menghadapi konflik dan mengelola konflik dengan menurunkan kepuasan keja dan performa individu
sebaik-baiknya (Nurcahyanti, 2010). Cara individu (DeChurch, Mesmer-Magnus, & Doty, 2013).
dalam mengelola konflik rumah tangga ini disebut Penelitian tentang perbedaan manajemen
dengan manajemen konflik perkawinan. konflik berdasarkan gender dalam relasi perkawinan
Manajemen konflik perkawinan adalah menemukan bahwa dalam menjalin sebuah hubungan,
kemampuan individu untuk mengelola konflik- studi menemukan laki-laki dan perempuan akan lebih
konflik yang dialaminya dengan cara yang tepat, merasa puas dengan diri dan pasangannya ketika
sehingga tidak menimbulkan komplikasi negatif pada menggunakan manajemen konflik yang kolaboratif
kesehatan jiwanya maupun keharmonisan keluarga (Greff & de Bruyne, 2000). Sementara itu, manajemen
(Rachmadani, 2003). Manajemen konflik dapat dilihat konflik menghindar tidak akan menyelesaikan konflik
melalui aspek kemampuan melihat seutuhnya konflik (Bear, Weingart, & Todorova, 2014). Manajemen
yang terjadi, kemampuan menganalisis konflik, dan konflik yang menghindar merupakan kecenderungan
kompromi (Pruitt & Rubin, 2009). Kerja sama untuk menghindari konfrontasi dengan berpura-pura
individu dalam menangani konflik rumah tangga bahwa konflik itu tidak terjadi atau mengabaikan
diharapkan dapat mengurangi efek dari konflik konflik. Selain itu penelitian menemukan bahwa laki–
rumah tangga itu sendiri (Zhou & Buehler, 2017). laki mempunyai kecenderungan untuk berkhianat
Faktor yang memengaruhi kemampuan lebih tinggi dari perempuan (Bogda & Sendil, 2012),
manajemen konflik antara lain faktor situasional dan kecenderungan berkhianat pada pasangan adalah
faktor pribadi. Faktor situasional meliputi persoalan salah satu indikasi manajemen konflik yang negatif.
dan hubungan pribadi sedangkan faktor pribadi salah Sedangkan di satu sisi penggugat cerai kebanyakan
satunya dipengaruhi oleh jenis kelamin atau gender adalah perempuan daripada laki-laki (Nurhasanah,
(Sari & Widyastuti, 2015). Gender adalah perbedaan 2017; Muharajah, 2018; Muhyiddin, 2018) karena
yang terkait dengan kesetaraan sosial antara pria dan menurut mereka perceraian adalah jalan keluar
wanita, didasarkan pada pengakuan bahwa perbedaan untuk menghindari stres dan depresi dalam rumah
pria dan wanita disebabkan oleh perbedaan sikap dan tangga (Nurhasanah, 2017). Perceraian
perlakuan (Fitriyani, 2013). Ciri yang membedakan mengindikasikan manajemen konflik yang negatif
laki-laki dan perempuan tidak hanya terdapat pada yang terjadi disebabkan ketidakmampuan individu
fisiknya saja (Astuti, 2009), perbedaan tersebut dalam mengelola konflik dan hubungan satu sama
menyebabkan perbedaan pula pada pola tingkah laku lain (Muhyiddin, 2018).
laki-laki dan perempuan (Wirawan, 2010; Sari & Meski penelitian sebelumnya telah mencoba
Widyastuti, 2015). memahami perbedaan manajemen konflik pada laki-
Konflik di dalam rumah tangga dipengaruhi laki dan perempuan, sepengetahuan kami belum ada
oleh perbedaan gender dalam hal perbedaan penelitian yang mencoba memahaminya secara
ketertarikan, pendapat dan perspektif diantara suami spesifik pada pasangan dengan usia perkawinan yang
dan istri (Delatorre & Wagner, 2018). Ada perbedaan relatif baru, yaitu lima tahun pertama. Penelitian ini
tentang bagaimana cara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk mengisi kekosongan tersebut.
dalam menangani konflik (Dildar & Amjad, 2017). Pengumpulan data dilakukan di kota Semarang.
