
Ash- Shiddiqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadis (Jakarta: kisra di Persia yang mewariskan tahta
Bulan Bintang, 1980), hlm. 100. Selanjutnya, untuk kepada anak perempuannya yang tidak
masalah akidah, ulama berbeda pendapat tentang memiliki kapasitas sebagai pemimpin.42
kehujahan hadis âhâd. Sebagian ulama menyata- Di samping itu, dalam perspektif
kan hadis âhâd tidak dapat dijadikan hujah.
Alasannya, sesuatu yang zhannî tidak dapat dija-
politik keagamaan, posisi perempuan
dikan dalil untuk yang berkaitan dengan keyaki- tampaknya mendapat hambatan. Namun
nan, karena soal keyakinan harus berdasarkan demikian, dalam praktik politik, sesung-
dengan dalil qath‟î. Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 156- guhnya tidak sedikit perempuan yang
15; Mahmûd Syaltût, Al-Islâm: Aqîdah wa Syarî‟ah, menduduki jabatan penting. Bahkan
(Mesir: Dâr al-Qalam, 1966), hlm. 513. Ulama lain
menyatakan hadis âhâd yang sahih dapat dijadi-
menjadi kepala pemerintahan. Di Indone-
kan hujah untuk masalah akidah. Sebab hadis sia, misalnya, perempuan menjabat seba-
âhâd yang sahih berstatus qath‟îy al-wurûd. Ala- gai kepala pemerintahan seperti di Aceh.
sannya, pertama, sesuatu yang zhannî masih Al-Qur‟an juga secara deskriptif menu-
mengandung kemungkinan salah. Hadis yang turkan kisah-kisah tentang keberhasilan
telah diteliti dengan cermat dan ternyata ber-
kualitas sahih, walaupun berkategori âhâd, memi-
Ratu Balqis memimpin negaranya.
liki status qathîy al-wurûd. Kedua, Nabi Muham- Dengan demikian, menurut penu-
mad Saw. pernah mengutus sejumlah mubalig ke lis, Islam tidak melarang perempuan
berbagai daerah, yang jumlah mereka tidak men- menjadi pemimpin dalam urusan umum.
capai kategori mutawâtir. Sekiranya penjelasan Bahkan menjadi kepala negara. Yang pen-
tentang agama harus berasal dari berita mutawâtir,
niscaya masyarakat tidak membenarkan dan me-
ting dia mampu melaksanakan tanggung
nerima dakwah mubalig yang diutus oleh Ra- jawab tersebut, tapi dengan catatan jika
sulullah Saw. Ketiga, „Umar ibn al-Khaththâb per- tidak ada laki-laki yang sanggup meng-
nah membatalkan hasil ijtihadnya karena men- emban jabatan tersebut. Oleh karena itu,
dengar hadis Nabi Muhammad Saw. yang disam- hadis tersebut harus dipahami secara
paikan oleh al-Dhahhâk ibn Sufyân secara âhâd.
Taqîy al-Dîn Ahmad ibn Taimîyah, Majmû` Fatâwâ
kontekstual, karena kandungan petunjuk-
Ibn Taimîyah, Jilid XVIII (Tk.: Mathâbi` Dâr al- nya bersifat temporal.
„Arabîyah, 1398), hlm. 40-41; Sâlim „Alî al-Bahna-
sâwî, Al-Sunnah al-Muftarâ `alaihâ (Tk.: Dâr al-
Buhûts al-„Ilmîyah, 1979), hlm. 103; Muhammad
Adîb Shâlih, Lamahât fî Ushûl al-Hadîts (Beirut: Al- 42Fatima Mernissi, Beyond the Veil (Indiana: India-
Maktabah al-Islâmî, t.t), hlm. 99-100. na University, 1987), hlm. 49-61.