Restoration of Peat Swamp Through Rewetting (Canal Blocking) and Paludiculture Method
Restoration of Peat Swamp Through Rewetting (Canal Blocking) and Paludiculture Method
L. Budi Triadi 1) *
1)
Direktorat Bina Teknik Sumber Daya Air
Jl. Ir. H. Juanda No. 193, Bandung, Indonesia
*Coresponden email: buditriadi@yahoo.com
ABSTRACT
Degradation in peatlands is generally caused by the conversion of land use into land with large-scale economic
commodities that can cause damage to peatlands, regardless of the economic commodity planted. Conversion of
peatlands and canalization have become major threats to peatlands which leads to peat fire, subsidence, flooding, CO2
emission, as well as economic and social problems. This study was obtained from literature study on current problems
and solutions of degraded peatlands through peatland hydrology restoration by canal blocking and cultivation of species
that do not require drainage. There are four types of dams that are often used to control water flows, plank dam,
composite dam, plastic dam, and sluice. The selection of dam is highly dependent on bio-physical condition, dimensions of
canals, peat-topography, availability and accessibility of transportation to the dam site. This literature review shows that
there is strong correlation between canal blocking and the increasing of ground water level, where canal blocking is
useful for raising the water table and moisturizing the soil. In the implementation of paludiculture on Indonesia's tropical
peat, the certain species / commodities can survive to wet condition, and also have economic value such as: Metroxylon
spp, Nypa fruticans Wurmb, Alseodaphne spp., Nothaphoebe spp., and Shorea spp. In order to survive, the type of plants
has to be selected, adjusted to the condition of peatlands water level and especially has a potential to restore degraded
land.
Keywords: Peatlands, paludikultur, canal blocking, restoration, ground water level
ABSTRAK
Degradasi di lahan rawa gambut umumnya diakibatkan oleh alih fungsi lahan menjadi lahan dengan komoditas
ekonomi skala besar yang dapat menyebabkan kerusakan lahan gambut, apapun komoditas ekonomi yang ditanam. Alih
fungsi lahan yang disertai dengan pembuatan drainase menyebabkan lahan menjadi kering, mudah terbakar, subsiden,
banjir, emisi CO2 dan permasalahan sosial-ekonomi. Penelitian ini dilakukan melalui studi literatur terkait persoalan
dan solusi pemulihan lahan gambut terdegradasi melalui restorasi hidrologi dengan metode sekat kanal dan penanaman
jenis tanaman yang tidak membutuhkan drainase (paludikultur). Terdapat empat tipe sekat yang biasa digunakan,
yaitu sekat papan, sekat isi, sekat plastik, dan sekat geser. Pemilihan tipe sekat sangat tergantung kepada kondisi bio-
fisik, dimensi kanal, topografi gambut, ketersediaan material dan aksesibilitas ke lokasi penabatan. Dari studi pustaka
ini diketahui adanya korelasi yang kuat antara keberadaan sekat terhadap penambahan ketinggian muka air tanah,
dimana sekat bermanfaat untuk menaikkan muka air tanah dan melembabkan tanah. Penerapan paludikultur di
gambut tropis Indonesia, diketahui bahwa komoditas tertentu lebih tahan terhadap genangan namun tetap memiliki
nilai ekonomi seperti: Metroxylon spp, Nypa fruticans Wurmb, Alseodaphne spp., Nothaphoebe spp., dan Shorea spp. Agar
dapat bertahan hidup jenis-jenis tanaman tersebut harus dipilih, disesuaikan dengan ketinggian air yang terdapat di
lahan gambut dan terutama berpotensi merestorasi lahan yang telah terdegradasi.
Kata kunci: Gambut, paludikultur, sekat kanal, restorasi, muka air tanah
DOI 10.32679/jsda.v16i2.677
© Puslitbang SDA, Balitbang, Kementerian PUPR Naskah ini di bawah kebijakan akses terbuka dengan lisensi CC-BY-SA
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 103
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 16 No.2, November 2020: 103 - 118
menyebutkan bahwa hampir setiap tahun parah (Kementerian Lingkungan Hidup dan
kebakaran yang terjadi di 6 provinsi di Indonesia Kehutanan, 2015). Hal ini dilakukan untuk
mengakibatkan kerugian finansial sebesar 400 – mengembalikan kondisi hidrologi ekosistem
600 trilun rupiah terhadap 6.5 juta penduduk. kawasan lahan rawa gambut ke kondisi alaminya.
Kerugian tersebut terdiri dari gangguan kesehatan, Selanjutnya restorasi hidrologi perlu dilanjutkan
aktivitas dan pendidikan. dengan restorasi vegetasi (paludikultur) – yaitu
Budidaya di lahan rawa gambut sebenarnya teknik penanaman yang tidak membutuhkan
sudah sejak lama dipraktekkan oleh masyarakat drainase – dengan menanam tanaman lokal atau
tradisional di Kalimantan. Dahulu praktek asli gambut yang tahan terhadap genangan.
