Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN PADA GANGGUAN

SISTEM PERNAFASAN (ASMA)

A.    PENGERTIAN
Asma adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil yang
mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit inflamasi
(peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah dan meradang. Asma
sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma. Namun demikian, tidak semua
penyandang asma mempunyai alergi dan tidak semua orang yang mempunyai alergi menyandang
asma (Bull & Price, 2007).

Pada penderita asma, saluran napas menjadi sempit dan hal ini membuat sulit bernapas.
Terjadi beberapa perubahan pada saluran napas penyandang asma, yaitu dinding saluran napas
membengkak, adanya sekumpulan lendir dan sel-sel yang rusak menutupi sebagian saluran
napas, hidung mengalami iritasi dan mungkin menjadi tersumbat, dan otot-otot saluran napas
mengencang tetapi semuanya dapat dipulihkan ke kondisi semula dengan terapi yang tepat. Selama
terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih buruk, ujung
saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya sangat jauh berkurang sehingga bernapas
menjadi sangat sulit (Bull & Price, 2007).

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala
episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam
hari atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI,
2009)

Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi
merespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (Smeltzer&Bare, 2002).

Asma Bronkial adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh spasme akut otot
polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus
(Huddak & Gallo, 1997).

Jadi dapat disimpulkan bahwa asma adalah penyakit jalan napas obstruktif yang disebabkan
oleh berbagai stimulan ditandai dengan spasme otot polos bronkiolus.

B.     ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor timbulnya serangan asma bronchial.

1.    Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah: (Smeltzer & Bare,
2002)

a.    Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau alergen yang dikenal
seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.

b.    Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti common cold,  infeksi


traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan.

c.    Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-
alergik.

2.    Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma :

a.    Pemicu Asma (Trigger) 

Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan


(bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Trigger dianggap menyebabkan
gangguan pernapasan akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa menjurus menjadi asma jenis
intrinsik. Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul
seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun,
saluran pernapasan akan bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah
terjadi peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah perubahan
cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan, gangguan emosi, dan
olahraga yang berlebihan.

b.    Penyebab Asma (Inducer)

Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus hiperresponsivitas


(respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Inducer dianggap sebagai penyebab asma yang
sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik. Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang
umumnya berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah
alergen,  yang tampil dalam bentuk ingestan (alergen yang masuk  ke tubuh melalui mulut), inhalan
(alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen yang didapat melalui
kontak dengan kulit ( VitaHealth, 2006).

3.    Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik. Menurut mereka,
secara umum pemicu asma adalah:

a.    Factor Predisposisi

1)   Genetik
Bakat alergi merupakan hal yang diturunkan dari faktor genetik, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya dengan jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Adanya bakat alergi ini menyebabkan penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu
hipersentivisitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.

b.    Faktor presipitasi

1)    Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

·      Inhalan yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora
jamur, bakteri dan polusi.

·      Ingestan yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-obatan.

·      Kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.

2)   Perubahan cuaca.

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang
mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
asma berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

3)   Stres

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita
asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

4)    Lingkungan kerja.

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan
dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik
asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

5)    Olah raga/aktivitas jasmani yang berat.

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olah
raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

6)   Gangguan pada sinus


Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus, misalnya rhinitis alergik dan polip
pada hidung. Kedua gangguan ini menyebabkan inflamasi membran mukus.

C.    EPIDEMIOLOGI

Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun,
sedangkan 80-90% anak yang  menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5
tahun.Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai
sedang, yang relatif mudah ditangani.

Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus
menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu
kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari.

Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia prevalensi asma
usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7% pada tahun 1992.
Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3%-8%, penelitian di Menado,
Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17%
dan 4,8%.

Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa tempat di
Indonesia, antara lain: di Palembang, dimana prevalensi asma sebesar 7,4%; di Jakarta prevalensi
asma sebesar 5,7% dan di Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%. Belum dapat disimpulkan
kecenderungan perubahan prevalensi berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian
dengan sasaran siswa SLTP, namun tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma
sebanding dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang
menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi
asma pada anak.

D.    PATOFISIOLOGI

Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan bronkokonstriksi,
beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar yakni asma ekstriksi dan asma intrinsik
(Hadibroto & Alam, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan masing-masing dari
patofisiologinya.

1.    Asma Ekstrinsik

Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa bronkus yang
mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme
terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen
yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada
permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada basofil yang kita
kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada permukaan sel mast
menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan sejumlah
bahan yang menyebabkan konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh lain ialah
prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik. Bila reseptor
beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2 mimetik), maka pelepasan histamin
akan terhalang.

Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil. Adanya eosinofil dalam
sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil di dalam sputum tidak diketahui,
tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim yang
menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan perlindungan terhadap
serangan asma. Dengan demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah tepi
(Herdinsibuae dkk, 2005).

