Anda di halaman 1dari 26

DEMI KEMANUSIAAN: PENGALAMAN INDONESIA

DALAM MENANGANI ARUS PENGUNGSI


INTERNASIONAL
(For Humanity: Indonesia’s Experience in Handling
International Refugee)

Adrianus A. V. Ramon1
Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan
adrianus.ramon@unpar.ac.id

Abstract

The research argues that Indonesia’s policy for establishing a specialized legal instrument for
managing inward refugee flow maybe used as references by other non-state party to the
Refugee Convention. For reaching that conclusion, the research will first analyze the shifting
definition of refugee and its impact to Indonesia. Furthermore, the research will consider the
Indonesia’s experiences with refugees, with focus on inward flow of refugee. It also analyzes
the policy and action undertaken by the Indonesian Government in coping for the refugee
flow. Finally, the research will consider that the establishment of a specific legal
arrangement for handling inward refugee may serve as an example of positive step towards
the humane treatment of refugee by a non-state party of the Refugee Convention.

Keywords: asylum, humanitarian assistance, Indonesia, refugee.

Abstrak

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan Indonesia dalam menerbitkan instrumen


hukum yang menjadi dasar penanganan arus pengungsi ke Indonesia, dapat dijadikan
sebagai referensi bagi negara non-pihak lainnya dari Konvensi Pengungsi. Kesimpulan
tersebut didapatkan setelah dilakukan analisa terhadap pergeseran definisi istilah pengungsi,
serta dampak pergeseran tersebut terhadap Indonesia dalam hal penanganan arus
pengungsi ke wilayah Indonesia. Penelitian ini juga menganalisa kebijakan dan tindakan
yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam menghadapi arus pengungsi tersebut.
Pada akhirnya, penelitian ini akan mempertimbangkan bahwa pembentukan sebuah
kerangka hukum, untuk secara spesifik menjadi dasar penanganan arus masuk pengungsi ke
Indonesia, dapat digunakan sebagai contoh langkah yang positif untuk penanganan yang
berperikemanusiaan atas pengungsi oleh sebuah negara non-pihak dari Konvensi Pengungsi.

Kata kunci: bantuan kemanusiaan, Indonesia, pengungsi, suaka.

1Penulis ingin berterima kasih kepada Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M., dan Kevin Setiadi atas
bantuan yang diberikan kepada penulis. Artikel penelitian ini diilhami dari naskah buku: Tristam P. Moeliono,
Adrianus A. V. Ramon, & Dyan F. Sitanggang, Penanganan Pengungsi: Tantangan Hukum Internasional dan
Hukum Nasional Indonesia, belum diterbitkan.
Pendahuluan dan pencari suaka di Indonesia dan

Strategisnya lokasi Indonesia yang berada Malaysia.5

tepat di jalur yang biasa ditempuh oleh Menurut catatan Komisi Tinggi

para pengungsi dan pencari suaka yang Perserikatan Bangsa-bangsa untuk

menuju negara tujuan akhirnya di Australia Pengungsi (United Nations High

dan Selandia Baru, telah menjadikan Commission for Refugee/UNHCR), hingga

Indonesia sebagai salah satu negara transit bulan Juli 2019, tercatat ada 13.863 orang

terpenting bagi para pengungsi dan pencari pengungsi dan pencari suaka sedang

suaka.2 berada di wilayah Indonesia.6 Jumlah

Pada umumnya para pengungsi dan tersebut sebenarnya relatif kecil, terutama

pencari suaka menggunakan Malaysia dan apabila dibandingkan dengan jumlah

Indonesia sebagai negara transit3 agar pengungsi dan pencari suaka yang berada

dapat tiba di Australia dan Selandia Baru di negara-negara sekitar Indonesia.7

menggunakan metode penentuan status Mengingat Indonesia bukanlah

pengungsi oleh UNHCR atau menggunakan negara pihak8 dari Konvensi Pengungsi

cara ireguler (menggunakan perahu) secara Tahun 1951 ataupun Protokol

illegal, menggunakan jasa penyelundup Tambahannya Tahun 1967,9 serta tidak

migran.4 Sewaktu Pemerintah Australia pula memiliki sistem penentuan status

mulai melakukan pengetatan pengawasan pengungsi (Refugee Status Determination /

wilayah perbatasannya di tahun 2013, RSD), maka Indonesia harus mengandalkan

mulai terjadi lonjakan jumlah pengungsi


5
Ibid..
6
UNHCR Indonesia, “Figures at Glances”, July
2019, https://www.unhcr.org/id/en/figures-at-a-
glance, (diakses 22 November, 2019).
2
Thomas Brown, “After the Boats Stopped: 7
Ibid..
Refugees Managing a Life of Protracted Limbo in 8
UNHCR, “UNHCR in Indonesia”,
Indonesia”, Antropologi Indonesia 38, no. 1 (2017): https://www.unhcr.org/id/en/unhcr-in-indonesia,
35. (diakses 22 November, 2019).
3
Muzafar Ali, Linda Briskman, Lucy Fiske, 9
Convention Relating to the Status of
“Assylum Seekers and Refugee in Indonesia”, Refugees, 28 July 1951, United Nations, Treaty Series
Cosmopolitan Civil Societies Journal 8, no. 2 (2016): 189, 137 dan Protocol Relating to the Status of
25-26. Refugee 1967, 31 January 1967, United Nations,
4
Thomas Brown, loc.cit. Treaty Series 606, 267.

29
peran dan fungsi UNHCR untuk melakukan tidak hanya berkonsekuensi positif namun

penentuan status pengungsi serta untuk dapat pula menghasilkan konsekuensi

menempatkan para pengungsi dan pencari negatif pada kedua belah pihak.12

suaka yang permohonan pengungsi dan Sepenggal cerita di atas adalah satu

suakanya telah diterima ke negara tujuan dari beberapa pengalaman Indonesia

akhir.10 Proses inilah yang seringkali berinteraksi dengan pengungsi dan pencari

berlangsung sangat lama karena suaka. Selain kisah di atas, dalam berbagai

melibatkan berbagai faktor eksternal di luar literatur domestik Indonesia, apabila

kuasa Indonesia maupun UNHCR, termasuk mencari dengan menggunakan kata kunci:

faktor politik domestik Negara tujuan “Indonesia dan pengungsi” maka kisah

akhirnya. lainnya yang kemungkinan besar akan

Selama menantikan dapat muncul adalah pengalaman Indonesia

dilakukannya proses relokasi menuju dalam menangani pengungsi Vietnam

negara tujuan akhir, maka para pengungsi (1975-1996) yang tiba di Indonesia

dan pencari suaka harus “menunggu” di melarikan diri dari rezim komunis sewaktu

berbagai lokasi penampungan sementara di kalahnya Vietnam Selatan dalam Perang

Indonesia, baik yang dikelola oleh UNHCR Vietnam dan ditampung sementara oleh

atau IOM (International Organization for Pemerintah Indonesia di Pulau Galang,

Migration) maupun yang dibawah Kepulauan Riau.

pengawasan Pemerintah Indonesia Pada kenyataannya, Indonesia telah

(biasanya berupa Rumah Detensi Imigrasi memiliki pengalaman yang sangat luas dan

atau lokasi lainnya).11 Pada periode beragam dalam proses penanganan

menunggu inilah terjadi interaksi antara pengungsi dan pencari suaka, bahkan

para pengungsi dan penduduk lokal yang semenjak masa awal Kemerdekaannya.

Pengalaman - pengalaman Indonesia di


UNHCR, loc.cit.
10
11
Arie Afriansyah dan Eva Achjani Zulfa, atas pada akhirnya mendorong Pemerintah
“Refugee Resettlement: A Review of Indonesia Law
and Practices”, Indonesian Law Review 8, no. 2
(2018): 211-215. 12
Ibid..

