Anda di halaman 1dari 81

KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI

NELAYAN DI SUNGAI SEBANGAU,


KALIMANTAN TENGAH

O LE H :

MARKO MAHIN

WWF INDONESIA KALIMANTAN TENGAH


OKTOBER 2011
KATA PENGANTAR

Baseline study ini dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi


yang terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration
activity REDD+ di TN Sebangau, yakni di daerah aliran Sungai Bakung,
Sungai Rasau, dan Sungai Bangah. Data dan informasi yang diperoleh
digunakan untuk menyusun Project Design Document, dengan mengikuti
Climate, Community and Biodiversity Standards.

Baseline study ini bisa bisa terlaksana karena inisiatif dan bantuan banyak
pihak. Karena itu dengan segala ketulusan hati, kami sampaikan ucapan
terimakasih kepada:

1. WWF Indonesia Kalimantan Tengah


2. Masyarakat nelayan di sungai Sebangau
3. Damang Basel Bangkan
4. Semua pewawancara yang dengan tekun mengumpulkan data di
lapangan.

Kiranya laporan ini dapat berguna, secara khusus bagi pengembangan


pola hidup yang lestari.

Palangka Raya, 9 Desember 2011

Marko Mahin
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAGIAN 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1


1.2. Tujuan Kegiatan 4
1.3. Output Kegiatan 4

BAGIAN 2
Metode Penelitian

2.1. Lokasi Penelitian 6


2.2. Penentuan Responden 10
2.3. Karakteristik Responden 11
2.4. Waktu dan Alur Penelitian 13
2.5. Cara dan Tahapan Pengumpulan Data 14
2.6. Metode Analisis Data 14

BAGIAN 3
Hasil Penelitian

3.1. Situasi Pemukiman 16


3.2. Pembagian Musim 21
3.3. Kategori Nelayan 23
a. Berdasarkan Asal-Usul 23
b. Berdasarkan Pola Kerja 26
3.4. Daerah Tangkapan 28
3.5. Pola Penguasaan dan Kepemilikan 32
a. Sungai Utama 32
b. Rawa Terbuka dan Rawa Tertutup 33
c. Sungai Kecil dan Saka 34
d. Baruh dan Talaga 35
e. Tatas 36
3.6. Mekanisme Pemanfaatan SDA 36
3.7. Tangkapan 38
3.8. Teknologi Tangkapan Ikan 40
3.9. Pola Kerja 43
3.10. Pola Penjualan 44
3.11. Pekerjaan Lain 47
3.12. Tabat dan Hasil Tangkapan 56
3.13. Kebakaran Hutan dan Hasil Tangkapan 58
3.14. Penggunaan Racun dan Setrum Ikan 62
3.15. Kearifan Lokal 64
3.16. Perubahan Iklim 67

BAGIAN 4
Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan 69

4.2 Saran 73

BAGIAN 5
Penutup

5.1. Penutup 77
1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengelolaan Taman Nasional senantiasa memerlukan dukungan biaya


dalam jumlah cukup besar. Biaya diperlukan antara lain untuk patroli
pengamanan kawasan, penanggulangan kebakaran, membina hubungan
dengan pemangku kepentingan di daerah, pemberdayaan masyarakat di
sekitar kawasan, dan tentunya komponen biaya rutin seperti untuk gaji
pegawai dan biaya-biaya administrasi. Kawasan Taman Nasional Sabangau
termasuk besar dalam ukuran, dimana luasnya lebih dari 500.000 hektar.
Terletak di antara dua sungai, yakni Sungai Sabangau dan Sungai
Katingan, dimana banyak anak-anak sungai dan danau-danau sampai ke
bagian tengah kawasan. Secara administratif kawasan TN Sabangau
berada pada tujuh wilayah kecamatan di tiga kabupaten/kota, yakni
Kecamatan Tasik Payawan, Kamipang, Mendawai, Katingan Kuala (di
wilayah Kabupaten Katingan), Sabangau Kuala (di wilayah Kabupaten
Pulang Pisau), Sabangau, dan Bukit Batu (di wilayah Kota Palangka Raya).
Sedangkan di sekitar kawasan terdapat 46 desa dan 5 kelurahan.

Tujuan ditetapkannya Taman Nasional Sabangau adalah untuk


menyelamatkan ekosistem gambut beserta keanekaragaman hayati dan
keunikan alam (landscape) untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup
manusia generasi sekarang dan yang akan datang. Efektifitas pengelolaan
diukur dari sejauh mana upaya-upaya untuk mencapai tujuan berjalan
dengan baik. Sedangkan pengelolaan kawasan seluas ini memerlukan
dukungan pendanaan biaya operasional yang kontinyu. Satu alternatif
pendanaan yang muncul akhir-akhir ini adalah kredit karbon melalui

1
skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan).

Peluang kredit karbon diperoleh melalui upaya menaikkan permukaan air


tanah agar lahan gambut tetap basah. Agar permukaan air tanah naik,
kanal-kanal yang banyak dibuat untuk mengeluarkan kayu tebangan pada
tahun 2000-an ditutup dengan dam-dam permanen dan semi-permanen.
Lahan gambut melepaskan karbon ketika vegetasi di atasnya ditebang
atau terbakar, dan bahan-bahan organik di dalamnya terurai. Dengan
menjaga lahan gambut tetap basah, berarti juga akan mengurangi
pelepasan karbon. Skema karbon yang dikembangkan di TN Sabangau
dapat dikategorikan sebagai demonstration activity karena: (i) melakukan
pengujian dan pengembangan teknologi untuk mengurangi emisi karbon
dari lahan gambut: (ii) melakukan pengujian dan pengembangan metode
pengukuran emisi karbon pada lahan gambut; (iii) percontohan skema
pembagian manfaat antara Balai TN Sabangau selaku pengelola dengan
masyarakat di sekitar lokasi kegiatan—yang secara tradisional
memanfaatkan sumber daya alam di tempat tersebut.

Project Design Document yang akan diajukan disusun mengikuti dua


standar yang saat ini berlaku, yakni Verified Carbon Standard (VCS) dan
Climate, Community and Biodiversity Standards (CCBS). Voluntary Carbon
Standards khusus menyoroti dan memastikan adanya pengurangan emisi
gas rumah kaca. Sedangkan CCBS mensyaratkan jaminan manfaat proyek
bagi iklim, masyarakat dan keanekaragaman hayati. Untuk memenuhi
kelayakan CCBS maka dilakukan baseline study untuk menggali data dan
informasi terkait aspek-aspek sosial dan ekonomi di lokasi proyek.

2
Gambar 1. Peta Taman Nasional Sabangau, di Kalimantan Tengah, terdapat di Kabupaten Katingan,
Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya. (Sumber: BKSDA Kalimantan Tengah, 2008)

3
1.2. TUJUAN KEGIATAN

Baseline study dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi yang


terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration
activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai Bakung,
Sungai Rasau, dan Sungai Bangah. Data dan informasi yang diperoleh
digunakan untuk menyusun Project Design Document, dengan mengikuti
Climate, Community and Biodiversity Standards.

1.3. OUTPUT DARI KEGIATAN

Hasil yang diharapkan dari baseline study ini adalah:

a. Data demografi kelompok masyarakat yang secara intensif


memanfaatkan sumber daya alam di lokasi kegiatan, yakni
kelompok-kelompok nelayan di 12 pemukiman temporer tersebut
di atas.
b. Keragaman budaya, pola mata pencaharian, dan peringkat
kesejahteraan—berdasarkan inidikator yang bisa diterima secara
universal—dari kelompok-kelompok nelayan tersebut di atas.
c. Pola penguasaan/hak atas pengelolaan sumber daya alam di lokasi
demonstration activity.
d. Pola pemanfaatan sumber daya alam di lokasi demonstration
activity.
e. Identifikasi terhadap aturan-aturan dan mekanisme lokal terkait
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam di lokasi
demonstration activity.
f. Konflik atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam di
lokasi demonstration activity dalam sepuluh tahun terakhir, baik
yang terselesaikan maupun yang masih terjadi.
g. Identifikasi terhadap lokasi-lokasi yang memiliki nilai konservasi
tinggi, yang meliputi: (i) kawasan yang menyediakan jasa
lingkungan dalam bentuk tata air, pengendalian erosi, pengendalian
kebakaran, dlsb.; (ii) kawasan yang secara fundamental

4
menyediakan kebutuhan pokok masyarakat lokal seperti bahan
pangan, kayu bakar, tumbuhan obat, atau bahan bangunan yang
belum ada alternatif penggantinya; dan (iii) kawasan yang penting
bagi identitas budaya tradisional dari segi ekologi, ekonomi, atau
religi.
h. Potensi dampak demonstration activity terhadap kehidupan
kelompok-kelompok nelayan tersebut di atas.
i. Identifikasi resiko-resiko yang diakibatkan oleh aktivitas masyarakat,
yang kemungkinan mengurangi manfaat demonstration activity
bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati. Resiko-resiko yang
dimaksud misalnya pembakaran lahan dan hutan, atau penggunaan
racun dan listrik untuk menangkap ikan.
j. Identifikasi resiko-resiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim
yang kemungkinan mengurangi manfaat demonstration activity
bagi masyarakat.
k. Identifikasi peluang-peluang keberlanjutan manfaat bagi
masyarakat setelah jangka waktu demonstration activity berakhir.
Peluang-peluang yang dimaksud antara lain: (i) pelembagaan
aturan-aturan pemanfaatan sumber daya alam yang dibuat dan
ditetapkan secara partisipatoris; (ii) pelembagaan penyelesaian
konflik terkait penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam
dengan memperkuat lembaga-lembaga lokal; dlsb.
l. Rekomendasi mengenai bentuk monitoring dan indikator-indikator
dari sudut pandang masyarakat terhadap manfaat dan dampak
positif maupun negatif dari demonstration activity.

5
2
METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di 12 (dua belas) pemukiman nelayan sungai yang


berada di sepanjang sungai Sabangau. Secara administratif pemerintahan,
lokasi penelitian berada di 2 (dua) wilayah yaitu: Wilayah Kota Palangka
Raya dan Wilayah Kabupaten Pulang Pisau, yang tersebar yang tersebar di
2 (dua) kecamatan, yaitu Kecamatan Sabangau dan Kecamatan Sabangau
Kuala.

