Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah seorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun

dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan fisik,

psikologis, social, dan spiritual. Anak merupakan individu yang berada dalam

satu rentang perubahan perkembangan yang di mulai dari bayi hingga remaja.

Anak adalah individu yang berusia 0 – 18 tahun di pandang sebagai individu

yang unik, yang punya potensi untuk tumbuh dan berkembang. Pediatrik

berkenaan dengan kesehatan bayi, anak remaja, pertumbuhan dan

perkembangannya dan kesempatannya untuk mencapai potensi penuh sebagai

orang dewasa. Lebih dari seabad yang lalu ilmu pediatrik muncul sebagai

kekhususan dalam menanggapi peningkatan kesadaran bahwa problem

kesehatan anak berbeda dengan orang dewasa dan bahwa respon anak

terhadap sakit dan stres berbeda-beda sesuai umur (Dewi Wulandari dan

Meira Erawati, 2016).

Pertumbuhan adalah perubahan fisik dan pertambahan jumlah dan

ukuran sel secara kuantitatif, dimana sel-sel tersebut mensintesis protein baru

yang nantinya akan menunjukkan pertambahan seperti umur, tinggi badan,

berat badan dan pertumbuhan gigi. Sedangkan perkembangan adalah

peningkatan kompleksitas fungsi dan keahlian (kualitas) dan merupakan aspek

1
2

tingkah laku pertumbuhan. Contohnya kemampuan berjalan, berbicara, dan

berlari (Marmi dan Rahardjo, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh

kembang anak, yaitu : Faktor Genetik dan Faktor Lingkungan. Sanitasi

lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam penyediaan

lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh kembangnya,

kebersihan perorangan maupun lingkungan memegang peranan penting dalam

timbulnya penyakit. Akibat dari kebersihan yang kurang, maka anak sering

sakit, misalnya diare, cacingan, demam berdarah. (Dewi Wulandari dan Meira

Erawati 2016).

Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga

merupakan penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai

dengan kematian. Menurut data World Health Organization (WHO) pada

tahun 2017, diare adalah kejadian buang air besar dengan konsistensi lebih

cair dari biasanya, dengan frekuensi tiga kali atau lebih dalam periode 24 jam.

Diare merupakan penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh infeksi

mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularannya

secara fekal-oral. Diare dapat mengenai semua kelompok umur baik balita,

anak-anak, dan orang dewasa dengan berbagai golongan sosial. Secara global

terjadi peningkatan kejadian diare dan kematian akibat diare pada anak balita

pada tahun 2015 dan 2017. Pada tahun 2015, diare menyebabkan sekitar 688

juta prang sakit dan 499.000 kematian diseluruh dunia terjadi pada anak-anak
3

usia dibawah 5 tahun. Data WHO (2017), menyatakan hampir 1,7 miliar kasus

diare terjadi pada anak dengan angka kematian sekitar 525.000 pada anak

balita tiap tahunnya.

Kejadian diare di Indonesia pada tahun 2014 ditemukan sebanyak

8.490.9876 kasus. Adapun secara nasional angka kematian atau case fatality

rate (CFR) pada KLB diare pada tahun 2014 sebesar 1,14%. Sedangkan target

CFR < 1%. Dengan demikian secara nasional, CFR KLB diare tidak mencapai

target program (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Menurut Riskesdas tahun

2018 angka kesakitan diare pada balita diprovinsi jawa barat sebanyak 12,8%

dan angka kesakitan diare semua umur tahun 2000 adalah 301/1000

penduduk, tahun 2003 adalah 374/1000 penduduk dan tahun 2006 adalah

423/1000 penduduk. Kematian diare pada balita 75.3/100.000 dan semua

umur 23.2/100.000 penduduk semua umur (SKRT 2012). Diare merupakan

penyebab kematian nomor 4 (13.2%) pada semua umur dalam kelompok

penyakit menular. Proporsi diare sebagai penyebab kematian nomor 1 pada

bayi post neonatal (31.4%) dan pada anak balita (25,2%) (Dinas Kesehatan

Jawa Barat 2016).

Menurut Dinas Kabupaten Cirebon, didapat data diare pada anak

tahun 2015 yaitu <1 tahun sebanyak 8.111 penderita, yang meninggal

sebanyak 1 orang, usia 1-4 tahun sebanyak 14.013 penderita, usia >5 tahun

sebanyak 18.207 penderita. Sedangkan pada tahun 2016 yaitu usia <1 tahun

sebanyak 14.557 penderita, usia 1-4 tahun sebanyak 24.169 penderita, yang

meninggal sebanyak 1 orang, dan usia >5 tahun sebanyak 36.231 penderita.
4

Jadi dari hasil tersebut menunjukkan bahwa penyakit diare pada tahun 2015

dan 2016 yang terjadi di Dinas Kabupaten Cirebon mengalami peningkatan.

Studi pendahuluan dari Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah

Cirebon bulan November 2018 – Januari 2019 di ruang anak kelas II dan III

didapatkan bahwa anak yang dirawat dengan gejala demam yang menduduki

peringkat paling banyak adalah kasus diare dengan jumlah total 90 anak dan

rata – rata terjadi pada anak usia 1 – 5 tahun. Diare pada balita sangat

berbahaya selain dapat menyebabkan dehidrasi ringan, sedang dan berat

bahkan dapat menyebabkan kematian jika tidak segera ditangani dengan

benar.

Penanganan demam dapat melalui terapi farmakologi dan non

farmakologi. Salah satu tindakan non farmakologi tentang diare adalah berupa

tindakan hidroterapi. Hidroterapi adalah terapi penggunaan air untuk

menyembuhkan & meredakan berbagai penyakit dengan cara tertentu (Kozier,

dkk, 2010). Ada 2 macam hidroterapi, yaitu hidroterapi internal meliputi

pemberian minum seperti pemberian air putih, susu, jus dan lain-lain,

sedangkan hidroterapi eksternal meliputi kompres air hangat dengan kompres

plester, kompres air hangat dan kompres daun kembang sepatu, tepid sponge,

serta kompres tepid sponge (Kozier, dkk, 2010). Hal ini sesuai dengan

beberapa penelitian tentang pangaruh tapid sponge pada penurunan suhu

tubuh yang sudah dilakukan oleh Djuwariyah, dkk (2011) mengatakan bahwa

lebih efektif pemberian kompres air hangat dibanding kompres plester.