30
Indonesia untuk menformulasikan sebuah penanganan pengungsi dari luar negeri

kerangka kebijakan serta perangkat hukum yang masuk ke Indonesia.

domestik untuk menangani arus pengungsi


Kerangka Teori
yang berasal dari luar negeri yang berlaku

pada saat ini. Meskipun sebagian pengamat Sebelum masuk ke proses

dan ahli beranggapan bahwa kerangka pembahasan substansi penelitian ini, perlu

hukum domestik tersebut masih jauh dari terlebih dahulu dipaparkan kerangka teoritis

ideal, akan tetapi kiranya perangkat hukum terkait materi yang akan dibahas. Untuk itu,

ini bisa dimaknai sebagai sebuah langkah pada bagian ini pertama-tama akan

maju yang positif serta patut dijadikan dijelaskan kerangka hukum internasional

sebagai salah satu rujukan positif oleh yang berlaku terkait isu pengungsi serta

negara non-pihak Konvensi Pengungsi 1951 kekuatan pengikatan perjanjian

dan Protokol 1967. internasional terkait pengungsi terhadap

Untuk itu, penelitian ini pertama- negara-negara yang tidak menjadi negara

tama akan memaparkan proses perluasan pihak dari perjanjian internasional tersebut.

definisi pengungsi sekaligus dampak Sebelum terbentuknya Konvensi

perluasannya terhadap Indonesia. Pada Pengungsi tahun 1951, masyarakat

bagian kedua, penelitian ini akan internasional sebenarnya telah beberapa

memaparkan berbagai pengalaman kali mencoba membuat instrumen hukum

Indonesia dalam menangani pengungsi dan internasional yang memberikan

pencari suaka, terutama yang masuk ke perlindungan kepada para pengungsi,

Wilayah Indonesia, termasuk untuk tujuan termasuk untuk mencoba mendefinisikan

transit. Pada bagian akhir, penelitian ini istilah pengungsi.

akan mempertimbangkan bahwa kebijakan Hal tersebut pertama kali dilakukan

Indonesia untuk membuat sebuah sewaktu Liga Bangsa-bangsa (LBB)

perangkat hukum domestik terkait membuat Arrangement of 12 May 1926

relating to the Issue of Identity Certificates

31
to Russian and Armenian Refugees yang hampir pasti tidak mampu

(Supplementing and Amending the previous memberikan perlindungan komprehensif

arrangements dated July 5th, 1922 and kepada pengungsi selain dari yang telah

May 31st, 1924).13 Pengaturan tersebut dirujuk dalam pengaturan tersebut.

mendefinisikan pengungsi sebagai Warga Pendekatan di atas kembali dilakukan

Rusia yang menjadi korban kekerasan di oleh LBB sewaktu membuat suatu kerangka

Rusia dalam konteks situasi kekerasan hukum yang sebenarnya diharapkan akan

(Revolusi Bolshevik) di Rusia, dan terhadap memberikan perlindungan yang menyeluruh

warga Etnis Armenia di bekas wilayah pada para pengungsi secara lebih luas.

Kekaisaran Ottoman Turki dalam konteks Pada tahun 1933, LBB berhasil menyepakati

Genosida Armenia (meskipun sebagian ahli 1933 Convention Relating to the

dan Negara Turki secara resmi menyatakan International Status of Refugees.14 Definisi

Genosida Armenia tidak ada). pengungsi dalam konvensi ini ternyata

Jelas terlihat LBB mendefinisikan tetap mempertahankan definisi dalam

pengungsi dengan pendekatan secara Pengaturan LBB tahun 1926 yaitu terkait

spesifik dan terbatas hanya merujuk pada Warga Rusia dan Armenia yang menjadi

suatu kelompok tertentu yang menjadi korban dan melarikan diri dari insiden

korban dalam konteks suatu insiden kekerasan. Tahun 1938, LBB juga membuat

kekerasan tertentu pula. Definisi pengungsi konvensi tersendiri (Konvensi tentang

ini kemudian diperluas secara terbatas Pengungsi Jerman 1938) tentang pengungsi

tahun 1928 sehingga juga memasukan warga Negara Jerman yang melarikan diri

etnis Assyria, Chaldea dan Turki. dari rezim Nazi Jerman.

Pendekatan semacam ini sebenarnya bisa Konvensi 1933 tersebut sering

dikatakann sebagai pola pendekatan ad-hoc disebut sebagai instrumen hukum

internasional pertama yang memberikan

13 Arrangement Relating to the Issue of


Identify Certificates to Russian and Armenian 14
Convention Relating to the International
Refugees, 12 May 1926, League of Nations Treaty Status of Refugees, 28 October 1933, League of
Series LXXXIX, no. 2004. Nations, Treaty Series CLIX no. 3663.

32
perlindungan yang komprehensif kepada khususnya di Eropa pada masa inter-

pengungsi, termasuk dalam hal pemenuhan bellum, kiranya telah menyebabkan

hak-hak sipil dan ekonomi pengungsi.15 Konvensi Pengungsi 1933 tidak diratifikasi

Dalam Konvensi ini pula diatur untuk oleh banyak negara yang secara jelas

pertama kalinya prinsip non-refoulement, mengurangi keefektivan pengaturannya.17

yang saat ini dianggap sebagai salah satu Pendefinisian secara ad-hoc untuk

pondasi utama hukum pengungsi menentukan definisi pengungsi

internasional. Prinsip Non-refoulement pada sebagaimana Pengaturan 1926 dan

intinya adalah yaitu prinsip yang menjamin Konvensi 1933, ternyata kembali diadopsi

agar sebuah Negara tidak dalam Konvensi Pengungsi 1951, instrumen

mengeluarkan/mengusir secara langsung hukum internasional yang hingga kini masih

ataupun tidak langsung pengungsi yang dianggap dan menjadi dasar hukum

masuk ke wilayah negaranya.16 internasional yang mengatur tentang

Namun di sisi lain, pengaturan pengungsi.18 Konvensi Pengungsi 1951

tentang definisi pengungsi dalam konvensi mengatur bahwa pengungsi didefinisikan

ini masih menggunakan pendekatan serupa sebagai: 19

dengan Pengaturan Tahun 1926 dan a. mereka yang sudah dianggap sebagai
pengungsi sesuai Pengaturan LBB
revisinya Tahun 1928, yaitu merujuk pada tanggal 12 Mei 1926 dan 30 Juni 1928
atau sesuai Konvensi 1933 dan
suatu kelompok tertentu yang menjadi Konvensi 1938, Protokol 1939 atau
Konstitusi International Refugee
korban dalam konteks suatu insiden Organization. International Refugee
Organization (IRO) adalah sebuah
kekerasan tertentu pula. Hal inilah serta agensi khusus dari Perserikatan
Bangsa-bangsa yang mengurusi
ditambah situasi politik internasional, pengungsi. IRO didirikan tahun 1946
dan dibubarkan tahun 1952.20

17
Ibid.
15
Peter Fitzmaurice, “Anniversary of the 18
Convention Relating to the Status of
forgotten Convention: The 1933 Refugee Convention Refugees, 28 July 1951, United Nations, Treaty Series,
and the search for protection between the world vol. 189, p. 137
wars”, https://www.legalaidboard.ie/en/About-The- 19
Convention Relating to the Status of
Board/Press-Publications/Newsletters/Anniversary-of- Refugees 1951, Article 1 A.
20
the-forgotten-Convention-The-1933-Refugee- The Editors of Encyclopaedia Britannica,
Convention-and-the-search-for-protection-between- “International Refugee Organization”. Historical UN
the-world -wars.html (diakses 23 November, 2019). Agency,
16
Ibid. https://www.britannica.com/topic/International-

