O LE H :
MARKO MAHIN
Baseline study ini bisa bisa terlaksana karena inisiatif dan bantuan banyak
pihak. Karena itu dengan segala ketulusan hati, kami sampaikan ucapan
terimakasih kepada:
Marko Mahin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAGIAN 1
Pendahuluan
BAGIAN 2
Metode Penelitian
BAGIAN 3
Hasil Penelitian
BAGIAN 4
Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan 69
4.2 Saran 73
BAGIAN 5
Penutup
5.1. Penutup 77
1
PENDAHULUAN
1
skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan).
2
Gambar 1. Peta Taman Nasional Sabangau, di Kalimantan Tengah, terdapat di Kabupaten Katingan,
Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya. (Sumber: BKSDA Kalimantan Tengah, 2008)
3
1.2. TUJUAN KEGIATAN
4
menyediakan kebutuhan pokok masyarakat lokal seperti bahan
pangan, kayu bakar, tumbuhan obat, atau bahan bangunan yang
belum ada alternatif penggantinya; dan (iii) kawasan yang penting
bagi identitas budaya tradisional dari segi ekologi, ekonomi, atau
religi.
h. Potensi dampak demonstration activity terhadap kehidupan
kelompok-kelompok nelayan tersebut di atas.
i. Identifikasi resiko-resiko yang diakibatkan oleh aktivitas masyarakat,
yang kemungkinan mengurangi manfaat demonstration activity
bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati. Resiko-resiko yang
dimaksud misalnya pembakaran lahan dan hutan, atau penggunaan
racun dan listrik untuk menangkap ikan.
j. Identifikasi resiko-resiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim
yang kemungkinan mengurangi manfaat demonstration activity
bagi masyarakat.
k. Identifikasi peluang-peluang keberlanjutan manfaat bagi
masyarakat setelah jangka waktu demonstration activity berakhir.
Peluang-peluang yang dimaksud antara lain: (i) pelembagaan
aturan-aturan pemanfaatan sumber daya alam yang dibuat dan
ditetapkan secara partisipatoris; (ii) pelembagaan penyelesaian
konflik terkait penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam
dengan memperkuat lembaga-lembaga lokal; dlsb.
l. Rekomendasi mengenai bentuk monitoring dan indikator-indikator
dari sudut pandang masyarakat terhadap manfaat dan dampak
positif maupun negatif dari demonstration activity.
5
2
METODE PENELITIAN
6
dalamnya terurai. Dengan menjaga lahan gambut tetap basah, berarti juga
akan mengurangi pelepasan karbon.
7
Metode yang dipergunakan dalam penentuan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive sampling) yaitu ada 12 (dua belas) pemukiman yang
didasari pada beberapa alasan :
8
Gambar 2. Peta desa-desa di sekitar Taman Nasional Sabangau yang terdapat di
sepanjang sungai Sabangau
9
2.2. Penentuan Responden
Jumlah
No. Nama Pemukiman Responden
1 Bakung 1
2 Ules 2
3 Rasau 4
4 Timba 3
5 Karanen 7
6 Mangkok 4
7. Selowati 5
8. Pakuyah (Uyah) 5
9. Sungei Bandera 1
10. Bangah 7
11. Galam Raya 1
12. Baluh 5
TOTAL 45
10
Selain di pemukiman-pemukiman temporer tersebut di atas, baseline
study juga dilaksanakan di tempat asal sebagian besar nelayan yang
bermukim di sana, yakni di Kereng Bangkirai. Informasi tentang kelompok-
kelompok masyarakat lainnya, yang memanfaatkan sumber daya setempat
secara insidental, akan dijaring melalui survey terhadap nelayan-nelayan
tersebut di atas. Namun, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat
yang secara langsung terpangaruh oleh demonstration activity, karena
intensitas pemanfaatan terhadap sumber daya setempat rendah dan
mereka mudah berpindah ke tempat lain.
Mayoritas informan berada pada usia produktif, yaitu usia dimana seorang
manusia dianggap sudah dapat bekerja untuk menghasilkan uang guna
mencukupi kebutuhan hidupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan kelompok umur terdapat 39 orang merupakan kelompok
usia produktif, sedangkan sisanya yakni 6 orang berada pada kelompok
usia tidak produktif yaitu di atas 55 tahun. Pada kelompok usia produktif
kecenderungannya berada pada kelompok usia 15-55 tahun. Sedangkan
usia tidak produktif yaitu diatas 55 tahun memiliki persentase yang lebih
kecil.
11
Tabel 3. Pendidikan Responden
Karena kondisi wilayah yang serba air (sungai, rawa, dan danau), sebagian
besar pekerjaan utama responden adalah nelayan atau mencari ikan di
sungai, rawa dan danau. Namun pada saat tertentu yaitu ketika hasil
tangkapan turun dan sementara menunggu musim tangkapan banyak
mereka melakukan beberapa pekerjaan sampingan untuk mendapat uang
kontan yaitu:
12
10. Menjadi Tukang Kayu
11. Sewa Klotok
12. Bekerja Dengan WWF
a. Membuat Tabat
b. Penanaman Bibit
c. Monitoring Pipa Air di Tabat
13
2.5. Cara dan Tahapan Pengumpulan Data
Data yang terkumpul dari tiap tahapan dianalisis secara deskriptif yaitu
dengan menjelaskan dan menguraikan semua variabel yang diamati
selama penelitian. Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel sesuai
dengan fenomena yang ditemukan dan diuraikan dalam bentuk narasi
sebagai penjelasan dari semua perubahan yang terjadi setelah
pelaksanaan penelitian.
Data kualitatif diolah melalui tiga langkah pengolahan data kualitatif, yakni
reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan
kesimpulan (conclusion drawing and verification), yang dilakukan secara
luwes, dalam arti tidak terikat oleh batasan kronologis.
14
3
HASIL PENELITIAN
Sabangau adalah nama sungai yang membujur dari Kota Palangka Raya,
melintasi Kabupaten Pulang Pisau, dan bermuara di Laut Jawa (Teluk
Sabangau). Sungai dengan panjangnya ± 198.515 km, terletak di wilayah
administrasi Kecamatan Sabangau dan Kecamatan Sabangau Kuala dapat
di telusuri selama ± 4 jam perjalanan bila menggunakan speed boat
dengan mesin Yamaha 115 PK, tetapi bila menggunakan klotok (perahu
kecil bermesin diesel merk Dong Feng) memerlukan waktu ± 10 jam.
Bagian ini merupakan potret kondisi sosial, ekonomi dan budaya para
nelayan sungai Sabangau di 12 (dua belas) pemukiman yang ada di
pinggir sungai Sabangau dan merupakan rangkuman hasil wawancara
yang dilakukan terhadap 45 orang nelayan daerah tersebut yang dipilih
secara acak pada bulan Oktober 2011.
1
Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff
15
3.1. Situasi Pemukiman
16
Gambar 2 Pemukiman Selowati pada saat air sungai relatif dalam.
17
Rumah atau pondok yang dibangun ada yang sifatnya temporer, semi
permanen, bahkan permanen.
18
lebih diperkuat lagi dengan tersebarnya alat tangkapan ikan yang adalah
milik penghuni pondok.
19
Sedangkan nama sungai-sungai kecil (sungei) dibuat berdasarkan
fenomena alam yang terdapat di sekitar sungai atau suatu peristiwa yang
1. Sungei Ules. Karena aliran air yang mengalir di sungai ini berputar
yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut ha-ules, maka sungai itu
disebut Sungei Ules.