Roihatul Zahroh, dkk (2017) mengatakan bahwa lebih efektif kompres air
5

hangat dibanding kompres daun kembang sepatu, dan Hamid (2011)

mengatakan bahwa kompres tepid sponge lebih cepat menurunkan hipertermi.

Tepid Sponge adalah suatu metode kompres untuk menurunkan suhu

dengan menggunakan air suhu ruangan (20-25°C) atau hangat (suhu 29-32 °C)

dengan cara membilas seluruh tubuh menggunakan waslap atau sepon

(Hockenberry, 2009). Dengan tapid sponge sinyal dikirim ke hipotalamus

posterior sehingga kulit mengalami vasokontriksi, suhu tubuh diserap pori –

pori kulit dan suhu tubuh menurun.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin melakukan

penelitian dengan judul : “Pengaruh Tapid Sponge Terhadap Suhu Tubuh

Pada Pasien Diare Di Ruang Perawatan Anak (Rpa) Rsu Universitas

Muhammadiyah Cirebon Tahun 2019”.

B. Perumusan Masalah

Hasil study pendahuluan pada 10 orang yang mengalami demam

akibat diare, 4 orang ibu memakai tehnik kompres plester untuk menurunkan

demam, 4 orang ibu memakai tehnik kompres air hangat untuk menurunkan

demam dan 2 orang ibu lainnya menggunakan tehnik tapid sponge untuk

menurunkan demam. Setelah dibandingkan antara kompres plester, kompres

air hangat dan kompres tapid sponge lebih cepat menurunkan demam dengan

tehnik tapid sponge. Sehingga pertanyaan penelitian yang muncul adalah

“Apakah ada pengaruh tapid sponge tehadap suhu tubuh pada pasien diare
6

diruang perawatan anak RSU Universitas Muhammadiyyah Cirebon tahun

2019?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya pengaruh tapid sponge terhadap suhu tubuh pada

pasien diare diruang perawatan anak RSU Universitas Muhammadiyah

Cirebon.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran kejadian penyakit diare diruang perawatan

anak RSU Universitas Muhammadiyah Cirebon.

b. Diketahuinya gambaran suhu tubuh sebelum dilakukan pemberian

tapid sponge diruang perawatan anak RSU Universitas

Muhammadiyah Cirebon.

c. Diketahuinya gambaran suhu tubuh setelah dilakukan pemberian tapid

sponge diruang perawatan anak RSU Universitas Muhammadiyah

Cirebon.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah ilmu dan pengetahuan serta

pengembangan untuk studi pembelajaran mengenai pengaruh tapid sponge


7

terhadap suhu tubuh dan kaitanya kejadian diare pada balita pada Program

S1 Keperawatan STIKes YPIB Majalengka.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Institusi Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi institusi

kesehatan dalam peningkatan program masyarakat dalam peningkatan

promosi kesehatan mengenai pengendalian penyakit diare

b. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan

pengetahuan mengenai hubungan dan sikap kepala keluarga dalam

upaya pengendalian penyakit diare, juga masukan bagi institusi

kesehatan masyarakat yang berkesinambungan dan berkualitas.

c. Bagi RSU Universitas Muhammadiyyah Cirebon

Meningkatkan faktor resiko terjadinya diare pada balita,

penatalaksanaan asuhan keperawatan dan promosi kesehatan secara

promotif terhadap ibu yang mempunyai balita.

d. Bagi Ibu Yang Mempunyai Anak Balita

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan

motivasi bagi masyarakat dalam menghadapi penyakit diare sehingga

masyarakat dapat lebih waspada dan selalu menjaga kesehatan baik

lingkungan maupun keluarganya karena diare dapat meyerang siapa

saja dan kapan saja.


8

e. Bagi Peneliti Lainnya

Sebagai bahan masukan dan dokumen ilmiah yang bermanfaat

dalam mengembangkan ilmu serta dapat digunakan dan bahan

perbandingan peneliti selanjutnya.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Diare

1. Pengertian Diare

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI atau RSCM mengartikan diare

sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer

dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dikatakan diare

bila buang air besar sudah lebih dari 4 kali sedangkan untuk bayi berumur

lebih dari 1 bulan dan anak, bila frekuensinya lebih dari 3 kali (Marmi &

Rahardjo, 2012).

Diare merupakan gejala yang terjadi karena kelainan yang

melibatkan fungsi pencernaan, penyerapan dan sekresi. Diare disebabkan

oleh transportasi air dan elektrolit yang abnornal dalam usus (Wong,

2008). Sedangkan menurut Suriadi & Rita (2010) diare adalah kehilangan

cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi 1 kali

atau lebih buan air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair.

Diare akut adalah buan air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk

cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak

dari pada biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain

memakai frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali perhari.

Buang air besar tersebut dapat atau tanpa disertai lendir dan darah.

9
10

Penularan diare karena infeksi melalui transmisi fekal oral

langsung dari penderita diare atau melalui makan atau minuman yang

terkontaminasi bakteri pathogen yang berasal dari tinja manusia atau

hewan atau bahan muntahan penderita dan juga dapat melalui udara atau

melalui aktivitas seksual kontak oral-genital atau oral-anal. (Sudoyo

Aru,dkk 2009)

Berdasarkan pengertian diare menurut pendapat beberapa pakar

tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa diare adalah buang air besar

yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih

banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila buang air besar

sudah lebih dari 4 kali sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan

dan anak, bila frekuensinya lebih dari 3 kali.

2. Klasifikasi Diare

Diare akut didefenisikan sebagai keadaan peningkatan dan

perubahan tiba-tiba frekuensi defekasi yang sering disebabkan oleh agens

infeksius dalam traktus GI. Keadaan ini dapat menyertai Infeksi Saluran

Napas Atas (ISPA) atau Infeksi Saluran Kemih (ISK), terapi antibiotik

atau pemberian obat pencahar (laksatif). Diare akut biasanya sembuh

sendiri (lamanya sakit kurang dari 14 hari).

Diare kronis didefinisikan sebagai keadaan meningkatnya

frekuensi defekasi dan kandunan air dalam feses dengan lamanya (durasi)

sakit lebih dari 14 hari. Kerap kali diare kronis terjadi karena keadaan

kronis seperti sindrom malabsorpsi, penyakit inflamasi usus, defisiensi


11

kekebalan, alergi makanan, intoleransi laktosa atau diare nonspesifik yang

kronis, atau sebagai akibat dari penatalaksanaan diare akut yang tidak

memadai.