Studi menemukan baik laki-laki ataupun perempuan Semarang tercatat sebagai kota dengan perceraian
cenderung menggunakan strategi manajemen konflik tertinggi se-Indonesia pada tahun 2016 serta
sesuai peran gender yang diharapkan (Gbadamosi, menempati 3 peringkat teratas kota dengan paling
Ghanbari Baghestan, & Al-Mabrouk, 2014). banyak perceraian periode 2015-2017 (Muhibar,
Bagaimanapun pula, jika manajemen konflik yang 2016; Hidayat, 2018). Oleh karena itu, penelitian ini
dipakai keduanya dalam mengelola konflik rumah merupakan penelitian replikasi yang berupaya
tangga itu positif dan dapat berjalan dengan baik, memahami apakah perbedaan gender dalam
maka akan berpengaruh juga dengan upaya mengelola konflik rumah tangga juga ditemukan pada
mempertahankan rumah tangga, meningkatnya konteks usia perkawinan muda di kota dengan angka
kepuasan pernikahan dan kesehatan keluarga perceraian yang tinggi.
(Delatorre & Wagner, 2018).
Penelitian mengenai perbedaan manajemen
konflik berdasarkan gender banyak dilakukan di Metode Penelitian
bidang industri dan organisasi. Penelitian di bidang
tersebut menemukan bahwa manajemen konflik yang Partisipan
baik dibutuhkan dalam produktivitas kerja.
Perempuan menggunakan gaya manajemen konflik Partisipan dalam penelitian ini adalah 91
kolaboratif serta lebih produktif sedangkan laki-laki pasangan suami-istri (n=182) dengan usia
cenderung menggunakan gaya manajemen konflik perkawinan dibawah 5 tahun (M=3,6, SD= 1,22).
yang menghindar serta lebih distruptive (Brahnam, Partisipan dipilih dengan teknik multiple stage cluster
Margavio, Hignite, Barrier, & Chin, 2005). Penelitian sampling dengan kriteria: Individu baik itu pria
sebelumnya tentang manajemen konflik dilakukan maupun wanita, sudah menikah secara sah, tinggal
dalam konteks perusahaan atau organisasi yang dalam satu rumah dengan pasangan, bukan janda
hasilnya manajemen konflik yang menghindar dapat maupun duda, dan usia perkawinan 1 sampai 5 tahun.
manajemen konflik atau pengelolaan konflik antara cenderung lebih banyak membantu dibanding
lain faktor situasional dan faktor pribadi. Faktor perempuan (Eaghly, 1987 dalam Trianevant, 2014).
pribadi salah satunya dipengaruhi oleh jenis kelamin Sedangkan temuan penelitian manajemen
atau gender. Temuan ini didukung pula oleh hasil konflik dalam rumah tangga, penelitian yang bertolak
riset literatur psikologis kognitif menyatakan bahwa belakang dengan temuan penelitian ini salah satunya
gender menjadi salah satu faktor level individual yang pernyataan Delatorre dan Wagner (2018) yang
dapat berpengaruh terhadap kinerja yang memerlukan menyebutkan strategi manajemen yang dilakukan
judgment dalam berbagai kompleksitas tugas oleh kelompok laki-laki kebanyakan memakai
(Pasanda & Paranoan, 2013). kompromi, sedangkan perempuan lebih sering
Sedangkan hasil penelitian berdasarkan menggunakan manajemen konflik “attack” atau
perbedaan mean antara kelompok laki-laki dan menyerang. Hal ini didukung oleh temuan penelitian
perempuan ini ditemukan bahwa manajemen konflik Coyne dkk. (2017) yang menyebutkan perempuan
kelompok perempuan mempunyai skor lebih tinggi menggunakan agresi lebih banyak daripada laki-laki
daripada manajemen konflik kelompok laki-laki. dalam hubungan pernikahan.
