6077 17842 1 PB
6077 17842 1 PB
Adrianus A. V. Ramon1
Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan
adrianus.ramon@unpar.ac.id
Abstract
The research argues that Indonesia’s policy for establishing a specialized legal instrument for
managing inward refugee flow maybe used as references by other non-state party to the
Refugee Convention. For reaching that conclusion, the research will first analyze the shifting
definition of refugee and its impact to Indonesia. Furthermore, the research will consider the
Indonesia’s experiences with refugees, with focus on inward flow of refugee. It also analyzes
the policy and action undertaken by the Indonesian Government in coping for the refugee
flow. Finally, the research will consider that the establishment of a specific legal
arrangement for handling inward refugee may serve as an example of positive step towards
the humane treatment of refugee by a non-state party of the Refugee Convention.
Abstrak
1Penulis ingin berterima kasih kepada Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M., dan Kevin Setiadi atas
bantuan yang diberikan kepada penulis. Artikel penelitian ini diilhami dari naskah buku: Tristam P. Moeliono,
Adrianus A. V. Ramon, & Dyan F. Sitanggang, Penanganan Pengungsi: Tantangan Hukum Internasional dan
Hukum Nasional Indonesia, belum diterbitkan.
Pendahuluan dan pencari suaka di Indonesia dan
tepat di jalur yang biasa ditempuh oleh Menurut catatan Komisi Tinggi
Indonesia sebagai salah satu negara transit bulan Juli 2019, tercatat ada 13.863 orang
terpenting bagi para pengungsi dan pencari pengungsi dan pencari suaka sedang
Pada umumnya para pengungsi dan tersebut sebenarnya relatif kecil, terutama
Indonesia sebagai negara transit3 agar pengungsi dan pencari suaka yang berada
pengungsi oleh UNHCR atau menggunakan negara pihak8 dari Konvensi Pengungsi
29
peran dan fungsi UNHCR untuk melakukan tidak hanya berkonsekuensi positif namun
menempatkan para pengungsi dan pencari negatif pada kedua belah pihak.12
suaka yang permohonan pengungsi dan Sepenggal cerita di atas adalah satu
akhir.10 Proses inilah yang seringkali berinteraksi dengan pengungsi dan pencari
berlangsung sangat lama karena suaka. Selain kisah di atas, dalam berbagai
kuasa Indonesia maupun UNHCR, termasuk mencari dengan menggunakan kata kunci:
faktor politik domestik Negara tujuan “Indonesia dan pengungsi” maka kisah
negara tujuan akhir, maka para pengungsi (1975-1996) yang tiba di Indonesia
dan pencari suaka harus “menunggu” di melarikan diri dari rezim komunis sewaktu
Indonesia, baik yang dikelola oleh UNHCR Vietnam dan ditampung sementara oleh
(biasanya berupa Rumah Detensi Imigrasi memiliki pengalaman yang sangat luas dan
menunggu inilah terjadi interaksi antara pengungsi dan pencari suaka, bahkan
para pengungsi dan penduduk lokal yang semenjak masa awal Kemerdekaannya.
30
Indonesia untuk menformulasikan sebuah penanganan pengungsi dari luar negeri
dan ahli beranggapan bahwa kerangka pembahasan substansi penelitian ini, perlu
hukum domestik tersebut masih jauh dari terlebih dahulu dipaparkan kerangka teoritis
ideal, akan tetapi kiranya perangkat hukum terkait materi yang akan dibahas. Untuk itu,
ini bisa dimaknai sebagai sebuah langkah pada bagian ini pertama-tama akan
maju yang positif serta patut dijadikan dijelaskan kerangka hukum internasional
sebagai salah satu rujukan positif oleh yang berlaku terkait isu pengungsi serta
Untuk itu, penelitian ini pertama- negara-negara yang tidak menjadi negara
tama akan memaparkan proses perluasan pihak dari perjanjian internasional tersebut.