2. Sungei Bakung. Karena banyak ditemukan tumbuhan Bakung maka
dinamakan Sungei Bakung.
3. Sungei Rasau. Karena banyak ditemukan tumbuhan Rasau maka
dinamakan Sungei Rasau.
4. Timba. Karena pernah ditemukan timba (alat penimba air dari dalam
perahu) maka tempat ini dinamakan Timba
5. Karanen. Berasal dari nama sungi Karanen.
6. Mangkok. Karena pernah ditemukan mangkok di bagian hulu sungai
maka tempat ini dinamakan Mangkok
7. Selowati. Karena pada zaman kayu, satu perusahaan kayu yang
bernama Selowati masuk ke pemukiman ini, maka sejak itu namanya
berubah menjadi Selowati.
8. Pakuyah (Uyah). Pada jaman dahulu di daerah ini ada banyak orang
yang membuat ikan asin, untuk itu mereka membawa banyak garam
(uyah) yang ditempatkan dalam bungkusan atau wadah yang disebut
pak. Bungkusan garam atau pak uyah itu banyak tersisa, akibatnya
tempat ini dinamai sebagai Pakuyah atau Uyah.
9. Sungei Bandera. Karena di bagian muara sungai ada didirikan tiang
bendera maka disebut Sungei Bandera.
10. Sungei Bangah. Karena bentuk sungai yang terbuka (habangah),
maka disebut Sungei Bangah.
11. Galam Raya. Karena ditemukan banyak kumpulan pohon galam maka
dinamakan Galam Raya.
12. Sungei Baluh. Karena di sungai itu tempat orang bertanam baluh
(labu) maka dinamakan Sungei Baluh.
20
beberapa sungai yang terdapat di bagian hulu tempat penelitian, nama
sungai merupakan nama pemilik sungai (lihat Tabel 12).
BULAN KE
NO MUSIM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Surung Layap ▲ ▲ ▲
2. Danum Manahan ▲ ▲ ▲
3. Marintak ▲ ▲ ▲ ▲
4. Pandang ▲ ▲ ▲
21
c. Wayah marintak yaitu saat saat permukaan air berangsur‐angsur
turun, atau air berfluktuasi kecil. Terjadi sekitar bulan Maret hingga
Juni. Pada saat marintak ikan bergerak mengikuti arus menuju daerah
cekungan yang lebih dalam, sehingga ikan ini mudah untuk dihadang.
Para nelayan mengatakan pada saat itu suhu air di padang ayap sudah
meningkat dan ikan turun untuk mencari daerah yang berair dalam di
mana airnya tidak panas. Menurut para nelayan apabila ikan-ikan mulai
turun atau pergi meninggalkan kawasan padang ayap menuju sungai-
sungai kecil atau sungai utama hal itu merupakan pertanda akan
datangnya musim kering atau wayah pandang. Para nelayan juga
mengatakan bahwa pada saat marintak ikan lebih mudah ditangkap
karena air sudah tidak tersebar kemana-mana. Luas tayap semakin
mengecil, air semakin mengumpul di beberapa tempat saja hal itu juga
membuat ikan semakin berkumpul sehingga mudah ditangkap.
22
memasang alat tangkapan yang hanya bisa dilakukan pada tepi sungai
utama saja. Sedangkan jika musim hujan dan banjir, alat tangkapan bisa di
pasang di daerah rawa.
a. Berdasarkan Asal-Usul
2
Krakatau meletus pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Suara dentuman dari letusan Gunung
Krakatau terdengar hingga Australia dan Pulau Rodrigues di dekat Afrika. Debu vulkanik
mencekam langit dalam menenggelamkan dunia dalam kegelapan total selama dua hari penuh.
Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya dan alam serentak mengalami perubahan
iklim global. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau. Fenomena alam ini membekas kuat
dalam ingatan sejarah masyarakat Sabangau sehingga menjadi patokan kronologis waktu ketika
mereka menceritakan sejarah asal-usul mereka [Informan: wawancara pribadi dengan Pak
Yusran (52 tahun) dan Damang Basel A. Bangkan, pada tanggal 18 Oktober 2011]
23
2. Nelayan Pendatang adalah nelayan yang tidak dari sejak semula
tinggal dan menetap di sungai Sabangau atau desa Kereng Bangkirai.
Mereka datang dari luar wilayah Kereng Bangkirai bahkan dari luar
provinsi Kalimantan Tengah. Ada yang datang pada waktu belakangan,
yaitu saat maraknya illegal loging (zaman kayu), kemudian alih profesi
menjadi nelayan pada waktu ada pelarangan.
3
Sungai Negara (bahasa Banjar: Sungaî Nagarā) adalah sebuah sungai yang mengalir di wilayah
Kalimantan bagian tenggara, tepatnya di provinsi Kalimantan Selatan. Sungai ini merupakan
sungai terpanjang kedua di Kalsel setelah Sungai Barito. Sungai ini merupakan anak sungai Barito
sehingga muaranya berada di Sungai Barito.
4
Desa Berangas adalah sebuah desa yang terletak dipinggiran kota tepatnya berada diperbatasan
antara Kota Madya Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala. Secara hukum desa Berangas
terletak dikecamatan Alalak yang masih termasuk didalam wilayah Kabupaten Barito Kuala.
5
Dalam buku Tjilik Riwut (1958) dijelaskan bahwa Suku Dayak Berangas/Barangas adalah salah
satu subetnis Dayak Ngaju yang beragama Islam yang mendiami di bagian hilir sungai Barito,
terutama sebagai pusatnya di Berangas, kabupaten Barito Kuala, provinsi Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Berangas/Barangas dapat digolongkan sebagai bagian dari suku Dayak Ngaju
Bakumpai jika ditinjau dari segi asal usul dan kemiripan bahasanya. Bahasa Berangas (Barangas)
atau Bahasa Alalak (Halalak) adalah sub bahasa Ngaju (Bahasa Barito/bahasa Austronesia) yang
dipertuturkan di hilir sungai Barito, Kalimantan Selatan.
24
3. Oloh Jawa yaitu nelayan sungai yang berasal dari pulau Jawa dan
dari suku bangsa Jawa. Pada mulanya adalah pekerja kayu namun
kemudian alih profesi menjadi nelayan sungai.
25
b. Berdasarkan Pola Kerja
26
untuk memperbanyak jumlah tangkapan pada musim tangkapan
banyak.
- Nelayan musiman dari Palangka Raya. Nelayan jenis ini mencari
ikan hanya untuk kesenangan, hobby dan gaya hidup (lifestyle).
Dipengaruhi acara “mancingmania” yang ditayangklan di televisi,
pada musim kemarau mereka datang dengan peralatan pancing
dan umpan yang lebih moderen untuk mementaskan ulang apa
yang mereka tonton di televisi. Mereka umumnya hanya
memancing di sungai utama saja.
27
Tabel 10. Daftar Nelayan Sesuai Kategori
28
Yang dimaksud dengan eka satiar malauk bagi nelayan Sabangau adalah:
a. Batang Danum atau sungai utama/induk yaitu sungai Sabangau
sebagai sungai induk (batang danum), dengan segala bagiannya yaitu:
- Luwuk (teluk), yaitu bagian sungai yang menjorok ke arah daratan
- Bereng (tanjung) yaitu bagian daratan yang menjorok ke arah
sungai.