Berarti dari acuan tersebut dapat dikatakan bahwa Hasil penelitian yang bertolak belakang di atas
perempuan mempunyai kemampuan manajemen salah satunya menjelaskan bahwa strategi manajemen
konflik perkawinan lebih baik daripada laki-laki. konflik laki-laki lebih baik, tetapi walaupun laki-laki
Penelitian yang mendukung temuan ini antara lain lebih sering menggunakan manajemen konflik
penelitian Sumalata, Byadgi, & Yadav, 2013) yang kompromi (yang dinilai positif), tapi jika ditelisik
menemukan bahwa perempuan atau istri memiliki lebih jauh laki-laki ternyata juga cenderung
manajemen konflik akomodasi yang dinilai lebih baik melakukan pertahanan dan menghindar dalam
daripada manajemen konflik yang digunakan oleh menghadapi konflik (Delatorre & Wagner, 2018;
laki-laki yaitu gaya kolaborasi dan penghindaran. Kiecolt-Glaser & Newton, 2001; Gbadamosi dkk.,
Serta didukung oleh penelitian Bogda dan Sendil 2014).
(2012) secara tidak langsung mengemukakan bahwa Manajemen konflik perempuan berdasarkan
perempuan memiliki kecenderungan melakukan penelitian ini dinilai lebih baik daripada laki-laki jika
manajemen konflik yang baik dan aktif dibandingkan ditinjau dari beberapa aspek, salah satunya adalah
laki-laki dan laki-laki cenderung menggunakan kemampuan dalam menganalisis konflik yang terjadi
manajemen yang negatif dibuktikan dengan (Pruit & Rubin, 2009). Penelitian menyebutkan
cenderung berperilaku menghindar saat menghadapi perempuan lebih efisien dan efektif dalam
permasalahan yang terjadi. memproses informasi dalam tugas yang kompleks
Temuan pada penelitian ini bertolak belakang dibanding laki-laki karena perempuan lebih memiliki
dengan penelitian manajemen konflik secara umum. kemampuan untuk membedakan dan mengintegrasi-
Hal ini terkait dengan pengertian kemampuan kan kunci keputusan. Laki-laki relatif kurang
manajemen konflik. Menurut Nugraha dan Januarti mendalam dalam menganalisis inti dari suatu
(2015) pengertian kemampuan manajemen yang keputusan (Chung & Monroe, 2001). Hal ini didukung
sukses yang pada umumnya lebih dimiliki laki-laki oleh penemuan Fitriani (2013) yaitu perempuan
yang didasarkan pandangan Sex Role Stereotypes lebih bersifat menyeluruh atau komprehensif dalam
tentang laki-laki yang dipandang lebih berorientasi memproses informasi dibandingkan laki-laki.