Dari 12 lokasi penelitian, terdapat 3 (tiga) lokasi yang merupakan lokasi


demonstration activity REDD yaitu Bakung, Rasau dan Bangah. Pada 3
(tiga) lokasi ini, sejak tahun 2000 telah dilakukan penutupan kanal-kanal
(tatas) yang digali pada masa tebangan liar sebagai sarana untuk
mengeluarkan gelondongan-gelondongan kayu. Penutupan dilakukan
dengan cara membangun dam-dam permanen dan semi-permanen
sebanyak 428 dengan rincian

a. Sungai Bakung : 141


b. Rasau : 141
c. Bangah : 146

Penutupan kanal-kanal bertujuan agar permukaan air tanah naik dan


lahan gambut tetap basah dan tidak mudah terbakar pada musim
kemarau. Dengan menjaga agar vegetasi di atas lahan gambut itu tetap
tumbuh, tidak ditebang atau tidak terbakar, maka bahan-bahan organik di

6
dalamnya terurai. Dengan menjaga lahan gambut tetap basah, berarti juga
akan mengurangi pelepasan karbon.

Semua lokasi penelitian berada di daerah aliran sungai Sabangau, dan


berada di wilayah pinggiran atau penyangga Taman Nasional Sabangau.

Tabel 1. Nama Pemukiman Nelayan Lokasi Penelitian

No. Nama Kelurahan/Desa, Keterangan


Pemukiman Kecamatan
Kota/Kabupaten
Desa Bantanan Lokasi demonstration activity
1. Bakung Kecamatan Sabangau REDD+ di TN Sabangau
Kotamadya Palangka Raya
Desa Bantanan
2. Ules Kecamatan Sabangau
Kotamadya Palangka Raya
Desa Bantanan Lokasi demonstration activity
3. Rasau Kecamatan Sabangau REDD+ di TN Sabangau
Kotamadya Palangka Raya
Desa Bantanan
4. Timba Kecamatan Sabangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau
Desa Bantanan
5. Karanen Kecamatan Sabangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau
Desa Bantanan
6. Mangkok Kecamatan Sabangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau
Desa Bantanan
7. Selowati Kecamatan Sabangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau
Desa Bantanan
8. Pakuyah Kecamatan Sabangau Kuala
(Uyah) Kabupaten Pulang Pisau
9. Sungei Desa Bantanan
Bandera Kecamatan Sabangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau
Desa Bantanan Lokasi demonstration activity
10. Bangah Kecamatan Sabangau Kuala REDD+ di TN Sabangau
Kabupaten Pulang Pisau
11. Galam Raya Desa Bantanan
Kecamatan Sabangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau
Desa Bantanan
12. Baluh Kecamatan Sabangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau

7
Metode yang dipergunakan dalam penentuan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive sampling) yaitu ada 12 (dua belas) pemukiman yang
didasari pada beberapa alasan :

a. Ada kelompok masyarakat yang secara langsung terpengaruh oleh


demonstration activity REDD. Nelayan-nelayan yang mencari ikan di
anak-anak sungai (Sungei) misalnya Sungei Bakung, Rasau, dan
Bangah, dengan kata lain tidak di sungai utama, dikategorikan
sebagai kelompok masyarakat yang secara langsung terpengaruh oleh
demonstration activity REDD.

b. Namun ada juga kelompok masyarakat yang secara tidak langsung


terpengaruh oleh demonstration activity REDD. Nelayan-nelayan yang
mencari ikan di sungai utama (Batang Danum) yaitu sungai Sabangau
di kategorikan sebagai kelompok masyarakat yang secara tidak
langsung terpengaruh oleh demonstration activity REDD.

c. Kedua kategori kelompok masyarakat tersebut merupakan kelompok


masyarakat yang melakukan pemanfaatan SDA secara langsung
dengan kawasan Taman Nasional Sabangau.

Jadi, ada 3 (tiga) pemukiman yang mengalami intervensi dan 9 (delapan)


lainnya tidak terinteraksi dengan demonstration activity REDD.

8
Gambar 2. Peta desa-desa di sekitar Taman Nasional Sabangau yang terdapat di
sepanjang sungai Sabangau

9
2.2. Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah 45 orang. Pemilihan responden


dilakukan sbb.:

a. Responden sudah dikondisikan yaitu mendapat pemberitahuan


sebelumnya.
b. Kepala Rumah Tangga (KRT), bila KRT telah meninggal dunia atau tidak
ada ditempat, atau tidak bisa diwawancarai, maka Responden adalah
Anak Tertua Laki-laki atau Menantu Tertua Laki-Laki yang masih tinggal
di rumah itu.
c. Responden yang tidak berada di tempat karena merupakan nelayan
sungai temporer, tidak diwawancarai, namun data demografi
responden itu akan ditanyakan dengan tetangganya yang pada saat
penelitiaan sedang ada di tempat atau menetap.

Tabel 2. Daftar Jumlah Responden Per Desa

Jumlah
No. Nama Pemukiman Responden

1 Bakung 1
2 Ules 2
3 Rasau 4
4 Timba 3
5 Karanen 7
6 Mangkok 4
7. Selowati 5
8. Pakuyah (Uyah) 5
9. Sungei Bandera 1
10. Bangah 7
11. Galam Raya 1
12. Baluh 5

TOTAL 45

10
Selain di pemukiman-pemukiman temporer tersebut di atas, baseline
study juga dilaksanakan di tempat asal sebagian besar nelayan yang
bermukim di sana, yakni di Kereng Bangkirai. Informasi tentang kelompok-
kelompok masyarakat lainnya, yang memanfaatkan sumber daya setempat
secara insidental, akan dijaring melalui survey terhadap nelayan-nelayan
tersebut di atas. Namun, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat
yang secara langsung terpangaruh oleh demonstration activity, karena
intensitas pemanfaatan terhadap sumber daya setempat rendah dan
mereka mudah berpindah ke tempat lain.

2.3. Karakteristik Responden

Responden berjumlah 45 orang. Responden berjenis kelamin laki-laki


terdiri dari 39 orang dan responden yang berjenis kelamin perempuan
terdiri dari 6 orang.

Mayoritas informan berada pada usia produktif, yaitu usia dimana seorang
manusia dianggap sudah dapat bekerja untuk menghasilkan uang guna
mencukupi kebutuhan hidupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan kelompok umur terdapat 39 orang merupakan kelompok
usia produktif, sedangkan sisanya yakni 6 orang berada pada kelompok
usia tidak produktif yaitu di atas 55 tahun. Pada kelompok usia produktif
kecenderungannya berada pada kelompok usia 15-55 tahun. Sedangkan
usia tidak produktif yaitu diatas 55 tahun memiliki persentase yang lebih
kecil.

Tingkat pendidikan formal responden umumnya rendah yaitu SD. Di


antara responden bahkan ada yang tidak mengenyam pendidikan formal.
Pada tabel di bawah terlihat bahwa responden yang tidak pernah sekolah
terdapat 5 orang, tidak tamat SD terdapat 18 orang sedangkan yang
tamat SD terdapat 14 orang. Hanya ada 5 orang yang tamat SMP dan 2
orang tamat SMA.

11
Tabel 3. Pendidikan Responden

No. Pendidikan Jumlah


1. Tidak Pernah Sekolah 5
2. Tidak Tamat SD/SR 18
3. SD Tamat 15
4. SMP Tamat 5
5. SMA Tamat ke atas 2
TOTAL 45

Secara etnisitas, sebagian besar responden adalah orang Dayak yaitu


sebanyak 27 orang. Suku Banjar sebanyak 17 orang, sedangkan sisanya 1
berasal dari suku Jawa.

Jumlah anggota keluarga nelayan di lokasi penelitian umumnya kecil. Yakni


58,86% responden memilki anggota keluarga 1-3 orang, 37,34% memiliki
anggota keluarga 4 – 6 orang dan jumlah anggota keluarga 7 – 8 orang
sebanyak 3,80%. Jumlah anggota keluarga yang kecil disebabkan banyak
diantara responden merupakan keluarga muda dengan satu atau dua
anak. Sedangkan mereka yang telah berusia lanjut hanya tinggal bersama
anak yang belum berkeluarga.

Karena kondisi wilayah yang serba air (sungai, rawa, dan danau), sebagian
besar pekerjaan utama responden adalah nelayan atau mencari ikan di
sungai, rawa dan danau. Namun pada saat tertentu yaitu ketika hasil
tangkapan turun dan sementara menunggu musim tangkapan banyak
mereka melakukan beberapa pekerjaan sampingan untuk mendapat uang
kontan yaitu:

Tabel 4. Daftar Pekerjaan Sampingan

No. Pekerjaan Sampingan


1. Keramba
2. Menangkap dan Menjual Anak Toman
3. Menjerat Rusa
4. Menjerat Babi
5. Mencari Galam
6. Mencari Burung
7. Menoreh Karet
8. Mencari Emas
9. Menjadi Buruh Bangunan

12
10. Menjadi Tukang Kayu
11. Sewa Klotok
12. Bekerja Dengan WWF
a. Membuat Tabat
b. Penanaman Bibit
c. Monitoring Pipa Air di Tabat

2.4. Waktu dan Alur Penelitian

Proses penelitian dilakukan dari September – Desember 2011 yang dibagi


dalam empat tahap penelitian yaitu :
• Tahapan perencanaan program dilakukan pada akhir September 2011
• Tahap pelaksanaan program dilakukan pada Oktober 2011
• Tahap penyusunan pelaporan dilakukan pada November 2011
• Tahap pelaporan dilakukan pada awal Desembere 2011
Dengan rincian sebagaiaman tabel di bawah ini:

Tabel 5. Jadwal Penelitian

No. Waktu Kegiatan


1. 28 Sept. 2011 Rapat Awal Rapat awal dengan Socio Economic
Development Coordinator WWF Indonesia –
Kalimantan Tengah”.
2. 29-31 Sept. 2011 Penyusunan kuesioner
3. 1 Oktober 2011 Presentasi dan perbaikan kuesioner
4. 5 Oktober 2011 Pemilihan dan penetapan sample responden
5. 10-11 Oktober 2011 Pelatihan Penelitian Sosial-Ekonomi Untuk
Program Konservasi.
6. 13 – 22 Oktober 2011 Penyebaran kuesioner oleh para enumerator
7. 25 Oktober 2011 Pengumpulan kuisioner. Pertemuan dengan para
enumerator dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi
quisioner, berbagi pengalaman penelitian serta
penggalian data kualitatif dari para enumerator.