- Saran batang danum adalah pinggiran sungai yang banyak
ditumbuhi pepohonan.
- Bentuk batang danum adalah bagian tengah sungai.
- Palempang yaitu tanah yang ada di bagian dasar sungai
- Labehu adalah bagian sungai yang paling dalam). Beberapa
nelayan mengatakan bahwa labehu adalah bagian yang penting
karena merupakan tempat perlindungan, bertahan dan
penyelamatan ikan-ikan jenis tertentu pada saat datangnya musim
kemarau.
b. Padang napu atau padang ayap yaitu rawa banjiran terbuka sepanjang
kiri dan kanan sungai yang pada musim hujan akan menjadi kawasan
luapan air, sehingga menjadi kantong ikan tangkapan. Terkadang
bagian ini disebut juga dengan luwau. Sehingga disebut dengan luwau
napu.
c. Datah adalah rawa banjiran tertutup karena ditumbuhi oleh hutan.
Juga terdapat sepanjang kiri dan kanan sungai yang pada musim hujan
29
akan menjadi kawasan luapan air, sehingga menjadi kantong ikan
tangkapan.
d. Pamatang adalah bagian tanah yang tinggi yang tidak tergenang air
kendatipun musim banjir.
e. Sungei atau (Batang/Bapa Sungei): Sungai kecil yang bermuara di
sungai utama atau bermuara di cabang sungai utama. Misalnya sungei
Rasau, Bakung, Bangah, Karanen, dst.
f. Sampang Sungei (Anak Sungei) yaitu cabang atau simpang dari
sungai kecil utama, disebut juga anak sungei (anak sungai).
g. Saka (esun sungei) yaitu Sungai yang lebih kecil yang terbentuk secara
alami disebut dengan Saka atau Cucu Sungai.
h. Tatas. Nelayan Sabangau juga mengenal sungai buatan atau kanal
yang disebut dengan tatas, yang dibuat untuk menghubungkan suatu
tempat atau dibuat untuk jalur tranportasi / angkutan hasil bumi dari
suatu tempat ke tempat lain. Dulu pernah terdapat tatas Matal yang
menghubungkan Sabangau dan sungei Parei Siang yang bermuara di
sungai Kahayan. Tatas itu dibuat untuk memudahkan para pencari
gemor membawa hasil kerjanya ke kampung Pahandut yang terdapat
di pinggir sungai Kahayan. Tatas itu sekarang sudah hilang tertimbun
pada waktu pembuatan bandara Cilik Riwut. Pada zaman illegal loging
atau zaman kayu, tatas dibuat untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan
banjir. Tatas dibangun untuk menghanyutkan kayu tebangan dari
hutan menuju sungai .Tatas yang terhubung langsung dengan sungai
utama, anak sungai dan saka biasanya menjadi tempat menangkap
ikan.
Selain sungai utama atau anak sungai, pada musim kemarau mereka juga
dapat menangkap ikan di tempat yang mereka sebut ruak, baruh atau
talaga.
30
b. Baruh atau talaga yaitu danau di tengah hutan atau di bantaran sungai
yang terbentuk secara alami pada musim kemarau menjadi tempat ikan
berkumpul.
Wilayah tangkapan ikan atau eka satiar malauk dapat diringkas dalam
tabel berikut:
Dalam beberapa literatur ilmiah, eka satiar malauk yang disebut oleh
para nelayan Dayak Ngaju itu dapat dikenal dengan istilah rawa, hutan
rawa gambut, rawa non pasang surut, atau rawa lebak. Mac Kinnon et al.
(2000) menyebutkannya sebagai danau-danau dataran banjir yang
mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu
mendapatkan luapan banjir dari sungai besar di sekitarnya. Selain dari
luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat
atau banjir kiriman.
31
Ardinor dan Gumiri, (2006) menyatakan bahwa istilah yang digunakan oleh
masyarakat Dayak untuk rawa ini adalah Luwau Napu atau di Sumatera
disebut Lebak Lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran seperti ini
mempunyai ciri khas, yaitu fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim
penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap
hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang
tinggi (pamatang atau kereng), sebaliknya pada musim kemarau air sungai
menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang
dalam yaitu meliputi sungai utama, anak sungai, ruak, baruh dan talaga.
a. Sungai Utama
Peraturan ini berlaku selama ada alat tangkapan di tempat itu. Bila tidak
ada alat tangkapan berarti orang lain boleh masuk dan meletakkan alat
tangkapannnya di tempat itu. Peraturan ini memiliki kelemahan karena
hanya berpatokan pada alat tangkapan. Beberapa oknum nelayan
32
memanfaatkan kelemahan itu dengan secara sengaja memperbanyak alat
tangkapan pribadinya dan menyebarkannya pada wilayah yang luas,
sehingga orang lain terhalang dan tidak bisa masuk ke wilayah itu.
Nelayan ini telah melakukan penguasaan teritorial
Rawa terbuka (padang napu / layap) dan rawa tertutup (datah) yang
terkoneksi dengan sungai utama, juga dilihat sebagai milik bersama
(common). Namun rawa terbuka (padang layap) dan rawa tertutup (datah)
yang terkoneksi dengan sungai-sungai kecil yaitu sungei dan saka menjadi
milik keluarga atau perorangan. Hal itu terjadi karena pada musim
kemarau akan terbentuk parit-parit dan jalur-jalur arus air alami yang
menuju ke sungei dan saka. Di tempat itu biasanya dipasang alat
tangkapan, yaitu hanya boleh dilakukan oleh pemilik sungei dan saka itu
saja.
33
c. Anak dan Cucu Sungai
Hampir semua anak sungai (sungei) dan cucu sungai (saka) ada
pemiliknya. Untuk anak dan cucu sungai (sungei-saka) yang terbentuk
secara alami, kepemilikan diawali dari siapa yang pertama kali bekerja
ditempat itu, kemudian kepemilikan itu diwariskan kepada keturunannya.
Sebagai contoh sungai Bakung pada mulanya adalah milik Ongko Surung
Mantir, hal itu terjadi karena ia yang pertama kali bekerja mencari gemor,
pantung, hangkang dan katiau di tempat itu. Kemudian sungai itu
sekarang ini menjadi milik atau dikelola keturunannya yaitu keluarga
Bapak Jumadi.
34
d. Tatas
Sama seperti sungei dan saka, pemilik tatas berhak memungut jasa
pengelolaan dari setiap orang yang memanfaatkan tatas sebagai sarana
transportasi atau tempat berusaha. Tatas yang dibuat oleh sesorang yang
bermuara pada sungei dan saka yang dikelola oleh seseorang atau
sekelompok orang, maka sepertiga dari jasa hak pengelolaan tatas
menjadi hak pengelola sungei dan saka tempat bermuara tatas tersebut.
Sehubungan dengan tatas, ada beberapa aturan yang tidak (belum) tertulis
yaitu:
- Hak pengelolaan tatas tidak boleh dipindahkan atau
diperjualbelikan kepada warga pendatang yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan masyarakat adat setempat.
- Tatas yang bermuara pada sungai besar (batang danum), jika
ditinggalkan oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut,
maka hak pengelolaan atau pemanfaatannya menjadi hak bersama
masyarakat setempat.
- Tatas yang bermuara pada sungei atau saka jika ditinggalkan oleh
pemiliknya selama satu tahun berturut-turut, maka hak pengelolaan
atas tatas tersebut sepenuhnya jatuh kepada pengelola sungai
induknya.