31
to Russian and Armenian Refugees yang hampir pasti tidak mampu
arrangements dated July 5th, 1922 and kepada pengungsi selain dari yang telah
Rusia yang menjadi korban kekerasan di oleh LBB sewaktu membuat suatu kerangka
Rusia dalam konteks situasi kekerasan hukum yang sebenarnya diharapkan akan
warga Etnis Armenia di bekas wilayah pada para pengungsi secara lebih luas.
Kekaisaran Ottoman Turki dalam konteks Pada tahun 1933, LBB berhasil menyepakati
dan Negara Turki secara resmi menyatakan International Status of Refugees.14 Definisi
pengungsi dengan pendekatan secara Pengaturan LBB tahun 1926 yaitu terkait
spesifik dan terbatas hanya merujuk pada Warga Rusia dan Armenia yang menjadi
suatu kelompok tertentu yang menjadi korban dan melarikan diri dari insiden
korban dalam konteks suatu insiden kekerasan. Tahun 1938, LBB juga membuat
ini kemudian diperluas secara terbatas Pengungsi Jerman 1938) tentang pengungsi
tahun 1928 sehingga juga memasukan warga Negara Jerman yang melarikan diri
32
perlindungan yang komprehensif kepada khususnya di Eropa pada masa inter-
hak-hak sipil dan ekonomi pengungsi.15 Konvensi Pengungsi 1933 tidak diratifikasi
Dalam Konvensi ini pula diatur untuk oleh banyak negara yang secara jelas
yang saat ini dianggap sebagai salah satu Pendefinisian secara ad-hoc untuk
intinya adalah yaitu prinsip yang menjamin Konvensi 1933, ternyata kembali diadopsi
ataupun tidak langsung pengungsi yang dianggap dan menjadi dasar hukum
dengan Pengaturan Tahun 1926 dan a. mereka yang sudah dianggap sebagai
pengungsi sesuai Pengaturan LBB
revisinya Tahun 1928, yaitu merujuk pada tanggal 12 Mei 1926 dan 30 Juni 1928
atau sesuai Konvensi 1933 dan
suatu kelompok tertentu yang menjadi Konvensi 1938, Protokol 1939 atau
Konstitusi International Refugee
korban dalam konteks suatu insiden Organization. International Refugee
Organization (IRO) adalah sebuah
kekerasan tertentu pula. Hal inilah serta agensi khusus dari Perserikatan
Bangsa-bangsa yang mengurusi
ditambah situasi politik internasional, pengungsi. IRO didirikan tahun 1946
dan dibubarkan tahun 1952.20
17
Ibid.
15
Peter Fitzmaurice, “Anniversary of the 18
Convention Relating to the Status of
forgotten Convention: The 1933 Refugee Convention Refugees, 28 July 1951, United Nations, Treaty Series,
and the search for protection between the world vol. 189, p. 137
wars”, https://www.legalaidboard.ie/en/About-The- 19
Convention Relating to the Status of
Board/Press-Publications/Newsletters/Anniversary-of- Refugees 1951, Article 1 A.
20
the-forgotten-Convention-The-1933-Refugee- The Editors of Encyclopaedia Britannica,
Convention-and-the-search-for-protection-between- “International Refugee Organization”. Historical UN
the-world -wars.html (diakses 23 November, 2019). Agency,
16
Ibid. https://www.britannica.com/topic/International-
33
b. mereka yang sebagai akibat insiden Syarat lainnya adalah pengungsi haruslah
yang terjadi sebelum pada 1 Januari
1951 yang memiliki “well-founded fear berada di luar negara kewarganegaraannya
of being persecuted for reasons of
race, religion, nationality, membership dan tidak dapat atau tidak memungkinkan
of a particular social group or political
opinion, is outside the country of his karena adanya persekusi, mengandalkan
nationality and is unable or, owing to
such fear, is unwilling to avail himself perlindungan dari negaranya tersebut.
