Kel 5 Psikologi Belajar
Kel 5 Psikologi Belajar
Kecerdasan Emosional
Disusun Oleh
Dosen Pembimbing:
Ibu Fitri Puan M, Pd.
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER IVB
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL – HIKMAH
TANJUNGBALAI
TA. 2020/2021
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................2
Kesimpulan............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Dulu, semua orang beranggapan bahwa anak yang cerdas adalah mereka yang
memiliki IQ tinggi. Namun kenyataannya, angka IQ yang tinggi bukanlah jaminan bagi
kesuksesan mereka di masa depan kelak. Sering ditemukan dalam proses belajar
mengajar di sekolah, siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan
kemampuan inteligensinya. Ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu
kecerdasan emosional (EQ).1
Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang lebih baik,
cenderung dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat,
jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam
berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk
kerja akademis di sekolah lebih baik.
Melihat pentingnya kecerdasan emosional bagi peserta didik, maka penulis akan
membahas mengenai kecerdasan emosional dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1
Saefullah, Uyoh, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2012, hal. 166.
1
3. Bagaimana langkah-langkah pengembangan kecerdasan emosional dalam
pembelajaran di kelas?
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Tetapi perbedaan antara
keduanya tidak dapat dinyatakan dengan logis. Emosi dan perasaan merupakan gejala
emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasannya. Pada
suatu saat suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan tetapi juga dapat
dikatakan sebagai emosi. Contohnya marah yang ditunjukkan dalam bentuk diam. Jadi
sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian
emosi itu adalah sebagai berikut:
Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dari dalam
individutentang keadaan mental dan fisik berwujud suatu tingkah laku yang tampak.2
Dalam referensi lain, emosi adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika
seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap
penting olehnya, terutama well-being dirinya.3
Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan pada fisik sesorang, seperti:
2
Hastuti, Wiwik Dwi, dkk, Perkembangan Peserta Didik, Surabaya: LAPIS- PGMI, 2008, hal. 10-11.
3
Santrock, John W., Perkembangan Anak, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hal. 6-7.
3
a. Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona.
b. Peredaran darah bertambah cepat bila marah.
c. Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut.
d. Bernafas panjang bila kecewa.
e. Pupil mata membesar bila marah.
f. Air liur mengering bila takut atau tegang.
g. Bulu roma berdiri kalau takut.
h. Pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalu tegang.
i. Otot menjadi tegang atau bergetar (tremor).
j. Komposisi darah berubah dan kelenjar-kelenjar lebih aktif.4
Menurut english and english emosi adalah “A complex feeling state accompained
by characteristic motor and glandular activies” suatu keadaan atau perasaan yang
kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Sedangkan Sarlito
wirawan sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan “setiap keadaan pada diri
seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupunpada
tingkat yang luas (mendalam).
Emosi itu merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku
individu. Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami
pada saat menghadapi (menghayati) suatu sitasai tertentu. Contohnya gembira, bahagia,
putus asa, terkejut, benci (tidak senang) dan sebagainya. Dibawah ini ada beberapa
contoh tentang pengaruh emosi terhadap prilaku individu diantaranya sebagai berikut:
a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah
dicapai.
b. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai
puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
c. Menghambat atau mengganggu kosentrasi belajar, apabila mengalami ketegangan
emosi dan dapat menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
Fatimah, Enung, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), Bandung: Pustaka Setia,
4
4
d. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
e. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu sesama kecilnya akan
mempengaruhi sikap dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.
a. Lebih bersikap subjektif dari pada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan
dan berfikir.
b. Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
c. Banyak bersangkut paut peristiwa pengenalan panca indra.5
Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya,
5
5
Menurut Dwi Sunar P. (2010), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain
disekitarnya.8
Motivasi diri (motivating oneself), yaitu menggunakan hasrat paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif
dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kunci
motivasi adalah memanfaatkan emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan hidup
seseorang.
8
Ibid., hal. 129.
6
Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other) empati, yaitu
kemampuanuntuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
dengan orang banyak atau masyarakat.
9
Desmita, Op. Cit., hal. 170-172
7
dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalm suatu aktivita bermain
sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang
lain.
a. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh
terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang
digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks).
Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic,
tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi
seseorang. (1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira-kira 3 milimeter
yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks berperan penting dalam
memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan
tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks khusus lobus
prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi
emosi sebelum berbuat sesuatu. (2) System limbic. Bagian ini sering disebut sebagai
emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung
jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat
berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu
ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.