- Hak pengelolaan tatas (kanal) hanya terbatas mengelola dan
memanfaatkan tatas (kanal) saja selama yang pemiliknya melakukan
kegiatan usaha di tatas tersebut, sedangkan tanah atau hutan
disekitarnya bukan haknya.
35
e. Baruh dan Ruak
36
a. Dikenal ada wilayah komunal dan keluarga.
b. Wilayah komunal bersifat umum misalnya sungai utama atau rawa
terbuka/tertutup yang terkoneksi langsung dengan sungai utama.
Penguasaan dilakukan secara komunal oleh seluruh nelayan.
Kendatipun bersifat komunal tetap ada norma-norma yang mengatur
tata cara penangkapan ikan yaitu:
1. Tidak boleh mengambil/mencuri tangkapan orang lain
2. Jangan tumpang tindih dalam pemasangan alat
3. Tidak boleh menangkap ikan dengan racun dan setrum listrik
4. Orang luar desa boleh menangkap ikan di wilayah komunal
hanya untuk kepentingan non komersial seperti rekreasi
memancing
c. Penguasaan wilayah komunal hanya terbatas untuk kepentingan
penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain dapat melewati wilayah
itu dengan bebas.
d. Sedangkan wilayah keluarga bersifat tertutup atau privat dengan
tujuan untuk melindungi keberlanjutan mata pencaharian keluarga.
Penguasaan dilakukan oleh pihak keluarga. Masyarakat lain dapat
melewati wilayah itu dengan kontrol dari pihak keluarga. Sistem yang
berkembang dalam wilayah keluarga adalah:
1. Orang luar yang non keluarga tidak boleh bekerja di dalam
wilayah keluarga
2. Orang luar dapat menangkap ikan atau bekerja mencari
penghasilan hidup di wilayah keluarga, apabila melakukan ikatan
kekerabatan dengan cara perkawinan.
3. Orang luar dapat memasuki dan mengakses wilayah keluarga
yaitu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun
dengan ijin dan kontrol dari pihak keluarga, serta membayar
kontribusi.
4. Penguasaan dan kepemilikan wilayah keluarga tidak boleh
diperjual-belikan, harus diturunkan pada keturunannya.
5. Tidak boleh melakukan penangkapan ikan dengan cara yang
memusnahkan ikan, misalnya dengan racun potas atau setrum
listrik.
37
3.7. Tangkapan
a. Lauk barega adalah ikan yang nilai ekonominya tinggi dalam artian
cepat terjual baik dalam bentuk ikan segar maupun ikan asin. Jenis
ikan yang masuk kategori ini adalah:
- Tampahas
- Tahuman
- Behau
- Patung
- Tabakang
- Karandang
- Mihau
- Kakapar
38
- Pentet
- Puhing
b. Lauk dia barega. Adalah ikan yang tidak dapat dijual sehingga nilai
ekonomisnya rendah (dia barega). Hal itu dikarenakan ikan tersebut
tidak biasa dikonsumsi oleh nelayan setempat misalnya ikan Jajili atau
ukurannya terlalu kecil waktu ditangkap. Ikan jenis ini biasanya
dijadikan pakan ikan Tahuman yang berada di dalam keramba atau
makanan bebek. Ikan itu dicincang atau diblender kemudian
dimasukkan ke dalam keramba. Juga bisa dijadikan umpan banjur dan
rawai.
39
Adanya ikan yang nilai ekonomisnya rendah merupakan salah satu faktor
yang mendorong nelayan yang memelihara ikan tahuman keramba dan
bebek, dengan tujuan sebagai tempat penampungan ikan-ikan yang nilai
ekonomisnya rendah.
Alat tangkap ikan yang dipergunakan oleh para nelayan sungai Sabangau
merupakan alat tangkap tradisional dan digerakan dengan tenaga
manusia. Ada alat tangkap yang sifatnya pasif yaitu tidak digerakan dalam
pengoperasiannya yaitu: tampirai, salambau, takalak, pangilar, kalak,
rengge, rawai, buwu, tampirai, banjur Alat tangkap aktif adalah alat
tangkap ikan yang harus aktif digerakkan pada saat dioperasikan. Alat
tangkap jenis ini meliputi : lunta, dan pasat. Baik nelayan dari suku Banjar
maupun Dayak, menyebut alat tangkap mereka dengan istilah pakarang.
Gambar 5 Bubu atau Buwu, salah satu alat tangkap nelayan sungai Sabangau
40
Tabel 13 Daftar Alat Tangkapan
41
didapat dari sesama nelayan, dan pengalaman pribadi. Teknik
penangkapan yang dikembangkan adalah dengan memperhatikan
beberapa hal berikut:
Alat penangkap ikan yang sudah tidak pernah dipakai lagi adalah tukung
yaitu alat tangkap yang terbuat dari jalinan bambu menyerupai kandang
ditempatkan di tengah sungei/saka, dibagian yang menghadap muara dan
hulu sungai dibuat pintu menyerupai lekukan daun keladi atau bentuk hati
terbuat dari jalinan bambu, sehingga ikan-ikan terperangkap dan hanya
bisa masuk tapi tidak bisa keluar. Di sisi kiri dan kanan tukung
ditancaphempeng (empang) yang terbuat dari jalinan bambu
membentang di sisi kiri- kanan tukung yang disebut papar tukung.
42
tentang penggunaan alat tangkap kalang, yaitu agar dibatasi jumlahnya
karena dapat memusnahkan ikan Tampahas. , Hal yang positif adalah para
nelayan sepakat untuk tidak menggunakan alat setrum listrik dan racun
potas untuk meangkap ikan.
Nelayan sungai yang berasal dari suku Dayak Ngaju menyebut profesi
yang sedang mereka kerjakan sebagai palauk, yang secara literal berarti
“pencari ikan”. Untuk kegiatan atau aktivitas disebut dengan malauk yang
artinya “mencari ikan”. Sedangkan nelayan sungai yang berasal dari suku
Banjar menyebut profesi yang sedang mereka kerjakan sebagai paiwakan,
yang secara literal juga berarti “pencari ikan”. Untuk kegiatan atau
aktivitas disebut dengan maiwak yang artinya “mencari ikan”.
Pola kerja nelayan tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Bila
berupa perangkap dan pancing maka dikenal istilah nindan dan manukui.
Nindan adalah kegiatan memasang alat perangkap ikan misalnya bubu
dan tampirai. Alat tangkapan itu kemudian ditinggalkan dalam waktu
43
tertentu tergantung pada musim ikan. Pada musim ikan, alat tangkapan
hanya ditinggalkan sekitar 12 jam. Bila di pasang sore hari maka akan
dijenguk pada pagi hari. Pada musim ikan sepi, alat tangkap baru dijenguk
2 atau 3 hari.
NO Kategori Orang/Responde
1 Memperbaiki alat tangkapan 17
2 Menunggu/beristirahat 15
3 Membuat alat tangkap 6
4 Mencari kayu bakar 3
5 Membersihkan ikan untuk dijadikan ikan kering 1
7 Memberi Makan ikan Toman 2
9 Membuat pakan ikan Toman 1
Setelah manukui, ikan hasil tangkapan akan dipilah menjadi 2 jenis yaitu
ikan yang berharga dan ikan yang kurang berharga (lihat bagian 3.7).
Ikan yang tidak berharga dipersiapkan menjadi umpan pancing, makanan
bebek atau makanan ikan di keramba. Ikan yang berharga, yaitu ikan yang
44
masih segar, akan dimasukkan ke dalam keramba jaring apung yang
sebagai tempat penyimpanan sementara.