of the protection of that country; or
who, not having a nationality and Pengungsi juga dimungkinkan sebagai
being outside the country of his former
habitual residence as a result of such individu yang tidak memiliki
events, is unable or, owing to such
fear, is unwilling to return to it.” kewarganegaraan yang berada di luar
Pengungsi 1951 memberikan pengakuan persekusi, tidak bisa atau tidak mau
yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini 1951 ini sudah lebih luas dari beberapa
aturan yang telah berlaku sebelumnya. tersebut masih memiliki pembatasan terkait
Selain itu Konvensi ini juga telah waktu serta lokasi insiden, sesuai Pasal 1B
menetapkan definisi baru bahwa pengungsi Konvensi 1951, dimana negara peserta
juga termasuk mereka yang akibat suatu Konvensi harus menentukan apakah insiden
kejadian pada kurun waktu sebelum 1 yang bisa mengakibatkan terjadinya arus
Januari 1951 memiliki ketakutan yang pengungsi itu dibatasi hanya untuk insiden
beralasan untuk dipersekusi berdasarkan yang hanya terjadi di Eropa atau juga
ras, agama, nasionalitas, keanggotaan dari mencakup insiden yang juga terjadi di
Refugee-Organization-historical-UN-agency (diakses 23 21
Convention Relating to the Status of
November, 2019). Refugees 1951, Article 1 B.
34
Pembatasan-pembatasan definisi suatu perjanjian internasional. Sesuai asas
pengungsi dalam Konvensi Pengungsi 1951 hukum perjanjian internasional, pacta sunt
di atas pada akhirnya diubah dalam servanda yang dimuat dalam Pasal 26
Protokol Pengungsi 1967 yang telah Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
bahwa Protokol 1967 ini telah berupaya tersebut adalah treaty obligation.23
pengungsi tanpa dibatasi oleh persoalan Pengungsi 1951, sebagian ahli telah
lokasi dan waktu terjadinya insiden. berpendapat bahwa prinsip ini termasuk
berlaku saat ini, selanjutnya akan dibahas tergantung tindakan pengesahan yang
terikat pada suatu perjanjian internasional refoulement telah menjadi kaidah jus
35
dikesampingkan bahkan oleh sebuah Perjanjian Internasional, Hukum Kebiasaan
25
Ibid.
globalisasi serta banyaknya insiden
26
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi
Penelitian Hukum Normatif (Malang: Banyumedia
Publishing, 2006), 295. 28
Statute of the International Court of Justice,
27
Ibid. 18 April 1946, Article 38(1).
36
kekerasan di penjuru dunia, telah a. Seseorang yang karena ketakutannya
yang beralasan karena situasi:
meningkatkan jumlah pengungsi yang 1. Persekusi berdasarkan ras, agama,
nasionalitas dan keanggotaan
menyelamatkan diri atau semata hanya kelompok sosial tertentu atau opini
politik;
mencari penghidupan yang lebih baik. Hal 2. Penyiksaan, perlakuan tidak
berperikemanusiaan dan/atau
ini mendorong negara-negara dan hukuman; dan/atau
3. Ancaman terhadap jiwa, keamanan,
organisasi internasional untuk berupaya kebebasan, akibat suatu kejadian
yang meluas dan tidak dapat diatasi
meninjau ulang definisi pengungsi, oleh negara asal individu.
b. Individu tersebut berada di luar negara
meskipun definisi pengungsi dalam Protokol kewarganegaraannya atau negara
tempatnya biasa tinggal karena
Pengungsi Tahun 1967 tetap tidak berubah. ketakutannya di atas.
evolusi kontemporer dari definisi pengungsi elemen perlindungan hak asasi manusia
African Union Refugee Convention 1969 2007 juga telah menerbitkan sebuah
dan 1984 Cartagena Declaration, maupun position paper yang membahas hubungan
secara unilateral oleh masing-masing antara arus pengungsi dan arus migrasi
pada saat ini, seharusnya definisi pengungsi potensi percampuran antara pengungsi
didefinisikan menjadi:30
29
William Thomas Worster, “The Evolving
31
Definition of the Refugee In Contemporary UNHCR, “UNHCR, Refugee Protection and
International Law”, Berkeley Journal of International International Migration” 17 January 2007,
Law 30, no. 1, (2012). https://www.unhcr.org/4a24ef0ca2.pdf (diakses 25
30
Ibid. November, 2019).