pertanian umumnya dilakukan pada gambut tipis Pembasahan tanah gambut dapat
dengan membangun saluran air yang disebut mengurangi emisi gas rumah kaca dan juga dapat
dengan sistem ‘handil’ atau ‘parit kongsi’ untuk menciptakan kondisi yang sesuai untuk
sistem pengairan pada daerah pasang surut pada mengembalikan fungsi simpanan karbon (Wilson,
ekosistem rawa. Bahkan sejak dulu menurut Noor, et al., 2016). Kementerian Lingkungan Hidup dan
2016 petani tersebut telah mengenal karakteristik Kehutanan, 2016 mendefinisikan
gambut mana yang cocok dan tidak untuk diolah rewetting/pembasahan yaitu upaya untuk menjaga
sebagai lahan pertanian. Sayangnya, akhir-akhir muka air gambut berada dekat dengan permukaan
ini terjadi berbagai persoalan yang cukup berat agar resiko kebakaran, laju oksidasi serta
akibat perencanaan yang tidak tepat, matang dan subsidensi yang terjadi di gambut menjadi
terpadu seperti yang terjadi pada kasus Proyek berkurang. Menurut Tata & Susmianto, 2016
Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang rewetting merupakan salah satu upaya untuk
diselenggarakan untuk mengatasi persoalan meninggikan muka air tanah yang dilakukan
pangan Indonesia (Noor, 2016). Saat itu, ekosistem dengan cara penutupan kanal (sekat kanal) baik
gambut dibuka secara besar-besaran dengan seluruhnya maupun sebagian (Tata & Susmianto,
pembuatan drainase yang lebar, panjang dan 2016). Daryono, 2009 menyebutkan bahwa tabat
dalam tanpa memperhitungkan keberadaan kubah saluran/blocking canal adalah salah satu cara
gambut. Hal ini berdampak terhadap permasalahan untuk menghambat aliran air pada saluran
lingkungan dan sosial ekonomi (Sandrawati, 2004; drainase dengan harapan agar air dapat kembali
Mawardi, 2007). membasahi kawasan gambut yang terdapat di
Kenyataan tersebut, menimbulkan urgensi sekitar saluran drainase. Sekat Kanal dapat
untuk melakukan upaya restorasi lahan gambut dilakukan dengan cara membuat sekat di dalamnya
sebagai upaya pemulihan fungsi ekosistem gambut. (Suryadiputra, et al., 2005). Barkah & Sidiq, 2009
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor menyebutkan bahwa penyekatan parit atau kanal
71, 2014 dan perubahannya di Peraturan pada areal hutan rawa gambut bertujuan untuk:
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57, 2016 (1) Memperbaiki kondisi tata air yang dilakukan
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem dengan mempertahankan kondisi muka air tanah
Gambut menegaskan bahwa untuk melakukan dengan mengurangi laju keluarnya air keluar dari
pemulihan ekosistem gambut rusak atau kawasan yang disekat; (2) Menciptakan kondisi
terdegradasi, para pelaku kegiatan harus yang stabil untuk pertumbuhan tanaman dan
melakukan rehabilitasi atau restorasi ekosistem mencegah kebakaran utamanya pada musim
gambut. Pemulihan ekosistem gambut yang rusak kemarau; (3) Meningkatkan taraf sosial ekonomi
dapat dilakukan dengan melakukan restorasi masyarakat sekitar dengan melibatkan masyarakat
hidrologi, rehabilitasi vegetasi dan cara lain yang di dalam pelaksanaan penyekatan parit/kanal.
melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi Untuk perencanaan pembangunan sekat
seperti paludikultur, sistem surjan dan kolam beje. diperlukan penelitian tanah, yaitu sifat-
Di dalam upaya pemulihan ekosistem gambut yang sifat/karakteristik tanah (fisik dan kimia tanah),
rusak tentunya tidak boleh terlepas dari aspek agar pembangunan sekat dapat dipertanggung
ekologi, produksi dan sosial ekonomi (Badan jawabkan dari sisi keamanan bangunan (sifat fisik),
Penelitian dan Pengembangan Inovasi, KLHK., misalnya panjang tiang pancang penyekat yang
2016). akan dibenamkan, di samping karakteristik kimia
Restorasi hidrologi dapat dilakukan dengan tanah (yang akan berpengaruh terhadap bahan-
pembasahan kembali (rewetting), sementara bahan penyekat yang akan digunakan. Selain itu,
saluran-saluran drainase harus disekat atau diperlukan pula sosialiasasi dengan masyarakat
bahkan dapat ditutup seluruhnya di kawasan yang bemukim di sekitar lokasi saluran atau
lindung untuk mencegah kerusakan yang semakin pemilik saluran sehingga tujuan dan manfaat dari
105
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 16 No.2, November 2020: 103 - 118
Selanjutnya perlu adanya sosialisasi dan pelibatan Desember 2017. Tipe sekat untuk saluran yang
masyarakat setempat di dalam upaya lebar adalah Composite Box Dam, dengan
pembangunan, pemantauan dan perawatan sekat menggunakan materi gambut yang terdapat di
kanal. dekat/sekitar kanal-kanal yang akan disekat dan
Ketentuan di atas sudah selayaknya dilakukan dipadatkan menggunakan alat eskavator.
pada kubah gambut yang seharusnya merupakan Keuntungannya tidak perlu menggunakan bahan
kawasan lindung karena kubah gambut merupakan kayu dan lubang-lubang galian dimana bahan
simpanan air. Sebaiknya sekat kanal yang dibangun gambut diambil dapat dijadikan kolam untuk
tidak dilengkapi dengan pelimpah agar tidak ada media budidaya ikan dan tandon air. Namun
aliran air yang keluar, bila perlu dilakukan kerugiannya materi gambut yang digunakan
penimbunan kanal (back filling). Selain itu perlu di sebagai bahan sekat harus dipilih yang sudah
tentukan titik lokasi sekat yang tepat berdasarkan matang (hemic atau sapric). Jika materi gambut
peta topografi. Walaupun dalam kenyataan di tersebut masih mentah (fibrik), banyak
lapangan hal ini tidak selalu dapat dilakukan atau mengandung serat akar-akar dan batang tanaman,
berhasil karena beberapa kubah gambut telah maka dam yang dibangun mudah bocor. Juga
dimanfaatkan misalnya untuk perkebunan sawit kerugian lain adalah harus menggunakan alat berat
dan telah memperoleh ijin, tetapi upaya ini harus (seperti ekskavator) yang dapat merusak
dilakukan maksimal dengan melakukan ekosistem gambut. Sementara itu, kanal yang
pendekatan dan kompromi dengan pemegang mempunyai lebar kecil menggunakan balok kayu
konsesi. atau bilah papan seperti misalnya Sekat Papan
(Plank dam).