pada pekerjaan, mampu bersikap obyektif, independen, Selain kemampuan dalam menganalisis konflik,
dan pada umumnya mempunyai kemampuan yang kemampuan melakukan kompromi (Pruit & Rubin,
lebih dalam pekerjaan. Sedangkan wanita dipandang 2009) yang dimiliki perempuan juga dinilai lebih baik
lebih pasif dan memiliki orientasi pertimbangan lebih daripada laki-laki. Bila konflik terjadi di antara laki-
rendah dibandingkan laki-laki dalam organisasi. laki, mereka cenderung menggunakan ancaman dan
Penelitian Nugraha dan Januarti (2015) ini kekerasan, sedangkan anak perempuan cenderung
juga didukung oleh pernyataan Eaghly (1987) dalam menggunakan strategi yang melunakkan konflik
Trianevant (2014) yang menyatakan bahwa laki-laki (Phutallaz & Sheppard dalam Mardianto, Koentjoro &
lebih berorientasi pada pekerjaan, objektif, Purnamaningsih, 2000). Dalam konflik, wanita
independen, agresif, dan pada umumnya mempunyai menginginkan kerja sama dari suami dan pria
kemampuan lebih dibandingkan perempuan dalam menginginkan otonomi. Wanita mengidentifikasi
pertanggungjawaban manajerial, termasuk pada lebih banyak masalah dalam suatu hubungan
manajemen yang dimiliki dalam rumah tangga. Dalam daripada pria (Dildar & Amjad, 2017). Kerjasama
lingkungan pekerjaan pun, apabila terjadi masalah individu dalam menangani konflik rumah tangga
atau konflik dalam pekerjaan, pegawai laki-laki akan diharapkan dapat mengurangi efek dari konflik
merasa tertantang menghadapinya dibandingkan rumah tangga itu sendiri (Zhou & Buehler, 2017).
untuk menghindarinya. Sedangkan pegawai Terakhir, menurut manajemen konflik Pruit dan
perempuan akan cenderung untuk menghindari Rubin (2009), aspek yang mendukung baik atau
konsekuensi konflik dibanding perilaku pegawai laki- tidaknya manajemen konflik yang dilakukan individu
laki, meskipun dalam banyak situasi perempuan lebih dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam melihat
banyak melakukan kerja sama dibanding laki-laki, seutuhnya konflik yang terjadi. Dalam hasil penelitian
tetapi apabila akan ada risiko timbul, laki-laki ini, perempuan dinilai lebih mampu melihat
seutuhnya konflik yang terjadi karena perempuan
mahir dalam membaca sinyal emosi baik verbal dan anak-anak. Anak perempuan cenderung untuk
non verbal dan mengungkapkan perasaannya mempertahankan interaksi yang harmonis, sedangkan
(Goleman, 1999). Hal ini didukung pula oleh penelitian anak laki-laki tampak lebih menaruh perhatian
Berrocal, Cabello, Castilo, dan Extrema, (2012) terhadap kekuasaan dan status selama berinteraksi
tentang perbedaan gender dalam aspek emosi yang dengan anak yang lain. Pernyataan tersebut
menyatakan bahwa perempuan lebih dapat diperkuat dengan pernyataan yang menyebutkan
memahami informasi emosi nonverbal. Hal ini bahwa perempuan dalam perbedaan peran dan
dikarenakan perempuan lebih familiar dengan dunia perkembangan sosial lebih mempertimbangkan
emosi daripada laki-laki. pengaruh tindakan mereka pada orang lain dari pada
Selain faktor gender, faktor lain yang berkaitan laki-laki (Straughan & Robert, 1999 dalam Junaedi,
dengan perbedaan manajemen konflik yang dimiliki 2008). Dari segi perkembangan moral pun, Barbara
masing-masing pasangan yaitu faktor peran sosial (dalam Pasanda & Paranoan, 2013) mengindikasikan
sesuai gender (Gbadamosi dkk., 2014), sisi bahwa pertimbangan moral dan alasan mendasar
perkembangan individu (Keener & Strough, 2017) dalam etika pada pria dan wanita berbeda, wanita
dan juga faktor lain seperti religiositas dan lamanya memiliki pertimbangan moral yang lebih tinggi
menjalin hubungan (Delatorre & Wagner, 2018; dibandingkan dengan pria.