33
b. mereka yang sebagai akibat insiden Syarat lainnya adalah pengungsi haruslah
yang terjadi sebelum pada 1 Januari
1951 yang memiliki “well-founded fear berada di luar negara kewarganegaraannya
of being persecuted for reasons of
race, religion, nationality, membership dan tidak dapat atau tidak memungkinkan
of a particular social group or political
opinion, is outside the country of his karena adanya persekusi, mengandalkan
nationality and is unable or, owing to
such fear, is unwilling to avail himself perlindungan dari negaranya tersebut.
of the protection of that country; or
who, not having a nationality and Pengungsi juga dimungkinkan sebagai
being outside the country of his former
habitual residence as a result of such individu yang tidak memiliki
events, is unable or, owing to such
fear, is unwilling to return to it.” kewarganegaraan yang berada di luar

Definisi pengungsi di atas secara negara dimana dirinya sebelumnya tinggal

jelas memperlihatkan bahwa Konvensi dan karena adanya ketakutan akan

Pengungsi 1951 memberikan pengakuan persekusi, tidak bisa atau tidak mau

terhadap status pengungsi yang telah kembali ke negara tersebut.

diatur oleh serangkaian instrumen hukum Definisi pengungsi sesuai Konvensi

yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini 1951 ini sudah lebih luas dari beberapa

patut diduga demi menegakan prinsip instrumen hukum pengungsi sebelumnya.

kepastian hukum dan konsistensi dengan Namun demikian, definisi pengungsi

aturan yang telah berlaku sebelumnya. tersebut masih memiliki pembatasan terkait

Selain itu Konvensi ini juga telah waktu serta lokasi insiden, sesuai Pasal 1B

menetapkan definisi baru bahwa pengungsi Konvensi 1951, dimana negara peserta

juga termasuk mereka yang akibat suatu Konvensi harus menentukan apakah insiden

kejadian pada kurun waktu sebelum 1 yang bisa mengakibatkan terjadinya arus

Januari 1951 memiliki ketakutan yang pengungsi itu dibatasi hanya untuk insiden

beralasan untuk dipersekusi berdasarkan yang hanya terjadi di Eropa atau juga

ras, agama, nasionalitas, keanggotaan dari mencakup insiden yang juga terjadi di

sebuah kelompok sosial atau opini politik. wilayah lainnya.21

Refugee-Organization-historical-UN-agency (diakses 23 21
Convention Relating to the Status of
November, 2019). Refugees 1951, Article 1 B.

34
Pembatasan-pembatasan definisi suatu perjanjian internasional. Sesuai asas

pengungsi dalam Konvensi Pengungsi 1951 hukum perjanjian internasional, pacta sunt

di atas pada akhirnya diubah dalam servanda yang dimuat dalam Pasal 26

Protokol Pengungsi 1967 yang telah Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

menghilangkan batasan waktu dan lokasi Internasional, maka kekuatan mengikat

terjadinya insiden kekerasan.22 Terlihat perjanjian internasional kepada negara

bahwa Protokol 1967 ini telah berupaya tersebut adalah treaty obligation.23

untuk memperluas cakupan perlindungan Akan tetapi khusus terkait prinsip

yang dapat diberikan kepada para non-refoulement, sesuai Pasal 33 Konvensi

pengungsi tanpa dibatasi oleh persoalan Pengungsi 1951, sebagian ahli telah

lokasi dan waktu terjadinya insiden. berpendapat bahwa prinsip ini termasuk

Setelah mengetahui definisi hukum kebiasaan internasional sehingga

pengungsi sesuai hukum internasional yang keberlakukannya tidak semata-mata

berlaku saat ini, selanjutnya akan dibahas tergantung tindakan pengesahan yang

kekuatan pemberlakuan instrumen- dilakukan Negara. Negara-negara harus

instrumen hukum internasional terkait tetap terikat pada ketentuan non-

pengungsi tersebut sesuai dengan asas- refoulement meskipun tidak mengesahkan

asas hukum perjanjian internasional. konvensi tersebut.24 Sebagian ahli lagi

Pada umumnya suatu negara akan bahkan menyatakan prinsip non-

terikat pada suatu perjanjian internasional refoulement telah menjadi kaidah jus

berdasarkan suatu pemberian consent to be cogens yang menjadikannya sebagai

bound yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah kaidah pre-emptory hukum

prosedur sesuai hukum domestik negara internasional yang tidak bisa

tersebut. Prosedur ini akan menjadikan


23
Vienna Convention on the Law of Treaties,
23 May 1969, United Nations, Treaty Series 1155,
negara tersebut menjadi negara pihak dari 331, Art. 26.
24
D. W. Greig, “The Protection of Refugee and
Customary International Law”, 8th Australian Yearbook
of International Law, (1978–1980),
Protocol Relating to the Status of Refugee
22
http://www5.austlii.edu.au/au/journals/AUYrBkIntLaw/
1967, Article 1. 1980/4.pdf (diakses 24 November, 2019).

35
dikesampingkan bahkan oleh sebuah Perjanjian Internasional, Hukum Kebiasaan

perjanjian internasional sekalipun.25 Internasional, Prinsip Hukum Umum dan

Doktrin atau ajaran ahli-ahli hukum


Metode Penelitian
internasional yang terkemuka.28
Setelah mengetahui kerangka teori

yang akan digunakan dalam penelitian, Pergeseran Definisi Pengungsi dan


Dampaknya Terhadap Indonesia
maka selanjutnya akan dipaparkan metode
Dari rangkaian pemaparan pada
penelitian yang digunakan dalam
bagian kerangka teori, terlihat bahwa
pelaksanaan penelitian ini yaitu metode
sebenarnya definisi pengungsi sesuai
penelitian yuridis normatif. Metode
instrumen-instrumen hukum internasional
penelitian yuridis normatif adalah
yang mengatur tentang pengungsi, pada
pelaksanaan penelitian yang difokuskan
dasarnya telah berevolusi dari yang
untuk menganalisa penerapan kaidah-
sebelumnya hanya merujuk pada suatu
kaidah atau norma-norma dalam hukum
kelompok tertentu yang menjadi korban
yang berlaku.26 Metode penelitian ini
atas insiden kekerasan tertentu, hingga
memandang hukum sebagai kaidah tertulis
akhirnya berkembang dengan menekankan
yang dibentuk oleh pihak-pihak yang
elemen adanya ketakutan yang beralasan
berwenang.27
untuk dipersekusi berdasarkan ras, agama,
Metode penelitian ini menekankan
nasionalitas, keanggotaan dari sebuah
pada cara penelitian hukum yang dilakukan
kelompok sosial atau opini politik serta
dengan meneliti bahan literatur atau data
tanpa lagi memiliki pembatasan dari segi
sekunder yang terdiri dari sumber-sumber
waktu dan lokasi.
hukum internasional, sesuai Pasal 38 ayat 1
Pada perkembangan selanjutnya,
Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:
kemajuan teknologi transportasi dan

25
Ibid.
globalisasi serta banyaknya insiden
26
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi
Penelitian Hukum Normatif (Malang: Banyumedia
Publishing, 2006), 295. 28
Statute of the International Court of Justice,
27
Ibid. 18 April 1946, Article 38(1).

36
kekerasan di penjuru dunia, telah a. Seseorang yang karena ketakutannya
yang beralasan karena situasi:
meningkatkan jumlah pengungsi yang 1. Persekusi berdasarkan ras, agama,
nasionalitas dan keanggotaan
menyelamatkan diri atau semata hanya kelompok sosial tertentu atau opini
politik;
mencari penghidupan yang lebih baik. Hal 2. Penyiksaan, perlakuan tidak
berperikemanusiaan dan/atau
ini mendorong negara-negara dan hukuman; dan/atau
3. Ancaman terhadap jiwa, keamanan,
organisasi internasional untuk berupaya kebebasan, akibat suatu kejadian
yang meluas dan tidak dapat diatasi
meninjau ulang definisi pengungsi, oleh negara asal individu.
b. Individu tersebut berada di luar negara
meskipun definisi pengungsi dalam Protokol kewarganegaraannya atau negara
tempatnya biasa tinggal karena
Pengungsi Tahun 1967 tetap tidak berubah. ketakutannya di atas.