Hingga saat ini telah dilakukan kegiatan
pembangunan sekat kanal pada saluran yang Sedangkan kegiatan penyekatan yang
dilakukan oleh beberapa organisasi. Kegiatan dilakukan oleh WWF dan Yayasan BOS dilakukan
tersebut diantaranya dilaksanakan oleh Wetlands pada saluran di Kawasan Sebangau dan Bahian atas
International-Indonesia Programme (WI-IP) di dari Blok A Eks-PLG yang berlokasi di Kabupaten
Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, sejak tahun Kapuas, Kalimantan Tengah (Barkah & Sidiq,
2003 dan sudah berhasil baik; WWF (World Wide 2009). Sekat kanal ini dibuat dalam 3 tipe, mulai
Fund) di Taman Nasional Sebangau sejak tahun dari sekat kanal sederhana, semi permanen hingga
2015 dan memberikan hasil yang memuaskan, permanen tergantung dari dimensi kanal, untuk
Yayasan BOS (Borneo Orang Utan Survival) melalui kanal/parit kecil digunakan tipe sekat sedrhana
Program Konservasi Mawas bekerjasama dengan dan untuk lebar kanal yang besar digunakan tipe
Central Kalimantan Peatland Project (CKPP) pada semi permanen atau tipe permanen. Material yang
tahun 2006-2009, dan Kalimantan Forests and digunakan terdiri dari balok kayu galam dan bilah-
Climate Partnership (KFCP) yang berlangsung bilah papan kayu.
sejak tahun 2010, di Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah, telah terlibat dalam pemulihan
fungsi lahan gambut di areal-areal yang rusak
melalui antara lain metode penyekatan kanal
dengan hasil yang cukup baik. Kemudian Balai
Litbang Rawa – BWS Kalimantan II di Sei Ahas,
Kalimantan Tengah (di saluran ex Proyel Lahan
Gambut, PLG) sejuta hektar telah membangun
sekat kanal pada tahun 2014 dan bertahan hingga
sekarang setelah dilakukan perbaikan kerusakan di
tahun 2015 karena vandalisme.
Proyek WI-IP berlokasi di Provinsi Sumatera
Selatan (Sungai Merang, Kabupaten Musi
Banyuasin) dan Provinsi Kalimantan Tengah (Blok
A Eks-Proyek Lahan Gambut Kabupaten Kapuas).
Di Provinsi Sumatera Selatan berhasil dibangun 14
sekat pada 7 parit yang berukuran lebar 2 – 4
meter. Di Provinsi Kalimantan Tengah telah
dibangun sebanyak 7 sekat pada 3 saluran dengan
ukuran lebar parit 25 – 30 meter pada tahun 2004.
Selain itu ada pula yang dibangun Jambi, pada
107
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 16 No.2, November 2020: 103 - 118
Gambar 1 Skema Sistem Pemulihan Tata Air di Hutan (Suryadiputra et al., 2005). Kedua patokan di atas
dan Lahan Gambut (modifikasi dari Grigg, masih bersifat umum, yang bisa digunakan bila
1996; Suryadiputra et al., 2005) belum tersedia peta topografi, namun sebaiknya
tetap ditentukan berdasarkan peta topografi.
Sementara itu penyekatan yang dilakukan Selanjutnya tidak disarankan membangun sekat
oleh Balai Litbang Rawa – BWS Kalimantan II kanal tunggal karena kurang efektif
dilaksanakan pada Sei Ahas, Blok A Eks-PLG, menahan/menampung air juga sekat akan mudah
Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi rusak oleh tekanan arus air. Patokan pertama telah
Kalimantan Tengah, sekat ini cukup besar banyak diterapkan di daerah lahan gambut,
dimensinya (21 meter) dan terbuat dari beton khususnya di lahan perkebunan, misalnya
mengingat letaknya di kanal pembuang yang cukup Kalimantan Tengah dan Riau, yang tidak memiliki
besar dengan tekanan arus air yang kuat disertai peta topografi dengan hasil yang tidak tergolong
fluktuasi pasng surut yang cukup besar, yaitu buruk. Sementara itu patokan dari RSPO, 2013
maksimum 1,5 meter. Mengingat bahwa sekat ini belum banyak diketahui dan diperhatikan,
cukup tinggi, maka dibuat alur peluncur perahu umumnya para perancang menggunakan patokan
agar perahu-perahu dapat ditarik melewatinya, pertama yang telah sering terpublikasi sehingga
yang semula terbuat dari besi chrome dan lebih banyak diketahui.
kemudian diganti dengan pipa pralon yang diror
beton di dalamnya. Hal ini dilakukan karena bahan
besi chrome hilang seluruhnya akibat vandalisme.
(Triadi, 2016a).