Kamp Dush & Taylor, 2012). Faktor lain yang memengaruhi manajemen
Studi menemukan baik pria ataupun wanita konflik individu adalah religiositas dan lamanya
cenderung menggunakan strategi manajemen konflik menjalin hubungan. Religiositas berhubungan
sesuai peran gender yang diharapkan (Gbadamosi dengan frekuensi dalam berkonflik, dan manajemen
dkk., 2014). Stereotip pada gender diasosiasikan konflik yang positif atau konstruktif (Delatorre &
dengan laki-laki dan perempuan tidak hanya berbeda Wagner, 2018). Pasangan dengan religiositas tinggi
tetapi juga di inginkan secara berbeda (Sabrina, lebih mampu beradaptasi dan bekerjasama saat
Ratnawati, & Setyowati, 2016). Secara peran sosial, menghadapi konflik dibandingkan dengan yang
wanita lebih dominan dalam melakukan tugas rumah religiositasnya rendah (Kamp Dush & Taylor, 2012).
tangga, perbedaan peran ini membuat perbedaan Selanjutnya pasangan yang menjalin hubungan lebih
pula dalam manajemen konflik yang digunakan lama dan usia lebih dewasa cenderung lebih sedikit
(Delatorre & Wagner, 2018; Kiecolt-Glaser dan menghadapi konflik, kalaupun ada hanyalah konflik
Newton, 2001). dengan level kecil. Hal ini dikarenakan mereka
Temuan Wheeler, Updegraff, dan Thayer mempunyai makna pernikahan yang lebih sakral dan
(2010) yang melakukan penelitian 227 pasangan di dukungan sosial untuk mempertahankan pernikahan
Meksiko, menemukan bahwa resolusi atau manajemen yang terbentuk melalui lingkungan sosial turut
konflik dipengaruhi oleh orientasi budayanya. Di membantu dalam menjaga hubungan pernikahan
Indonesia, budaya patriarki membuat peran mereka (Kamp Dush & Taylor, 2012).
perempuan sebagai “makhluk manusia kedua” yang
mempunyai peran sosial yang bertanggung jawab
pada tugas domestik, belum lagi perempuan yang Kesimpulan
bekerja dituntut untuk menempatkan peran
domestik dan perkerjaan sama penting sehingga Manajemen konflik rumah tangga berbeda jika
menimbulkan “peran ganda” (Ahdiyah, 2013). ditinjau dari gender. Perempuan lebih tangkas dalam
Sehingga perempuan terbiasa melakukan dua mengelola konflik pernikahan daripada laki-laki.
pekerjaan tersebut sekaligus yang membutuhkan Perempuan dinilai mempunyai kemampuan yang
manajemen konflik yang baik. Sebaliknya, bagi laki- lebih dalam melihat seutuhnya konflik yang terjadi
laki pekerja, tidak ada istilah ”beban ganda”, mereka menurut situasi yang terjadi, kemampuan menganalisis
pada umumnya memang tidak bekerja ganda karena konflik dan kompromi dengan pasangan bila di
mereka tidak dituntut untuk menyelesaikan tugas- banding dengan laki-laki. Berdasarkan hasil
tugas rumah tangga, sebagaimana halnya perempuan penelitian dengan menggunakan diketahui terdapat
(Fakih, 1999). perbedaan manajemen konflik yang signifikan antara
Selain faktor peran sosial terhadap gender, perempuan, di mana skor manajemen konflik
perkembangan sosial juga memengaruhi manajemen kelompok perempuan lebih besar dari skor manajemen
konflik rumah tangga yang dimiliki individu. Pada konflik kelompok laki-laki.
masa perkembangan sosial masa anak-anak, strategi Berdasarkan acuan tersebut dapat dikatakan
yang dipakai laki-laki cenderung hanya efektif bahwa perempuan mempunyai kemampuan
dipakai jika mereka berinteraksi dengan sesama jenis manajemen konflik rumah tangga lebih baik daripada
atau teman sepermainan dibandingkan dengan lawan laki-laki. Aspek yang menjadi faktor perempuan
jenis, itulah kenapa jika berurusan dengan lawan memiliki kemampuan manajemen konflik rumah
jenis, laki-laki cenderung menggunakan strategi tangga yang lebih baik dapat dilihat dari kemampuan
menghindar dalam menghadapi konflik untuk perempuan dalam melihat konflik yang terjadi,
mengurangi stress (Keener & Strough, 2017). menganalisis konflik serta kemampuan kompromi.