2.    Asma Intrinsik

Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik. Mungkin mula-mula akibat
kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus yang akan
merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir melalui
satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga langsung menimbulkan
refleks konstriksi bronkus. Atropin bahan yang menghambat vagus, sering dapat menolong kasus-
kasus seperti ini. Selain itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan sehingga pada kasus-kasus
berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total, sehingga berakibat timbulnya
status asmatikus, kegagalan pernapasan dan akhirnya kematian. Rangsangan yang paling penting
untuk refleks ini ialah infeksi saluran pernapasan oleh flu (common cold), adenovirus dan juga oleh
bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara oleh gas iritatif asal industri, asap, serta udara
dingin juga berperan, dengan demikian merokok juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).

E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klasik penderita asma berupa sesak nafas, batuk-batuk dan mengi (whezzing) telah
dikenal oleh umum dan tidak sulit untuk diketahui. Batuk-batuk kronis dapat merupakan satu-
satunya gejala asma dan demikian pula rasa sesak dan berat didada. Tetapi untuk melihat tanda dan
gejala asma sendiri dapat digolongkan menjadi :

1.    Asma tingkat I

Yaitu penderita asma yang secara klinis normal  tanpa tanda dan gejala asma  atau keluhan khusus
baik dalam pemeriksaan fisik maupun fungsi paru. Asma akan muncul bila penderita terpapar faktor
pencetus atau saat dilakukan tes provokasi bronchial di laboratorium.

2.    Asma tingkat II
Yaitu penderita asma yang secara klinis maupun pemeriksaan fisik tidak ada kelainan, tetapi dengan
tes fungsi paru nampak adanya obstruksi saluran pernafasan. Biasanya terjadi setelah sembuh dari
serangan asma.

3.    Asma tingkat III

Yaitu penderita asma yang tidak memiliki keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik dan tes fungsi paru
memiliki tanda-tanda obstruksi. Biasanya penderita merasa tidak sakit tetapi bila pengobatan
dihentikan asma akan kambuh.

4.    Asma tingkat IV

Yaitu penderita asma yang sering kita jumpai di klinik atau rumah sakit yaitu dengan keluhan sesak
nafas, batuk atau nafas berbunyi. Pada serangan asma ini dapat dilihat yang berat dengan gejala-
gejala yang makin banyak antara lain :

a.    Kontraksi otot-otot bantu pernafasan, terutama sternokliedo mastoideus

b.    Sianosis

c.    Silent Chest

d.   Gangguan kesadaran

e.    Tampak lelah

f.     Hiperinflasi thoraks dan takhikardi

5.    Asma tingkat V

Yaitu status asmatikus yang merupakan suatu keadaan darurat medis beberapa serangan asma yang 
berat bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Karena pada dasarnya
asma bersifat reversible maka dalam kondisi apapun diusahakan untuk mengembalikan nafas ke
kondisi normal
F.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1.    Pengukuran fungsi paru (spirometri)

2.    Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian brokodilator aerosol golongan adrenergi.
Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.

3.    Tes provokasi bronkus

4.    Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau lebih setelah tes
provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan
penurunan PEVR 10% atau lebih.

5.    Pemeriksaan kulit
6.    Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.

7.    Pemeriksaan laboraturium

a.    Analisa Gas Darah (AGD / Astrup)

Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis
respiratorik

b.    Sputum

Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat karena hanya reaksi yang
hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-
sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk adanya bakteri, cara tersebut
kemudian kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik.

c.    Sel oesinofil

Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah
tepat.

d.   Pemeriksaan darah rutin dan kimia

SGOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea.

8.    Pemeriksaan radiologi

Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya normal, tetapi prosedur ini
harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum dan atelektasis.

G.    PENATALAKSANAAN

1.    Penatalaksanaan Medis

a.    Terapi Obat

Penatalaksanaan medis pada penderita asma bisa dilakukan dengan pengguaan obat-obatan asma
dengan tujuan penyakit asma dapat dikontrol dan dikendalikan. Karena belum terlalu lama ini, yakni
baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan di kalangan kedokteran bahwa
asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa menyebabkan kerusakan pada saluran
pernapasan dan paru-paru.

Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah ketinggalan
zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang terutama
menggantungkan diri pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki
kondisi yang buruk dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan
kunjungan ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya
karena asma juga lebih tinggi.

Hal ini membuktikan  bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah
karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter masa
kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega sebagai
pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah peradangan
saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.

b.    Alat-alat hirup

Alat hirup dosis terukur  atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler  atau  puffer adalah alat
yang paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan atau paru-paru
pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena memang
menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.

Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala tingkatan
usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan cairan tekan
(pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang menjadi gas ketika
melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan tersebut memecah obat-
obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan mendorongnya keluar dari
moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.

c.         Penyuluhan

Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan
klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan
berkonsoltasi pada tim kesehatan.

d.        Menghindari faktor pencetus

Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta
diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang
cukup bagi klien.

e.         Fisioterapi

Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan
drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.

Anda mungkin juga menyukai