William Thomas Worster dalam Definisi pengungsi yang diusulkan di

artikel penelitiannya telah memaparkan atas jelas kembali memperluas definisi

secara cukup komprehensif berbagai proses pengungsi dengan memasukan elemen-

evolusi kontemporer dari definisi pengungsi elemen perlindungan hak asasi manusia

tersebut yang dilakukan oleh organisasi yang lebih kuat lagi.

internasional, termasuk Organization Lebih lanjut, UNHCR pada tahun

African Union Refugee Convention 1969 2007 juga telah menerbitkan sebuah

dan 1984 Cartagena Declaration, maupun position paper yang membahas hubungan

secara unilateral oleh masing-masing antara arus pengungsi dan arus migrasi

negara-negara.29 internasional.31 Dalam paper dimaksud,

William Worster berargumen bahwa UNHCR juga telah mengenali adanya

pada saat ini, seharusnya definisi pengungsi potensi percampuran antara pengungsi

dapat disesuaikan dengan beberapa dengan migran ireguler, termasuk adanya

perkembangan terkini, sehingga potensi dari pengungsi atau migran ireguler

didefinisikan menjadi:30

29
William Thomas Worster, “The Evolving
31
Definition of the Refugee In Contemporary UNHCR, “UNHCR, Refugee Protection and
International Law”, Berkeley Journal of International International Migration” 17 January 2007,
Law 30, no. 1, (2012). https://www.unhcr.org/4a24ef0ca2.pdf (diakses 25
30
Ibid. November, 2019).

37
yang menjadi korban dari tindak pidana Lumpur, Malaysia lalu menggunakan

perdagangan manusia.32 perahu kecil nelayan hingga sampai ke

Paper UNHCR dimaksud secara Pulau Sumatera.

khusus juga mengakui adanya pergeseran Setelah tiba di Indonesia, sebagian

motif dari perjalanan internasional yang dari para pengungsi akan menuju kantor

dilakukan oleh pengungsi. Sebelumnya UNHCR di Jakarta untuk mendaftarkan diri

motif pengungsi hanyalah untuk sebagai pengungsi atau pencari suaka.34

menyelamatkan diri dari ancaman atas Bagi pengungsi yang mendaftarkan diri

keselamatan dirinya. Namun demikian, dengan UNHCR maka para pengungsi telah

paper UNHCR tersebut mengenali adanya beralih menggunakan jalur normal/reguler.

motif baru dari perjalanan internasional Namun demikian, sebagian

“pengungsi” atau “pencari suaka” yaitu pengungsi lainnya meneruskan upayanya

motif ekonomi, mencari penghidupan yang untuk mencapai Australia dengan tetap

lebih baik.33 menggunakan dengan jalur ireguler.

Pergeseran motif tersebut sering Mereka tetap menggunakan kapal nelayan

diiringi oleh pemilihan metode-metode kecil untuk mencapai Australia dengan

ireguler dalam mencapai negara tujuan mengawali perjalanannya dari pantai

akhirnya. Untuk kasus pengungsi yang selatan beberapa pulau di Indonesia.35

menuju Australia, serta sebagian kecil Meningkatnya arus pengungsi yang

Selandia Baru, pola ireguler yang biasanya berupaya tiba di Indonesia dengan jalur

ditempuh oleh para pengungsi atau pencari ireguler di atas disikapi Pemerintah

suaka adalah menggunakan jasa Australia dengan mengetatkan pengawasan

penyelundup migran dengan imbalan perbatasannya dengan Indonesia untuk

antara $5000 - $10.000, mereka akan mencegahnya masuknya perahu nelayan

menempuh jalur penerbangan hingga Kuala yang membawa pengungsi ke Australia.

34
Muzafar Ali, Linda Briskman, Lucy Fiske,
32
Ibid. loc.cit.
33
Ibid. 35
Ibid.

38
Pemerintah Australia juga mengetatkan kemudian mendaftar sebagai pengungsi,

proses penerimaan pengungsi dan pencari dengan lamanya masa tunggu di negara

suaka dari jalur normal. Bahkan Australia transit. Selain memang menjadikan jumlah

juga telah memperkecil jumlah penerimaan individu yang mendaftar sebagai pengungsi

pengungsi tahunannya, yang hanya bertambah secara signifikan, munculnya

menerima 85 pengungsi dari lokasi fenomena ini telah mencetuskan reaksi

penampungan di Indonesia dimana tahun negatif dari negara tujuan pengungsian

2010, Australia bisa menerima 400 jiwa untuk memperketat kriteria dan proses

pengungsi dari Indonesia.36 penempatan akhir pengungsi ke negara-

Hal ini menciptakan backlog yang negara tersebut. Pada akhirnya baik

berkepanjangan untuk proses penentuan pengungsi maupun negara transitlah yang

status pengungsi di negara-negara “transit” akan merasakan beban terbesar dari efek

pengungsi.37 Di tahun 2015 masa tunggu negatif tersebut.

proses penentuan status pengungsi


Pengalaman Indonesia Menangani
mencapai 20 bulan serta total masa tunggu Arus Pengungsi yang Masuk ke
Wilayah Indonesia
di negara transit, termasuk Indonesia,
Setelah melihat proses pergeseran
untuk proses pemindahan ke negara tujuan
definisi pengungsi dan motif dilakukannya
mencapai periode enam tahun lamanya. 38
pengungsian serta efeknya pada Indonesia,
Dari pemaparan di atas, terlihat
maka pada bagian ini, penelitian akan
adanya hubungan dari pergeseran definisi
difokuskan untuk melakukan tinjauan
pengungsi dan motif dilakukannya
terhadap praktek yang telah dilakukan oleh
pengungsian serta meningkatnya individu
Pemerintah Indonesia dalam rangka
yang menggunakan jalur ireguler dan
penanganan arus pengungsi yang masuk ke
36
Rizki Akbar Hasan, “UNHCR: Indonesia Patut
Dicontoh Soal Penangangan Pengungsi Internasional”,
Wilayah Indonesia (inward flow), termasuk
https://www.liputan6.com/global/read/4015215/unhcr-
indonesia-patut-dicontoh-soal-penanganan-pengungsi- yang transit dan memiliki tujuan akhir di
internasional, (diakses 27 November, 2019).
37
Thomas Brown, loc.cit.
38
Muzafar Ali, Linda Briskman, Lucy Fiske,
negara lain.
loc.cit.

39
Meskipun disadari penulis bahwa menggunakan perahu dan kapal kecil untuk

Indonesia pada dasarnya telah berinteraksi melarikan diri dari Vietnam, maka para

dengan pengungsi semenjak masa awal pengungsi Vietnam juga sering disebut

kemerdekaan, terutama terkait arus sebagai “manusia perahu”.39 Sebagian

pengungsi domestik (internally displaced kapal dan perahu tersebut akhirnya

persons/IDP) dan arus pengungsi yang terdampar di pulau-pulau yang termasuk

keluar dari Indonesia (outward flow), wilayah kedaulatan Indonesia, terutama di

namun karena keterbatasan lingkup wilayah Kepulauan Riau.