Diare yang membandel (intraktabel) pada bayi merupakan sindrom

yang terjadi pada bayi dalam usia beberapa minggu pertama serta

berlangsung lebih lama dari 2 minggu tanpa ditemukannya

mikroorganisme patogen sebagai penyebabnya dan bersifat resisten atau

membandel terhadap terapi. Diare kronis nonspesifik yang juga dikenal

dengan istilah kolon iritabel pada anak atau diare toodler, merupakan

penyebab diare kronis yang serin dijumpai pada anak-anak yan berusia 6

hinga 54 minggu. Anak-anak ini memperlihatkan feses yang lembek yang

sering disertai partikel makanan yang tidak dicerna, dan lamanya diare

melebihi 2 minggu (Wong, 2008).

Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan : (Sudoyo Aru,dkk 2009)

a. Lama waktu diare :

Akut : berlangsung kurang dari 2 minggu

Kronik : berlangsung lebih dari 2 minggu

b. Mekanisme patofisiologis : osmotik atau sekretorik

c. Berat ringan diare : kecil atau besar

d. Penyebab infeksi atau tidak : infeksi atau non infeksi

e. Penyebab organik atau tidak : organik atau fungsional


12

3. Etiologi Diare

Menurut Dewi Wulandari dan Meira Erawati (2016), Ada empat macam

penyebab diare, yaitu :

a. Faktor infeksi

1) Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang

merupakan penyebab utama astroenteritis. Meliputi infeksi enteral

sebagai berikut:

a) Infeksi bakreri: Vibrio, Escherichia Coli, Salmonella, Shigella,

Campylobacter, Yersinia, Acromonas, dan sebagainya.

b) Infeksi virus: Enterovirus (Virus Ecno, Coxsacme,

Poliomyelitis) Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dan lain-lain.

c) Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris,

Strongyloide) protozoa, (Entamoeba histolytica, Giardia

lamblia, Thricomonas hominis), jamur (Candida, Albicans)

2) Infeksi parenteral yaitu infeksi diluar alat pencernaan makanan

seperti Otittis Media Akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis,

bronkhopneumonia ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini

terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.

b. Faktor malabsorpsi

1) Malabsorpsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa

dan sikrosa), monosakarida (intoleren glukosa, fruktosa dan

galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering

intoleransi laktosa.
13

2) Malabsopsi lemak

3) Malabsorpsi protein

c. Faktor makanan: maknaan basi, beracun, alergi terhadap makanan

d. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi

pada anak yang lebih besar.

4. Manifestasi Klinis Diare

Menurut Sodikin (2011), Manifestasi klinis gastrointeritis adalah

sebagai berikut:

a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu badan meningkat,

nafsu makan berkurang dan tidak ada.

b. Sering buang air besar dengan konsisensi feses makin cair, mungkin

mengandung darah atau lendir, dan warna feses berubah menjadi

kehijau-hijauan karena bercamput empedu.

c. Anus dan area sekitarnya lecet karena seringnya defekasi, sementara

tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.

d. Dapat disertai muntah sebelum dan sesudah diare.

e. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, berat badan menurun, ubun-ubun

besar cekung pada bayi, tonus otot dan turgor kulit berkurang, dan

selaput lendir pada mulut dan bibir terlihat kering.

Gejala klinis menyesuaikan dengan derajat aau banyaknya

kehilangan cairan. Berdasarkan kehilangan berat badan, dehidrasi terbagi

menjadi empat kategori yairu tidak ada dehidrasi (bila terjadi penurunan

berat badan 2,5%), dehidrasi ringan (bila terjadi penurunan berat badan
14

2,5-5%), dehidrasi sedang (bila terjadi penurunan berat badan 5-10%), dan

dehidrasi berat (bila terjadi penurunan berat badan 10%).

Manifestasi klinis diare menurut (Yuliana elin, 2009):

a. Diare akut

1) Akan hilang dalam waktu 72 jam dari onset

2) Onset yan tak terduga dari buang air besar encer, gas-gas dalam

perut, rasa tidak enak, nyeri perut

3) Nyeri pada kuadran kanan bawah disertai kram dan bunyi pada

perut

4) Demam

b. Diare kronik

1) Serangan lebih serig selama 2-3 periode yang lebih panjang

2) Penurunan BB dan nafsu makan

3) Demam indikasi terjadi infeksi

4) Dehidrasi tanda-tandanya hipotensi takikardia, denyut lemah

5. Patofisiologis Diare

Menurut Muttaqin dan Kumala (2011), Secara umum kondisi

peradangan pada gastrointestinal disebabkan oleh infeksi dengan

melakukan invasi pada mukosa, memproduksi enterotoksin dan atau

memprosuksi sitotoksin. Mekanisme ini menghasilkan sekresi cairan dan

atau menurunkan absorbsi cairan sehingga akan terjadi dehidrasi dan

hilangnya nutrisi dan elektrolit.


15

Mekanisme dasar yang menyebabkan diare, meliputi hal-hal

sebagai berikut:

a. Gangguan osmotik, kondisi ini berhubungan dengan asupan makanan

atau zat yang sukar diserap oleh mukosa intestinal dan akan

menyebabakn tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga

terjadi pergerseran air dan elektrolit ke dlam rongga usus. Isi rongga

usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk

mengeluarkannya sehingga timbul diare.

b. Gangguan sekresi, akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada

dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit oleh

dinding usus ke dalam ronga usus dan selanjutnya timbul diare karena

terdapat peningkatan ini rongga usus.

c. Gangguan motilitas usus, terjadinya hiperperistaltik (kram

abdominal/perut sakit dan mules) akan mengakibatkan berkurangnya

kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare,

sebaliknya bila peristaltik usus menurun mengakibatkan bakteri timbul

berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare juga.

Usus halus menjadi bagian absorpsi utama dan usus besar

melakukan basobsi air yang akan membuat solid dari komponen feses,

dengan adanya gangguan dari gastroenteritis akan menyebabkan absorbsi

mutrisi dan elektrolit oleh uus halus, serta absorbsi air menjadi tergangu.