8
dan keluarga. Anak yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah
cenderung menunjukkan reaksiemosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional. Pola
asuh orang tua berpengaruh terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang dimanja
, diabaikan atau dikontrol dengan ketat (overprotective) dalam keluarga cenderung
menunjukkan reaksi emosional yang negatif. 10
a. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol,
mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam
perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya
dengan keadaan otak emosional.Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem
limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung
jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara
fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan
fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa
yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
9
menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa
sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting
bagi pembangunan kecerdasan emosi.
c. Faktor Pendidikan
Keluarga merupakan hal yang pertama kali diamati ketika anak baru berusia lima
tahun, dan sekali lagi diamati saat anak itu sudah mencapai usia sembilan tahun. Oleh
karena itu, orang tua dalam hal ini harus menjadi pelatih yang efektif bagi anak untuk
meningkatkan kecerdasan emosional anak yang dapat membantu mengembangkan
kecerdasan emosional. Proses tersebut terjadi dalam lima langkah:
1. Menyadari emosi anaknya, yaitu orang tua merasakan apa yang dirasakan oleh
anak-anak mereka. Agar bisa melakukannya, orang tua harus menyadari emosi-
emosi, pertama dalam diri mereka sendiri kemudian dalam diri anak-anak
mereka.11 Orang tua yang awas dapat mengenali isyarat-isyarat malapetaka
11
Gottman, John dan Joan de Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan
Emosional, Terj. T. Harmaya, Jakarta: Gramedia, 1997, hal. 73
10
emosional pada anak-anak mereka, isyarat-isyarat itu muncul dalam tingkah laku
seperti makan terlalu banyak, hilangnya nafsu makan, mimpi buruk, dan keluhan
pusing-pusing atau sakit perut.
2. Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar, yaitu
mengakui emosi anak dan menolong mereka mempelajari keterampilan-
keterampilan untuk menghibur diri mereka sendiri.
3. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut,
yaitu mendengarkan dan mengamati petunjuk-petunjuk fisik emosi pada anak.
Orang tua menggunakan imajinasi mereka untuk melihat situasi tersebut dari titik
pandang anak kemudian menggunakan kata-kata mereka untuk merumuskan
kembali dengan cara yang menenangkan dan tidak mengecam untuk menolong
anak-anak mereka memberi nama emosi-emosi mereka itu.
4. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang
sedang dialaminya, langkah ini merupakan langkah yang gampang dan sangat
penting dalam pelatihan emosi, misalnya tegang, cemas, sakit hati, marah, sedih
dan takut. Menyediakan kata-kata dengan cara ini dapat menolong anak-anak
mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan, dan tidak nyaman
menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, sesuatu yang mempunyai batas-batas dan
merupakan bagian wajar dari kehidupan sehari-hari. Studi-studi memperlihatkan
bahwa tindakan memberi nama emosi itu dapat berefek menentramkan terhadap
sistem saraf, dengan membantu anak-anak untuk pulih kembali lebih cepat dari
peristiwa-peristiwa yang merisaukan.
5. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang
dihadapi, proses ini memiliki beberapa tahap: (1) menentukan batas-batas
terhadap tingkah laku yang tidak pada tempatnya, (2) menentukan sasaran, (3)
memikirkan pemecahan yang mungkin, (4) mengevaluasi pemecahan yang
disarankan berdasarkan nilai-nilai keluarga, dan (5) menolong anak memilih satu
pemecahan.12
12
Ibid, halaman 94-103
11
kurikulumnya, misalnya pelajaran untuk bekerja sama. Di Amerika, keterampilan
emosional ini disebut “Self Science”.
Self Science adalah perintis gagasan yang saat ini (pada tahun 1996, yakni tahun
penulisan buku Emotional Intellegence oleh Goleman) menyebar di sekolah-sekolah
dari pantai timur sampai pantai barat Amerika Serikat. Nama dari pelajaran semacam ini
beragam mulai dari social development (pengembangan sosial), life skill (keterampilan
hidup), sampai social and emotional learning (pembelajaran sosial dan emosi). Benang
merahnya adalah sasaran untuk meningkatkan kadar keterampilan emosional dan sosial
pada anak sebagai bagian dari pendidikan reguler mereka.13
12
negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga anda maupun
orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang
muncul.
Anda jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk.
Emosi adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi
penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari
kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi
dapat membantu Anda mencapai kesuksesan. Ada beberapa langkah dalam mengelola
emosi diri sendiri, yaitu: Pertama adalah menghargai emosi dan menyadari
dukungannya kepada Anda. Kedua, berusaha mengetahui pesan yang disampaikan
emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya.
Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya.
Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting
dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau
perasaan kita, bukan sebaliknya.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan
menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati--adalah landasan keberhasilan
dalam berbagai bidang.
13
5. Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang
dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam
berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik.
Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan
dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu faktor lingkungan keluarga
dan non keluarga, faktor fisik, faktor psikis, faktor psikolgis, pelatihan emosi dan
pendidikan.
3. Langkah-langkah peningkatan kecerdasan emosinal yang bertujuan untuk mengembangkan
kecerdasan emosional, sebagai berikut:
2) Menyadari emosi anaknya.
3) Mengakui itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar.
4) Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut.
5) Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang
dialaminya.
6) Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Hastuti, Wiwik Dwi, dkk, Perkembangan Peserta Didik, Surabaya: LAPIS- PGMI,
2008
Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005
Sunar P., Dwi, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ, Jogjakarta: Flash Books, 2010.
Gottman, John dan Joan de Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional, Terj. T. Harmaya, Jakarta: Gramedia, 1997
16
Hendri Sasrawan, http://konseling.umm.ac.id/files/file/TENTANG
%20PSIKOLOGI.pdf diakses pada tanggal 23 Maret 2021
17