penelitian menyebabkan pokok bahasan Gelombang pertama pengungsi

untuk difokuskan pada kebijakan Indonesia Vietnam, tiba di Indonesia pada tanggal 22

dalam menangani inward flow pengungsi. Mei 1975.40 Gelombang pertama tersebut,

Di bawah ini akan dibahas beberapa yang hanya berjumlah 25 orang, segera

kasus, yaitu: disusul oleh gelombang – gelombang

Penanganan Pengungsi / Boat People selanjutnya dengan jumlah yang terus


Vietnam (1975 – 1996)
bertambah. Pada tahun 1977, jumlah
Berakhirnya Perang Vietnam tanggal
pengungsi Vietnam di Indonesia telah
pada 30 April 1975 telah menyebabkan
mencapai angka ratusan sehingga
terjadinya arus pengungsi warga Vietnam
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk
yang hendak melarikan diri dari rezim
memberikan lokasi penampungan
komunis. Karena faktor geografi, para
sementera (shelter) di wilayah Pelabuhan
pengungsi Vietnam kebanyakan melarikan
Tanjung Pinang. Di Tahun 1978-79, jumlah
diri dengan menggunakan perahu atau
pengungsi Vietnam semakin meningkat
kapal kecil lainnya menuju negara-negara
secara drastis.41 Setelah terdamparnya
tetangga Vietnam di kawasan Asia
Kapal Southern Cross yang berpenumpang
Tenggara untuk kemudian mencapai negara
39
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional
tujuannya akhirnya di Amerika, Australia (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 167.
40
Isye Ismayawati, Manusia Perahu, Tragedi
Kemanusiaan di Pulau Galang (Jakarta: Kompas Media
dan Eropa. Karena para pengungsi ini Nusantara, 2013), 2.
41
Ibid, 4.

40
1220 pengungsi Vietnam (21 September di Pulau Galang, sebuah Pulau di Kepulauan

1978), Pemerintah Indonesia memutuskan Riau, tidak jauh dari Pulau Batam.

membentuk Panitia Pengelola Pengungsi Penampungan Vietnam tersebut

Vietnam (P3V),42 berdasarkan Keputusan selanjutnya juga berfungsi sebagai refugee

Presiden (Keppres) No. 38 Tahun 1979 processing centre dimana dilakukan proses

tentang Koordinasi Penyelesaian Pengungsi penentuan status pengungsi oleh UNHCR

Vietnam di Indonesia (11 September sebelum akhirnya pengungsi akan direlokasi

1979).43 Pada saat P3V dibentuk, ke negara-negara tujuan akhir

pengungsi Vietnam di Indonesia telah pengungsian, terutama Amerika Serikat,

berjumlah 50.000 jiwa. Sebagian Australia, Perancis, dan Kanada.44

pengungsi tersebut berada di Pulau Bintan Kesediaan Pemerintah Indonesia

dan sebagian besar (sekitar 40.000 jiwa) untuk menentukan Pulau Galang sebagai

lagi ditampung di Pulau Jemaja, Kepulauan refugee processing center memiliki dua

Anambas. Selain kedua lokasi di atas, syarat utama, yaitu: pertama, para

Pemerintah Indonesia juga mengalokasikan pengungsi Vietnam tersebut tidak ada yang

sejumlah penampungan lainnya, yaitu: di menetap di Indonesia, setelah selesai

Pulau Berhala, Ranai, Sekadau, Tulai, dilakukan pemrosesan; dan kedua,

Kramu, Sedanau, dan Tarempa. penampungan dan pemrosesan para

Menghadapi peningkatan arus pengungsi Vietnam dibiayai oleh PBB

pengungsi Vietnam ini serta adanya (melalui UNHCR) atau negara ketiga, dalam

kebutuhan berdasarkan prinsip hal ini Amerika Serikat.45

kemanusiaan untuk menyediakan Bantuan yang diberikan oleh UNHCR

penampungan yang manusiawi, Pemerintah kepada Indonesia untuk menangani

Indonesia memutuskan untuk memusatkan persoalan pengungsi Vietnam dimulai

tempat penampungan pengungsi Vietnam semenjak diselenggarakannya Pertemuan

42
Ibid, 8. 44
Isye Ismayawati, op.cit, 9.
43
Wagiman, op.cit, 168. 45
Ibid., 10.

41
ASEAN (15-16 Mei 1979), dimana dalam Jenewa perihal penanganan pengungsi

pertemuan ini juga diundang perwakilan Vietnam di Indonesia yang kemudian

dari 24 negara lain, terutama negara- memutuskan pembentukan Comprehensive

negara tujuan akhir pengungsi atau negara Plan of Action for the Indo-Chinese Refugee

pemberi bantuan bantuan kemanusiaan (CPA). Salah satu poin terpenting CPA

serta UNHCR.46 Bahkan untuk semakin adalah penetapan proses screening,

mengintensifkan pemberian bantuan bagi pemilahan, dan penetapan status

pengungsi yang berada di Indonesia, pengungsi yang harus dibedakan dari

UNHCR juga akhirnya membuka kantor pencari suaka (asylum seeker), khususnya

perwakilan UNHCR di Indonesia pada sejak cut off date 18 Maret 1989. Individu

tanggal 15 juni 1979.47 yang ditetapkan masuk ke dalam kategori

Pertemuan regional ASEAN tentang pengungsi akan direlokasi ke negara tujuan

pengungsi Vietnam kemudian dilanjutkan akhir. Sisanya yang tidak memenuhi syarat

dengan penyelenggaraan Konferensi untuk mendapat perlindungan sebagai

Internasional terkait Pengungsi Vietnam di pengungsi akan dipulangkan kembali ke

Jenewa pada bulan Juli 1979.48 Sejak titik negara asal.50

tersebut hingga tahun 1985, arus Pada akhirnya proses penampungan

kedatangan pengungsi Vietnam di pengungsi Vietnam oleh Indonesia ini terus

Indonesia cenderung menurun. Namun berlangsung hingga pertengahan dekade

sejak tahun 1989 arus ketibaan pengungsi 1990-an dimana pada saat tersebut, selain

Vietnam kembali meningkat secara cukup opsi relokasi, pengungsi juga diberikan opsi

drastis.49 untuk kembali secara sukarela ke Vietnam

Beranjak dari kejadian ini, pada (voluntary returns). Opsi kembali secara

tanggal 13 - 14 Juni 1989, kembali sukarela juga diberikan dengan koordinasi

diselenggarakan Konferensi Internasional di dengan Pemerintah Vietnam.51

46
Ibid., 15.
47
Wagiman, op.cit, 168.
48
Ibid., 167. 50
Ibid., 169.
49
Ibid., 162. 51
Ibid., 163 – 190.

42
Sepanjang proses penampungan, displaced persons, dan so-called refugee.53

pemrosesan, hingga relokasi pengungsi Perbedaan penggunaan istilah tersebut,

Vietnam ini (1975 – September 1996), disinyalir sebagai salah satu langkah negara

Indonesia tetap tidak menjadi negara untuk menghindari kewajiban hukum yang

peserta Konvensi Pengungsi 1951 dan lahir dari penggunaan istilah pengungsi.54

Protokol 1967. Namun Indonesia secara


Penanganan Pengungsi dan Pencari
sukarela bersedia memberikan bantuan Suaka Semenjak Tahun 2000

kepada pelarian (termasuk di dalamnya


Berbagai konflik-konflik bersenjata
pengungsi dan pencari suaka) asal
yang terjadi di sejumlah negara, termasuk:
Vietnam. Kiranya sikap Indonesia tersebut Afganistan, Sudan, Somalia, Iran, Suriah,
dilandaskan pada rasa kemanusiaan serta Yemen, Srilanka, Pakistan, dan Myanmar,
kesadaran akan keberlakuan sejumlah semenjak tahun 2000 telah mendorong
instrumen hukum internasional tentang munculnya arus perpindahan penduduk asal
pengungsi yang telah berlaku dan mengikat
ke negara tujuan akhir pengungsi,
negara-negara sebagai hukum kebiasaan
termasuk Australia.55 Sesuai penjelasan di
internasional, walaupun negara tersebut bagian-bagian sebelumnya, pola pengungsi
bukanlah negara peserta Konvensi yang akan menuju Australia secara ireguler,
Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.52 harus melewati Indonesia. Itulah sebabnya
Indonesia juga dicatat, secara positif, Indonesia mau tidak mau telah menjelma
telah menggunakan istilah “pengungsi”
sebagai negara transit.56
untuk menyebut para pengungsi Vietnam
UNHCR mencatat bahwa pada bulan
yang tiba di Indonesia. Hal ini berbeda Juli 2019 ada 13.863 pengungsi (termasuk
dengan Malaysia dan Thailand yang pencari suaka) yang berada di wilayah
berupaya untuk tidak menggunakan istilah Indonesia. Dari jumlah tersebut 56%
pengungsi namun menggunakan istilah- 53
D. W. Greig, op.cit, 125-126.
54
Ibid.
instilah: Vietnamese Illegal Migrants, 55
Wagiman, op.cit, 173.
56
Fitria, “Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi
di Negara Ketiga: Praktik Indonesia”, Padjadjaran
52
Ibid., 169 – 170. Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (2015), 106.