Selain itu diare juga dapat terjadi akibat masuknya mikroorganisme

hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung.


16

Organisme masuk pada mukosa epitel, berkembang biak pada usus dan

menempel pada mukosa usus serta melepaskan eneterotoksin yang dapat

menstimulasi cairan dan elektrolit keluar dari sel mukosa. Infeksi virus ini

menyebabkan destruksi pada mukosa sel dari vili usus halus yan dapat

menyebabkan penurunan kapasitas absorbsi cairan dan elektrolit. Interaksi

antara toksin dan epitel, usus menstimulasi enim Adenilsiklase dalam

membran sel dan mengubah cyclic AMP yang menyebabkan peningkatan

sekresi air dan elektrolit. Proses ini disebut diare sekretorik. Pada proses

invasi dan pengrusakan mukosa usus, organisme menyerang enterocytes

(sel dalam epitelium) sehina menyebabkan peradangan (timbul mual

muntah) dan kerusakan pada mukosa usus.

Pada pemeriksaan histologi, bakteri dapat menyebabkan ulserasi

superfisialpada usus dan dapat berkembang biak di sel epitel. Sedangkan

bila bakteri menembus dinding usus melalui plague peyeri di ileum makan

akan diikuti dengan multiplikasi organisme inrasesular dan organisme

mencapai sirkulasi sitemik.

6. Komplikasi Diare

Menurut Marmi & Rahardjo (2012), Sebagai akibat kehilangan

cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai macam

komplikasi seperti:

a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik)

b. Rentan hipovolemik
17

c. Hipokalemia (dengan gejala meterorismus, hipotoni otot, lemah,

bradikardia perubahan pada elektrokardiagram)

d. Hipoglikemia

e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktose

karena kerusakan vili mukosa usus halus

f. Kejang, terutama pada dehidrasi hipotonik

g. Malnutrisi energi protein karena selaim diare dan muntah, penderita

juga mengalami kelaparan.

7. Penatalaksanaan Diare

Menurut Dewi Wulandari dan Meira Erawati (2016), Pada anak-

anak penatalaksanaan diare akut akibat infeksi terdiri dari :

a. Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan

Empat hal penting yang perlu diperhatikan :

1) Jenis cairan

Pada diare akut yang ringan dapat diberikan oralit. Diberikan cairan

ringel laktat bila tidak terjadi dehidrasi dapat diberikan cairan NaCl

isotonik ditambah satu ampul Na bicarbonat 7,5 % 50 m.

2) Jumlah cairan

Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang

dikeluarkan.

3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan

Rute pemberian cairan pada orang dewasa dapat dipilih oral/IV.


18

4) Jadwal pemberian cairan

Dehidrasi dengan perhitungan kebutuhan cairan berdasarkan

metode Daldiyono diberikan pada 2 jam pertama. Selanjutnya

kebutuhan cairan rehidrasi diharapkan terpenuhi lengkap pada

akhir jam ke tiga.

b. Identifikasi penyebab diare akut karena infeksi

Secara klinis, tentukan jenis diare. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan

penunjang yang terarah.

c. Terapi simtomatik

Obat anti diare bersifat simtomatik dan diberikan sangat hati-hati atas

pertimbangan yang rasional. Antimotalitas dan sekresi usus seperti

Loperamid, sebaliknya janan dipakai pada infeksi salmonella, shiela

dan koletis pseudomembran, karena akan memperburuk diare yang

diakibatkan bakteri entroinvasif akibat perpanjangan waktu kontak

antara bakteri dengan epithel usus. Pemberian antiemetik pada anak

dan remaja, seperti metoklopopomid dapat menimbulkan kejang akibat

rangsangan ekstrapiramidal.

d. Terapi definitif

Pemberian edurasi yang jelas sangat penting sebagai langkah

pencegahan. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunisasi

melalui vaksinasi sangat berarti, selain terapi farmakologi.


19

B. Demam Pada Diare

1. Pengertian Demam

Menurut Dainty Maternity (2018) Hipertermi adalah peningkatan

suhu tubuh yang dapat disebabkan oleh suhu lingkungan yang berlebihan,

infeksi, dehidrasi karena diare, atau perubahan mekanisme pengaturan

suhu tubuh sentral yang berhubungan dengan trauma lahir pada otak atau

malformasi dan obat-obatan.

Demam merupakan suatu indikasi terjadinya infeksi virus, bakteri

atau penyakit serius lainnya. Ketidakmampuan mekanisme kehilangan

panas untuk mengimbangi produksi panas yang berlebih sehingga

menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Penentuan demam juga ditentukan

berdasarkan pembacaan suhu pada waktu yang berbeda dalam satu hari

kemudian dibandingkan dengan nilai suhu normal individu. Jaringan dan

sel tubuh akan berfungsi secara optimal jika suhu tubuh dalam batas

normal dimana berkisar dari 36,5–37,5°C. Subnormal jika suhu tubuh

350C & dibawahnya. Pireksia jika suhu tubuh 37,8-39, 0C. Hiperpireksia

jika suhu tubuh melebihi 39,50C. (Sodikin, 2012).

Demam merupakan gejala sakit yang sangat biasa dialami oleh

smua umur. Dari bayi 0 bulan sampai yang sudah berumur tujuhpuluhan

bisa mengalami demam. Pengertian demam itu sendiri adalah peningkatan

suhu tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk

menghilangkan panas atupun mengurangi produksi panas (Isnaeni, 2014).


20

Demam dapat didefinisikan dengan suatu keadaan suhu tubuh di

atas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di

hipotalamus, yang dipengaruhi oleh IL-1. Pusat pengaturan suhu yang

mempertahankan suhu dalam keadaan seimbang baik pada saat sehat

ataupun demam dalam mengatur keseimbangan diantara produksi dan

pelepasan panas tubuh. Bila terjadi suhu tubuh yang tidak teratur, karena

disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan pembatasan

panas, disebut dengan hipertermia. Pada keadaan hipertermia, interleukin-

1 tidak terlibat,akibatnya pusat pengaturan suhu dihipotalamus berada

dalam keadaan normal. (Sodikin, 2012).