Apabila ikan sudah terkumpul cukup banyak maka ikan tersebut akan
dijual kepada para pengepul yang oleh masyarakat setempat disebut
panyambang. Para penyambang ini datang sendiri ke pemukiman para
nelayan, dan melakukan proses jual-beli serta kemudian membawa ikan itu
ke tempat lain untuk dipasarkan. Pada saat penelitian dilakukan berhasil
diidentifikasi beberapa nama para penyambang yang membeli ikan dari
nelayan di sungai Sabangau yaitu:
45
4. Karandang Rp. 6.000,- Rp. 15.000,-
5. Tampahas Rp. 20.000,- Rp. 28.000,-
6. Patung Rp. 8.000,- Rp. 15.000,-
7. Tahuman Rp. 20.000,- Rp. 35.000,-
8. Biawan Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
9. Behau Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
Hal yang menarik adalah selain bayar dengan uang kontan, proses jual-beli
juga bisa dilakukan dengan cara barter. Di Mangkok dituturkan bahwa
ikan hasil tangkapan biasanya dibeli oleh pengumpul langganan mereka.
Nama pengumpul itu adalah Wali. Ia berasal dari Bangkuang, Barito.
Biasanya ikan-ikan akan dibawa ke pasar Kereng Bangkirai untuk dijual
kepada para pengencer. Cara penjualan menggunakan sistem barter
yaitu para nelayan memberikan daftar belanja kepada Wali, lalu Wali
membawa semua kebutuhan itu dari kota dengan bukti perincian dalam
bentuk nota, lalu ditukarkan dengan ikan. Jika harga yang di nota
pembelian lebih kecil dari harga ikan, maka Wali akan memberi uang
kontan kepada para nelayan, namun apabila harga yang di nota pembelian
lebih banyak dari harga ikan, maka para nelayan akan menimbang
sejumlah ikan untuk menutup kekurangannya. Namun jika harga barang
tetap lebih banyak sedangkan ikan sudah tidak ada lagi, maka ibu Raudah
terpaksa berhutang dulu.
46
demikian mereka dapat meningkatkan nilai ekonomis tangkapan dengan
menjual langsung hasil tangkapan ke pasar.
Ikan yang dibuat menjadi ikan asin adalah ikan yang mati selama
menunggu penyambang. Namun ada jug a nelayan yang secara sengaja
tidak menjual ikan segar dan membuatnya menjadi ikan asin, dengan
alasan dalam bentuk ikan asin harganya lebih mahal. Dengan demikian
tampak ada upaya dari para nelayan untuk memberi nilai tambah terhadap
47
hasil tangkapannya sehingga memiliki nilainya yang relatif lebih tinggi.
Namun pada sisi lain, ini merupakan strategi ekonomi para nelayan untuk
menyimpan atau menabung sumber daya yang ada padanya, sehingga ia
selalu mempunyai dana cadangan dalam bentuk ikan asin.
Pada saat penelitian perbandingan antara harga ikan segar dan harga ikan
asin di kalangan para penyambang adalah sebagai berikut:
48
b. Membuat Keramba (Mangaramba)
Ikan Toman yang dikurung di dalam keramba diberi pakan ikan-ikan kecil
atau ikan-ikan yang diklasifikasikan sebagai ikan yang nilai ekonomisnya
rendah. Ikan Toman baru bisa dipanen setelah berumur 10 bulan hingga
1 tahun. Pendapatan dari memelihara ikan di karamba bervariasi
tergantung pada ukuran dan banyaknya keramba.
49
Tabel 19. Harga Anak Ikan Toman
Anak ikan Toman dari sungai Sabangau dijual kembali oleh para
pengumpul ke pembeli dari luar Kalimantan Tengah yaitu untuk dibawa ke
dan dijual di daerah Kalimantan Selatan yaitu di Bangkuang-Nagara atau
di Kalimantan Timur, Samarinda.
Jika tidak mencari ikan Pak Bahran akan memasang jerat rusa. Ia memiliki
300 unit perangkap rusa yang disebarkan di sekitar sungei Bangah. Setelah
50
dipasang atau dibenahi, perangkap-perangka rusa itu dijenguk oleh Pak
Bahran hanya satu kali seminggu. Dalam satu minggu belum tentu ada
yang kena. Menurut Pak Bahran rusa biasanya hanya akan turun dari
tengah hutan pada saat bulan tertutup untuk mencari makan. Biasanya
bulan tertutup ini berkisar 15 hari dalam sebulan. Dalam satu bulan, Pak
Bahran bisa mendapatkan 2 ekor rusa dengan berat rata-rata berkisar
antara 100-150 kg dan kemudian dijual dengan harga Rp. 35.000,- per
kilogram.
51
Untuk mendapatkan kayu galam masyarakat hanya menggunakan kapak
atau pisau untuk menebang pohon galam di hutan sesuai dengan area
kerjanya, kemudian membawanya dari hutan ke pinggir sungai, baik
dengan ditarik melalui aliran sungai atau menggunakan perahu kecil
(jukung), untuk dijual kepada pengumpul kayu galam.
52
Gambar 9. Seorang Nelayan sungai dengan burung Cucak Ijo
Satu ekor burung Cucak Ijo yang betina dihargai Rp. 60.000,00/ekor
sedangkan yang jantan dihargai sekitar Rp. 230.000 – Rp. 250.000/ekor.
Ada perbedaan harga yang cukup jauh antara burung betina dengan
burung jantan, hal itu disebabkan karena burung-burung jantan bisa
diikutkan dalam kompetisi dan ketika mengikuti kompetisi suara burung
jantan terdengar lebih bagus.
Satu orang pamburung bisa mendapat 1-10 ekor burung dalam sehari.
Cara penangkapan burung tersebut, dia menggunaka seekor burung
Cucak Ijo sebagai burung parit (untuk memanggil burung yang lainnya )
kemudian dia gunakan handphone untuk mengeluarkan sura burung
seperti aslinya sehingga burung – burung mendekati burung parit
tersebut, ditangkaplah dengan menggunakan alat pancing.
Dalam satu hari, seorang pencari burung bisa mendapat 1-3 ekor burung
yang dijual kepada para pengumpul yang ada di desa Kereng Bangkirai.
53
Para pengumpul mendapat keuntungan yang banyak dari para pencari
burung. Pak Snd, seorang pengumpul burung di desa Kereng Bangkirai
dapat membeli satu unit mobil baru dari bisnis ini. Dalam satu minggu
minimal ia mendapat untung Rp. 1,5 juta.
Dilakukan pada saat musim kemarau, pada saat ini cuaca selalu cerah
sehingga sangat kondusif untuk menyadap karet. Para nelayan biasanya
mendatangi para pemilik kebun karet, yang adalah juga saudara atau
kerabatnya, untuk menyatakan keinginannya bekerja menyadap karet.
Pemilik kebun karet biasanya memberlakukan sistem sadap bagi hasil yaitu
50 % untuk pemilik kebun dan 50 % untuk penyadap.
Pada saat penelitian ini dilakukan harga karet sadapan per kilogram adalah
Rp. 12.000,-. Apabila dalam sehari seorang penyadap biasanya mampu
mendapatkan paling sedikit 10 kg, maka ia akan mendapatkan hasil Rp.
60.000,-/ hari. Seorang penyadap yang mahir biasanya mampu mendapat
12-13 kg / hari.