Teknik Penyekatan Parit/Saluran
Jarak antar sekat ditentukan oleh tingkat
kemiringan (slope) muka air di dalam kanal yang
akan disekat, termasuk kondisi topografi/kontur di
lahan tersebut. Untuk proses pembangunan tabat
Sumber: Dohong, et al., (2017)
harus dilakukan pada kubah gambut yang memiliki
elevasi tertinggi menuju ke bagian bawah yang Gambar 2 Penampang Memanjang Posisi Sekat
merupakan kaki kubah gambut. Urutan Konsep penempatan sekat-sekat di dalam
pelaksanaan ini tidak boleh dibalik untuk sebuah kanal dipaparkan oleh Kementerian
menghindari kendala-kendala teknik yang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015 bahwa di
mungkin terjadi, dan harus dilakukan ketika dalam pembuatan sekat harus dipastikan bahwa
musim kemarau tiba. jumlah air yang ditahan cukup banyak dan lama
Untuk kondisi parit yang berlokasi pada sehingga gambut yang berada disekitarnya menjadi
lahan gambut, jumlah sekat yang perlu dibangun di basah sehingga tidak mudah terbakar. Penerapan
dalam saluran perlu cukup banyak dengan jarak dokumen ini sudah banyak dilakukan oleh para
sekat tidak terlalu jauh (cascading) yaitu antara pemilik konsesi, baik kelapa sawit atau hutan
100 – 200 meter/sekat (Gambar 2). Patokan ini tanman industri, misalnya di Riau, Sumatrea
diperoleh berdasarkan kemiringan lahan/topografi Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan
pada umumnya di daerah rawa gambut dan perlu Barat. Namun perlu diperhatikan bahwa puncak
ditentukan lebih pasti pada kondisi masing-masing bendung sebaiknya cukup tinggi namun beda level
tempat. Sedangkan pada Best Practice RSPO, 2013 antara puncak satu dan puncak lainnya tidak
dan sudah menjadi kriteria yang berlaku di daerah terlalu besar sehingga limpasan atau debit air yang
rawa pada umumnya, menyarankan agar jatuh tidak membuat tabat menjadi rusak. Di
pemasangan tabat berjenjang diterapkan pada samping itu, penerapan di lapangan sering
setiap penurunan muka air (gradien hidrolik) 20 dijumpai (melalui kegiatan supervisi Kedeputian
cm. Hal ini perlu dilakukan sebagai salah satu cara Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan,
untuk memperpanjang umur sekat sehingga Badan Restorasi Gambut) penentuan jumlah sekat,
kekuatan arus yang jatuh dari ketinggian yang jarak sekat dan lokasi sekat masih belum
cukup curam akan berkurang kekuatannya karena berlandaskan topografi. Dengan demikian hasilnya
teredam pada masing-masing sekat. Sementara, masih belum maksimal seperti yang diharapkan.
jarak antar masing-masing sekat cukup besar Penentuan interval sekat kanal ditentukan
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penyimpan oleh rencana tinggi muka air yang akan
air, sekat bakar maupun kolam ikan (beje) seperti dipertahankan pada badan kanal. Merujuk kepada
yang diterapkan di Kalimantan Tengah
108
Restorasi Lahan Rawa Gambut Melalui Metode Pembasahan…(L. Budi Triadi)
Arah Tancap
Profil Saluran
109
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 16 No.2, November 2020: 103 - 118
Gambar 4 Struktur Sekat Isi kecil (Gambar 6). Jenis sekat ini belum pernah
dijumpai di lapangan, namun nampaknya akan
Sekat ini juga dapat diaplikasikan sistem sulit diterapkan karena bahan ini susah didapat
pelimpah (spill way) – menggunakan berbentuk disekitar lokasi dan jika ada tentu mahal harganya.
kotak (box) atau model “V” (V-Notches), dan tanpa
sistem peluap (non-spill way) yang dapat
dimodifikasi sesuai kondisi dan kebutuhan. Contoh
sekat isi dengan pelimpah kotak dapat dilihat pada
Gambar 5.
112
Restorasi Lahan Rawa Gambut Melalui Metode Pembasahan…(L. Budi Triadi)
113
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 16 No.2, November 2020: 103 - 118
hutan produksi diubah menjadi kawasan hutan dan jenis pohon lainnya (Rahayu & Harja, 2010).
lindung sebagai salah satu upaya untuk melindungi Dari pengalaman penelitian yang dilakukan oleh
perannya sebagai sumber air bagi masyarakat Triadi et al., 2011 di Maluku, tanaman sagu
(Galudra et al., 2014) memiliki sistem perakaran serabut, dengan
Tata dan Susmianto, 2016 menyatakan kedalaman pokok batang sagu pada tanah antara
bahwa paludikultur merupakan salah satu upaya 40-80 cm, dan perakaran yang padat terdapat pada
untuk mengembalikan kelestarian ekosistem kedalaman 0-50 cm di bawah permukaan tanah.
dengan tetap memperhatikan kepentingan Dengan demikian, kondisi air tanah yang baik
ekonomi masyarakat sekitar. Untuk itu pemilihan apabila air berada pada kedalaman 0-50 cm atau
jenis-jenis paludikultur dilakukan dengan tetap pada kondisi rata-rata 30 cm. Dengan melakukan
mempertimbangkan hasil yang diperoleh, upaya restorasi antara lain dengan menutup kanal
diantaranya: (1) Penghasil pangan (termasuk sehingga tinggi muka air akan naik atau terjaga di
karbohidrat, buah (nenas), bumbu, sayur, minyak sekitar kedalaman 30 cm dari permulkaan lahan,
nabati); (2) Penghasil serat; (3) Bio-energi; (4) maka sagu dapat tumbuh optimal. Dengan dikian
Sumber obat-obatan (alue vera); (5) Penghasil sesuai dengan penelitian Rahayu dan Harja di atas,
getah; (6) Hasil hutan ikutan lainnya (rotan, bahan maka sejatinya cadangan karbon akan meningkat.