37
yang menjadi korban dari tindak pidana Lumpur, Malaysia lalu menggunakan
motif dari perjalanan internasional yang dari para pengungsi akan menuju kantor
menyelamatkan diri dari ancaman atas Bagi pengungsi yang mendaftarkan diri
keselamatan dirinya. Namun demikian, dengan UNHCR maka para pengungsi telah
motif ekonomi, mencari penghidupan yang untuk mencapai Australia dengan tetap
Selandia Baru, pola ireguler yang biasanya berupaya tiba di Indonesia dengan jalur
ditempuh oleh para pengungsi atau pencari ireguler di atas disikapi Pemerintah
34
Muzafar Ali, Linda Briskman, Lucy Fiske,
32
Ibid. loc.cit.
33
Ibid. 35
Ibid.
38
Pemerintah Australia juga mengetatkan kemudian mendaftar sebagai pengungsi,
proses penerimaan pengungsi dan pencari dengan lamanya masa tunggu di negara
suaka dari jalur normal. Bahkan Australia transit. Selain memang menjadikan jumlah
juga telah memperkecil jumlah penerimaan individu yang mendaftar sebagai pengungsi
2010, Australia bisa menerima 400 jiwa untuk memperketat kriteria dan proses
Hal ini menciptakan backlog yang negara tersebut. Pada akhirnya baik
status pengungsi di negara-negara “transit” akan merasakan beban terbesar dari efek
39
Meskipun disadari penulis bahwa menggunakan perahu dan kapal kecil untuk
Indonesia pada dasarnya telah berinteraksi melarikan diri dari Vietnam, maka para
dengan pengungsi semenjak masa awal pengungsi Vietnam juga sering disebut
untuk difokuskan pada kebijakan Indonesia Vietnam, tiba di Indonesia pada tanggal 22
dalam menangani inward flow pengungsi. Mei 1975.40 Gelombang pertama tersebut,
Di bawah ini akan dibahas beberapa yang hanya berjumlah 25 orang, segera
40
1220 pengungsi Vietnam (21 September di Pulau Galang, sebuah Pulau di Kepulauan
1978), Pemerintah Indonesia memutuskan Riau, tidak jauh dari Pulau Batam.
Presiden (Keppres) No. 38 Tahun 1979 processing centre dimana dilakukan proses
dan sebagian besar (sekitar 40.000 jiwa) untuk menentukan Pulau Galang sebagai
lagi ditampung di Pulau Jemaja, Kepulauan refugee processing center memiliki dua
Anambas. Selain kedua lokasi di atas, syarat utama, yaitu: pertama, para
Pemerintah Indonesia juga mengalokasikan pengungsi Vietnam tersebut tidak ada yang
pengungsi Vietnam ini serta adanya (melalui UNHCR) atau negara ketiga, dalam
42
Ibid, 8. 44
Isye Ismayawati, op.cit, 9.
43
Wagiman, op.cit, 168. 45
Ibid., 10.
41
ASEAN (15-16 Mei 1979), dimana dalam Jenewa perihal penanganan pengungsi
negara tujuan akhir pengungsi atau negara Plan of Action for the Indo-Chinese Refugee
pemberi bantuan bantuan kemanusiaan (CPA). Salah satu poin terpenting CPA
UNHCR juga akhirnya membuka kantor pencari suaka (asylum seeker), khususnya
perwakilan UNHCR di Indonesia pada sejak cut off date 18 Maret 1989. Individu
pengungsi Vietnam kemudian dilanjutkan akhir. Sisanya yang tidak memenuhi syarat
sejak tahun 1989 arus ketibaan pengungsi 1990-an dimana pada saat tersebut, selain
Vietnam kembali meningkat secara cukup opsi relokasi, pengungsi juga diberikan opsi
Beranjak dari kejadian ini, pada (voluntary returns). Opsi kembali secara
46
Ibid., 15.
47
Wagiman, op.cit, 168.
48
Ibid., 167. 50
Ibid., 169.
49
Ibid., 162. 51
Ibid., 163 – 190.