43
berasal dari Afganistan, 10% dari Somalia pengungsi, sangat memprihatinkan. Tidak

dan 5% dari Myanmar. Para pengungsi ini jarang para pengungsi dalam jumlah besar

telah lolos proses screening yang dilakukan harus tinggal berdesak-desakan di dalam

6 kantor perwakilan UNHCR di Indonesia satu rumah untuk meringankan biaya sewa

dan untuk sementara ditampung di rumah atau biaya-biaya lainnya. Untuk

sejumlah tempat penampungan sementara biaya kehidupan sehari-hari pun tidak

di Jakarta, Medan, Tanjung Pinang, jarang para pengungsi masih harus

Makassar, Kupang dan Pekan Baru.57 mengandalkan kiriman biaya dari sanak

Pada umumnya para pengungsi dan saudaranya, termasuk yang berada di

pencari suaka tersebut ditampung baik di negara asalnya. Akses para pengungsi

rumah detensi imigrasi (Rudenim), maupun terhadap lapangan pekerjaan, layanan

di lokasi-lokasi penampungan sementara. pendidikan dan layanan kesehatan umum

Pada tahun 2013 diketahui bahwa terdapat sangat terbatas.59 Beruntung masih ada

lokasi penampungan sementara yang cukup Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

besar dengan kurang lebih 3000 – 4000 termasuk diantaranya Jesuit Refugee

jiwa pengungsi di wilayah Cisarua, Puncak, Service, yang memiliki keprihatinan pada

Jawa Barat. 58 isu pengungsi ini, juga ikut serta

Selama masa transit di Indonesia, memberikan bantuan kepada para

menunggu proses penentuan status pengungsi yang transit di Indonesia.

pengungsi maupun menunggu proses Berbagai permasalahan yang

relokasi ke negara tujuan akhir, jika status dihadapi para pengungsi di atas tentu saja

pengungsinya dikonfirmasi oleh UNHCR, potensial untuk menyebar ke lingkungan

kehidupan para pengungsi pada periode terdekat dari lokasi penampungan

sebelum adanya peraturan domestik sementara para pengungsi, termasuk untuk

Indonesia yang spesifik untuk isu kalangan penduduk lokal, WNI yang

57
UNHCR Indonesia, “Figures at Glances”, diakibatkan dari interaksi antara para
op.cit.
58
Muzafar Ali, Linda Briskman, Lucy Fiske,
op.cit. 59
Ibid.

44
pengungsi dengan penduduk lokal di sekitar pihak Konvensi Pengungsi 1951 dan

penampungan sementara para pengungsi. 60 Protokol 1967.

Berangkat dari rasa keprihatinan atas Salah satu alasan yang kiranya dapat

keadaan kehidupan para pengungsi serta menjadi dasar dari rasa kesadaran atas

rasa kekhawatiran dampak sosial, budaya, kewajiban hukum Indonesia di atas adalah

ekonomi dan hukum yang potensial baik adanya ketentuan Pasal 28 G ayat (2) UUD

untuk jangka singkat maupun panjang, 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang

maka Pemerintah Indonesia berupaya berhak untuk bebas dari penyiksaan atau

untuk menyusun kebijakan untuk secara perlakuan yang merendahkan derajat

khusus menangani pengungsi internasional martabat manusia dan berhak memperoleh

yang masuk Wilayah Indonesia. Kebijakan suaka politik dari negara lain.61

inilah yang kemudian berkembang menjadi Dasar hukum lainnya yang juga

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah Pasal 25, Pasal

secara khusus mengatur tentang 26 dan Pasal 27 UU No. 37 tahun 1999 (UU

penanganan pengungsi luar negeri yang 37/1999) tentang Hubungan Luar Negeri.

masuk ke Wilayah Indonesia. Pasal 25 dan Pasal 26 UU 37/1999

mengatur tentang tata cara pemberian


Pembentukan Kerangka Hukum
Domestik Indonesia untuk Menangani suaka oleh Pemerintah Indonesia.
Pengungsi Internasional
Sedangkan Pasal 27 UU 37/1999
Selama ini Pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa pemerintah wajib
telah cenderung mengesankan suatu sikap
mengatur lebih lanjut proses penanganan
yang mengakui adanya kewajiban hukum
pengungsi yang berada di wilayah
untuk melindungi dan menghormati HAM
kedaulatan NKRI dalam bentuk Keputusan
dari pengungsi yang berada di dalam
Presiden.62
wilayah Republik Indonesia, walaupun

kenyataannya Indonesia bukan negara


61
Indonesia, UUD 1945, Pasal 28 G Ayat 2.
60
Arie Afriansyah dan Eva Achjani Zulfa, 62
Indonesia, Undang-undang No. 37 Tahun
loc.cit. 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Pasal 25-27.

45
Selain itu terdapat pula Undang- Baru pada masa pemerintahan

undang No. 6 Tahun 2011 tentang Presiden Joko Widodo, tujuh belas tahun

Keimigrasian yang mengatur penanganan setelah mandat UU 37/199 tersebut

korban perdagangan dan penyelundupan diterbitkan, mengesahkan Peraturan

manusia; Peraturan Pemerintah No. 31 Presiden No. 125 tahun 2016 tentang

Tahun 2013 tentang Keimigrasian yang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri

mengatur pendeteksian pengungsi (yang (Perpres 125/2016).

disamakan statusnya sebagai imigran Selain adanya rasa prihatin atas

illegal); dan Peraturan Dirjen Imigrasi No. kehidupan para pengungsi selama masa

IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang transit, yang bisa memakan waktu yang

Penanganan Imigran Ilegal. Peraturan- cukup lama, serta rasa kekhawatiran atas

peraturan ini juga mencakup penanganan dampak negatif yang potensial muncul

imigran yang masuk ke wilayah Indonesia akibat proses transitnya pengungsi di

secara ilegal, namun kemudian menyatakan Indonesia, faktor pencetus langsung dari

diri sebagai pengungsi atau pencari suaka. terbitnya Perpres 125/2016 adalah ketibaan

Namun demikian, hingga tahun 2016 sejumlah besar pengungsi Rohingya dari

Indonesia belum memiliki peraturan Myanmar di Indonesia pada tahun 2015.

perundang-undangan yang menangani Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa

secara khusus isu pengungsi internasional. Perpres ini adalah sebuah reaksi ad-hoc

Karenanya pada tatanan praktis operasional untuk menangani persoalan-persoalan baru

di lapangan, penanganan arus pengungsi yang potensial dapat muncul terkait tibanya

internasional inward yang masuk ke wilayah arus pengungsi Rohingya di Indonesia.

Indonesia cenderung untuk menggunakan Perpres 125/2016 adalah suatu

peraturan perundang-undangan di bidang langkah maju yang sangat positif dalam hal

keimigrasian (khususnya kaidah terkait penanganan pengungsi internasional di

pendatang ilegal). Indonesia. Hal tersebut mengingat Perpres

ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan

46
hukum terkait pengungsi internasional di kebebasannya.63 Surat tersebut juga pada

Indonesia serta kesalahan praktek yang dasarnya telah mengakui prinsip non-

memberlakukan peraturan perundang- refoulment dan bahaya yang bisa

undangan bidang keimigrasian, terutama ditimbulkan akibat persekusi di negara asal

terkait pendatang ilegal, terhadap para pengungsi yang mungkin masuk secara

pengungsi yang mungkin memang tiba di ilegal ke Indonesia.