penyamak kulit, bahan baku obat nyamuk); (7) Paludikultur Nipah (Nypa fruticans Wurmb)
Jenis bernilai konservasi. Nipah mampu hidup di kawasan pasang
Dari pernyataan dan penelitian yang surut dan bertahan dalam kondisi genangan
dilakukan oleh Tata dan Susmianto di atas, selain maksimal 4 (empat) jam perhari (Hamilton &
perlu mempertimbangkan hasil yang diperoleh, Murphy, 1988). Menurut Daryono et al. 2010,
perlu diperhatikan pula spesies endemik, yaitu nipah memiliki beberapa manfaat bagi ekosistem,
spesies yang merupakan spesies asli yang bisa diantaranya: dapat melindungi pantai dari abrasi,
ditemukan di tempat tersebut. Hal ini akan menahan air laut, mencegah intrusi air laut, dan
menjamin hasil yang diperoleh tanpa perlu usaha menjadi penyangga (buffer). Nipah hidup secara
ekstra dan lebih murah daipada harus didatangkan alami di daerah rawa air tawar, di muara-muara
dari tempat lain dan tidak sesuai dengan kondisi sungai, hutan mangrove dan air payau (Hamilton &
setempat. Beberapa contoh yang disebutkan oleh Murphy, 1988), pada ketinggian 0-200 m dpl, iklim
Tata dan Susmianto, antara lain sagu, gelam atau basah. Di Indonesia, nipah dijumpai hampir di
galam, jelutung, geronggang, akar kuning, gaharu seluruh Indonesia, di sepanjang tepi sungai, pantai
dan ramin memang umum bisa diperoleh pada berlumpur di pantai timur Sumatera, Kalimantan,
lahan rawa gambut di Indonesia, namun demikian Sulawesi Tengah dan Tenggara, Maluku, hingga
tidak semua tempat memiliki semua jenis tersebut, Papua bagian selatan (Badan Penelitian dan
sehingga perlu dipilih yang memang banyak Pengembangan Pertanian, 1993).
tersedia di lokasi termaksud. Spesies lain yang bisa Di dalam upaya pengembangan sebagai
ditambahkan dari daftar di atas, antara lain Pulai, tanaman paludikultur ketinggian air tetap harus
Blengeran, Nyatoh, Meranti atau Terentang yang dijaga sehingga tidak lebih dari 10 cm. Oleh karena
cukup berpotensi merestorasi lahan gambut itu, jenis spesies ini sangat cocok dalam upaya
terdegradasi. restorasi lahan gambut dan sesuai untuk menjaga
Potensi Beberapa Jenis Tanaman Paludikultur keseimbangan hidrologi gambut.
Paludikultur Sagu (Metroxylon spp.) Paludikultur Jelutung (Dyera polyphylla)
Sagu merupakan sumber karbohidrat dan Jelutung memiliki potensi besar untuk
merupakan makanan pokok masyarakat di dikembangkan sebagai tanaman paludikultur.
beberapa dibeberapa tempat di Indonesia seperti Jelutung mampu hidup di daerah rawa tergenang
Sulawesi Tengah, Kepulauan Maluku dan Papua terutama pada lahan lahan gambut yang basah.
(Novarianto, 2013). Selain bernilai ekonomi, sagu Emisi CO2 yang dihasilkan oleh jelutung pada
juga dapat beradaptasi dalam kondisi lahan gambut yang kanalnya dalam posisi tertutup
basah/tergenang sehingga mampu menyerap CO2 (disekat) lebih rendah dibandingkan dengan lahan
dan meningkatkan cadangan karbon sehingga gambut yang terdrainas Susmiantoanto Tata,
dapat berperan di dalam mitigasi emisi gas rumah 2016).
kaca (GRK).
Penanaman sagu di beberapa tempat
terbukti dapat meningkatkan cadangan karbon
meski tergantung dari komposisi strata dari pohon
114
Restorasi Lahan Rawa Gambut Melalui Metode Pembasahan…(L. Budi Triadi)
Paludikultur Gemor (Alseodaphne spp. dan stenoptera, Shorea pinanga Sceff., Shorea
Nothaphoebe spp.) palembanica Mig., Shorea seminis (de Vriese) Sloot.,
Gemor atau sering disebut Medang Lendir S. mecistopteryx Ridl., dan Shorea beccariana Burck
mampu hidup secara alami di hutan rawa gambut (Maharani, 2013).
tipis hingga dalam (>4m tanpa drainase), di tepi Seperti halnya spesies yang lain, yang
mampu beradaptasi di daearah rawa gambut dan
pantai maupun dataran rendah. Gemor di
mampu hidup di kawasan yang tergenang, maka
Indonesia dapat dijumpai di Sumatera (Riau, Jambi sangat tepat bila digunakan sebagai jenis vegetasi
dan Sumatera Selatan) dan Kalimantan untuk merestorasi lahan gambut yang
(Kalimantan Barat, Tengah, Selatan dan Timur) terdegradasi, misalnya dapat di lihat di Katingan,
(Whitmore et al., 1990). Sebagai upaya rehabilitasi Kalimantan Tengah. Spesies tengkawang dapat
kawasan gambut yang pernah mengalami dijumpai di Indonesia di seluruh Pulau Kalimantan
kebakaran di Kedaton, Ogan Komering Ilir, maka dan sebagian Sumatera.
BP2LHK Palembang, Sumatera Selatan melakukan KESIMPULAN
penanaman gemor yang berasal dari anakan alami Restorasi hidrologi dan restorasi vegetasi
dengan menggunakan motode “gundukan” sebagai merupakan cara untuk memulihkan ekosistem
tempat penanaman bibit untuk menghindari gambut yang rusak. Untuk itu dibutuhkan upaya
genangan (Hesti & Adi, 2016). Teknik ini sangat dari pemerintah maupun masyarakat untuk segera
penting di dalam keberhasilan rehabilitasi. Dalam melakukan penyekatan/penutupan kanal maupun
teknik ini diperlukan penyesuaian antara waktu pergantian komoditas yang lebih tahan terhadap
genangan. Untuk pemilihan tipe sekat sangat
kegiatan dan tinggi muka air tanah (Gambar 16 ).