42
Sepanjang proses penampungan, displaced persons, dan so-called refugee.53
Vietnam ini (1975 – September 1996), disinyalir sebagai salah satu langkah negara
Indonesia tetap tidak menjadi negara untuk menghindari kewajiban hukum yang
peserta Konvensi Pengungsi 1951 dan lahir dari penggunaan istilah pengungsi.54
43
berasal dari Afganistan, 10% dari Somalia pengungsi, sangat memprihatinkan. Tidak
dan 5% dari Myanmar. Para pengungsi ini jarang para pengungsi dalam jumlah besar
telah lolos proses screening yang dilakukan harus tinggal berdesak-desakan di dalam
6 kantor perwakilan UNHCR di Indonesia satu rumah untuk meringankan biaya sewa
Makassar, Kupang dan Pekan Baru.57 mengandalkan kiriman biaya dari sanak
pencari suaka tersebut ditampung baik di negara asalnya. Akses para pengungsi
Pada tahun 2013 diketahui bahwa terdapat sangat terbatas.59 Beruntung masih ada
besar dengan kurang lebih 3000 – 4000 termasuk diantaranya Jesuit Refugee
jiwa pengungsi di wilayah Cisarua, Puncak, Service, yang memiliki keprihatinan pada
relokasi ke negara tujuan akhir, jika status dihadapi para pengungsi di atas tentu saja
Indonesia yang spesifik untuk isu kalangan penduduk lokal, WNI yang
57
UNHCR Indonesia, “Figures at Glances”, diakibatkan dari interaksi antara para
op.cit.
58
Muzafar Ali, Linda Briskman, Lucy Fiske,
op.cit. 59
Ibid.
44
pengungsi dengan penduduk lokal di sekitar pihak Konvensi Pengungsi 1951 dan
Berangkat dari rasa keprihatinan atas Salah satu alasan yang kiranya dapat
keadaan kehidupan para pengungsi serta menjadi dasar dari rasa kesadaran atas
rasa kekhawatiran dampak sosial, budaya, kewajiban hukum Indonesia di atas adalah
ekonomi dan hukum yang potensial baik adanya ketentuan Pasal 28 G ayat (2) UUD
untuk jangka singkat maupun panjang, 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang
maka Pemerintah Indonesia berupaya berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
yang masuk Wilayah Indonesia. Kebijakan suaka politik dari negara lain.61
inilah yang kemudian berkembang menjadi Dasar hukum lainnya yang juga
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah Pasal 25, Pasal
secara khusus mengatur tentang 26 dan Pasal 27 UU No. 37 tahun 1999 (UU
penanganan pengungsi luar negeri yang 37/1999) tentang Hubungan Luar Negeri.
45
Selain itu terdapat pula Undang- Baru pada masa pemerintahan
undang No. 6 Tahun 2011 tentang Presiden Joko Widodo, tujuh belas tahun
manusia; Peraturan Pemerintah No. 31 Presiden No. 125 tahun 2016 tentang
Tahun 2013 tentang Keimigrasian yang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri
illegal); dan Peraturan Dirjen Imigrasi No. kehidupan para pengungsi selama masa
IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang transit, yang bisa memakan waktu yang
Penanganan Imigran Ilegal. Peraturan- cukup lama, serta rasa kekhawatiran atas
peraturan ini juga mencakup penanganan dampak negatif yang potensial muncul
secara ilegal, namun kemudian menyatakan Indonesia, faktor pencetus langsung dari
diri sebagai pengungsi atau pencari suaka. terbitnya Perpres 125/2016 adalah ketibaan
Namun demikian, hingga tahun 2016 sejumlah besar pengungsi Rohingya dari
secara khusus isu pengungsi internasional. Perpres ini adalah sebuah reaksi ad-hoc
di lapangan, penanganan arus pengungsi yang potensial dapat muncul terkait tibanya
peraturan perundang-undangan di bidang langkah maju yang sangat positif dalam hal
46
hukum terkait pengungsi internasional di kebebasannya.63 Surat tersebut juga pada
Indonesia serta kesalahan praktek yang dasarnya telah mengakui prinsip non-
terkait pendatang ilegal, terhadap para pengungsi yang mungkin masuk secara
sebagai sanksi utama atas pelanggaran keamanan dan digantikan oleh pendekatan
Kantor Wilayah Hukum dan HAM serta 1951 serta Protokol 1967.65 Hal ini
apabila ada orang asing yang masuk ke norma hukum pengungsi internasional,
47
dari Konvensi 1951 maupun Protokol 1967. kaidah yang disetujuinya sehingga
Pemerintah Indonesia terkait prinsip-prinsip norma kaidah yang dipilihnya saja. Pola
sebelumnya telah pernah diambil oleh dalam skala luas bagi negara pengadopsi.