8. 1-15 Oktober 2011 Pengolahan dan analisis data


9. 15-20 Oktober 2011 Penyusunan laporan
10. 2 Desember 2011 Presentasi Laporan
11. 3 Desember 2011 Finalisasi Laporan Akhir

13
2.5. Cara dan Tahapan Pengumpulan Data

Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner


atau lembar cheklist. Data tersebut dapat dicatat sebagai sebuah bilangan
atau data numerik. Metode kuesioner yang diberikan kepada responden
berupa angket terbuka yang berisikan beberapa pertanyaan tentang data
demografis, seperti jenis kelamin, usia, jumlah anggota keluarga, pekerjaan
utama, pendidikan terakhir, dan jumlah alat tangkapan.

Data kualitatif dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik


pengamatan, wawancara informan kunci yang tidak terstruktur, dan studi
dokumentasi atas dokumen resmi dan tidak resmi (Lihat Lampiran.....).
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam mengenai profil
rumah tangga nelayan, maka tim peneliti melakukan wawancara
mendalam yang dipandu dengan daftar pertanyaan-pertanyaan.
Wawancara mendalam ini tidak untuk kebutuhan kuantifikasi, melainkan
untuk lebih mendalami kasus per kasus dari beberapa keluarga nelayan
yang ada.

2.6. Metode Analisis Data

Data yang terkumpul dari tiap tahapan dianalisis secara deskriptif yaitu
dengan menjelaskan dan menguraikan semua variabel yang diamati
selama penelitian. Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel sesuai
dengan fenomena yang ditemukan dan diuraikan dalam bentuk narasi
sebagai penjelasan dari semua perubahan yang terjadi setelah
pelaksanaan penelitian.

Data kualitatif diolah melalui tiga langkah pengolahan data kualitatif, yakni
reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan
kesimpulan (conclusion drawing and verification), yang dilakukan secara
luwes, dalam arti tidak terikat oleh batasan kronologis.

14
3
HASIL PENELITIAN

Sabangau adalah nama sungai yang membujur dari Kota Palangka Raya,
melintasi Kabupaten Pulang Pisau, dan bermuara di Laut Jawa (Teluk
Sabangau). Sungai dengan panjangnya ± 198.515 km, terletak di wilayah
administrasi Kecamatan Sabangau dan Kecamatan Sabangau Kuala dapat
di telusuri selama ± 4 jam perjalanan bila menggunakan speed boat
dengan mesin Yamaha 115 PK, tetapi bila menggunakan klotok (perahu
kecil bermesin diesel merk Dong Feng) memerlukan waktu ± 10 jam.

Menurut data sejarah1, Sabangau atau Sabangau merupakan salah satu


permukiman tertua di Kalimantan, nama Sabangau sudah ada disebut di
dalam Hikajat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663.
Dituturkan bahwa penghuni permukiman disebut sebagai sebagai orang
Sabangau.

Bagian muara sungai lebar Sabangau mencapai 30 - 40 m, lebih ke arah


hulu lebar sungainya cenderung menyempit berkisar antara 10 – 20 meter.
Penduduk yang bermukim di sepanjang sungai Sabangau umumnya
bermata pencaharian sebagai nelayan dan kehidupan mereka sepenuhnya
sangat tergantung dengan sumber ikan yang terdapat di sungai tersebut.

Bagian ini merupakan potret kondisi sosial, ekonomi dan budaya para
nelayan sungai Sabangau di 12 (dua belas) pemukiman yang ada di
pinggir sungai Sabangau dan merupakan rangkuman hasil wawancara
yang dilakukan terhadap 45 orang nelayan daerah tersebut yang dipilih
secara acak pada bulan Oktober 2011.

1
Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff

15
3.1. Situasi Pemukiman

Para nelayan sungai membangun pemukiman dengan pola penyebaran


berkelompok seperti kelompok Ules, Rasau, Timba, Karanen, Selowati,
Mangkok, Bangah dan Baluh. Hampir semua pemukiman itu berada di
dekat atau sekitar muara sungai kecil, misalnya sungai Bakung, Rasau,
Bangah, Mitra, dan Bandera. Di belakang pemukiman terdapat padang
layap atau kawasan dataran rendah yang dapat diakses dari sungai
Sabangau melalui parit atau sungai-sungai kecil. Sedangkan di depan
rumah terdapat sungai Sabangau yang merupakan sungai utama. Di
Bangah, pemukiman dibangun sepanjang muara sungai Bangah dan
menghadap ke sungai Bangah.

Karena air selalu tergenang sepanjang tahun, maka rumah-rumah atau


pondok-pondok sederhana dibangun dalam bentuk panggung, Antara
rumah satu dengan rumah lain dihubungkan dengan titian kayu. Pola
permukiman dibangun linier membentuk pola berderet memanjang di
sempadan aliran sungai.

Gambar 1 Pemukimana Ules saat air surut pada musim kemarau

16
Gambar 2 Pemukiman Selowati pada saat air sungai relatif dalam.

Samping kiri-kanan, maupun belakang rumah merupakan tempat untuk


menyimpan alat tangkapan dan peralatan lainnya. Kalau digenangi air,
bagian bawah rumah merupakan tempat menyimpan perahu mesin yang
disebut alkon. Pinggiran sungai yang terdapat di depan rumah dijadikan
sebagai tempat untuk meletakkan keramba-keramba apung untuk
menyimpan dan memelihara ikan. Di depan rumah juga terdapat batang
atau rakit kayu yang berfungsi sebagai pelabuhan tempat bertamabat
perahu motor, sekaligus sebagai tempat mandi, cuci dan kakus (MCK).

Tabel 6. Jumlah dan Posisi Pemukiman Nelayan

No. Nama Pemukiman Jumlah Posisi Sungai Kecil Terdekat


1 Bakung 1 Kanan milir S. Bakung
2 Ules 4 Kiri milir S. Ules
3 Rasau 5 kanan milir S. Rasau
4 Timba 2 Kanan milir S. Timba
5 Karanen 5 Kanan dan kiri milir S. Karanen
6 Mangkok 6 Kanan milir S. Mangkok
7. Selowati 7 Kanan milir
8. Pakuyah (Uyah) 8 Kanan milir
9. Sungei Bandera 1 Kiri milir Sungei Bangah
10. Bangah 15 Kanan dan kiri milir S. Bangah
11. Galam Raya 1 Kiri milir
12. Baluh 16 Sisi kanan milir S.Baluh, Gandis, dan
Pamagatan
TOTAL 71

17
Rumah atau pondok yang dibangun ada yang sifatnya temporer, semi
permanen, bahkan permanen.

a. Pondok temporer dibangun seadanya dan serba darurat, dengan


tiang dan lantai kayu bulat, serta dinding dan atapnya dari daun
rumbia atau daun kajang. Bahkan ada yang beratapkan kulit kayu
galam dan dinding kulit kayu. Ada beberapa pondok yang atapnya
sudah mulai bocor di sana-sini. Kalau hujan turun, air akan masuk
ke dalam rumah. Karena itu, maka dilapisi dengan terpal.

b. Pondok semi permanen dibangun dengan tujuan agar dapat


dipakai lebih lama. Karena itu untuk tiang pondok dipakai kayu-
kayu kuat yang tahan lama dan bukan sekedar kayu bulat. Untuk
mendapat kayu demikian, masyarakat mencari batang kayu
Blangiran yang tumbang karena kebakaran dan telah lama
tertimbun tanah. Batang kayu Blangiran itu mereka gali, diambil
bagian teras atau inti batangnya, dipotong dan dijadikan tiang-
tiang pondok. Namun ada juga nelayan yang menebang kayu
blangiran yang masih muda untuk tiang yang mereka sebut
blangiran kayu bulat. Lantai dan dinding pondok bisa terbuat dari
papan tipis yang mereka beli dari desa Kereng Bangkirai.
Sedangkan atapnya bisa daun rumbia.

c. Pondok permanen adalah pondok para nelayan menetap. Karena


didiami setiap hari, maka bangunan pondok mereka lebih kokoh
dan lebih baik. Dengan tiang dari kayu Blangiran atau Ulin, lantai
dan dinding terbuat dari papan tebal, serta memakai atap seng.

Bagi para nelayan sungai, pondok-pondok yang dibangun bukanlah


sekedar tempat tinggal semata. Pondok-pondok itu dibangun untuk
menunjukkan aksesbilitas dan penguasaan sekaligus kepemilikan mereka
terhadap segala sumber daya yang terdapat di muara dan hulu sungai
kecil yang berada di dekat dan sekitar pemukiman mereka (ikan, kayu,
gemor, pantung, hangkang, nyatu, katiau). Pondok-pondok itu sekaligus
merupakan “penanda” bahwa rawa banjir atau dataran rendah yang
berada di sekitar pondok itu, telah ada pemilik atau pengelolanya. Hal itu

18
lebih diperkuat lagi dengan tersebarnya alat tangkapan ikan yang adalah
milik penghuni pondok.

Hasil penelusuran sejarah, menunjukkan bahwa pemukiman dinamakan


sesuai dengan nama sungai terdekat, kecuali pemukiman Selowati. Pada
awalnya, pemukiman ini bernama Tangkaran Janggut. Dinamakan
demikian karena merupakan tempat perhentian (tangkaran) orang yang
pulang pergi, kebetulan yang berdiam menetap di daerah ini seseorang
yang berjenggot (janggut) maka dinamakan Tangkaran Janggut. Pada
zaman kayu, satu perusahaan kayu yang bernama Selowati masuk ke
pemukiman ini, maka sejak itu namanya berubah menjadi Selowati.

Gambar 3. Beberapa pondok yang dibangun secara darurat

19
Sedangkan nama sungai-sungai kecil (sungei) dibuat berdasarkan

fenomena alam yang terdapat di sekitar sungai atau suatu peristiwa yang

dahulu pernah terjadi di sekitar sungai.