tergantung kepada kondisi bio-fisik, dimensi kanal,
kondisi topografi gambut, ketersediaan material
sekat dan aksesibilitas pengangkutan sumber
material ke lokasi penabatan. Terdapat empat tipe
sekat yang biasa digunakan untuk menghambat
aliran air yaitu sekat papan, sekat isi, sekat plastik,
dan sekat geser. Di antara keempat tipe sekat
tersebut yang paling sering digunakan yaitu sekat
papan dan sekat isi. Sekat isi dapat berjumlah dua
atau lebih dari dua lapis (multiple sheet piles)
tergantung kondisi fisik dan dimensi kanal. Namun
yang paling efisien dari segi biaya dan teknis
Sumber: Wibisono et al., 2005
pengerjaannya yaitu yang struktur utamanya
Gambar 16 Penyesuaian Tata Waktu Kegiatan terbuat dari tanah gambut dan mineral sekitar
Rehabilitasi dan Tinggi Gundukan lokasi. Namun jenis konstruksi ini mudah rusak
sesuai Perilaku Muka Air Tanah tergerus air bila tidak cukup kokoh dan kurang
Spesies ini baik untuk dikembangkan pada pemadatan, di samping kerusakan oleh
sistem paludikultur, karena dapat beradaptasi dan vandalisme.
tumbuh secara alami di daerah pantai atau dataran
Untuk menentukan jarak antar sekat
rendah, termasuk di lahan rawa gambut dan
memiliki nilai ekonomi. Dengan demikian spesies tergantung pada kondisi topografi dan kemiringan
ini memang sesuai untuk upaya restorasi gambut kanal. Umumnya bila selisih ketinggian muka air di
saluran sudah mencapai 20 cm, maka diperlukan
karena sifatnya yang suka air sehingga
keseimbangan hidrologi gambut terjaga baik. sekat kanal baru. Angka tersebut ditentukan di
dalam Best Practice RSPO (Roundtable on
Paludikultur Tengkawang (Shorea spp.) Sustainable Palm Oil) (2013) dan kriteria ini
Tengkawang umumnya mampu beradaptasi berlaku di daerah rawa pada umumnya.
di daerah rawa gambut dangkal, dataran rendah Pelimpah/Spillway umumnya dibuat di tengah-
dan tepi sungai. Beberapa jenis tengkawang yang tengah sekat kanal yang berfungsi untuk
dapat hidup di gambut dangkal yaitu Shorea membuang kelebihan air. Elevasi ambang pelimpah
hemsleyana K. ex F. ssp. hemsleyana, dan Shorea sekat kanal yang baik yaitu setinggi muka lahan
macrantha Brandis Bahkan ada beberapa jenis rata-rata, setidaknya 40 cm di bawah permukaan
Shorea yang mampu hidup di kawasan tergenang tebing kanal dan akan lebih baik bila pelimpah
secara periodik seperti: Shorea macrophylla, S. dilengkapi dengan pintu sekat yang dapat dibuka
115
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 16 No.2, November 2020: 103 - 118
tutup untuk mengatur ketinggian muka air di hulu Balai Taman Nasional Sebangau. (2015). Modelling
kanal.. Kanal tanpa pelimpah biasanya diterapkan canal blocking SPTN wilayah. II pulang pisau,
pada kawasan non-budidaya (kawasan konservasi) Balai Taman Nasional Sebangau, Kalimantan
sedangkan untuk kawasan budidaya dapat Tengah.
diterapkan kanal dengan pelimpah sebagai jalur Barkah, B.S., & Sidiq, M. (2009). Panduan pelaksanaan
lintasan perahu.
rehabilitasi hutan rawa gambut berbasis
Upaya untuk menghambat mengalirnya air masyarakat di areal mrpp kabupaten musi
dari saluran dengan sekat kanal berdampak banyuasin. Report No. 18. TA. Final/SOP No. 01.
terhadap bertambahnya ketinggian muka air tanah PSF Rehabilitation. Rev 0.GIZ.
yang berpengaruh terhadap pengurangan emisi
karbon dan laju subsiden pada lahan gambut. Brooks, S., & Stoneman, R. (1997). Conserving bogs:
Sedangkan hal terkait upaya penerapan the management handbook. Stationery Office,
paludikultur tidak serta merta hanya demi Edinburgh.
kepentingan ekologis saja tapi juga harus Daryono, H. (2009). Potensi, permasalahan dan
memperhatikan kepentingan ekonomi bagi kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan
masyarakat sekitar. Untuk itu, komoditas hutan dan lahan rawa gambut secara lestari
paludikultur yang dibudidayakan perlu (Potency, problems, policy and peatland
memberikan keuntungan secara ekonomi bagi management needed for sustainable peat
masyarakat setempat serta ketersediaan spesies swamp forest). Jurnal Analisis Kebijakan
setempat serta tak kalah pentingnya adalah Kehutanan, 71 - 101.
pemilihan spesies yang berpotensi merestorasi
Daryono, H., Subiakto, A., & Komar, T.E. (2010).
lahan gambut yang sudah terlanjur terdegradasi.
Pengembangan sumber benih unggul nipah
Di dalam penerapan paludikultur perlu (nypa fruticans wurb) penghasil nira yang
dilakukan pemilihan jenis tanaman yang
produktif sebagai sumber bioetanol. Laporan
disesuaikan ketinggian air yang terdapat di lokasi
Hasil Penelitian. Sumber Dana Program Insentif
gambut sehingga tanaman dapat bertahan hidup.
Peningkatan Kemampuan Peneliti dan
Di dalam melakukan penanaman di lahan gambut
Perekayasa. Pusat Penelitian dan
dalam kondisi tergenang dapat diterapkan metode
“gundukan” sebagai tempat penanaman bibit untuk Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
menghindari genangan. Namun tetap diperhatikan Bogor: Badan Litbang Kehutanan. Departemen
antara waktu kegiatan dan tinggi muka air tanah. Kehutanan.
