A. Tipologi hubungan iman dan ilmu pengetahuan dalam sejarah
kekristenan 1. Dominasi iman/agama terhadap ilmu pengetahuan/sains Teologi yang menjadi acuan kehidupan iman orang Kristen, dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan, telah menempatkannya sebagai ukuran kebenaran untuk segala hal, bukan hanya untuk soal iman dan etika. Namun, ketika Galileo mengemukakan temuan ilmu pengetahuannya bahwa bukan matahari yang beredar dari timur ke barat, melainkan bumilah yang beredar mengelilingi matahari, gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran ajaran teologi menjatuhkan hukuman yang mengerikan terhadap dia. Penemuannya justru dianggap bertentangan dengan deskripsi Alkitab yang ditafsirkan secara budaya ketika Alkitab ditulis. Secara awam sudah tentu deskripsi bahwa matahari yang beredar mengelilingi bumi adalah hal yang wajar tetapi tentu maksud Alkitab bukanlah untuk memberi deskripsi tentang gejala-gejala alam dan menjadi buku teks ilmu pengetahuan alam. Tujuannya jauh lebih tinggi dari deskripsi seperti itu. Penulis hendak menyaksikan bahwa di balik semua yang ada, ada penciptanya. Suatu pengakuan tentang eksistensi Tuhan dan bahwa Tuhan adalah Allah yang hidup dan bertindak dalam sejarah umat manusia. Untungnya, setelah beberapa abad kemudian Gereja mengakui bahwa hukuman terhadap Galileo Galilei adalah suatu kekeliruan, dan Gereja telah meminta maaf atas hal tersebut. Umumnya, pada masa kini tidak ada yang beranggapan bahwa mataharilah yang beredar mengelilingi bumi dan bukan bumi yang mengelilingi matahari, walaupun tidak berani menolak otoritas Alkitab, karena Alkitab bukan buku teks ilmu pengetahuan. 2. Dominasi ilmu pengetahuan terhadap agama Sejak zaman Pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai dipertanyakan, malahan berkembang menjadi dominasi ilmu atas iman. Banyak orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat objektif, universal, rasional, dan didasarkan pada bukti observasi/pengamatan yang kuat. Sedangkan agama pada sisi yang lain, bersifat sangat subjektif, lokal (sempit skopnya), emosional, dan didasarkan pada tradisi atau sumber kewibawaan yang saling bertentangan satu sama lain. Lama- kelamaan, orang lebih yakin akan metode ilmu pengetahuan, mulai meragukan keyakinannya, dan bahkan meninggalkannya sebagai suatu yang tidak berdasar. Rasio manusia menjadi ukuran atas segala-galanya bukan hanya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan) tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat imaniah dan kepercayaan. Sebagai akibatnya, para teolog ada juga yang mencoba menyesuaikan pernyataan Alkitab dengan temuan ilmu pengetahuan, dan dengan demikian iman tunduk kepada ilmu pengetahuan. Inilah dominasi ilmu atas iman. B. Pengertian Teknologi Modern Menurut Eka Darmaputera, tujuan akhir dari sains adalah mengetahui sebanyak-banyaknya tentang dunia dan alam semesta, sedangkan tujuan akhir dari teknologi mengubah dunia dalam arti bagaimana pengetahuan dari sains tadi dapat diaplikasikan dalam peralatan untuk memecahkan masalah (Supardan 1991, 241). Dalam pengertian itu ada kaitan erat antara ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Tanpa sains tidak mungkin teknologi berkembang, sebaliknya tanpa teknologi, sains menjadi mandul. Teknologi mengimplikasikan pilihan, dan pilihan menuntut keputusan yang tidak hanya menyangkut aspek ilmiah, namun juga yang berdimensi etis dan religius. Misalnya, secara ilmiah, teknologi kloning dapat diterapkan juga kepada manusia, tetapi apakah seorang ilmuwan/wati boleh melakukan hal tersebut? Ada