1. Sungei Ules. Karena aliran air yang mengalir di sungai ini berputar
yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut ha-ules, maka sungai itu
disebut Sungei Ules.
2. Sungei Bakung. Karena banyak ditemukan tumbuhan Bakung maka
dinamakan Sungei Bakung.
3. Sungei Rasau. Karena banyak ditemukan tumbuhan Rasau maka
dinamakan Sungei Rasau.
4. Timba. Karena pernah ditemukan timba (alat penimba air dari dalam
perahu) maka tempat ini dinamakan Timba
5. Karanen. Berasal dari nama sungi Karanen.
6. Mangkok. Karena pernah ditemukan mangkok di bagian hulu sungai
maka tempat ini dinamakan Mangkok
7. Selowati. Karena pada zaman kayu, satu perusahaan kayu yang
bernama Selowati masuk ke pemukiman ini, maka sejak itu namanya
berubah menjadi Selowati.
8. Pakuyah (Uyah). Pada jaman dahulu di daerah ini ada banyak orang
yang membuat ikan asin, untuk itu mereka membawa banyak garam
(uyah) yang ditempatkan dalam bungkusan atau wadah yang disebut
pak. Bungkusan garam atau pak uyah itu banyak tersisa, akibatnya
tempat ini dinamai sebagai Pakuyah atau Uyah.
9. Sungei Bandera. Karena di bagian muara sungai ada didirikan tiang
bendera maka disebut Sungei Bandera.
10. Sungei Bangah. Karena bentuk sungai yang terbuka (habangah),
maka disebut Sungei Bangah.
11. Galam Raya. Karena ditemukan banyak kumpulan pohon galam maka
dinamakan Galam Raya.
12. Sungei Baluh. Karena di sungai itu tempat orang bertanam baluh
(labu) maka dinamakan Sungei Baluh.

Nama-nama sungai yang berada di daerah penelitian tidak ada


menunjukkan data tentang kepemilikan sungai. Berbeda dengan

20
beberapa sungai yang terdapat di bagian hulu tempat penelitian, nama
sungai merupakan nama pemilik sungai (lihat Tabel 12).

3.2. Pembagian Musim

Menurut para nelayan di sungai Sabangau, kegiatan penangkapan ikan di


wilayah sungai Sabangau dapat dibagi menjadi 4 (empat) wayah atau
musim, yang disebut dengan wayah surung layap, wayah danum manahan,
wayah marintak dan wayah pandang, yang dapat diringkas dengan tabel
berikut:

Tabel 7. Pembagian Musim Menurut Para Nelayan Sungai Sabangau

BULAN KE
NO MUSIM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Surung Layap ▲ ▲ ▲

2. Danum Manahan ▲ ▲ ▲

3. Marintak ▲ ▲ ▲ ▲

4. Pandang ▲ ▲ ▲

a. Wayah Surung Layap adalah saat permukaan air berangsur‐angsur


naik, terjadi setelah musim kemarau, pada awal musim penghujan
(Oktober‐November) dan mencapai puncaknya pada bulan
Desember. Pada saat surung layap air sungai meluap menggenangi
hutan rawa di sekitar Sabangau, pada saat itu beberapa jenis ikan
melakukan migrasi ke padang ayap, sungai-sungai kecil, baruh talaga
dan danau untuk memijah. Pada saat ini penangkapan dilakukan
dengan menghadang ikan yang sedang bermigrasi.

b. Wayah danum manahan yaitu pada saat air mencapai puncaknya,


pada saat ini air tidak mengalir tetapi tersebar merata menutupi
padang ayap dan anak sungai (Januari‐ Maret ) Pada saat ini ikan
menyebar karena itu sulit ditangkap. Hasil tangkapan nelayan kurang.

21
c. Wayah marintak yaitu saat saat permukaan air berangsur‐angsur
turun, atau air berfluktuasi kecil. Terjadi sekitar bulan Maret hingga
Juni. Pada saat marintak ikan bergerak mengikuti arus menuju daerah
cekungan yang lebih dalam, sehingga ikan ini mudah untuk dihadang.
Para nelayan mengatakan pada saat itu suhu air di padang ayap sudah
meningkat dan ikan turun untuk mencari daerah yang berair dalam di
mana airnya tidak panas. Menurut para nelayan apabila ikan-ikan mulai
turun atau pergi meninggalkan kawasan padang ayap menuju sungai-
sungai kecil atau sungai utama hal itu merupakan pertanda akan
datangnya musim kering atau wayah pandang. Para nelayan juga
mengatakan bahwa pada saat marintak ikan lebih mudah ditangkap
karena air sudah tidak tersebar kemana-mana. Luas tayap semakin
mengecil, air semakin mengumpul di beberapa tempat saja hal itu juga
membuat ikan semakin berkumpul sehingga mudah ditangkap.

d. Wayah pandang atau wayah danum surut yaitu saat kekeringan


mencapai puncaknya. Biasanya terjadi sekitar bulan Juli-September. Air
sudah sangat surut, padang ayap kering-kerontang, air hanya tersisa di
anak sungai dan sungai utama, karena itu musim ini juga disebut
wayah danum surut. Tangkapan sangat sedikit dan tidak bisa menjadi
sandaran hidup, akibatnya banyak nelayan mencari pekerjaan lain.

Musim sangat berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan dan hasil


tangkapan. Nelayan sungai Sabangau mengatakan bahwa mereka
biasanya mendapat banyak ikan (surplus) pada musim surung layap dan
marintak. Pada dua musim ini mereka mendapat uang banyak. Bang Jek
yang tinggal di sungei Timba menyatakan musim ini sebagai musim terima
gajih dalam jumlah besar. Ia menyatakan, “Gajih hai tiap nyelu awi lauk
ngandarat” (Gajih besar tahunan karena ikan melimpah). Karena itu, tidak
heran pula kalau pada kedua masa ini juga nelayan musiman juga datang.

Sedangkan tangkapan agak menurun pada saat danum manahan dan


semakin menurun pada saat wayah pandang atau danum surut. Pak
Nurlesbi di Baluh mengatakan jika musim kemarau ia sangat sedikit
mendapatkan ikan. Hal itu dikarenakan susahnya mencari tempat

22
memasang alat tangkapan yang hanya bisa dilakukan pada tepi sungai
utama saja. Sedangkan jika musim hujan dan banjir, alat tangkapan bisa di
pasang di daerah rawa.

3.3. Kategori Nelayan

Nelayan di sungai Sabangau mengkategorikan diri dan sesama nelayan


dengan menggunakan dua cara. Pertama dengan berdasarkan asal-usul,
dan kedua berdasarkan pola kerja.

a. Berdasarkan Asal-Usul

Berdasarkan asal-usul, maka nelayan sungai di tempat penelitian dapat


dikategorikan menjadi: asli dan pendatang.
1. Nelayan Asli adalah nelayan yang berasal dari desa Kereng Bangkirai.
Masyarakat desa Kereng Bangkirai berpendapat bahwa sungai
Sabangau adalah warisan leluhur mereka yang bernama Ongko Surung.
Pada mulanya belum ada sungai Sabangau seperti yang sekarang ini,
yang ada hanya teluk Sabangau di bagian pesisisir dekat laut.
Semuanya tertutup oleh kayu Rasau. Pada tahun meletusnya Gunung
Karakatau2 telah terjadi kebakaran besar sehingga melalap habis kayu
Rasau itu dan terbentuklah jalur sungai Sabangau dari hulu ke muara
yang menuju ke arah laut Jawa. Sungai yang terbentuk itu menjadi
tempat tinggal banyak ikan dan jalur ikan mudik untuk memijah
telurnya. Pada waktu itu, Ongko Surung yang menjadi orang pertama
yang mengetahui atau menemukan fenomena alam itu, dan
memanfaatkan fenomena alam itu untuk kehidupan dirinya serta
keturunannya.

2
Krakatau meletus pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Suara dentuman dari letusan Gunung
Krakatau terdengar hingga Australia dan Pulau Rodrigues di dekat Afrika. Debu vulkanik
mencekam langit dalam menenggelamkan dunia dalam kegelapan total selama dua hari penuh.
Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya dan alam serentak mengalami perubahan
iklim global. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau. Fenomena alam ini membekas kuat
dalam ingatan sejarah masyarakat Sabangau sehingga menjadi patokan kronologis waktu ketika
mereka menceritakan sejarah asal-usul mereka [Informan: wawancara pribadi dengan Pak
Yusran (52 tahun) dan Damang Basel A. Bangkan, pada tanggal 18 Oktober 2011]

23
2. Nelayan Pendatang adalah nelayan yang tidak dari sejak semula
tinggal dan menetap di sungai Sabangau atau desa Kereng Bangkirai.
Mereka datang dari luar wilayah Kereng Bangkirai bahkan dari luar
provinsi Kalimantan Tengah. Ada yang datang pada waktu belakangan,
yaitu saat maraknya illegal loging (zaman kayu), kemudian alih profesi
menjadi nelayan pada waktu ada pelarangan.

Nelayan pendatang dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar:


- Dari dalam wilayah Kalimantan Tengah yaitu dari daerah sungai
Katingan (desa Keruing), dari daerah Kahayan (Garong, Gohong,
Pulang Pisau, dan Bahaur. Mereka bisa datang dan menetap atau
musiman.
- Dari luar wilayah Kalimantan Tengah, yaitu dari daerah Kalimantan
Selatan dan Jawa. Mereka bisa datang dan menetap atau musiman.

Nelayan dari luar daerah Kalimantan Tengah terdiri darit 3 (tiga)


kategori:
1. Oloh Banjar disebut juga oloh nagara, atau oloh habasa, yaitu
nelayan sungai yang berasal dari daerah Kalimantan Selatan yaitu
dari daerah Nagara3 Karena tidak bisa berbahasa Dayak Ngaju dan
hanya menggunakan bahasa Banjar maka disebut oloh habasa.
2. Oloh Halalak disebut juga dengan oloh Barangas4 yaitu nelayan
sungai yang tidak mengakui dirinya sebagai orang Banjar dan tidak
berbahasa Banjar. Mereka memakai bahasa Barangas yang mirip
dengan bahasa Dayak Ngaju5

3
Sungai Negara (bahasa Banjar: Sungaî Nagarā) adalah sebuah sungai yang mengalir di wilayah
Kalimantan bagian tenggara, tepatnya di provinsi Kalimantan Selatan. Sungai ini merupakan
sungai terpanjang kedua di Kalsel setelah Sungai Barito. Sungai ini merupakan anak sungai Barito
sehingga muaranya berada di Sungai Barito.
4
Desa Berangas adalah sebuah desa yang terletak dipinggiran kota tepatnya berada diperbatasan
antara Kota Madya Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala. Secara hukum desa Berangas
terletak dikecamatan Alalak yang masih termasuk didalam wilayah Kabupaten Barito Kuala.
5
Dalam buku Tjilik Riwut (1958) dijelaskan bahwa Suku Dayak Berangas/Barangas adalah salah
satu subetnis Dayak Ngaju yang beragama Islam yang mendiami di bagian hilir sungai Barito,
terutama sebagai pusatnya di Berangas, kabupaten Barito Kuala, provinsi Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Berangas/Barangas dapat digolongkan sebagai bagian dari suku Dayak Ngaju
Bakumpai jika ditinjau dari segi asal usul dan kemiripan bahasanya. Bahasa Berangas (Barangas)
atau Bahasa Alalak (Halalak) adalah sub bahasa Ngaju (Bahasa Barito/bahasa Austronesia) yang
dipertuturkan di hilir sungai Barito, Kalimantan Selatan.