Phutallaz dan Sheppard (dalam Mardianto dkk., Sedangkan faktor lain yang mungkin memengaruhi
2000) menjelaskan bahwa perbedaan manajemen adalah peran sosial sesuai gender, segi
konflik tercermin dalam perilaku konflik pada masa
Greeff, A. P. & de Bruyne, T. (2000). Conflict Nugraha, A. P., & Januarti, I. (2015). Pengaruh gender,
management style and marital satisfaction. pengalaman, keahlian auditor dan tekanan
Journal of Sex and Marital Therapy. 26(4), 321- ketaatan terhadap audit judgment dengan
334. doi:10.1080/009262300438724 kompleksitas tugas sebagai variabel moderasi
Goleman, D. (1999). Emotional Intelligence. Jakarta: pada BPK RI Jawa Tengah. (Skripsi tidak
Gramedia Pustaka Utama. diterbitkan). Semarang: Fakultas Ekonomika
Hapsari, E. (2013, 28 November). Usia pernikahan dan Bisnis Universitas Diponegoro.
kurang dari 5 tahun rawan cerai?. diunduh dari Nurcahyanti, F. W. (2010). Manajemen konflik rumah
https://www.republika.co.id/berita/humaira tangga. Yogyakarta: Insania.
/samara/13/11/27/mwx7mx-usia- Nurhasanah, N. (2017). The analysis of causes of
pernikahan-kurang-dari-5-tahun-rawan-cerai divorce by wives. The International Journal Of
Hidayat, R. (2018, 18 Juni). Melihat tren perceraian Counseling And Education. 2(4), 192-200. doi:
dan dominasi penyebabnya. Diunduh dari 10.23916/002017027240
https://www.hukumonline.com/berita/baca/ Pasanda, E., & Paranoan, N. (2013). Pengaruh gender
lt5b1fb923cb04f/melihat-tren-perceraian- dan pengalaman audit terhadap audit judgment.
dan-dominasi-penyebabnya Jurnal Akuntansi Multiparadigma (JAMAL). 4(3),
Hurlock. E. B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu 330-507. doi: 10.18202/jamal.2013.12.7207
pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Pruitt, D. G. & Rubin, J. Z. (2009). Teori konflik sosial.
Jakarta: Penerbit Erlangga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Junaedi, M. F. S. (2008). Pengaruh gender sebagai Pudjiastuti, E., & Santi, M. (2012). Hubungan antara
pemoderasi pengembangan model perilaku asertivitas dengan penyesuaian perkawinan
konsumen hijau Di Indonesia. KINERJA. 12(1), pasangan suami istri dalam usia perkawinan 1-
17-37. doi: 10.24002/kinerja.v12i1.1388 5 tahun di Kecamatan Coblong Bandung.
Kamp Dush, C. M., & Taylor, M. G. (2012). Trajectories Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan
of marital conflict across the life course: Humaniora. 3(1), 9-16. Diunduh dari
Predictors and interactions with marital http://proceeding.unisba.ac.id/index.php/sos
happiness trajectories. Journal of Family ial/article/view/85
Issues, 33(3), 341-368. doi: Rachmadani, C. (2013). Strategi komunikasi dalam
10.1177/0192513X11409684 mengatasi konflik rumah tangga mengenai
Keener, E., & Strough, J. (2017). Having and doing perbedaan tingkat penghasilan di RT. 29
gender: Young adults’ expression of gender Samarinda Seberang. eJournal Ilmu
when resolving conflicts with friends and Komunikasi. 1(1), 212–227. Diunduh dari
romantic partners. Sex Roles, 76(9-10), 615- http://ejournal.ilkom.fisip-
626. doi:10.1007/s11199-016-0644-8 unmul.ac.id/site/wp-
Kiecolt-Glaser, J. K., & Newton, T. L. (2001). Marriage content/uploads/2013/03/JURNAL%20ILMI
and health: His and hers. Psychological Bulletin, AH%20CHERNI%20RACHMADANI%20(03-