Juga dilakukan pada saat musim kemarau yaitu ketika tangkapan tidak
banyak, maka beberapa nelayan pergi ke daerah sungai Katingan atau
Kahayan bagian hulu untuk ikut saudara atau kerabatnya melakukan
pencarian emas secara tradisional, yaitu dengan menyedot lapisan tanah
aluvial dan menyaringnya sehingga didapatkan debu atau butiran emas.
54
j. Menjadi Buruh Bangun (Manguli)
Terkadang ada kelompok pemancing yang datang dari kota Palangka Raya
atau dari kota lain. Maka para nelayan punya kesempatan untuk
menyewakan klotok atau perahu motor mereka. Pada saat peneltian
dilakukan tarif yang diberlakukan adalah sbb.:
- Untuk yang sudah dikenal atau langganan antara Rp. 300.000- Rp.
400.000,- per hari
- Untuk orang baru dan datang dari luar kota, misalnya Crew TV
Mancing Mania, adalah Rp. 800.000,- per hari
55
Gambar 10 Para Nelayan sedang “manyampan” yaitu mengantar para “mancing
mania”
56
menambah hasil tangkapan, serta ada juga yang mengatakan tidak
mempengaruhi sedikit atau banyaknya tangkapan.
Bagi para nelayan ini, tabat tidak hanya menghempang air tetapi juga
ikan-ikan. Bahkan bagi beberapa nelayan, tabat menghalangi keleluasaan
perahu motor mereka masuk ke daerah hulu-hulu sungai. Keluhan ini
terutama diajukan oleh mereka yang punya pekerjaan sampingan sebagai
pencari burung (pamburung) dan gemor (panggemor).
Namun pada sisi lain, ada nelayan mengatakan bahwa adanya tabat
berpengaruh menaikkan tangkapan mereka dengan alasan sbb.:
Tabel 20. Alasan Tabat Mempengaruhi Naik atau Banyaknya Hasil Tangkapan
No. Alasan
1. Bisa menangkap ikan yang tertahan di dekat tabat terutama pada musim
kemarau
2. Karena tabat menahan lajunya air dan membuat air terarah dan
terkonsentrasi ke satu tempat, hal itu memudahkan ia memasang bubu
untuk menangkap ikan.
3. Tabat membuat hutan menjadi basah atau berair, sehingga ikan
mempunyai tempat untuk berlindung, hidup dan berkembang biak
4. Tabat membuat hutan menjadi subur, hal itu membuat ikan juga subur
atau banyak karena makanan melimpah pada hutan yang subur
5. Tabat membuat air tertahan lebih lama untuk sementara waktu, hal itu
memberi kesempatan bagi ikan untuk berkembang biak.
6. Tabat membuat terjadinya arus-sambung atau air yang bertingkat, hal itu
sangat disukai ikan tampahas.
57
Tetapi ada juga nelayan yang mengatakan tidak ada pengaruh apa-apa
terhadap hasil tangkapan mereka dengan alasan sebagaimana tabel
berikut:
No. Alasan
1. Tidak berpengaruh karena mereka tidak mencari ikan di parit atau tatas
yang ditabat
2. Tidak berpengaruh karena tabat dibangun di hulu sungai-sungai kecil,
sedangkan mereka mencari ikan di sungai utama saja
3. Tidak berpengaruhi karena lokasi penabatan parit tidak mengenai lokasi
pencarian ikan
Tidak berpengaruhi karena lokasi pemukiman jauh dari lokasi kegiatan
pembuatan tabat (pemukiman ules)
58
Seorang informan dengan jujur mengatakan bahwa ia dengan sengaja
membakar hamparan pohon Rasau atau pandan sungai yang terdapat di
pinggiran sungai Sabangau. Tujuan pembakaran itu agar ada ruang
terbuka tempat ikan bermain. Tempat yang demikian menjadi tempat
berkumpulnya ikan, maka di tempat itu ia bisa mendapat tangkapan
banyak.
Seorang nelayan lain mengatakan bahwa ikan tertentu yaitu ikan Patung
atau Biawan, menyukai tempat yang agak terbuka dan bukan tempat yang
gelap tertutup Rasau. Tampaknya di tempat yang agak terbuka ikan
Patung mendapatkan banyak makanan. Karena banyak ikan Patung
berkumpul di tempat itu, maka mengundang ikan predator lainnya juga
datang ke tempat itu. Hal ini mendorong beberapa orang nelayan
membakar dengan sengaja beberapa tempat yang padat dengan pohon
Rasau dengan tujuan untuk mempermudah pemasangan alat tangkapan
dan memperbanyak jumlah tangkapan.
Nelayan yang lain mengatakan bahwa kebakaran hutan itu positif karena
tempat bekas kebakaran hutan akan ditumbuhi rumput-rumput yang
baru. Pada musim banjir tempat yang demikian merupakan tempat yang
ideal untuk memasang tampirai. Sementara nelayan lain megatakan
bahwa kebakaran hutan membuka jalan atau akses serta mempermudah
mereka bisa masuk lebih jauh ke dalam hutan rawa untuk memasang alat-
alat tangkapan. Nelayan lain menyatakan merasa diuntungkan oleh
kebakaran karena melalui peristiwa itu ia mendapatkan banyak tempat
untuk memasang tampirai. Sementara ada juga nelayan lain berpendapat
bahwa kebakaran hutan juga membakar maka akan membuat hamparan
tanah terbakar sehingga membentuk cerukan atau kubangan kecil dan di
tempat yang seperti ini bisanya terdapat banyak ikan.
59
Tabel 22. Alasan Setuju Pembakaran
No. Alasan
1. Ada lahan terbuka tempat ikan Patung cari makan dan berkumpul
2. Ada lahan terbuka tempat mudah memasang Rawai
3. Membuat tumbuh rumput-rumput baru, tempat yang ideal untuk memasang
Tampirai pada musim hujan.
4. Membuka akses ke hutan rawa dan memperluas tempat tangkapan
5. Menimbulkan cerukan pada tanah yang nantinya menjadi kolam atau danau
kecil yang disukai ikan.
6. Habis kebakaran biasanya jumlah tangkapan menjadi banyak
Data di atas bisa dibaca secara ilmiah bahwa nelayan telah memiliki
pengetahuan tentang pola hidup dan pola makan ikan. Mereka juga
mengetahui cara untuk mengumpulkan atau mengkonsentrasikan ikan
pada satu tempat. Pengetahuan itu mendorong mereka mengambil
tindakan pembakaran padang Rasau. Pada sisi ini, nelayan melihat
kebakaran hutan itu positif dan menguntungkan.
Pada sisi lain, ada nelayan yang melihat kebakaran sebagai sesuatu yang
negatif dan merugikan, dengan alasan sebagaimana tercantum dalam
tabel berikut:
No. Alasan
1. Merusakan atau menghilangkan tempat memasang alat tangkapan
2. Menghilangkan tempat ikan mencari makan atau membuat makanan ikan
habis
3. Membuat ikan lari/sembunyi tidak mau datang lagi ke tempat bekas kebakaran
4. Menghilangkan tempat ikan tinggal dan berlindung
5. Menghabiskan telur-telur ikan, telur-telur ikan ikut terbakar
6. Membuat ikan tidak mau menepi ke pinggir sungai dan masuk ke daerah rawa
7. Merugikan karena alat tangkapan yang dipasang di hutan rawa juga ikut
terbakar
60
membuat hilangnya tempat ikan berlindung. Saberi (40 th) di Rasau
menyatakan bahwa terbakarnya pinggiran sungai menghilangkan tempat
berkumpul dan tempat bertelur ikan-ikan, sehingga ikan pergi dari daerah
itu. tidak ada lagi tempat ikan berkumpul dan bertelur di tempat bekas
kebakaran.