24
3. Oloh Jawa yaitu nelayan sungai yang berasal dari pulau Jawa dan
dari suku bangsa Jawa. Pada mulanya adalah pekerja kayu namun
kemudian alih profesi menjadi nelayan sungai.

Secara ekstrim, nelayan pendatang diidentifikasi oleh nelayan setempat


sebagai atau oloh, yang dapat berarti sebagai non-dayak. Kata oloh
memang dapat berarti “orang”, namun dalam konteks ini kata oloh berarti
“orang lain”, “outsider”, “bukan bagian dari kita”. Identifikasi oposisional
seperti ini memang dapat menjadi sumber konflik. Karena itu perlu
dibangun pola peringatan dini dan manajemen konflik yang tepat.

Tabel 8. Data Nelayan Menetap Suku Banjar

No. Nama Pemukiman


Nama Mulai Menetap Lama Menetap
1 Rasau Sebari 1999 12 tahun
Yusmadi 1975 36 tahun
Sukri 1975 36 tahun
Rusbandi 1973 38 tahun
Syahrani 8 bulan
2. 2011
Karanen Batung
Sadra Ali 2001 10 tahun
Saleh 2003 8 tahun
Raudah 13 tahun
6 1998
Mangkok (Samali)
Sasi 1998 13 tahun
Udin 2001 10 tahun
Jahri 1996 14 tahun
Juhrani 2004 7 Tahun
7. Selowati -
8. Pakuyah -
9. S. Bandera -
10. Bangah Iwan 2009 2 Tahun

11. Galam Raya Andri 2007 4 tahun


Alli 2007 4 Tahun
12. Baluh Lianur 2009 2 Tahun
Nurlesbi 2008 3 Tahun
TOTAL 17 Orang

25
b. Berdasarkan Pola Kerja

Berdasarkan pola kerja, kelompok masyarakat nelayan di sungai Sabangau


dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: nelayan menetap, musiman
dan komuter.

a. Nelayan menetap adalah nelayan yang hampir sepanjang tahunnya


berada di pemukiman penangkapan ikan dengan beberapa alasan
yaitu:
- Untuk nelayan sungai pendatang, mereka harus menjaga
wilayah kerja (pemukiman) mereka dan mengamankan asset yag
mereka miliki (tempat tinggal dan alat tangkapan) agar tidak
dirusak orang. Bila wilayah kerja ditinggalkan tanpa penghuni
atau penjaga, maka orang lain berhak menduduki dan bekerja
di wilayah pemukiman itu.
- Nelayan asli memilih menetap di pinggiran Sabangau, selain
karena mengamankan asset, juga karena ada pekerjaan di
tempat itu yang tidak bisa ditinggalkan. Misalnya keluarga Pak
Zainudin di Salawati memilih menetap, karena di Salawati
mereka memiliki warung yang merupakan persinggahan tempat
orang makan dan minum. Keluarga Pak Hamid di Pakoyah
menetap dengan alasan untuk menjaga asset yang mereka
miliki.
b. Nelayan musiman adalah nelayan yang hanya datang pada musim
tangkapan ikan banyak. Nelayan musiman dapat dibagi menjadi 3
(tiga) kategori yaitu:
- Nelayan musiman yang bertempat tinggal tidak terlalu jauh
atau berada sekitar wilayah sungai Sabangau antara lain
Katingan, Pulang Pisau dan Kereng Bangkirai. Alat tangkapan,
mereka persiapkan di tempat masing-masing dan dibawa pada
saat musim ikan tiba. Mereka biasanya punya pondok-pondok
darurat, yang baru diperbaiki pada saat menjelang musim ikan.
- Nelayan musiman yang jauh. Misalnya datang dari daerah
Kalimantan Selatan yang secara sengaja diundang oleh sanak
saudara atau kerabat yang telah menjadi nelayan menetap

26
untuk memperbanyak jumlah tangkapan pada musim tangkapan
banyak.
- Nelayan musiman dari Palangka Raya. Nelayan jenis ini mencari
ikan hanya untuk kesenangan, hobby dan gaya hidup (lifestyle).
Dipengaruhi acara “mancingmania” yang ditayangklan di televisi,
pada musim kemarau mereka datang dengan peralatan pancing
dan umpan yang lebih moderen untuk mementaskan ulang apa
yang mereka tonton di televisi. Mereka umumnya hanya
memancing di sungai utama saja.

Berdasarkan data lapangan diketahui bahwa pada tahun 2011 terdapat


35 orang yang datang sebagai nelayan musiman yang tersebar di 10
pemukiman sebagaimana tabel berikut:

Tabel 9. Nelayan Musiman Pada Tahun 2011

No. Nama Pemukiman Jumlah Nelayan Musiman


1. Pakuyah 3
2. Galam Raya 4
3. Karanen 5
4. Mangkok 7
5. Ules 4
6. Timba 3
7. Bangah 6
8. Baluh 3
35

c. Nelayan nyambulang atau komuter (berasal dari bahasa Inggris


Commuter) adalah nelayan yang tinggal di Kereng Bangkirai (lewu leka
melai) namun setiap pagi hari pergi ke tempat kerjanya (leka satiar)
dan pada sore hari kembali lagi ke kampung tempat tinggal. Pola
komuter ini oleh masyarakat setempat disebut nyambulang. Hal ini
dilakukan oleh nelayan yang wilayah tangkapannya dekat dengan
Kereng Bangkirai antara lain Bakung, Ules, Rasau, dan Timba. Pada
musim tangkapan banyak mereka juga tinggal dalam waktu yang
cukup lama di pemukiman penangkap ikan, sama seperti nelayan
menetap dan musiman.

27
Tabel 10. Daftar Nelayan Sesuai Kategori

Jumlah Menetap Musiman Komuter


Nama
KK
Pemukiman
No.
1 Bakung 1 1
2 Ules 4 4
3 Rasau 5 4 1
4 Timba 4 4
5 Karanen 5 4 1
6 Mangkok 6 4 2 0
7. Selowati 5 3 2
8. Pakuyah (Uyah) 7 3 4
9. Sungei Bandera 1 1
10. Bangah 15
11. Galam Raya 1 1
12. Baluh 10 10
TOTAL 71

3.4. Daerah Tangkapan

Nelayan suku Dayak Ngaju melihat sungai Sabangau (serta rawa-rawa,


danau dan sungai-sungai kecilnya) dan hutan yang ada di sekitarnya
sebagai tempat berusaha mencari nafkah. Mereka menyebutnya sebagai
eka satiar. Sedangkan kampung halaman mereka yaitu Kereng Bangkirai
mereka sebut sebagai lewu eka melai atau kampung tempat tinggal. Dua
zonasi kehidupan ini memiliki konsepsi yang berbeda.

Untuk menyebut tempat usaha mencari ikan, nelayan Dayak Ngaju


menyebutnya sebagai eka satiar malauk. Eka satiar adalah dunia
temporer, bukanlah tempat menetap. Karena itu di eka satiar mereka
hanya membangun pondok-pondok temporer yang sangat bersahaja yang
disebut dengan pasah dukuh. Lewu eka melai adalah dunia permanen,
dunia asali yang menetap. Karena itu mereka mendirikan atau
membangun rumah yang relatif kokoh dan tahan lama dan disebut huma.

28
Yang dimaksud dengan eka satiar malauk bagi nelayan Sabangau adalah:
a. Batang Danum atau sungai utama/induk yaitu sungai Sabangau
sebagai sungai induk (batang danum), dengan segala bagiannya yaitu:
- Luwuk (teluk), yaitu bagian sungai yang menjorok ke arah daratan
- Bereng (tanjung) yaitu bagian daratan yang menjorok ke arah
sungai.
- Saran batang danum adalah pinggiran sungai yang banyak
ditumbuhi pepohonan.
- Bentuk batang danum adalah bagian tengah sungai.
- Palempang yaitu tanah yang ada di bagian dasar sungai
- Labehu adalah bagian sungai yang paling dalam). Beberapa
nelayan mengatakan bahwa labehu adalah bagian yang penting
karena merupakan tempat perlindungan, bertahan dan
penyelamatan ikan-ikan jenis tertentu pada saat datangnya musim
kemarau.

Bagi orang Dayak Ngaju, sungai Sabangau diklasifikasikan sebagai


batang danum kurik atau sungai utama kecil. Sungai utama yang besar
(batang danum hai) adalah Katingan, Kapuas, Kahayan atau Barito.

Pada saat musim kemarau, tinggi permukaan air di Sungai Sabangau


akan menurun, sebaliknya pada musim hujan tinggi permukaan air
akan meningkat hingga menggenangi wilayah sisi kiri-kanan sungai.
Sungai Sabangau adalah sarana transportasi sungai, karena itu selalu
dilewati oleh transportasi air seperti kapal barang, kapal penumpang,
dan perahu nelayan.

b. Padang napu atau padang ayap yaitu rawa banjiran terbuka sepanjang
kiri dan kanan sungai yang pada musim hujan akan menjadi kawasan
luapan air, sehingga menjadi kantong ikan tangkapan. Terkadang
bagian ini disebut juga dengan luwau. Sehingga disebut dengan luwau
napu.
c. Datah adalah rawa banjiran tertutup karena ditumbuhi oleh hutan.
Juga terdapat sepanjang kiri dan kanan sungai yang pada musim hujan

29
akan menjadi kawasan luapan air, sehingga menjadi kantong ikan
tangkapan.
d. Pamatang adalah bagian tanah yang tinggi yang tidak tergenang air
kendatipun musim banjir.
e. Sungei atau (Batang/Bapa Sungei): Sungai kecil yang bermuara di
sungai utama atau bermuara di cabang sungai utama. Misalnya sungei
Rasau, Bakung, Bangah, Karanen, dst.
f. Sampang Sungei (Anak Sungei) yaitu cabang atau simpang dari
sungai kecil utama, disebut juga anak sungei (anak sungai).
g. Saka (esun sungei) yaitu Sungai yang lebih kecil yang terbentuk secara
alami disebut dengan Saka atau Cucu Sungai.
h. Tatas. Nelayan Sabangau juga mengenal sungai buatan atau kanal
yang disebut dengan tatas, yang dibuat untuk menghubungkan suatu
tempat atau dibuat untuk jalur tranportasi / angkutan hasil bumi dari
suatu tempat ke tempat lain. Dulu pernah terdapat tatas Matal yang
menghubungkan Sabangau dan sungei Parei Siang yang bermuara di
sungai Kahayan. Tatas itu dibuat untuk memudahkan para pencari
gemor membawa hasil kerjanya ke kampung Pahandut yang terdapat
di pinggir sungai Kahayan. Tatas itu sekarang sudah hilang tertimbun
pada waktu pembuatan bandara Cilik Riwut. Pada zaman illegal loging
atau zaman kayu, tatas dibuat untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan
banjir. Tatas dibangun untuk menghanyutkan kayu tebangan dari
hutan menuju sungai .Tatas yang terhubung langsung dengan sungai
utama, anak sungai dan saka biasanya menjadi tempat menangkap
ikan.

i. Parit, adalah tatas dalam ukuran kecil.