2. Penyebab Demam

Zat yang menyebabkan demam, adalah pirogen. Ada 2 jenis

pirogen yaitu pirogen eksoge dan endogen. Pirogen eksogen berasal dari

luar tubuh dan berkemampuan untuk merangsang IL-1. Sedangkan pirogen

endogen berasal dari dalam tubuh dan memiliki kemampuan untuk

merangsang demam dengan mempengaruhi kerja pusat pengaturan suhu di

hipotalamus. Zat-zat pirogen endogen, seperti interleukin-1, tumor

necrosis factor (TNF), serta interferon (INF).

Kausa demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan

toksemia, karena keganasaan atau reaksi terhadap pemakaian obat. Selain

itu juga karena gangguan pada pusat regulasi suhu sentral yang

menyebabkan peninggian temperatur seperti pada heat stroke, perdarahan

otak, koma atau gangguan sentral lainnya. (Sodikin, 2012).


21

3. Penanganan Demam pada Diare

Secara garis besar penanganan demam menurut Sodikin (2012),

ada 3 tahapan. Pertama anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium

sesuai kebutuhan. Kemudian mengevaluasi untuk menentukan apakah ada

tanda-tanda spesifik atau tidak. Berikutnya tahap kedua yang terdiri dari 2

tahap yaitu jika ditemukan tanda dan gejala fokal tertentu maka dilakukan

pemeriksaan tambahan yang lebih spesifik pada penyakit yang dicurigai,

kedua jika tidak ada tanda dan gejala fokal maka dilakukan pemeriksaan

ulang darah lengkap. Setelah itu kedua tahap dievaluasi untuk ditindak

lanjuti dengan tahap berikutnya. Tahap ketiga adalah pemeriksaan secara

kompleks serta terarah, konsultasi ke bagian lain dan tindakan invasif

dilakukan seperlunya.

Menurut Mulya Rahma Karyanti (2014), penanganan demam pada

anak secara farmakologis yaitu dengan pemberian antipiretik, sedangkan

penanganan demam secara non farmakologis yaitu tirah baring, kompres

alcohol, kompres hangat (tapid sponge), dan kompres hangat.

C. Tapid Sponge

1. Pengertian Tapid Sponge

Tepid Sponge adalah suatu metode kompres untuk menurunkan

suhu dengan menggunakan air suhu ruangan (20-25°C) atau hangat (suhu

29-32 °C) dengan cara membilas seluruh tubuh menggunakan waslap atau

sepon (Hockenberry, 2009).


22

Tepid sponge merupakan salah satu cara metode fisik untuk

menurunkan demam yang bersifat non farmakologi. Tehnik ini dilakukan

dengan melakukan kompres air hangat diseluruh badan anak. Suhu air

untuk menompres antara 30-350C. (Setiawati, 2009).

Tepid sponge merupakan suatu prosedur untuk meningkatkan

kontrol kehilangan panas tubuh melalui evaporasi dan konduksi, yang

biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami demam tinggi.Tujuan

dilakukan tindakan tepid sponge yaitu untuk menurunkan suhu tubuh pada

pasien yang mengalami hipertermia (Hidayati, 2014).

Kompres tepid sponge adalah sebuah teknik kompres hangat yang

menggabungkan teknik kompres blok pada pembuluh darah supervisial

dengan teknik seka. Kompres tepid sponge ini hampir sama dengan

kompres air hangat biasa, yakni mengompres pada lima titik (leher, 2

ketiak, 2 pangkal paha) ditambah menyeka bagian perut dan dada atau

diseluruh badan dengan kain. Basahi lagi kain bila kering. Berdasarkan

penelitian dari Isnaeni (2014) tentang “efektifitas penurunan suhu tubuh

antara kompres hangat dan water tepid sponge pada pasien anak usia 6

bulan - 3 tahun dengan demam” adalah kompres tepid sponge hangat lebih

efektif dari kompres hangat.

Kompres tepid sponge bekerja dengan cara vasodiltasi

(melebarnya) pembuluh darah perifer diseluruh tubuh sehingga evaporasi

panas dari kulit ke lingkungan sekitar akan lebih cepat, dibandingkan hasil

yang diberikan oleh kompres hangat yang hanya mengandalkan reaksi dari
23

stimulasi hipotalamus.. Kompres tepid sponge ini sudah terbukti efektif

untuk menurunkan panas tubuh saat demam, bahkan lebih cepat daripada

meminum obat penurun panas. (Isnaeni, 2014).

Tepid sponge adalah sebuah teknik kompres hangat yang

menggabungkan teknik kompres blok pada pembuluh darah supervisial

dengan teknik seka (Alves, 2008). Bahasa gampangnya, si anak kita seka

dengan kain/washlap yang sudah direndam air hangat suam-suam kuku.

Kompres tepid sponge bekerja dengan cara vasodilatasi (melebarnya)

pembuluh darah perier diseluruh tubuh sehingga evaporasi panas dari kulit

ke lingkungan sekitar akan lebih cepat.

2. Tujuan Tapid Sponge

Tapid sponge bertujuan untuk menurunkan suhu dipermukaan

tubuh. Turunnya suhu terjadi lewat panas tubuh yang digunakan untuk

menguapkan air pada kain kompres. Karena air hangat membantu darah

tepi dikulit melebar, sehingga pori-pori menjadi terbuka yang selanjutnya

memudahkan pengeluaran panas dari dalam tubuh. Pendapat lain dengan

suhu diluar hangat, maka tubuh akan menganggap suhu diluar cukup

panas yang membuat tubuh bereaksi menurunkan suhu. (Sodikin, 2012).

3. Manfaat Tapid Sponge

Menurut (http://skepandners.blogspot.com/2017/03/satuan-acara-

penyuluhan-water-tepid.html), manfaat dari tapid sponge adalah:

a. Dapat memberikan rasa nyaman


24

b. Teknik tepid sponge lebih efektif untuk mempercepat penurunan suhu

tubuh dibanding kompres hangat.

c. Adanya perbedaan penurunan suhu tubuh antara kompres hangat

dengan teknik tepid sponge sebesar 0,20C.

4. Teknik Tapid Sponge

a. Tahap Persiapan

1) Persiapan alat meliputi ember atau baskom untuk tempat air hangat

(37°C), lap mandi/wash lap, handuk mandi, selimut mandi, perlak,

termometer digital.

2) Cuci tangan 6 langkah sebelum kontak dengan pasien dan demgan

lingkungan pasien.

b. Tahap Pelaksanaan

1) Jelaskan prosedur dan demonstrasikan kepada keluarga cara tepid

water sponge.