Dohong, A., Indratmo, S., Wibisono, ITC., Maas, A.,
UCAPAN TERIMA KASIH
Raid, DS., Triadi, L.B., ... & Kiki, A. (2016).
Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya Rencana Restorasi Ekosistem Gambut Kepulauan
disampaikan kepada Kepala Balai Litbang Rawa Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
atas ijin penggunaan data dan informasi yang Badan Restorasi Gambut (BRG). Jakarta
sangat membantu penyelesaian makalah ini. Dohong, A., Cassiophea., L., & Priono, Y. (2016,
Terima kasih disampaikan pula kepada Saudara
Desember 15). Teknis penyekatan sekat kanal.
Taruna, petugas Balai Litbang Rawa dan Ibu Anyta
Diakses dari
Tamrin yang telah membantu melakukan editing
https://www.scribd.com/presentation/3313537
dan penyusunan makalah ini.
65/Presentation-2-Teknis-Sekat-Kanal.
DAFTAR PUSTAKA Dohong, A., Cassiophea, L., Sutikno, S., Triadi, L.B.,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Wirada, F., Rengganis, P., & Sigalingging, L.
(1993). Studi pengembangan hasil hutan non (2017). Pembangunan infrastruktur pembasahan
kayu nipah di provinsi sumatera selatan. Jakarta: gambut sekat kanal berbasis masyarakat,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi, KLHK. Dommain, R., Cobb, A.R., Joosten, H., Glaser, P.H.,
(2016). Paludikultur, alternatif teknik pemulihan Chua, A.F.L., Gandois, L., ... & Harvey, C.F.
ekosistem gambut terdegradasi. Diakses pada (2015). Forest dynamics and tip-up pools drive
07 Oktober 2020, dari https://www.forda- pulses of high carbon accumulation rates in a
mof.org/berita/post/2947 tropical peat dome in Borneo (Southeast Asia).
Journal of Geophysical Research: Biogeosciences,
120(4), 617–640.
116
Restorasi Lahan Rawa Gambut Melalui Metode Pembasahan…(L. Budi Triadi)
Effendi. (2011). Drainase untuk meningkatkan Mawardi, I. (2007). Rehabilitasi dan revitalisasi eks
kesuburan lahan rawa. Pilar Jurnal Teknik Sipil, proyek pengembangan lahan gambut di
Vol. 6, No. 2. ISSN: 1907 - 6975, 39 - 44. kalimantan tengah. Jurnal Teknik Lingkungan,
Evans, C., Renou-Wilson, F., & Strack, M. (2015). The 8(3): 287 - 297.
role of waterborne carbon in the greenhouse Najiyati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I.N.N.
gas balance of drained and re-wetted peatlands. (2005). Panduan Pengelolaan Lahan Gambut
Journal of Aquatic Sciences, 18 pp. untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands
doi:10.1007/s00027-015-0447-y International - Indoneia Programme. Bogor.
Galudra, G., van Noordwijk, M., Agung, P., Suyanto, Noor, M. (2016, November 30). Kearifan lokal lahan
S., & Pradhan, U. (2014). Migrants, land markers gambut, dalam blok segalanya rawa. Diakses
and carbon emission in jambi, indonesia: Land dari
tenure change and prospect of emission http://muhammadnoor20.blogspot.co.id/2012/
reduction. Mitigation Adaptation Strategy 10/kearifan-lokal-lahan-gambut.html
Global Change, 19(6):715-731. Novarianto, H. (2013). Sumber Daya Genetik Sagu
doi:10.1007/s11027-013-9512-9. Mendukung Pengembangan Sagu di Indonesia.
Hamilton, L.S., & Murphy, D.H. (1988). Use and Dalam P. P. Perkebunan, penguatan inovasi
management of nipa palm (nypa fruticans, teknologi mendukung kemandirian usahatani
arecaceae): A Review. Economic and Botany. perkebunan rakyat (pp. 1 - 14). Kementerian
42(2):206-213. Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Hesti, L. T., & Adi S. (2016). Prospek paludikultur Pertanian. Bogor.
ekosistem gambut indonesia, Penerbit: Forda Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71
Press (Anggota IKAPI) (2014). tentang perlindungan dan pengelolaan
Jikalahari. (2016, November 19). Jaringan kerja ekosistem gambut.
penyelamat riau. Diakses dari Jikalahari.or.id: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57
http://jikalahari.or.id/kabar/rilis/alternatif- (2016). Perubahan atas peraturan pemerintah
pengembangan-lahan-gambut-berkelanjutan- nomor 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan
berbasis-masyarakat-dengan-pendekatan- pengelolaan ekosistem gambut.
paludikultur/ Qodriyatun, S. N. (2014). Kebijakan penanganan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. kebakaran hutan dan lahan. Prosiding Info
(2015). Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut. Singkat Kesejahteraan Sosial. Kebijakan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lingkungan pada Pusat Pengkajian, Pengolahan
(2016, Desember 4). Paludikultur, alternatif Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. 6(6): 9-
teknik pemulihan ekosistem gambut 12.
terdegradasi. Diakses dari http://www.forda- Rahayu, S., & Harja, D. (2010). hutan sagu: potensinya
mof.org/berita/post/2947 dalam redd+. Kiprah Agroforestry, Hal: 9 - 10.
Kettridge, N., Turetsky, M.R., Sherwood, J.H., World Agroforestry Centre (ICRAF-SEA). Bogor.
Thompson, D.K., Miller, C.A., Benscoter, B.W., ... Ramdani F., & Hino, M. (2013). Land use changes and
& Waddington, J.M. (2015). Moderate drop in GHG emissions from tropical forest conversion
water table increases peatland vulnerability to by oil palm plantations in Riau Province,
post-fire regime shift. Science Reports, 5, Article Indonesia. PLoS One 8 (7): e70323.
