Anda di halaman 1dari 5

INTISARI

KOMPARASI BIAYA RIIL DENGAN TARIF INA-CBG’S DAN ANALISIS


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIAYA RIIL KEMOTERAPI PADA PASIEN
RAWAT INAP BPJS DI RSUD ULIN BANJARMASIN

Ramlah1; Aditya Maulana Perdana Putra2; Mubarak3

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menetapkan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan. Pembiayaan BPJS akan semakin meningkat karena
peningkatan kesadaran penduduk akan kesehatan, peningkatan jumlah penyakit menular
yang memakan biaya yang sangat besar, perekonomian semakin berkembang dan mobilitas
horisontal penduduk serta pertambahan penduduk itu sendiri. Salah satu penyakit yang
memerlukan biaya pengobatan yang sangat mahal adalah penyakit kanker. Oleh karena itu
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan antara biaya riil dengan tarif
paket INA-CBG‟s dan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi biaya riil pada pasien
kemoterapi onkologi rawat inap BPJS di RSUD Ulin Banjarmasin.
Penelitian ini merupakan peneliti observasi analitik, data diambil secara retrospektif.
Sampel penelitian ini adalah seluruh berkas klaim pelayanan rawat inap pasien kanker
BPJS yang menjalani kemoterapi dengan kode C-4-13-I periode Januari-Oktober 2016 di
RSUD Ulin Banjarmasin. Kriteria inklusi objek penelitian meliputi berkas klaim dan
catatan medik pasien kanker BPJS yang menjalani kemoterapi dengan kode diagnosa INA-
CBG‟s C-4-13-I. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi berkas klaim dan catatan medik
pasien meninggal dan pulang paksa.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa besar perbedaan antara biaya riil
dengan tarif paket INA-CBG‟s tahun 2016 pada pasien kemoterapi onkologi rawat inap
BPJS di RSUD Ulin Banjarmasin adalah Rp – 1.383.989.910. Faktor yang mempengaruhi
biaya riil pada pasien kemoterapi onkologi rawat inap BPJS di RSUD Ulin Banjarmasin
adalah biaya Apotek dengan nilai sig 0,000, dengan kekuatan korelasi sangat kuat (0,988)
dan pengaruh kontribusi sebesar 97,6%.

Kata Kunci: INA-CBG’s, Kanker, Selisih Tarif


1
Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin
ABSTRACT

COMPARATIVE COST OF RIIL WITH INA-CBG'S RATE AND FACTOR


ANALYSIS INFLUENCING THE COST OF KEMOTHERAPY COST OF
INPATIENT PATIENTS OF BPJS IN ULIN BANJARMASIN

Ramlah1; Aditya Maulana Perdana Putra2; Mubarak3

The National Social Security System (SJSN) stipulates that everyone is entitled to
health services. BPJS financing will increase due to increased awareness of the population
on health, the increasing number of infectious diseases that are very costly, the growing
economy and the horizontal mobility of the population as well as the growing population
itself. One of the diseases that require very expensive medical expenses is cancer.
Therefore, the purpose of this study was to know the difference between the real cost and
the INA-CBG's package rate and to find out the factors affecting the real cost of
chemotherapy oncology patient of BPJS in Ulin Banjarmasin.
This research is analytical observation researcher, data is retrospectively. The sample
of this research is all claims file of patient care services BPJS cancer patients undergoing
chemotherapy with code C-4-13-I period January-October 2016 at Ulin Hospital
Banjarmasin. The inclusion criteria of the study object included claims file and medical
records of BPJS cancer patients undergoing chemotherapy with INA-CBG's C-4-13-I
diagnostic code. While the exclusion criteria include claims files and medical records of
patients dead and forced home.
Based on this research, it can be concluded that the big difference between real cost
and INA-CBG's package rate in 2016 on chemotherapy oncology patient of BPJS in Ulin
Banjarmasin Hospital is Rp - 1,383,989,910. Factors affecting the real cost of
chemotherapy oncology of inpatient BPJS in RSUD Ulin Banjarmasin is pharmacy cost
with sig value 0.000, with very strong correlation strength (0,988) and influence of
contribution equal to 97,6%.

Keywords: INA-CBG's, Cancer, Tariff Difference


1
Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28-H, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehataan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan

kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat, berhak memperoleh

perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar

terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak

mampu (MenKes, 2010).