Selain sungai utama atau anak sungai, pada musim kemarau mereka juga
dapat menangkap ikan di tempat yang mereka sebut ruak, baruh atau
talaga.

a. Ruak adalah cerukan tanah yang terbentuk secara alami sehingga


membentuk kolam atau sumur kecil, pada musim kemarau menjadi
tempat ikan berkumpul.

30
b. Baruh atau talaga yaitu danau di tengah hutan atau di bantaran sungai
yang terbentuk secara alami pada musim kemarau menjadi tempat ikan
berkumpul.

Wilayah tangkapan ikan atau eka satiar malauk dapat diringkas dalam
tabel berikut:

Tabel 11. Wilayah Tangkapan

NO. NAMA WILAYAH DAN BAGIAN-BAGIANNYA

1. SUNGAI UTAMA (BATANG DANUM)


- Bagian Pinggir (Saran Batang Danum)
- Bagian Tengah (Bentuk Batang Danum)
- Bagian Dasar Sungai (Palempang)
- Bagian Sungai Yang Terdalam (Labeho)
- Teluk (Luwuk)
- Tanjung (Bereng)
- Anak Sungai Utama (Sungei)
- Cucu Sungai Utama (Saka)
- Tatas
- Parit

2. RAWA (PETAK RANDAH)


- Pinggir sungai utama/sungai kecil/danau (Saran Batang
Danum/Sungei/Danau).
- Rawa Terbuka (Padang Napu / Padang Ayap)
- Rawa Tertutup (Datah)
- Baruh
- Ruak

Dalam beberapa literatur ilmiah, eka satiar malauk yang disebut oleh
para nelayan Dayak Ngaju itu dapat dikenal dengan istilah rawa, hutan
rawa gambut, rawa non pasang surut, atau rawa lebak. Mac Kinnon et al.
(2000) menyebutkannya sebagai danau-danau dataran banjir yang
mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu
mendapatkan luapan banjir dari sungai besar di sekitarnya. Selain dari
luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat
atau banjir kiriman.

31
Ardinor dan Gumiri, (2006) menyatakan bahwa istilah yang digunakan oleh
masyarakat Dayak untuk rawa ini adalah Luwau Napu atau di Sumatera
disebut Lebak Lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran seperti ini
mempunyai ciri khas, yaitu fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim
penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap
hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang
tinggi (pamatang atau kereng), sebaliknya pada musim kemarau air sungai
menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang
dalam yaitu meliputi sungai utama, anak sungai, ruak, baruh dan talaga.

3.5. Pola Penguasaan dan Kepemilikan Daerah Tangkapan

Secara alami di kalangan nelayan sungai Sabangau telah terbangun pola


penguasaan dan kepemilikan daerah tangkapan, yang mereka atur dan
taati. Dalam pola itu diatur hak-hak kepemilikan (property right) yang
mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), dan
memanfaatkan (to use).

a. Sungai Utama

Sungai utama yaitu sungai Sabangau dilihat sebagai milik bersama


(common property). Siapa saja boleh mencari ikan di sungai utama ini,
namun ada peraturan jangan sampai ada tumpang-tindih alat penangkap
ikan. Kalau sudah ada nelayan yang memasang alat penangkap ikan di
satu tempat di bagian sungai utama, maka nelayan lain tidak boleh
memasang alat penangkap ikan di tempat yang terlalu dekat atau di
tempat yang sama. Ia harus mencari daerah tangkapan lain yang masih
kosong.

Peraturan ini berlaku selama ada alat tangkapan di tempat itu. Bila tidak
ada alat tangkapan berarti orang lain boleh masuk dan meletakkan alat
tangkapannnya di tempat itu. Peraturan ini memiliki kelemahan karena
hanya berpatokan pada alat tangkapan. Beberapa oknum nelayan

32
memanfaatkan kelemahan itu dengan secara sengaja memperbanyak alat
tangkapan pribadinya dan menyebarkannya pada wilayah yang luas,
sehingga orang lain terhalang dan tidak bisa masuk ke wilayah itu.
Nelayan ini telah melakukan penguasaan teritorial

Tiap nelayan memiliki wilayah pemukiman sendiri yang terdapat di wilayah


pinggir-pinggir sungai utama atau sungai kecil. Di perairan sungai yang
terdapat didepan pondok atau rumah itu, mereka menempatkan keramba
dan alat transportasi mereka berupa perahu motor yang mereka sebut
dengan istilah alkon atau kelotok.

Penguasaan teritorial di perairan sungai utama hanya terbatas untuk


kepentingan penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain atau masyarakat
umum dapat melewati teritorial tersebut dengan tanpa membayar.
Penguasaan teritorial di sungai utama, biasanya diawali dengan survei
untuk mengetahui wilayah mana saja yang banyak ikannya. Kemudian
disusul dengan pembangunan pondok darurat. Agar wilayah itu tidak
dimasuki atau diambil oleh orang lain, maka sepanjang tahun harus ada
yang tinggal di wilayah itu, entah dengan cara menetap atau bergiliran.

b. Rawa Terbuka dan Rawa Tertutup.

Rawa terbuka (padang napu / layap) dan rawa tertutup (datah) yang
terkoneksi dengan sungai utama, juga dilihat sebagai milik bersama
(common). Namun rawa terbuka (padang layap) dan rawa tertutup (datah)
yang terkoneksi dengan sungai-sungai kecil yaitu sungei dan saka menjadi
milik keluarga atau perorangan. Hal itu terjadi karena pada musim
kemarau akan terbentuk parit-parit dan jalur-jalur arus air alami yang
menuju ke sungei dan saka. Di tempat itu biasanya dipasang alat
tangkapan, yaitu hanya boleh dilakukan oleh pemilik sungei dan saka itu
saja.

33
c. Anak dan Cucu Sungai

Hampir semua anak sungai (sungei) dan cucu sungai (saka) ada
pemiliknya. Untuk anak dan cucu sungai (sungei-saka) yang terbentuk
secara alami, kepemilikan diawali dari siapa yang pertama kali bekerja
ditempat itu, kemudian kepemilikan itu diwariskan kepada keturunannya.
Sebagai contoh sungai Bakung pada mulanya adalah milik Ongko Surung
Mantir, hal itu terjadi karena ia yang pertama kali bekerja mencari gemor,
pantung, hangkang dan katiau di tempat itu. Kemudian sungai itu
sekarang ini menjadi milik atau dikelola keturunannya yaitu keluarga
Bapak Jumadi.

Pemilik atau pengelola sungei-saka berhak mengatur serta megawasi


semua orang yang melakukan kegiatannya di sungai-saka yang
dikelolanya. Apabila ada kegiatan komersil yang dilakukan di hulu atau
sekitar sungai misalnya mencari gemor atau pantung, yang kegiatan
masuk dan keluarnya alat angkutan dan barang harus melintasi sungai,
maka pemilik sungai berhak memungut semacam uang pungutan atau fee
sungai. Bagi mereka yang bekerja mencari pantung dan gemor, besar
uang pungutan adalah Rp. 20.000 per satu pikul atau 100 Kg hasil yang
didapat.

Ada beberapa ketentuan tentang sungei dan saka yaitu:


- Kepemilikan atau hak pengelolaan atas sungei dan saka diakui dan
dilindungi oleh hukum adat Dayak, dan kepada pengelola baik
perorangan maupun kelompok bersama dapat diberikan
keterangan Hak Pengelolaan secara tertulis oleh Damang Kepala
Adat atau Tetua Kampung.
- Kepemilikan atau hak pengelolaan atas sungei dan saka tidak bisa
diperjual-belikan, hanya boleh diwariskan kepada anggota keluarga
atau keturunan.
- Orang luar dapat menangkap ikan sungei dan saka, apabila
melakukan ikatan kekerabatan dengan cara perkawinan.

34
d. Tatas

Tatas adalah sungai kecil buatan (kanal) yang dibuat untuk


menghubungkan suatu tempat atau dibuat untuk jalur tranportasi /
angkutan hasil bumi dari suatu tempat ke tempat lain. Pada zaman illegal
loging tatas digunakan untuk mengeluarkan batang kayu hasil tebang
banjir. Kepemilikan atas tatas itu berdasarkan pada siapa pembuat tatas
yang dikerjakan sendiri atau membayar orang lain untuk mengerjakannya.

Sama seperti sungei dan saka, pemilik tatas berhak memungut jasa
pengelolaan dari setiap orang yang memanfaatkan tatas sebagai sarana
transportasi atau tempat berusaha. Tatas yang dibuat oleh sesorang yang
bermuara pada sungei dan saka yang dikelola oleh seseorang atau
sekelompok orang, maka sepertiga dari jasa hak pengelolaan tatas
menjadi hak pengelola sungei dan saka tempat bermuara tatas tersebut.

Sehubungan dengan tatas, ada beberapa aturan yang tidak (belum) tertulis
yaitu:
- Hak pengelolaan tatas tidak boleh dipindahkan atau
diperjualbelikan kepada warga pendatang yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan masyarakat adat setempat.
- Tatas yang bermuara pada sungai besar (batang danum), jika
ditinggalkan oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut,
maka hak pengelolaan atau pemanfaatannya menjadi hak bersama
masyarakat setempat.
- Tatas yang bermuara pada sungei atau saka jika ditinggalkan oleh
pemiliknya selama satu tahun berturut-turut, maka hak pengelolaan
atas tatas tersebut sepenuhnya jatuh kepada pengelola sungai
induknya.
- Hak pengelolaan tatas (kanal) hanya terbatas mengelola dan
memanfaatkan tatas (kanal) saja selama yang pemiliknya melakukan
kegiatan usaha di tatas tersebut, sedangkan tanah atau hutan
disekitarnya bukan haknya.