Indonesia dengan metode ireguler. Perpres 125/2016 menunjukan

Penerapan peraturan keimigrasian di atas pergeseran pendekatan yang digunakan

sebelum adanya Perpres 125/2016, oleh Pemerintah Indonesia dalam

potensial menyebabkan terjadinya deportasi penanganan isu pengungsi, dimana

(pengusiran paksa) yang merupakan sebelumnya didominasi oleh pendekatan

sebagai sanksi utama atas pelanggaran keamanan dan digantikan oleh pendekatan

keimigrasian, hal yang sebenarnya dilarang kemanusiaan sebagaiama standar hukum

berdasarkan prinsip non-refoulement. pengungsi internasional.64

Beruntung pada tahun 2002, Perpres 125/2016 telah pula

diterbitkan Surat Dirjen Imigrasi No. F- mendefinisikan istilah pengungsi sama

IL.01.10-1297 kepada seluruh Kepala dengan pengaturan Konvensi Pengungsi

Kantor Wilayah Hukum dan HAM serta 1951 serta Protokol 1967.65 Hal ini

Kepala Kantor Imigrasi di seluruh Indonesia seharusnya dapat diartikan bahwa

dan pada intinya menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah menerima

apabila ada orang asing yang masuk ke norma hukum pengungsi internasional,

Wilayah Indonesia dan kemudian paling tidak terkait definisi pengungsi,

menyatakan keinginan untuk mencari walaupun bukan merupakan negara pihak

suaka, orang asing tersebut agar tidak 63


Indonesia, Surat Dirjen Imigrasi No. F-
IL.01.10-1297 Tahun 2002.
64
Dio Herdiawan Tobing, “Kebijakan Soal
dideportasi ke wilayah negara yang dapat Pencari Suaka – Tak Ideal Tapi Satu Langkah
Perbaikan”, http://theconversation.com/kebijakan-
mengancam kehidupan atau soal-pencari-suaka-tak-ideal-tapi-satu-langkah-
perbaikan-80696, (diakses 27 November, 2019).
65
Indonesia, Peraturan Presiden No. 125
Tahun 2016, Pasal 1.

47
dari Konvensi 1951 maupun Protokol 1967. kaidah yang disetujuinya sehingga

Namun demikian, belum jelas posisi Pemerintah Indonesia hanya mengadopsi

Pemerintah Indonesia terkait prinsip-prinsip norma kaidah yang dipilihnya saja. Pola

kaidah hukum pengungsi internasional pendekatan ini seharusnya bisa

terkait standar perlindungan dan digolongkan sebagai penyelundupan

penghormatan HAM dari pengungsi. hukum, karena negara pengadopsi

Pola pendekatan seperti di atas, berupaya menghindari kewajiban hukum

sebelumnya telah pernah diambil oleh dalam skala luas bagi negara pengadopsi.

Pemerintah Indonesia dalam kaitannya Negara pengadopsi norma dan kaidah akan

dengan pelaksanaan kaidah yang diatur bebas untuk melakukan pick and choose,

dalam Statuta Mahkamah Pidana hanya mengadopsi norma yang cocok dan

Internasional (International Criminal Court diingininya saja.

Statute) / Statuta Roma). Indonesia tidak Pola pendekatan ini memang telah

menjadi negara pihak namun Indonesia menjadi solusi yang jauh dari ideal. Namun

mengadopsi sejumlah ketentuan dalam mengingat opsi lainnya adalah negara

Statuta Roma tersebut dalam UU No. 26 pengadopsi tidak mau sama sekali terikat,

Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka opsi ini seharusnya menjadi langkah

Berat.66 ad-hoc yang bisa menjembatani

Pola pendekatan semacam ini kepentingan negara pengadopsi dan

keliatannya telah menjadi pilihan bagi kepentingan lebih luas lagi yaitu

Pemerintah Indonesia bagi instrumen perlindungan dan pemenuhan hak

hukum internasional yang cukup pengungsi.

kontroversial sehingga sulit bagi Selain itu, Perpres 125/2016 juga

Pemerintah Indonesia untuk menjadi mengatur hubungan koordinasi antara

peserta, namun tetap ada beberapa norma pemerintah pusat, dengan pemerintah

daerah dimana pengungsi tersebut


66
Indonesia, Undang-undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM Berat.

48
ditampung sementara,67 serta dengan Di sisi lain harus diakui pula Perpres

lembaga PBB (UNHCR) dan organisasi 125/2016 masih jauh dari ideal. Sebagai

internasional lainnya (IOM).68 Perpres awal, Perpres 125/2016 hanya mengadopsi

125/2016 juga membuka kesempatan bagi ketentuan-ketentuan yang diinginkan oleh

pemerintah daerah untuk juga terlibat Indonesia, tanpa melihat konteks norma-

dalam pemenuhan sejumlah hak dasar norma tersebut dalam skala lebih luas

pengungsi, misalnya memberikan akses keseluruhan isi Konvensi 1951 dan Protokol

terhadap layanan pendidikan di sekolah 1967 yang memang tidak disahkan oleh

negeri tertentu dan akses terhadap layanan Pemerintah Indonesia.

kesehatan, sebagaimana yang telah Secara lebih detail, Perpres 125/2016

dilakukan Pemprov. D.K.I. Jakarta dan juga ternyata tidak mengatur opsi agar

Pemprov Sumatera Utara.69 pengungsi bisa menetap dan berintegrasi

Perpres tersebut juga telah membuka dengan masyarakat sekitar lokasi

kemungkinan dilakukannya pemulangan penampungannya, jika memang pengungsi

pengungsi secara sukarela (voluntary memilih demikian. Konsep Perpres

repatriation), terutama apabila pengungsi 125/2016 hanya memungkinkan adanya

tidak ternyata memenuhi syarat sebagai relokasi ke negara tujuan akhir atau

pengungsi atau bila kondisi negara asalnya pemulangan secara sukarela. Perpres

telah kondusif sehingga tidak ada lagi 125/2016 juga tetap tidak memiliki

kebutuhan untuk mengungsi menurut pengatur dimana Indonesia dapat

Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol menerapkan prosedur penentuan status

1967.70 pengungsi secara mandiri.71

Terlepas dari segala kekurangan di

atas, berbagai pengaturan dimuat dalam


67
Indonesia, Peraturan Presiden No. 125
Tahun 2016, Pasal 26.
Perpres 125/2016 kiranya dapat
68
Indonesia, Peraturan Presiden No. 125
Tahun 2016, Pasal 2 Ayat 1. digolongkan sebagai kaidah yang cukup
69
Rizki Hasan Akbar, loc.cit.
70
Indonesia, Peraturan Presiden No. 125
Tahun 2016, Pasal 29 dan Pasal 38. 71
Dio Herdiawan Tobing, loc.cit.

49
progresif sehingga pada akhirnya ekonomi dan tindak pidana penyelundupan

mendorong UNHCR untuk berkomentar manusia. Pergeseran definisi dan

bahwa kebijakan Indonesia ini patut percampuran motif dan percampuran

dijadikan contoh dan ditiru oleh negara lain dengan tidak pidana penyelundupan

yang memiliki kondisi serupa dengan manusia tersebut telah menyebabkan

Indonesia, bukan negara pihak Konvensi negara-negara tujuan pengungsian

1951 maupun Protokol 1967.72 memperkecil kuota penerimaan pengungsi

Sebagai perbandingan Malaysia dan tahunannya yang mengakibatkan waktu

Thailand, dua negara tetangga Indonesia tunggu pengungsi di negara transit yang

yang juga bukan negara pihak Konvensi sudah lama, menjadi bertambah lama.