No. 8063, doi:10.1038/srep08063. doi: 10.1371/journal.pone.0070323
Lubis, I. R., Kurniasari, T., Tamrin, A., Wibisono, I.T.C., Renou-Wilson, F., Barry, C., Müller, C., & Wilson, D.
Rais, D.S., Sutaryo, D., ... & Nailus, F. (2015). (2014). The impacts of drainage, nutrient status
Roadmap (peta jalan) pengelolaan ekosistem and management practice on the full carbon
gambut berkelanjutan bagi hutan tanaman balance of grasslands on organic soils in a
industri (hti), bubur kayu dan kertas di maritime temperate zone. Biogeosciences,
indonesia. Wetlands International Indonesia. 11(16), 4361–4379.
Bogor. Ritzema, H.P. (2007). The role of drainage in the wise
Maharani, R. H. (2013). Panduan identifikasi jenis use of tropical. Conference Paper. Alterra-ILRI,
pohon tengkawang. Balai Penelitian Kehutanan Wageningen University and Research Centre,
Banjarbaru. Samarinda. Wageningen, The Netherlands.
117
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 16 No.2, November 2020: 103 - 118
RSPO (2013). Practices (bmps) for existing oil palm Triadi, L. B., Perlinggoman S., & Firdaus L. (2011).
cultivation on peat. First Edition in English, e- Suatu gagasan pengelolaan air dalam
book, published October 2013 peningkatan produktifitas tanaman sagu.
Sandrawati, A., (2004). Lesson learnt pengelolaan Proceedings Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT)
lahan gambut di indonesia. (Skripsi Sarjana). XXVIII Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia
Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, (HATHI), Ambon.
Institut Pertanian Bogor. Triadi, L. B., & Marpaung, M.F. (2015). Dampak
Smith, P., Bustamante, M., Ahammad, H., Clark, H., pengendalian air dalam rangka mengurangi
Dong, H., Elsiddig, E.A., ... & Tubiello, F. (2014). kecepatan laju subsiden dan besaran emisi
Agriculture, forestry and other land use karbon pada lahan gambut dangkal. Prosiding
(AFOLU). Climate change 2014: mitigation of Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XXXII.
climate change. Contribution of Working Group Malang.
III to the Fifth Assessment Report of the Triadi, L. B. (2016a). Pengaturan paras air tanah
Intergovernmental Panel on Climate Change. dalam rangka mengurangi laju penurunan lahan
Chapter, 11, 811–922. gambut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan
Sunkar, A., Santosa, Y., Rushayati, B. (2015). An initial XXXIII HATHI, Semarang.
assessment of the potential contribution of Triadi, B.L., Lasmana., Y., & Dhiaksa, A. (2016b).
‘community empowerment’ to mitigating the Sistem audit untuk sistem tata air pada
drivers of deforestration and forest degradation, perkebunan di lahan rawa gambut. Badan Pusat
in giam siak kecil-bukit batu biosphere reserve, Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air.
International Journal of Environmental, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Chemical, Ecological, Geological and Rakyat
Geophysical Engineering, vol. 9, No. 8, World Turetsky, M.R., Benscoter, B., Page, S., Rein, G., van
Academy of Science, Engineering and der Werf, G.R. & Watts, A. (2015). Global
Technology. vulnerability of peatlands to fire and carbon
Suryadiputra, Alue, D., Waspodo, Lili M., Irwansyah R. loss. Nature Geoscience, 8(1), 11–14.
L., Ferry, H., & Iwan T.C.W. (2005). Panduan
penyekatan parit dan saluran di lahan gambut
Wibisono, I.T.C., Siboro, L., & Suryadiputra, I.N.N.
bersama masyarakat. Bogor: Wetlands
(2005). Panduan rehabilitasi dan teknik
International - IP, 2005 xxvi + 172 hlm; ilus.; 15 x
silvikultur di lahan gambut. Wetlands
23 cm ISBN: 979-99373-5-3
Internasional- Indonesia Programme. xxii + 174
Suryadiputra, I.N.N. (2015). Kajian kebijakan dan hlm; 15 x 23 cm ISBN: 979-99373-0-2.
dampak social kebakaran lahan. Prosiding
Wilson, D., Blain, J., Couwenberg, Evans, Murdiyarso,
Seminar Kompas “Mencegah Kebakaran Lahan
Page, ... & Tuittila. (2016). Greenhouse gas
Berulang” Jakarta.
emission factors associated with rewetting of
Tata, H. L. & Susmianto, A., (2016). Prospek organic soils Mires and Peat, Volume 17 (2016),
paludikultur ekosistem gambut indonesia. Forda Article 04, 1–28, http://www.mires-and-
Press. Bogor peat.net/, ISSN 1819-754X © 2016 International
Tata, H.L., Van Noordwijk., Jasnari, M., & Widayati, A. Mire Conservation Group and International
(2015). Domestication of dyera polyphylla (miq). Peatland Society,
steenis in peatland agroforestry systems in DOI: 10.19189/MaP.2016.OMB.222.
jambi indonesia , Agroforestry Systems. Whitmore, T.C., Tantra, I.G.M, Sutisna, U., & Sidiyasa,
doi: 10.1007/s10457-015-9837-3. K. (1990). Tree flora of indonesia: Cheklist for
Tim Riset WALHI. (2010). Kearifan lokal dalam kalimantan. Pusat Penelitian dan
pengelolaan sumber daya alam di kawasan eks Pengembangan Hutan, Bogor.
plg. Ringkasan utama. Walhi Kalimantan Tengah Noor, Y.R., & Jill, H. (2007). Pengelolaan lahan gambut
dan Kemitraan. Palangkaraya, Kalimantan berbasis masyarakat di Indonesia, Wetlands
Tengah International – Indonesia Programme, Bogor,
Indonesia.
118