35
e. Baruh dan Ruak

Baruh atau danau kecil di wilayah sungai Sabangau umumnya dikuasai


atau dikelola oleh pemilik sungei atau saka. Penguasaan hanya terbatas
pada mengelola, bukan hak milik, tetapi pengelolaan yang telah dilakukan
turun temurun diakui dan dilindungi oleh hukum adat, dan kepada
pengelola dapat diberikan keterangan hak pengelolaan tertulis oleh
Damang Kepala Adat atau Tetua Kampung.

Tabel 12 Daftar Nama Sungai dan Pengelola/Penguasa

No. Nama Sungai Penguasa/Pengelola


1. Sungei Tarantang atau Sungei Kumbul, Bapa Hamsyin atau Icin Masaid, Nama
atau Sungei Indu Saen istrinya Indu Saen
2. Sungei Purun atau Sungei Bapa Kanes Bapak Kanes (orang tua dari Bapak
Petrus Senas), asal kampung Pahandut
3. Sungei Tukung atau Sungei Bapa Pulen Bapa Pulen
4. Sungei Tangkasiang Bapa Sabran
5. Sungei Murat Milik Murat
6. Sungei Ules ...................................................
7. Sungei Bandera Keluarga Pak Unda Jaelani
8. Sungei Parupuk Tunggal Liwi, Bapa Dimbuk
9. Sungei Bakung Keluarga Bapak Jumadi
10. Sungei Rasau Keluarga Bapak Cakun
11. Sungei Bangah Keluarga Bapak Rusli dan Bahran
12. Sungei Timba Keluarga Bapak Teteh
13. Sungai Pakoyah Keluarga Bapak Hamid
14. Sungai Baluh Haji Iyan, dibeli dari mertuanya (Pak
Arsi) Juga sungai (tatas ?) Gandis dan
Pamagatan
15. Sungei Paduran Alam Bapak Salman

3.6. Mekanisme Pemanfaatan SDA

Berkaitan erat dengan pola penguasaan dan kepemilikan daerah


tangkapan, juga teridentifikasi aturan-aturan dan mekanisme lokal terkait
pemanfaatan sumber daya alam yaitu

36
a. Dikenal ada wilayah komunal dan keluarga.
b. Wilayah komunal bersifat umum misalnya sungai utama atau rawa
terbuka/tertutup yang terkoneksi langsung dengan sungai utama.
Penguasaan dilakukan secara komunal oleh seluruh nelayan.
Kendatipun bersifat komunal tetap ada norma-norma yang mengatur
tata cara penangkapan ikan yaitu:
1. Tidak boleh mengambil/mencuri tangkapan orang lain
2. Jangan tumpang tindih dalam pemasangan alat
3. Tidak boleh menangkap ikan dengan racun dan setrum listrik
4. Orang luar desa boleh menangkap ikan di wilayah komunal
hanya untuk kepentingan non komersial seperti rekreasi
memancing
c. Penguasaan wilayah komunal hanya terbatas untuk kepentingan
penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain dapat melewati wilayah
itu dengan bebas.
d. Sedangkan wilayah keluarga bersifat tertutup atau privat dengan
tujuan untuk melindungi keberlanjutan mata pencaharian keluarga.
Penguasaan dilakukan oleh pihak keluarga. Masyarakat lain dapat
melewati wilayah itu dengan kontrol dari pihak keluarga. Sistem yang
berkembang dalam wilayah keluarga adalah:
1. Orang luar yang non keluarga tidak boleh bekerja di dalam
wilayah keluarga
2. Orang luar dapat menangkap ikan atau bekerja mencari
penghasilan hidup di wilayah keluarga, apabila melakukan ikatan
kekerabatan dengan cara perkawinan.
3. Orang luar dapat memasuki dan mengakses wilayah keluarga
yaitu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun
dengan ijin dan kontrol dari pihak keluarga, serta membayar
kontribusi.
4. Penguasaan dan kepemilikan wilayah keluarga tidak boleh
diperjual-belikan, harus diturunkan pada keturunannya.
5. Tidak boleh melakukan penangkapan ikan dengan cara yang
memusnahkan ikan, misalnya dengan racun potas atau setrum
listrik.

37
3.7. Tangkapan

Nelayan sungai Sabangau mengkategorikan ikan tangkapan mereka


menjadi 2 (dua) kategori yaitu lauk malisen dan lauk basisik.
a. Lauk Malisen, secara literal berarti “ikan licin” yaitu ikan yang tanpa
sisik, yaitu:
- Tampahas
- Pentet
b. Lauk Batisik, secara literal berarti “ikan bersisik”, yaitu:
- Behau
- Karandang
- Tahuman
- Mihau
- Bapuyu
- Sasapat
- Kakapar
- Patung
- Tabakang
- Puhing
- Saluang

Secara ekonomis mereka juga membaginya menjadi 2 (dua) kategori yaitu


lauk barega dan lauk dia barega.

a. Lauk barega adalah ikan yang nilai ekonominya tinggi dalam artian
cepat terjual baik dalam bentuk ikan segar maupun ikan asin. Jenis
ikan yang masuk kategori ini adalah:
- Tampahas
- Tahuman
- Behau
- Patung
- Tabakang
- Karandang
- Mihau
- Kakapar

38
- Pentet
- Puhing

b. Lauk dia barega. Adalah ikan yang tidak dapat dijual sehingga nilai
ekonomisnya rendah (dia barega). Hal itu dikarenakan ikan tersebut
tidak biasa dikonsumsi oleh nelayan setempat misalnya ikan Jajili atau
ukurannya terlalu kecil waktu ditangkap. Ikan jenis ini biasanya
dijadikan pakan ikan Tahuman yang berada di dalam keramba atau
makanan bebek. Ikan itu dicincang atau diblender kemudian
dimasukkan ke dalam keramba. Juga bisa dijadikan umpan banjur dan
rawai.

Jenis ikan yang masuk dalam kategori ini adalah:


- Tantawun,
- Jajili
- Pantik (anak Baung),
- Pentet (anak Pentet)
- Patung (anak Patung)
- Puhing
- Saluang,
- Sasapat (anak sasapat)

Gambar 4. Ikan Patung hasil tangkapan nelayan

39
Adanya ikan yang nilai ekonomisnya rendah merupakan salah satu faktor
yang mendorong nelayan yang memelihara ikan tahuman keramba dan
bebek, dengan tujuan sebagai tempat penampungan ikan-ikan yang nilai
ekonomisnya rendah.

Sehubungan dengan tangkapan, para nelayan Sabangau tidak ada


memiliki semacam aturan yang mengatur tentang ikan mana saja yang
boleh dan tidak boleh ditangkap, baik dari segi jenis atau ukuran.
Tampaknya semua jenis ikan yang masuk ke dalam alat tangkapan
merupakan milik nelayan.

3.8. Teknologi Penangkapan Ikan

Alat tangkap ikan yang dipergunakan oleh para nelayan sungai Sabangau
merupakan alat tangkap tradisional dan digerakan dengan tenaga
manusia. Ada alat tangkap yang sifatnya pasif yaitu tidak digerakan dalam
pengoperasiannya yaitu: tampirai, salambau, takalak, pangilar, kalak,
rengge, rawai, buwu, tampirai, banjur Alat tangkap aktif adalah alat
tangkap ikan yang harus aktif digerakkan pada saat dioperasikan. Alat
tangkap jenis ini meliputi : lunta, dan pasat. Baik nelayan dari suku Banjar
maupun Dayak, menyebut alat tangkap mereka dengan istilah pakarang.

Gambar 5 Bubu atau Buwu, salah satu alat tangkap nelayan sungai Sabangau

40
Tabel 13 Daftar Alat Tangkapan

No. Nama Alat Jenis Ikan Waktu & Tempat Pemasangan


Tangkapan
1. Tampirai Patung, Kerandang, Kapar, Pinggir Sungai, Hutan, Rawa (Air
Pentet, Tebakang, Kapar, Dalam)
Mihau, Puhing, Pantik,
Tatawon.
2. Rawai Tempahas, Toman, Pinggir Sungai. Saat air dalam.
Kerandang Jika bertujuan untuk
menangkap ikan Tahuman dan
Biawan maka memakai umpan
lipan.
3. Rengge Tempahas, Kerandang, Pinggir Sungai
Tabakang, Patung, Tatawon,
Kuhing, Mihau
4. Salambau Tabakang, Dipasang di tengah sungai
Karandang,Kakapar, Puhing, utama atau muara sungai kecil,
menunggu ikan yang milir
setelah memecahkan telur
5. Buwu Kapar, Pentet, Mihau, Kapar, Pada alur-alur air masuk ke
Patung, Pantik daratan, di antara tetumbuhan
rawa yang terdapat di kiri-kanan
sungai . Parit, Saka, ketika
surung layap saat air perlahan-
lahan naik
6. Takalak Tabakang, Tempahas, Toman Dipasang di bagian yang paling
sempit di hulu sungei/saka
menghadap ke bagian hulu
7. Jala Tabakang, Tahuman ,
Kerandang,
8. Kalang Tampahas, Tabakang, Biawan Masuk Agak Kedalam pinggir
sungai
9. Banjur Behau Tepi Sungai. Setiap saat. Di
pasang di pinggir sungai.
Memakai umpan ikan hidup
misalnya saluang atau sepat,
kakapar.
10. Pangilar / Pikat Toman, Tapah, Karandang, Pada alur-alur air masuk ke
Biawan daratan, di antara tetumbuhan
rawa yang terdapat di kiri-kanan
sungai
11. Pasat Saluang Sungai utama, pada musim
kemarau untuk menangkap ikan
Saluang, dengan umpan dedak

Teknik pembuatan alat tangkap dan teknik penangkapan mereka


kembangkan berdasarkan pengetahuan yang diwariskan dari orang tua,

41
didapat dari sesama nelayan, dan pengalaman pribadi. Teknik
penangkapan yang dikembangkan adalah dengan memperhatikan
beberapa hal berikut:

1. Fluktuasi atau ritme turun-naiknya permukaan air (surung-rintak),


2. Arah gerak arus air. Ikan berenang biasanya mengikuti arah gerak arus
air.
3. Kondisi alam yang berparit dan berawa-rawa, serta tinggi rendahnya
permukaan tanah.
4. Suhu pada saat menjelang kemarau, suhu air di daerah ayap akan naik,
sehingga membuat ikan migrasi ke sungai,
5. Kebiasaan makan ikan (karnivora atau omnivora). Ikan karnivora suka
dengan umpan daging ikan atau ikan kecil, sedangkan omnivora suka
dengan dedak yang dicampur dengan tai lala. Kalau tai lala tidak ada
diganti dengan tumbukan biji kelapa sawit.
6. Pola migrasi ikan secara periodik dari sungai ke rawa banjiran dan
sebaliknya.