2) Beri kesempatan klien untuk buang air sebelum dilakukan tepid

water sponge.

3) Ukur suhu tubuh klien dan catat. Catat jenis dan waktu pemberian

antipiretik pada klien.

4) Buka seluruh pakaian klien dan alas klien dengan perlak.

5) Tutup tubuh klien dengan handuk mandi. Kemudian basahkan

wash lap atau lap mandi, usapkan mulai dari kepala, dan dengan

tekanan lembut yang lama, lap seluruh tubuh, meliputi leher, kedua

ketiak, perut, ekstremitas atas dan lakukan sampai ke arah


25

ekstremitas bawah secara bertahap. Lap tubuh klien selama 15

menit. Pertahankan suhu air (37°C).

6) Apabila wash lap mulai mengering maka rendam kembali dengan

air hangat lalu ulangi tindakan seperti diatas.

7) Hentikan prosedur jika klien kedinginan atau menggigil atau segera

setelah suhu tubuh klien mendekati normal. Selimuti klien dengan

selimut mandi dan keringkan. Pakaikan klien baju yang tipis dan

mudah menyerap keringat.

5. Pengaruh Tapid Sponge Terhadap Suhu Tubuh

Tindakan pendinginan secara tradisional, seperti memakaikan

pakaian minimal, memajan kulit dengan udara, menurunkan suhu kamar,

meninggikan sirkulasi udara, dan pemberian kompres dingin dan lembab

pada kulit (mosalnya didahi) efektif jika diberikan kurang lebih 1 jam

setelah pemberian antipiretik sehingga set point dapat menurun. Tindakan-

tindakan tersebut dikenali sebagai metode fisik (Sodikin, 2012). Metode

penanganan demam secara fisik, memungkinkan tubuh kehilangan panas

dengan cara konduksi, konveksi, atau penguapan.

Prosedur pendinginan seperti mengusap atau mandi air hangat

tidak efektif dalam mengatasi demam pada anak-anak baik jika digunakan

sendiri atau dikombinasikan dengan antipiretik, dan menyebabkan

ketidaknyamanan (Wong, et.al, 2009). Tetapi ada kecederungan bahwa

pemberian antipiretik yang disertai dengan tepid sponge mengalami


26

penurunan suhu lebih besar bila dibandingkan dengan pemberian

antipiretik saja (Setiawati, 2009).

Pemberian kompres disepakati saat ini adalah pemberian kompres

dengan air suam-suam kuku (air hangat), setelah pemberian anipiretik

pada kasus demam yang cukup tinggi. Kompres tubuh anak disekitar dahi,

dada dan ketiak. Kompres dengan air dingin (es) atau alkohol sangat tidak

disarankan mengingat anak dapat mengigil atau dapat juga menyebabkan

keracunan alkohol.

Tapid sponge jika dilakukan dengan benar akan sangat efektif

menurunkan demam secara cepat. Akan tetapi, efek tapid sponge selain

dapat menurunkan suhu tubuh, juga menyebabkan vasokontriksi.

Vasokontriksi menyebabkan anak kedinginan bahkan menggigil terutama

jika tidak dikombinasikan dengan antipiretik. (Setiawati. 2009).

Tapid sponge sering direkomendasikan untuk mempercepat suhu

tubuh. Akan tetapi selama tapid sponge, terjadi penurunan suhu tubuh

yang menginduksi vasokontriksi, mengigil, produksi panas metabolik dan

ketidaknyamanan secara umum kepada anak. (Corrad. 2001).

D. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Hasil penelitian yang dilakukan Isneini (2014) tentang efektifitas

penurunan suhu tubuh antara kompres hangat dan tapid sponge pada

pasien anak usia 6 bulan – 3 tahun dengan demam di Puskesmas Kartasura


27

Kutoharjo. Mengatakan bahwa tapid sponge lebih efektif menurunkan

suhu tubuh dibandingkan dengan kompres hangat.

2. Hasil penelitian yang dilakukan Hamid (2011) tentang keefektifan

kompres tapid sponge yang dilakukan ibu dalam menurunkan demam pada

anak: Randomized control trial dipuskesmas Mumbulsari kabupaten

Jember. Mengatakan bahwa tapid sponge lebih cepat menurunkan demam.

3. Hasil penelitian yang dilakukan Suprapti (2008) tentang perbedaan

pengaruh kompres hangat dengan kompres dingin terhadap penurunan

suhu tubuh pada pasien anak karena infeksi BP di RSUD Djojonegoro

Temanggung. Mengatakan bahwa tepid sponge efektif dalam mengurangi

suhu tubuh pada anak dengan hipertermia dan juga membantu dalam

mengurangi rasa sakit atau ketidaknyamanan.

4. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Roihatul Zahroh (2017)

tentang efektifitas pemberian kompres air hangat dan sponge bath

terhadap perubahan suhu tubuh pasien anak gastroenteritis, diperoleh hasil

bahwa rata-rata (mean) suhu tubuh sebelum dilakukan interpensi tapid

sponge adalah 37,6 dengan standar deviasi 0,156 di RS Muhammadiyah

Kabupaten Gresik.

5. Penelitian Liliek Pratiwi (2014) tentang efektivitas kompres hangat dengan

tepid water sponge terhadap penurunan demam pada pasien yang

mengalami kejadian demam, diperoleh hasil rata-rata suhu tubuh sebelum

dilakukan intervensi n tepid water sponge sebesar 38,87 0C di ruangan ICU

RSUD ArjawinangunKabupaten Cirebon


28

E. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka teori mengenai pengaruh

tapid sponge terhadap suhu tubuh pada pasien diare dapat dilihat pada diagram

berikut:

Diare

Peningkatan Suhu Tubuh

Penanganan Farmakologis : Penanganan Non Farmakologis :

1) Pemberian antipiretik 1) Tirah baring


2) Kompres alkohol
3)
3) Kompres hangat (Tapid Sponge)

4) Kompres dingin

Penurunan Suhu Tubuh

Diagram 2.1 Kerangka Teori Menurut Mulya Rahma Kuryanti (2014)


Keterangan :

= Diteliti

= Tidak Diteliti
29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-

konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan

dilakukan. (Notoadmodjo, 2010).

Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan hubungan antara

variabel bebas yaitu Tapid Sponge terhadap variabel terikat yaitu Suhu Tubuh

pada Pasien Diare.

independent dependent

Suhu Tubuh pada


Tapid Sponge
Pasien Diare

Diagram 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :
: Diteliti
: Pengaruh

29
30

B. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara, hipotesis sebagai pernyataan

tentative antara satu variabel, dua variabel atau lebih (Jenita Doli. 2016).

Maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Ada pengaruh tapid sponge

terhadap suhu tubuh pada pasien diare diruang perawatan anak RSU

Universitas Muhammadiyyah Cirebon tahun 2019”.

C. Definisi Konseptual dan Operasional

1. Definisi Konseptual

a. Tapid Sponge

Tepid Sponge adalah suatu metode kompres untuk menurunkan

suhu dengan menggunakan air suhu ruangan (20-25°C) atau hangat

(suhu 29-32 °C) dengan cara membilas seluruh tubuh menggunakan

waslap atau sepon (Hockenberry, 2009).

b. Suhu Tubuh

Menurut Sutisna (2012), Suhu tubuh merupakan keseimbangan

antara produksi dan pengeluaran panas dari tubuh, yang diukur dalam

unit panas yang disebut derajat celcius.


31

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Pengaruh Tapid Sponge Terhadap


Suhu Tubuh Pada Pasien Diare Di Ruang Perawatan Anak
RSU Unversitas Muhammadiyyah Cirebon Tahun 2019

Definisi
No Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Terikat
1. Suhu Keseimbangan Mengukur Termometer 1. Subnormal Ordinal
Tubuh antara dan dan lembar jika suhu
produksi dan mencatat observasi tubuh ≤
pengeluaran 360C
panas dari 2. Normal jika
tubuh, yang suhu tubuh
diukur dalam 36,5-37,50C
unit panas 3. Pireksia jika
yang disebut suhu tubuh
derajat celcius. 37,8-39,50C
4. Hiperpireksi
jika suhu
tubuh ≥
39,50C
Bebas
2. Tapid adalah - - - -
Sponge kompres untuk
menurunkan
suhu dengan
menggunakan
air suhu
ruangan (20-
25°C) atau
hangat (suhu
29-32 °C)
dengan cara
membilas
seluruh tubuh
menggunakan
waslap atau
sepon

D. Metode Penelitian
32

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode

quasi eksperimental. Quasi eksperimental hampir mirip dengan

eksperimen sebenarnya perbedaannya terletak pada pengontrolannya yakni

pengontrolannya hanya dilakukian terhadap satu variabel saja, yaitu

variabel yang dipandang paling dominan. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui jawaban tentang pengaruh suatu perlakuan, maka

terdapat variabel yang mempengaruhi (sebab) dan variabel yang

dipengaruhi (akibat) (Sugiyono. 2013). Desain penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu pretest-posttest.

Y1 X Y2
Diagram 3.2 Desain Penelitian

Keterangan :

X : Perlakuan Tapid Sponge

Y1 dan Y2 : Kelompok Perlakuan

2. Populasi dan Sample

a. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau

subjek yang mempunyai kualitas dan karakeristik tertentu yang

ditetapkan untuk kemudian ditarik kesimpulannya. (Notoatmodjo.

2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diare di


33

RSU Universitas Muhammadiyyah Cirebon tahun 2019 dalam rentang

bulan november 2018 sampai bulan januari 2019 sebanyak 90 pasien.

b. Sample Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan

diteliti (Arikunto. 2010). Penarikan sample diperlukan jika populasi

yang diambil sangat besar, dan peneliti memiliki keterbatasan untuk

menjangkau seluruh populasi maka peneliti perlu mendeifinisikan

populasi target dan populasi terjangkau baru kemudian menentukan

jumlah sample dan teknik sampling yang digunakan.

Besar sample penelitian menggunakan rumus menurut Slovin

dalam Notoatmodjo (2010):

N
n= 2
1+ N ( d )

Dimana :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Tingkat kesalahan 0,05 (5%)

maka :

30
n=
1+30 (0,052)

= 27,90 = 28

Dari perhitungan tersebut maka diperoleh besar sampel minimal

sebanyak 28 orang.

c. Teknik Pengambilan Sampel


34

Teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel pada

penelitian ini mengunakan teknik accidental sampling. Menurut Anang

dan Rina (2018) accidental sampling adalah pengambilan sampel

secara accidental ini dilakukan dengan mengambil kasus atau

responden yang kebetulan ada atau tersedia.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti menentukan kriteria inklusi

untuk sampel yaitu:

Kriteria inklusi :

1) Penderita pasien di Ruang Perawatan Anak RSU Universitas

Muhammadiyyah Cirebon

2) Pasien berusia 1-5 tahun

3) Pasien bersedia menjadi responden

Krieria ekslusi :

1) Pasien yang berusia > 5 tahun

2) Pasien tidak bersedia menjadi responden

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di RSU Universitas Muhammadiyyah

Cirebon pada tanggal 27 Mei – 27 Juni tahun 2019.

F. Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data primer yang bersumber langsung

dari responden melalui pengukuran suhu tubuh dengan termometer. Sebelum

memulai pengumpulan data terlebih dahulu peneliti mencari pasien diare yang
35

mengalami peningkatan suhu tubuh yang bersedia menjadi responden. Peneliti

melakukan kontrak waktu dengan responden yang terpilih kemudian keluarga

responden mengisi lembar persetujuan menjadi responden sebagai pernyataan

persediaan menjadi responden selama penelitian.

Peneliti melakukan pengukuran suhu tubuh menggunakan termometer

dibantu oleh perawat lain. Peneliti sebelumnya menjelaskan tentang

bagaimana cara untuk mengukur suhu tubuh dan suhu tubuh yang termasuk

untuk diberikan kompres dengan teknik tapid sponge serta menjelaskan

bagaimana cara melakukan tapid sponge. Pengukuran dilakukan satu kali

dalam rentang waktu 1-2 menit. Kemudian diberikan teknik tapid sponge

selama 15 menit. Dan dilakukan kembali pengukuran suhu tubuh satu kali

dengan rentang waktu 1-2 menit.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk

mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan,

mengolah, manganalisa dan menyajikan data-data secara sistematis serta

objektif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu

hipotesis. Jadi semua alat yang bisa mendukung suatu penelitian bisa disebut

instrumen penelitian (Sugiyono, 2010). Instrumen dalam penelitian ini untuk

mengukur suhu tubuh menggunakan termometer dan lembar observasi.