Misi pembangunan kesehatan Indonesia adalah memelihara dan meningkatkan

pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau. Dalam rangka meningkatkan

mutu pelayanan kesehatan khususnya untuk masyarakat miskin, Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia telah menentukan kebijakan penerapan konsep INA-CBG‟s (Indonesia

Case Base Groups) sebagai sistem pembayaran pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan

Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Pembiayaan BPJS akan semakin meningkat karena peningkatan kesadaran penduduk

akan kesehatan, peningkatan jumlah penyakit menular yang memakan biaya yang sangat

besar, perekonomian semakin berkembang dan mobilitas horisontal penduduk serta

pertambahan penduduk itu sendiri. Di lain pihak, rumah sakit sebagai provider pelayanan

kesehatan peserta BPJS sering mengeluhkan bahwa biaya klaim BPJS masih lebih rendah

dibandingkan biaya tarif rumah sakit, sehingga rumah sakit merasa „rugi‟ dengan pelayanan
BPJS. Sejalan dengan permasalahan tersebut, dimana di satu pihak penyakit katastropik

merupakan ancaman terhadap membengkaknya pembiayaan BPJS di masa datang,

sedangkan di pihak lain, rumah sakit merasakan bahwa biaya penggantian klaim INA-

CBG‟s lebih rendah dari tarif yang berlaku di rumah sakit, sehingga rumah sakit merasakan

„kerugian‟ dengan pola klaim berdasarkan INA-CBG‟s (Budiarto & Sugiharto, 2012).

Biaya pembayaran paket seringkali terdapat selisih antara tarif paket dan tarif riil yang

sering kali dianggap tidak mencukupi. Hal ini terjadi akibat belum komprehensifnya

pemahaman penyelenggaraan pola pembayaran dengan Indonesia Diagnosis Related

Groups (INA-DRG) terutama oleh dokter dan petugas lainnya yang menyebabkan belum

terlaksananya pelayanan yang efisien. Perbedaan tarif ini disebabkan oleh beberapa aspek

salah satunya dari aspek obat (Harlina, 2011).

Salah satu penyakit yang memerlukan biaya pengobatan yang sangat mahal adalah

penyakit kanker. Menurut Wakil Sekretaris Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Dr. Ulfana

Said Umar “Rata-rata biaya yang dikeluarkan cukup besar, yaitu antara Rp 102-106

juta/bulan. Untuk sampai ke diagnosis awal saja biaya yang dibutuhkan sudah mencapai Rp

10 juta. Apabila kankernya bisa dioperasi, minimal dibutuhkan Rp 25-29 juta, lalu masih

harus radiasi dan kemoterapi dengan biaya Rp 2-6 juta sekali terapi sebanyak rata-rata 6

kali terapi” (Pramudiarja, 2012).

Kanker adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus

bertumbuh/bertambah. Prevalensi kanker di Indonesia 1,4 per mil dimana daerah tertinggi

terdapat di DI Yogyakarta (4,1%), Jawa Tengah (2,1%), Bengkulu dab DKI Jakarta

masing-masing 1,9 per mil (Kemenkes, 2013b). Pada tahun 2012, kanker menjadi penyebab
kematian sekitar 8,2 juta orang dan kanker payudara adalah penyebab terbesar kematian

akibat kanker setiap tahunnya (43,1%) (Kemenkes, 2015).

Menurut profil kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2007

kanker tertinggi yang diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka

kejadian 26 per 100.000 perempuan (DinKes, 2007). Menurut hasil penelitian yang

dilakukan oleh Soegijanto (1989) tentang angka kelangsungan hidup penderita kanker

payudara yang dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin, dilaporkan bahwa angka harapan hidup

tiga tahun pasien kanker payudara stadium II sebesar 27% dan stadium III sebesar 16%.

Perez et al (1995) melakukan penelitian terhadap 281 pasien kanker payudara lokal-lanjut

dan didapatkan angka harapan hidup 81% untuk pasien yang dilakukan kontrol

lokoregional dengan mastektomi dan radioterapi sedangkan 42% untuk yang menerima

terapi radiasi saja.

RSUD ulin merupakan rumah sakit rujukan di Kalimantan Selatan. Rumah Sakit

Umum Daerah Ulin Banjarmasin didirikan dua tahun sebelum Indonesia merdeka oleh

pemerintah Jepang tepatnya pada tahun 1943 di atas tanah seluas 6,3 hektar. Dalam

meningkatkan kemampuan jangkauan dan mutu pelayanan, maka berdasar SK Menkes No.

004/Menkes/SK/I/2013 tanggal 07 Januari 2013 tentang persetujuan RSUD Ulin menjadi

rumah sakit tipe A, serta KepMenDag RI No.445.420-1279 tahun 1999 tentang penetapan

RSUD Ulin Banjarmasin sebagai rumah sakit pendidikan calon dokter umum.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti ingin meneliti “Komparasi Biaya Riil

dengan Tarif INA-CBG‟s dan Analisis Faktor yang Mempengaruhi Biaya Riil Kemoterapi

Pada Pasien Rawat Inap BPJS di RSUD Ulin Banjarmasin”.

Anda mungkin juga menyukai