banyak sekali pertimbangan dalam membuat keputusan apakah seseorang dapat melakukan kloning manusia, dan perdebatan mengenai hal ini masih terus berjalan. C. Tipologi respon kristen terhadap teknologi modern 1. Teknologi sebagai pembebas (liberator) Sepanjang sejarah modern, perkembangan teknologi telah disambut secara bersemangat oleh karena potensinya untuk membebaskan kita dari kelaparan, penyakit, dan kemiskinan. Teknologi telah dirayakan sebagai sumber dari kemajuan materiil dan pemenuhan kemanusiaan kita. Hubungan positif atara iman dan teknologi juga harus disyukuri dan diterima secara positif, karena melaluinya Allah menyatakan kasih-Nya kepada manusia melalui kemajuan teknologi. Jangan pernah berilusi bahwa teknologi tidak membawa dampak negatif yang tidak memanusiakan manusia. Karena itu, harus dikritisi dan ada upaya meminimalkan dampak negatifnya. Teknologi tak perlu dielu-elukan sebagai liberator, karena akhirnya hanya Tuhanlah sang Liberator sesungguhnya. 2. Teknologi sebagai ancaman Kita tidak dapat terlalu optimis dan mengagungkan teknologi sebagai penyelamat, karena hanya Tuhan yang dapat menyelamatkan. Keasyikan dengan teknologi dapat berkembang menjadi sikap mendewakan teknologi, suatu penyangkalan dari kedaulatan dan kekuasaan Allah, dan juga suatu ancaman terhadap eksistensi manusia yang khas. Akan tetapi, kita juga jangan terlalu pesimis dengan teknologi, sebab teknologi yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sesungguhnya adalah perwujudan dan ekspresi yang sah dari kapasitas kreatif manusia dan merupakan kontribusi esensial bagi kesejahteraannya. 3. Teknologi sebagai instrumen keuasaan Posisi atau respons ketiga berpendapat bahwa teknologi tidak secara inheren baik atau jelek/jahat, tetapi teknologi adalah instrumen kekuasaan yang ambigu/mendua, yang konsekuensi-konsekuensinya tergantung pada konteks sosialnya. Beberapa teknologi tampaknya netral jika mereka dapat dipakai untuk kebaikan atau kejahatan sesuai dengan tujuan pemakainya. Pisau dapat dipakai untuk operasi atau membunuh, dan seterusnya. Barbour mengemukakan dua hal dalam kaitan dengan posisi ketiga ini. Pertama, tentang hubungan teknologi dengan kekuasaan politik. Kedua adalah mengarahkan kembali teknologi.
KESIMPULAN
Kita tidak mungkin menghindar berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, maupun seni. Semuanya menuntut respons kita sebagai orang percaya bagaimana mengembangkan pola hubungan yang positif antara iman dengan ilmu, teknologi dan seni. Iman harus menerangi iptek dan iptek harus mendukung iman jadi keduanya harus berjalan beriiringan, maksudnya jika kita tidak bisa mengendalikan kebutuhan kita terhadap iptek akan membawa dampak negatif terhadap iman kita, pikiran kita jadi tidak tertuju kepada kemuliaan Tuhan tetapi lebih memprioritaskan iptek. Teknologi dapat menjadi ancaman jika lebih terang dari pada iman. Contohnya kalo kita bawa hp digereja sebagai alkitab, boleh bawa tetapi tidak menggantikan posisi alkitab sebagai kitab suci karena jika kita membawa hp pikiran dan hati kita terbagi saat sedang beribadah. Sedangkan seni, Seni dapat dipakai sebagai ekspresi iman, melalui puji-pujian, dan berbagai manifestasi seni yang lain. Beragama tanpa melibatkan unsur seni sangatlah kering dan membosankan, tidak imajinatif. Tak ada ekspresi keagamaan yang bebas dari seni. Seni memperkaya kehidupan keagamaan dan mendekatkan manusia kepada Tuhan. Sebaliknya, agama dan iman juga perlu mewarnai seni dan mengontrolnya agar dikembangkan untuk mendatangkan kebaikan dan bukan kejahatan, seperti pornografi dll.