H. Langkah-langkah Pengolahan Data


36

Langkah-langkah pengolahan data sebagai berikut:

1. Editing

Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data

responden. Dalam hal ini adalah kelengkapan hasil pengukuran suhu tubuh

sebelum dan sesudah perlakuan tapid sponge. Apabila ternyata ditemukan

data suhu tubuh responden ada yang belum lengkap maka perlu dilakukan

data ulang untuk melengkapinya. Tetapi, apabila tidak memungkinkan

untuk diperbaiki, maka pertanyaan yang jawabannya tidak lengkap

tersebut tidak diolah atau dimasukan dalam penolahan “data missing”.

2. Coding

Pengkodean (coding) yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau

huruf menjadi data angka atau bilangan. Pengkodean ini dilakukan untuk

mempermudah analisis deskriptif berdasarkan kategori suhu tubuh

berdasarkan tinjauan teori. Kode yang dimasukan kedalam tabel yaitu 0 =

subnormal jika suhu tubuh ≤ 360C, 1 = normal jika suhu tubuh 36,5 – 37,5
0
C, 2 = pireksia jika suhu tubuh 37,5 – 39,5 0C, 3 = hiperpireksia jika suhu

tubuh ≥ 39,50C.

3. Memasukan data (Entry) atau processing

Langkah ini adalah data-data dari masing-masing responden

dimasukan dalam bentuk kode (angka) kemudian diolah ke dalam program

atau software komputer. Dalam proses ini dituntut ketelitian karena

apabila tidak akan terjadi bias, meskipun hanya memasukan data saja.

4. Pembersihan data (Cleaning).


37

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesa

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, kemudian

dilakukan pembetulan atau koreksi.

I. Analisa Data

Dalam melakukan analisa data terlebih dahulu harus diolah dengan

tujuan mengubah data menjadi informasi menggunakan program SPSS.

1. Analisa Univariat

Analisa univariat pada umumnya merupakan analisis deskriptif yang

menggambarkan suatu data yang akan dibuat sendiri maupun secara

kelompok. Tujuan analisis ini adalah untuk membuat gambaran secara

sistematif data yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta

hubungan antara fenomena yang diteliti. Untuk variabel dengan skala ukur

rasio atau interval menghasilkan distribusi tendensi sentral yaitu berupa

nilai mean, median, standar deviasi dan modus.

a. Mean

Menghitung mean atau rata-rata menggunakan rumus berikut:

Ʃx
X=
n

Keterangan:

X = nilai rata-rata

Ʃx = jumlah nilai dari x1, x2, ... Xn

n = jumlah sampel
38

b. Median

Median adalah nilah tengah dari rangkaian data yang telah disusun

secara berurut. Rumus yang digunakan yaitu:

1
Mo=tb +
2
( )
n−f k
f
c

Keterangan:

Me = nilai median

tb = tepi bawah kelas median

c = panjang kelas

fk = frekuensi kumulatif sebelum kelas median

f = freuensi kelas median

c. Standar deviasi

Rumus yang digunakan yaitu:

S2 = √ Ʃ ¿ ¿ ¿

Keterangan:

S = standar deviasi

X = nilai rata-rata sampel

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan pada dua variabel untuk mengetahui

adanya hubungan atau korelasi. Uji yang digunakan adalah wilcoxon

signed rank adalah jenis uji statistika yang bertujuan untuk

membandingkan rata-rata dua grup yang tidak saling berpasangan atau

tidak saling berkaitan. Tidak saling berpasangan dapat diartikan bahwa


39

penelitian dilakukan untuk dua subjek sampel yang berbeda (Arikunto,

2010). Dalam penelitian ini wilcoxon signed rank untuk mengidentifikasi

pengaruh tapid sponge terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien diare.

Sebelum dilakukan uji wilcoxon signed rank dilakukan uji

normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk hal ini dikarenakan jumlah

sampel < 50 orang untuk masing-masing kelompok. Syarat yang harus

dipenuhi adalah data berdistribusi normal. Jika data berdistribusi tidak

normal maka uji yang digunakan adalah uji wilcoxon signed rank. Adapun

uji hipotesis dengan uji-t berpasangan (wilcoxon signed rank)

menggunakan rumus:


t=
SD
( )
√n
Keterangan:

T = nilai t hitung

D = rata-rata hasil pengukuran post test (Y)

SD = Standar deviasi pengukuran post test (Y)

n = jumlah sampel

(Arikunto, 2010)

Kriteria uji :

a. Pendekatan klasik, yaitu dengan membandingkan nilai t hitung

dengan t tabel:

1) t hitung > t tabel maka Ho ditolak, artinya ada pengaruh tapid

sponge terhadap suhu tubuh pada pasien diare di Ruang


40

Perawatan Anak (Rpa) Rsu Universitas Muhammadiyah Cirebon

Tahun 2019

2) t hitung < t tabel maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada

pengaruh tapid sponge terhadap suhu tubuh pada pasien diare di

Ruang Perawatan Anak (Rpa) Rsu Universitas Muhammadiyah

Cirebon Tahun 2019

b. Pendekatan probabilitas, dengan ketentuan:

1) Apabila p value < dari α (0.05) maka H0 ditolak, artinya ada

pengaruh tapid sponge terhadap suhu tubuh pada pasien diare di

Ruang Perawatan Anak (Rpa) Rsu Universitas Muhammadiyah

Cirebon Tahun 2019

2) Apabila p value > dari α (0.05) maka H0 gagal ditolak, artinya

tidak ada pengaruh tapid sponge terhadap suhu tubuh pada pasien

diare di Ruang Perawatan Anak (Rpa) Rsu Universitas

Muhammadiyah Cirebon Tahun 2019

J. Etika Penelitian

Penelitian dimulai dengan melakukan berbagai prosedur yang

berhubungan dengan etika penelitian meliputi:

a. Informed concent, diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed

concent merupakan lembar persetujuan untuk menjadi responden.

b. Anonimity, berarti tidak perlu mencantumkan nama pada lembar

pengumpulan data (kuesioner)


41

c. Confidentiality, yaitu kerahasiaan informasi responden dijamin oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil

penelitian.

Anda mungkin juga menyukai