61
pasar yaitu tumpukan daun Rasau yang telah mati, tenggelam dan
menumpuk di dasar sungai. Apabila pada musim kering daun Rasau ini
terbakar maka ikan-ikan akan mencari tempat lain untuk meletakkan
telurnya. Hal ini diperkuat oleh Pak Udin (36 th) di Mangkok yang
menyatakan bahwa kebakaran hutan akan mengurangi tempat ikan untuk
mencari makan dan bertelur pada waktu air banjir.
Pak Ayen (54 th) di Selowati mengatakan bahwa memang kebakaran itu
berwajah ganda yaitu: kebakaran hutan dapat mengganggu hasil
tangkapan karena bila terjadi kebakaran hutan maka tempat untuk
memasang tampirai pun tidak ada lagi, akan tetapi kebakaran juga
mendatangkan keuntungan karena menyediakan tempat bagi mereka
yang menangkap ikan dengan menggunakan pancing rawai.
62
atau surat resmi tertanggal 26 Agustus 2010, yang pernah dikirimkan ke
Kapolsek Kecamatan Sabangau Kuala yang meminta agar ada penertiban
atas kegiatan penyetruman ikan.
63
Bangkirai, oleh nelayan setempat. Indikasi lain adalah adanya nelayan
yang memiliki sendiri alat setrum aki / accu, yang tujuannya agar tidak
ada yang curiga dengan kegiatan destruktifnya.
64
Tabel 24. Daftar Kearifan Lokal di Kalangan Nelayan Sungai Sabangau
65
keluar darahnya. ikan tidak mau datang di
tempat itu
Bila mendapat tangkapan banyak Hasil tangkapan kurang
melakukan ritual dengan
menenggelamkan 5-10 butir telur
ayam atau bebek, sebagai tanda
syukur kepada alam.
Perlakuan Kalau bertemu ular atau buaya Agar hewan itu tidak ganas
terhadap jangan diganggu, dan menyerang manusia
binatang lain
Tidak menangkap ikan pada hari
Hari Kerja Jumaat, hanya istirahat di rumah
Tidak menangkap ikan pada hari
permulaan puasa, hari raya Idul Fitri /
Idul Adha, dan atau pada hari-hari Tidak ada penjelasan
bulan syawal (setelah Idul Fitri)
Tidak bekerja kalau ada anggota
keluarga yang meninggal dunia
Gambar 11 Bendera Kuning dan Bendera Merah di pinggir sungai sebagai tanda
permohonan nazar agar pekerjaan mendatangkan hasil
66
3.11. Perubahan Iklim
Situasi alam yang serba mendadak dan tidak teratur atau yang mereka
istilahkan dengan meleset, sering terjadi dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir. Misalnya beberapa nelayan yang telah berusia lanjut mengatakan
bahwa tanda-tanda alam yang pada jaman dahulu dapat dijadikan
petunjuk untuk menentukan kapan datangnya musim hujan atau musim
kemarau, pada masa kini hal itu sudah tidak dapat dipakai lagi. Misalnya
pada jaman dahulu mereka bisa memprediksi kapan datangnya musim
hujan atau surung layap dengan memperhatikan warna dan bentuk dari
telur-telur ikan yang masih bisa ditangkap pada saat musim kemarau.
Namun kini hal itu tidak berlaku lagi. Musim bisa berubah bahkan
bergeser, sehingga semua perhitungan menjadi meleset.
Nelayan sungai Sabangau menyukai situasi alam yang serba teratur, sesuai
dengan hitungan dan prediksi. Mereka menyukai hujan turun secara
konstan (batitir nanar) karena akan memberi kesempatan bagi ikan untuk
berimigrasi dan menetas telurnya. Hal itu juga memberi kesempatan bagi
nelayan untuk memasang alat tangkapan. Alam, cuaca dan iklim yang
teratur bagi para nelayan sungai Sabangau adalah juga hasil tangkapan
dan pendapatan yang teratur. Iklim yang tidak teratur membuat pola
tangkap juga menjadi tidak teratur dan akhirnya membuat kehidupan
tidak teratur.
67
Satu hal yang diamati oleh para nelayan di sungai Sabangau adalah
fenomena lauk bangai yang terjadi setelah pergantian musim kemarau ke
musim hujan. Pada saat wayah lauk bangai ikan bermunculan ke
permukaan air sungai Sabangau, atau berkumpul ke pinggir sungai hingga
ada yang naik ke daratan. Ikan yang demikian oleh masyarakat setempat
disebut dengan lauk bangai, nangau atau buseng tungape. Menurut
nelayan sungai Sabangau, wayah lauk bangai terjadi bila warna air berubah
hitam, berbau busuk dan rasanya masam. Menurut mereka kondisi air
yang membuat ikan mabuk atau keracunan sehingga mengapung di
permukaan air dan mati secara massal.6
6
Bangai adalah proses alami yang mengakibatkan kematian ikan sungai dalam jumlah banyak,
yaitu naiknya belerang ke permukaan sungai melalui proses pembalikan (upwelling). Secara
ilmiah fenomena lauk bangai ini dapat dijelaskan sebagai pengaruh dari pergantian musim
kemarau ke musim hujan yang menyebabkan terjadinya proses pencemaran alamiah (.
Pencemaran alamiah itu bermula dari tumbuhan kering yang mati terendam padam musim air
dalam mengalami proses penguraian atau perombakan oleh bakteri atau organisme pengurai
(dekomposer). Dalam proses tersebut bakteri maupun organisme pengurai memerlukan energi
yang besar dengan cara mengkonsumsi oksigen yang besar pula, hal ini mengakibatkan oksigen
yang terlarut dalam air menjadi berkurang. Besarnya energi yang dikeluarkan menyebabkan
peningkatan hasil respirasi yang diikuti oleh peningkatan ekskresi seperti suhu, karbondioksida
dan kadar amoniak dalam air sehingga pH menurun yang mengakibatkan air menjadi asam dan
terbentuk senyawa H2S yang menimbulkan bau busuk. Pada keadaan ini kualitas air menurun
drastis dan pada akhirnya ikan-ikan yang tidak dapat beradaptasi dengan kondisi air yang
demikian akan mati dan aktivitas penangkapan juga jarang dilakukan. Lihat Rizmi Yunita,
“Karakteristik perairan rawa Bangkau dan keragaman ikan di kabupaten Hulu Sungai Selatan
propinsi Kalimantan Selatan”, dalam ECOTROPHIC 5 (1) : 34 – 40.
68
4
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
69
pengelolanya. Orang luar boleh ikut apabila telah menjadi apabila
telah menjadi anggota keluarga anggota keluarga melalui perkawinan.