Pemerintah Indonesia dalam kaitannya Negara pengadopsi norma dan kaidah akan
dengan pelaksanaan kaidah yang diatur bebas untuk melakukan pick and choose,
dalam Statuta Mahkamah Pidana hanya mengadopsi norma yang cocok dan
Statute) / Statuta Roma). Indonesia tidak Pola pendekatan ini memang telah
menjadi negara pihak namun Indonesia menjadi solusi yang jauh dari ideal. Namun
Statuta Roma tersebut dalam UU No. 26 pengadopsi tidak mau sama sekali terikat,
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka opsi ini seharusnya menjadi langkah
keliatannya telah menjadi pilihan bagi kepentingan lebih luas lagi yaitu
peserta, namun tetap ada beberapa norma pemerintah pusat, dengan pemerintah
48
ditampung sementara,67 serta dengan Di sisi lain harus diakui pula Perpres
lembaga PBB (UNHCR) dan organisasi 125/2016 masih jauh dari ideal. Sebagai
pemerintah daerah untuk juga terlibat Indonesia, tanpa melihat konteks norma-
dalam pemenuhan sejumlah hak dasar norma tersebut dalam skala lebih luas
pengungsi, misalnya memberikan akses keseluruhan isi Konvensi 1951 dan Protokol
terhadap layanan pendidikan di sekolah 1967 yang memang tidak disahkan oleh
dilakukan Pemprov. D.K.I. Jakarta dan juga ternyata tidak mengatur opsi agar
tidak ternyata memenuhi syarat sebagai relokasi ke negara tujuan akhir atau
pengungsi atau bila kondisi negara asalnya pemulangan secara sukarela. Perpres
telah kondusif sehingga tidak ada lagi 125/2016 juga tetap tidak memiliki
49
progresif sehingga pada akhirnya ekonomi dan tindak pidana penyelundupan
dijadikan contoh dan ditiru oleh negara lain dengan tidak pidana penyelundupan
Thailand, dua negara tetangga Indonesia tunggu pengungsi di negara transit yang
yang juga bukan negara pihak Konvensi sudah lama, menjadi bertambah lama.
1951 dan Protokol 1967 namun juga Lamanya waktu tunggu potensial untuk
tanggung jawab hukum akibat penggunaan menangani arus pengungsi dari luar negeri
72
Ibid.
Pengungsi 1951 dan Protokol 1967,
50
meskipun Indonesia tidak menjadi peserta 125/2016, dengan segala kekurangannya,
dari kedua instrumen hukum internasional telah dianggap sebagai langkah positif
tersebut. Pola pendekatan yang diambil dalam hal perlindungan dan pemenuhan
oleh Pemerintah Indonesia dalam Perpres hak dasar pengungsi yang sedang dalam
125/2016 ini serupa dengan pola proses transit, baik untuk menunggu proses
pengadopsian terkait isu pelanggaran HAM penentuan status pengungsi maupun untuk
berat dimana Indonesia tidak menjadi pihak proses pemukiman di negara tujuan akhir
dari ideal karena mengingat terbatasnya Protokol 1967, terutama yang menampung
yang ada dalam Konvensi 1951 dan Indonesia dan menerbitkan kerangka
belum terakomodir. Namun pada saat ini dan perlindungan kepada pengungsi yang
51
Refugee 1967, 31 January 1967,
Terbitan Berkala United Nations, Treaty Series 606.