127(4), 472-503. doi: 10.I037//0033- 11-13-10-00-17).pdf
2909.127.4.472 Sabrina, T., Ratnawati, R., & Setyowati, E. (2016).
Mardianto, A., Koentjoro., & Purnamaningsih, E. H. Pengaruh Peran Gender, Masculine Dan
(2000). Penggunaan manajemen konflik Feminine Gender Role Stress Pada Tenaga
ditinjau dari status keikutsertaan dalam Administrasi Universitas Brawijaya. IJWS. 4(1)
mengikuti kegiatan pecinta alam di Universitas 1-14. Diunduh dari
Gadjah Mada Yogyakarta. Jurnal Psikologi. https://ijws.ub.ac.id/index.php/ijws/article/
27(2), 111-119. doi: 10.22146/jpsi.7003 view/111
Muharajah, K. (2018). Akibat hukum perceraian bagi Saidiah, S., & Julianto, V. (2016). Problem pernikahan
anak dan istri yang disebabkan oleh kekerasan dan strategi penyelesaiannya: studi kasus pada
dalam rumah tangga: Studi kasus di pengadilan pasangan suami istri dengan usia perkawinan
tinggi agama Semarang. SAWWA. 12(3), 337- dibawah sepuluh tahun. Jurnal Psikologi Undip.
356. doi: 10.21580/sa.v12i3.2092 15(2), 124-133. doi: 10.14710/jpu.15.2.124-
Muhibar, A. (2016, 17 November). 3 provinsi ini 133
sumbang angka perceraian tertinggi di Sari, T. D., & Widyastuti, A. (2015). Hubungan antara
Indonesia. Liputan6. Diunduh dari kecerdasan emosi dengan kemampuan
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/26 manajemen konflik pada istri. Jurnal
54865/3-provinsi-ini-sumbang-angka- Psikologi. 11(1), 49-54. doi:
perceraian-tertinggi-di-indonesia 10.24014/jp.v11i1.1433
Muhyiddin. (2018, 21 Januari). Ratusan ribu kasus Santrock, J. W. (2012). Adolescence : Fourteenth
perseraian terjadi dalam setahun. Republika. edition. New York : Mc Graw Hill.
Diunduh dari Sumalata., Byadgi. T. S., & Yadav. V. (2013). Conflict
https://www.republika.co.id/berita/dunia- Resolution Strategies Among Working
islam/islam- Couples. IOSR Journal Of Humanities and Sosial
nusantara/18/01/21/p2w4v9396-ratusan- Science. 14(4), 31–37. Retrieved from
ribu-kasus-perceraian-terjadi-dalam-setahun
20
Tabel A.1. Gambaran Umum dan Spesifik Manajemen Konflik Rumah Tangga
Manajemen konflik M SD Range Penentuan Kategori
Lampiran A
Sedang (μ - 1,0 σ) ≤ 11,7 ≤ X < 89 48,90
terjadi
X < (μ+ 1,0 18,3
σ)
Tinggi (μ+ 1,0 σ) ≤ 18,3 ≤ x 90 49,45
X
b. Aspek mampu 30,23 3,50 21,00 8 40 8 24 5,3 Rendah X < (μ - 1,0 X < 18,7 0 0
menganalisis σ )
konflik
Sedang (μ - 1,0 σ) ≤ 18,7 ≤ X < 106 58,24
X < (μ+ 1,0 29,3
σ)
Tinggi (μ+ 1,0 σ) ≤ 29,3 ≤ x 76 41,76
X
c. Aspek 28,82 3,22 18,00 7 35 7 21 4,7 Rendah X < (μ - 1,0 X< 16,3 2 1,1
kompromi σ )
Hidayah & Hariyadi