5. Pola penguasaan dan pemilikan wilayah tangkapan berdasarkan pada
hukum adat yaitu siapa yang mulai membuka dan mengelola maka ia
dan keturunannya menjadi penguasa dan pengelola. Wilay.ah
tangkapan tidak boleh diperjualbelikan hanya boleh diwariskan turun-
temurun
6. Pola pemanfaatan sumber daya alam dilakukan melalui pekerjaan
utama yaitu nelayan sungai dan juga melalui pekerjaan sampingan
yaitu:
a. Membuat Ikan Asin (Mamundang)
b. Keramba (Mangaramba)
c. Menangkap dan Menjual Anak Toman
d. Menjerat Rusa (Manjarat Bajang)
e. Menjerat Babi (Manjarat Bawui)
f. Mencari Galam (Manggalam)
g. Mencari Burung (Mamburung)
h. Sewa Klotok (Manyampan)
i. Bekerja Dengan WWF
- Membuat Tabat (Manabat)
- Menanaman Bibit (Mimbul)
- Monitoring Pipa Air di Tabat (Mamipa)
70
e. Penguasaan wilayah komunal hanya terbatas untuk kepentingan
penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain dapat melewati
wilayah itu dengan bebas.
8. Konflik antar sesama nelayan masih bersifat tertutup atau laten yaitu
masalah penguasaan wilayah tangkapan. Konflik dengan nelayan dari
luar daerah yang melakukan penyetruman ikan dan pemakaian racun
potas sudah bersifat terbuka.
9. Akibat penting dari pembuatan tabat adalah alam masih mampu
memberi dukungan kehidupan kepada para nelayan dengan indikator
utamanya adalah ekonomi tradisional nelayan di sungai Sabangau
relatif masih utuh dan bisa menjamin keberlangsungan hidup para
nelayan. Mereka tidak hanya menjalankan kehidupan ekonomi yang
subsisten tetapi juga komersil dalam skala kecil. Bila dibandinngkan
dengan masyarakat tradisional yang berada di sekitar perkebunan
besar sawit (PBS) mereka belum mengalami “proletarisasi” yaitu
perubahan mata pencaharian hidup dari kegiatan ekonomi yang
otonom menjadi sekedar buruh dari sebuah sektor usaha yang
71
dikendali oleh pihak lain. Kalaupun mereka mempunyai pekerjaan
sampingan atau pekerjaan lain, itu semata adalah strategi adaptasi
dalam menghadapi masa-masa paceklik dan sebagai indikator dari
bagaimana mereka melakukan pemanfaatan sumber daya alam yang
ada di sekitar mereka. Mereka juga belum mengalami apa yang
disebut dengan ‘defisherisation’, yaitu suatu proses memudarnya atau
hilangnya kegiatan nelayan yang mandiri menjadi sekedar buruh, pada sektor
usaha yang bersifat kapitalistis. Karena itu harus diusahakan jangan ada
pengalihan mata pencaharian. Kalau ada peluang kerja baru jangan sampai
menggantikan pekerjaan yang sudah ada. Peluang kerja baru sifatnya
hanyalah suplemen atau tambahan dan bukan pengganti pekerjaan pokok
sebagai nelayan
10. Nelayan tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pengaruh
penebangan pohon hutan dan kebakaran hutan terhadap sumberdaya
ikan. Mereka juga tidak banyak mengetahui tentang kait-mengait
antara kelestarian hutan dengan keberlangsungan nafkah hidup
mereka sebagai petani, akibatnya mereka secara sadar melakukan
pembakaran hutan agar dapat dengan mudah memasang alat
tangkapan dan agar dapat memiliki akses masuk ke daerah rawa. Hal
ini dapat membuat kegiatan penabatan menjadi kelihatan tidak
bermanfaat.
11. Pembuatan tabat pada satu sisi memang menjadi semacam tabungan
ikan yang dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Namun karena
cara penangkapan secara tradisional yaitu “sistem bendung dan
keringkan” membuat tabat atau dam banyak dirusak dengan tujuan
agar genangan air yang ada di sebelah hulu tabat kering dan kemudian
ikan mudah ditangkap.
12. Perubahan iklim yang membuat musim tangkapan ikan bergeser dan
munculnya fenomena ikan bangai, juga dapat membuat kegiatan
penabatan menjadi kelihatan tidak bermanfaat. Perubahan iklim dapat
membuat musim paceklik lebih panjang sehingga dapat membuat
nelayan sungai melupakan pekerjaan utama dan menekuni pekerjaan
sampingan.
72
B. Saran
73
a. Batas Wilayah Tangkapan
Mengatur tentang dimana wilayah yang boleh dilakukan penangkapan,
dimana yang tidak boleh. Harus ada satu wilayah yang menjadi wilayah
suaka ikan atau reservat.
b. Jenis Ikan
Mengatur ikan apa saja yang boleh ditangkap, baik dari jenis maupun
ukuran. Bagian ini harus memuat tentang pelarangan penangkapan
anak ikan Toman untuk diperjualbelikan keluar Sabangau
c. Alat Tangkap
Mengatur jenis alat tangkap apa saja yang boleh dan tidak boleh, baik
dari segi jenis, bentuk dan ukuran. Juga mengatur tentang
pembatasan alat tangkapan, sehingga dicantumkan jumlah maksimum
alat tangkapan per keluarga nelayan.
d. Waktu Penangkapan
Mengatur waktu pengkapan. Harus ada larangan menangkap ikan
pada waktu-waktu tertentu. Sehingga ikan mempunyai waktu dan
kesempatan berkembang biak.
e. Pola Penangkapan
Mengatur cara penangkapan yang boleh dan tidak boleh. Misalnya
apakah boleh memperbanyak tangkapan dengan membakar hutan
rasau terlebih dahulu.
f. Pola Budi-Daya
Mengatur ikan apa yang sebaiknya dibudidayakan. Sebaiknya ada
penggantian budidaya ikan predator
74
h. Sanksi
Sanksi yang diberikan kepada pelanggar aturan dengan prinsip sbb. :
- Bagi masyarakat setempat, sanksi adalah hukuman sosial,
diberikan secara bertahap dan lebih pada pembinaan dan
penyadartahuan.
- Bagi pihak luar, sanksi harus memberikan efek jera dan diberikan
secara langsung.
- Bagi pihak luar, komunitas atau kampung asal pelanggar aturan
dapat dituntut karena membiarkan warganya melakukan
pelanggaran adat atau aturan.
75
5
PENUTUP
Pada saat laporan ini disusun telah terjadi perubahan pola penguasaan
sungai Sabangau yang adalah ruang publik atau common property.
Orang-orang kota yang terkena demam “mancingmania” yang menjadikan
kegiatan memancing bukan sebagai mata pencaharian tetapi lebih sebagai
gaya hidup (lifestyle), telah berbondong-bondong masuk ke sungai
Sabangau. Mereka tidak sekedar menyewa perahu dan memancing
dengan perlatan pancing yang serba mahal, tetapi juga mengkapling-
kapling sungai Sabangau menjadi spot-spot atau lapak-lapak
pemancingan pribadi, dimana orang lain (sesama pemancing mania)
dilarang masuk ke spot-spot yang telah diklaim menjadi milik pribadi.
Selain mengintroduksi pola tata ruang baru, fenomena ini juga
mengintroduksi pola konflik baru.
76
Juga pada saat laporan ini sedang disusun, ada beberapa nelayan di
sungai Sabangau yang telah mendirikan warung di daerah Garong-Pulang
Pisau. Di pinggir jalan trans Kalimantan, dimana telah terbangun sentra
penjualan ikan asin, mereka juga membangun rumah yang sekaligus
warung tempat menjual ikan asin. Mereka telah membangun pola
penjulan ikan yang baru, yaitu menjual langsung kepada pembeli dan
menyingkirkan para tengkulak atau panyambang.
77