Convention Relating to the Status of
Afriansyah, Arie dan Eva Achjani Zulfa. Refugees, 28 July 1951, United
“Refugee Resettlement: A Review of Nations, Treaty Series, vol. 189.
Indonesia Law and Practices.” Indonesia. Peraturan Presiden No. 125
Indonesian Law Review 8, no. 2 Tahun 2016.
(2018): 211-215. Indonesia. Surat Dirjen Imigrasi No. F-
Ali, Muzafa, Linda Briskman, Lucy Fiske. IL.01.10-1297 Tahun 2002.
“Assylum Seekers and Refugee in Indonesia. Undang-undang No. 26 Tahun
Indonesia.” Cosmopolitan Civil 2000 tentang Pengadilan HAM Berat.
Societies Journal 8, no. 2 (2016): Indonesia. Undang-undang No. 37 Tahun
25-26. 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Brown, Thomas. “After the Boats Stopped: Statute of the International Court of
Refugees Managing a Life of Justice, 18 April 1946.
Protracted Limbo in Indonesia.” Vienna Convention on the Law of Treaties,
Antropologi Indonesia 38, no. 1 23 May 1969, United Nations, Treaty
(2017): 35. Series 1155.
Fitria. “Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi
di Negara Ketiga: Praktik Indonesia.”
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 2, Situs Web
no. 1 (2015).
Greig, D. W. “The Protection of Refugee Hasan, Rizki Akbar. “UNHCR: Indonesia
and Customary International Law.” Patut Dicontoh Soal Penangangan
8th Australian Yearbook of Pengungsi Internasional”,
International Law. (1978–1980), https://www.liputan6.com/global/rea
http://www5.austlii.edu.au/au/journa d/4015215/unhcr-indonesia-patut-
ls/AUYrBkIntLaw/1980/4.pdf (diakses dicontoh-soal-penanganan-
24 November, 2019). pengungsi-internasional, (diakses 27
Worster, William Thomas. “The Evolving November, 2019).
Definition of the Refugee In Ismayawati, Isye. Manusia Perahu, Tragedi
Contemporary International Law.” Kemanusiaan di Pulau Galang
Berkeley Journal of International Law (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
30, no. 1, (2012). 2013).
Peter Fitzmaurice. “Anniversary of the
forgotten Convention: The 1933
Dokumen Hukum Refugee Convention and the search
for protection between the world
wars”,
Arrangement Relating to the Issue of https://www.legalaidboard.ie/en/Abo
Identify Certificates to Russian and ut-The-Board/Press-
Armenian Refugees, 12 May Publications/Newsletters/Anniversary-
1926, League of Nations Treaty of-the-forgotten-Convention-The-
Series LXXXIX, no. 2004. 1933-Refugee-Convention-and-the-
Convention Relating to the International search-for-protection-between-the-
Status of Refugees, 28 October world -wars.html (diakses 23
1933, League of Nations, Treaty November, 2019).
Series CLIX no. 3663. The Editors of Encyclopaedia Britannica.
Convention Relating to the Status of “International Refugee Organization”.
Refugees, 28 July 1951, United Historical UN Agency,
Nations, Treaty Series 189, 137 dan https://www.britannica.com/topic/Int
Protocol Relating to the Status of ernational-Refugee-Organization-
52
historical-UN-agency (diakses 23
November, 2019).
Tobing, Dio Herdiawan. “Kebijakan Soal
Pencari Suaka – Tak Ideal Tapi Satu
Langkah Perbaikan”,
http://theconversation.com/kebijakan
-soal-pencari-suaka-tak-ideal-tapi-
satu-langkah-perbaikan-80696,
(diakses 27 November, 2019).
UNHCR Indonesia. “Figures at Glances”,
July 2019,
https://www.unhcr.org/id/en/figures-
at-a-glance (diakses 22 November,
2019).
UNHCR. “UNHCR in Indonesia”,
https://www.unhcr.org/id/en/unhcr-
in-indonesia (diakses 22 November,
2019).
UNHCR. “UNHCR, Refugee Protection and
International Migration” 17 January
2007,
https://www.unhcr.org/4a24ef0ca2.p
df (diakses 25 November, 2019).
53