1951 dan Protokol 1967 namun juga Lamanya waktu tunggu potensial untuk

menampung sejumlah besar pengungsi, memperbesar kesulitan-kesulitan yang

tidak berupaya menerbitkan kerangka dihadapi oleh pengungsi, termasuk

hukum domestik tentang pengungsi gesekan antara pengungsi dengan

internasional. Bahkan kedua negara ini penduduk lokal.

menghindari penggunaan istilah pengungsi Untuk mengatasi hal tersebut, maka

bagi “pengungsi” yang ditampungnya, salah Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan

satunya untuk menghindari munculnya untuk menerbitkan Perpres 125/2016 untuk

tanggung jawab hukum akibat penggunaan menangani arus pengungsi dari luar negeri

istilah tersebut. yang masuk ke wilayah Indonesia. Perpres

tersebut adalah suatu hal positif yang


Kesimpulan
kiranya perlu dicontoh oleh negara non-
Sesuai dengan perkembangan jaman,
pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967
definisi juga pengungsi telah mengalami
lainnya.
proses pergeseran, termasuk adanya
Perpres 125/2016 tersebut telah
percampuran motif pengungsi dengan motif
mengadopsi sejumlah norma dari Konvensi

72
Ibid.
Pengungsi 1951 dan Protokol 1967,

50
meskipun Indonesia tidak menjadi peserta 125/2016, dengan segala kekurangannya,

dari kedua instrumen hukum internasional telah dianggap sebagai langkah positif

tersebut. Pola pendekatan yang diambil dalam hal perlindungan dan pemenuhan

oleh Pemerintah Indonesia dalam Perpres hak dasar pengungsi yang sedang dalam

125/2016 ini serupa dengan pola proses transit, baik untuk menunggu proses

pengadopsian terkait isu pelanggaran HAM penentuan status pengungsi maupun untuk

berat dimana Indonesia tidak menjadi pihak proses pemukiman di negara tujuan akhir

dari Statuta Roma, namun UU No. 26/2000 pengungsiannya.

mengadopsi sejumlah kaidah yang juga Untuk itu, penelitian ini

disetujui oleh Indonesia. merekomendasikan bagi negara-negara

Walaupun pendekatan tersebut jauh non-pihak Konvensi Pengungsi 1951 dan

dari ideal karena mengingat terbatasnya Protokol 1967, terutama yang menampung

pengaturan di dalam Perpres 125/2016. pengungsi dalam jumlah besar, kiranya

Apabila kita bandingkan keseluruhan norma dapat mempertimbangkan untuk

yang melindungi pengungsi Perpres dengan mengambil langkah serupa dengan

yang ada dalam Konvensi 1951 dan Indonesia dan menerbitkan kerangka

Protokol 1967 memang dirasakan masih hukum domestiknya masing-masing untuk

terdapat sejumlah besar pengaturan yang secara khusus memfasilitasi penanganan

belum terakomodir. Namun pada saat ini dan perlindungan kepada pengungsi yang

pola dimaksud adalah opsi terbaik yang berada di wilayah negaranya.

telah diambil Pemerintah Indonesia, untuk


DAFTAR PUSTAKA
menyediakan perlindungan bagi para

pengungsi yang transit di Indonesia. Buku

Johnny Ibrahim. Teori Dan Metodologi


Rekomendasi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia Publishing, 2006.
Wagiman. Hukum Pengungsi Internasional.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

terlihat bahwa penerbitan Perpres

51
Refugee 1967, 31 January 1967,
Terbitan Berkala United Nations, Treaty Series 606.
Convention Relating to the Status of
Afriansyah, Arie dan Eva Achjani Zulfa. Refugees, 28 July 1951, United
“Refugee Resettlement: A Review of Nations, Treaty Series, vol. 189.
Indonesia Law and Practices.” Indonesia. Peraturan Presiden No. 125
Indonesian Law Review 8, no. 2 Tahun 2016.
(2018): 211-215. Indonesia. Surat Dirjen Imigrasi No. F-
Ali, Muzafa, Linda Briskman, Lucy Fiske. IL.01.10-1297 Tahun 2002.
“Assylum Seekers and Refugee in Indonesia. Undang-undang No. 26 Tahun
Indonesia.” Cosmopolitan Civil 2000 tentang Pengadilan HAM Berat.
Societies Journal 8, no. 2 (2016): Indonesia. Undang-undang No. 37 Tahun
25-26. 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Brown, Thomas. “After the Boats Stopped: Statute of the International Court of
Refugees Managing a Life of Justice, 18 April 1946.
Protracted Limbo in Indonesia.” Vienna Convention on the Law of Treaties,
Antropologi Indonesia 38, no. 1 23 May 1969, United Nations, Treaty
(2017): 35. Series 1155.
Fitria. “Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi
di Negara Ketiga: Praktik Indonesia.”
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 2, Situs Web
no. 1 (2015).
Greig, D. W. “The Protection of Refugee Hasan, Rizki Akbar. “UNHCR: Indonesia
and Customary International Law.” Patut Dicontoh Soal Penangangan
8th Australian Yearbook of Pengungsi Internasional”,
International Law. (1978–1980), https://www.liputan6.com/global/rea
http://www5.austlii.edu.au/au/journa d/4015215/unhcr-indonesia-patut-
ls/AUYrBkIntLaw/1980/4.pdf (diakses dicontoh-soal-penanganan-
24 November, 2019). pengungsi-internasional, (diakses 27
Worster, William Thomas. “The Evolving November, 2019).
Definition of the Refugee In Ismayawati, Isye. Manusia Perahu, Tragedi
Contemporary International Law.” Kemanusiaan di Pulau Galang
Berkeley Journal of International Law (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
30, no. 1, (2012). 2013).
Peter Fitzmaurice. “Anniversary of the
forgotten Convention: The 1933
Dokumen Hukum Refugee Convention and the search
for protection between the world
wars”,
Arrangement Relating to the Issue of https://www.legalaidboard.ie/en/Abo
Identify Certificates to Russian and ut-The-Board/Press-
Armenian Refugees, 12 May Publications/Newsletters/Anniversary-
1926, League of Nations Treaty of-the-forgotten-Convention-The-
Series LXXXIX, no. 2004. 1933-Refugee-Convention-and-the-
Convention Relating to the International search-for-protection-between-the-
Status of Refugees, 28 October world -wars.html (diakses 23
1933, League of Nations, Treaty November, 2019).
Series CLIX no. 3663. The Editors of Encyclopaedia Britannica.
Convention Relating to the Status of “International Refugee Organization”.
Refugees, 28 July 1951, United Historical UN Agency,
Nations, Treaty Series 189, 137 dan https://www.britannica.com/topic/Int
Protocol Relating to the Status of ernational-Refugee-Organization-

52
historical-UN-agency (diakses 23
November, 2019).
Tobing, Dio Herdiawan. “Kebijakan Soal
Pencari Suaka – Tak Ideal Tapi Satu
Langkah Perbaikan”,
http://theconversation.com/kebijakan
-soal-pencari-suaka-tak-ideal-tapi-
satu-langkah-perbaikan-80696,
(diakses 27 November, 2019).
UNHCR Indonesia. “Figures at Glances”,
July 2019,
https://www.unhcr.org/id/en/figures-
at-a-glance (diakses 22 November,
2019).
UNHCR. “UNHCR in Indonesia”,
https://www.unhcr.org/id/en/unhcr-
in-indonesia (diakses 22 November,
2019).
UNHCR. “UNHCR, Refugee Protection and
International Migration” 17 January
2007,
https://www.unhcr.org/4a24ef0ca2.p
df (diakses 25 November, 2019).

53

Anda mungkin juga menyukai