Alat penangkap ikan yang sudah tidak pernah dipakai lagi adalah tukung
yaitu alat tangkap yang terbuat dari jalinan bambu menyerupai kandang
ditempatkan di tengah sungei/saka, dibagian yang menghadap muara dan
hulu sungai dibuat pintu menyerupai lekukan daun keladi atau bentuk hati
terbuat dari jalinan bambu, sehingga ikan-ikan terperangkap dan hanya
bisa masuk tapi tidak bisa keluar. Di sisi kiri dan kanan tukung
ditancaphempeng (empang) yang terbuat dari jalinan bambu
membentang di sisi kiri- kanan tukung yang disebut papar tukung.

Berkaitan dengan alat tangkap, dapat disimpulkan bahwa para nelayan


sungai Sabangau masih menggunakan alat tangkap tradisional. Namun
belum ada ketentuan yang mengatur tentang jenis alat tangkapan
tradisional yang boleh dan tidak boleh dipakai. Ada nelayan yang
mengusulkan agar ada pelarangan terhadap pemakaian salambau karena
alat tangkap itu menangkap baik ikan yang besar maupun yang kecil,
sehingga dapat memusnakan ikan. Juga ada usulan tentang pengaturan

42
tentang penggunaan alat tangkap kalang, yaitu agar dibatasi jumlahnya
karena dapat memusnahkan ikan Tampahas. , Hal yang positif adalah para
nelayan sepakat untuk tidak menggunakan alat setrum listrik dan racun
potas untuk meangkap ikan.

Gambar 6 Nelayan sedang membawa alat tangkapnya

3.9. Pola Kerja

Nelayan sungai yang berasal dari suku Dayak Ngaju menyebut profesi
yang sedang mereka kerjakan sebagai palauk, yang secara literal berarti
“pencari ikan”. Untuk kegiatan atau aktivitas disebut dengan malauk yang
artinya “mencari ikan”. Sedangkan nelayan sungai yang berasal dari suku
Banjar menyebut profesi yang sedang mereka kerjakan sebagai paiwakan,
yang secara literal juga berarti “pencari ikan”. Untuk kegiatan atau
aktivitas disebut dengan maiwak yang artinya “mencari ikan”.

Pola kerja nelayan tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Bila
berupa perangkap dan pancing maka dikenal istilah nindan dan manukui.
Nindan adalah kegiatan memasang alat perangkap ikan misalnya bubu
dan tampirai. Alat tangkapan itu kemudian ditinggalkan dalam waktu

43
tertentu tergantung pada musim ikan. Pada musim ikan, alat tangkapan
hanya ditinggalkan sekitar 12 jam. Bila di pasang sore hari maka akan
dijenguk pada pagi hari. Pada musim ikan sepi, alat tangkap baru dijenguk
2 atau 3 hari.

Sedangkan manukui adalah kegiatan menjenguk dan mengambil hasil


tangkapan. Tentu saja, pada periode selanjutnya kegiatan manukui juga
diiringi dengan nindan, karena nelayan selain menjenguk dan
mengangkat alat tangkapan serta mengambil hasil tangkapan, ia juga
kemudian memasang umpan dan memasang kembali alat tangkapannya,
bisa di tempat semula atau ke tempat lain.

Umumnya pekerjaan menangkap ikan dilakukan pada siang hari. Dimulai


sekitar jam 06.00 atau 07.00 pagi hari. Pada tengah hari istirahat makan
siang di pondok, kemudian pekerjaan dilanjutkan lagi hingga pukul 18.00
sore. Di sela-sela dua kegiatan yaitu nindan danmanukui memang ada
waktu senggang yang dapat dilakukan untuk melakukan aktivitas lain yaitu
sesuai tabel di bawah ini:

Tabel 14. Kegiatan Waktu Senggang

NO Kategori Orang/Responde
1 Memperbaiki alat tangkapan 17
2 Menunggu/beristirahat 15
3 Membuat alat tangkap 6
4 Mencari kayu bakar 3
5 Membersihkan ikan untuk dijadikan ikan kering 1
7 Memberi Makan ikan Toman 2
9 Membuat pakan ikan Toman 1

3.10. Pola Penjualan Tangkapan

Setelah manukui, ikan hasil tangkapan akan dipilah menjadi 2 jenis yaitu
ikan yang berharga dan ikan yang kurang berharga (lihat bagian 3.7).
Ikan yang tidak berharga dipersiapkan menjadi umpan pancing, makanan
bebek atau makanan ikan di keramba. Ikan yang berharga, yaitu ikan yang

44
masih segar, akan dimasukkan ke dalam keramba jaring apung yang
sebagai tempat penyimpanan sementara.

Apabila ikan sudah terkumpul cukup banyak maka ikan tersebut akan
dijual kepada para pengepul yang oleh masyarakat setempat disebut
panyambang. Para penyambang ini datang sendiri ke pemukiman para
nelayan, dan melakukan proses jual-beli serta kemudian membawa ikan itu
ke tempat lain untuk dipasarkan. Pada saat penelitian dilakukan berhasil
diidentifikasi beberapa nama para penyambang yang membeli ikan dari
nelayan di sungai Sabangau yaitu:

Tabel 15 Nama Para Penyambang/Pengepul Ikan

No Nama Penyambang/Pengepul Asal


1. Wali Kereng Bangkirai
2. Caca Kereng Bangkirai
3. Ipan Kereng Bangkirai
4. Dibar Kereng Bangkirai
5. Indu Rolu Kereng Bangkirai
6. Baharudin Kereng Bangkirai
7. Utuh Mandomai
8. Idul Pulang Pisau
9. Awi Pulang Pisau
10. Madi Pulang Pisau
11. Mayob Garong
12. Agan Garong

Para penyambang membeli ikan dengan harga yang bervariatif dan


fluktuatif. Tentu saja harga di tangan para penyambang lebih murah bila
dibandingkan dengan harga ikan di tangan para pengecer. Pada saat
penelitian ini dilakukan, harga ikan yang berlaku di kalangan para
penyambang dan harga jual di kalangan pengecer di Pasar Simpang
Kereng Bangkirai, adalah sebagaimana tabel berikut:

Tabel 16. Harga Ikan di Kalangan Penyambang dan Pengecer

No Jenis ikan Harga per kilogram


Penyambang Pengecer
1. Kakapar Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-
2. Mihau Rp. 11.000,- Rp. 24.000,-
3. Pentet Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-

45
4. Karandang Rp. 6.000,- Rp. 15.000,-
5. Tampahas Rp. 20.000,- Rp. 28.000,-
6. Patung Rp. 8.000,- Rp. 15.000,-
7. Tahuman Rp. 20.000,- Rp. 35.000,-
8. Biawan Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
9. Behau Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-

Hal yang menarik adalah selain bayar dengan uang kontan, proses jual-beli
juga bisa dilakukan dengan cara barter. Di Mangkok dituturkan bahwa
ikan hasil tangkapan biasanya dibeli oleh pengumpul langganan mereka.
Nama pengumpul itu adalah Wali. Ia berasal dari Bangkuang, Barito.
Biasanya ikan-ikan akan dibawa ke pasar Kereng Bangkirai untuk dijual
kepada para pengencer. Cara penjualan menggunakan sistem barter
yaitu para nelayan memberikan daftar belanja kepada Wali, lalu Wali
membawa semua kebutuhan itu dari kota dengan bukti perincian dalam
bentuk nota, lalu ditukarkan dengan ikan. Jika harga yang di nota
pembelian lebih kecil dari harga ikan, maka Wali akan memberi uang
kontan kepada para nelayan, namun apabila harga yang di nota pembelian
lebih banyak dari harga ikan, maka para nelayan akan menimbang
sejumlah ikan untuk menutup kekurangannya. Namun jika harga barang
tetap lebih banyak sedangkan ikan sudah tidak ada lagi, maka ibu Raudah
terpaksa berhutang dulu.

Selain dijual kepada para panyambang yang datang langsung ke


pemukiman mereka, ada juga para nelayan yang membawa langsung hasil
tangkapannya ke Garong,-Pulang Pisau atau Palangka Raya. Namun di
tempat itu mereka juga menjualnya kepada para pengumpul atau
pengecer dengan harga yang lebih tinggi sedikit dari harga para
penyambang.

Fenomena terakhir adalah para nelayan di sungai Bangah, tidak lagi


menjual ikan-ikanya kepada para penyambang atau para pengecer, tetapi
mereka langsung menjualnya kepada para pembeli dengan harga yang
relatif tinggi. Hal ini mereka lakukan dengan cara membangun rumah
yang sekaligus warung di daerah Garong-Pulang Pisau yang adalah sentra
penjualan ikan asin. Ikan hasil tangkapan mereka kebanyakan diolah
menjadi ikan asin dan dijual langsung kepada para pembeli. Dengan

46
demikian mereka dapat meningkatkan nilai ekonomis tangkapan dengan
menjual langsung hasil tangkapan ke pasar.

3.11. Pekerjaan Lain

Selain bekerja sebagai penangkap ikan sungai, para nelayan sungai


Sabangau juga mempunyai pekerjaan atau aktifitas ekonomi yang lain.
Pekerjaan utama dilakukan pada saat tangkapan ikan banyak sedangkan
pekerjaan lain dilakukan pada saat tangkapan sedikit. Masing-masing
pekerjaan itu memiliki pola yang tersendiri.

Tabel 17. Daftar Pekerjaan Sampingan


No. Pekerjaan Sampingan
1. Membuat Ikan Asin (Mamundang)
2. Keramba (Mangaramba)
3. Menangkap dan Menjual Anak Toman
4. Menjerat Rusa (Manjarat Bajang)
5. Menjerat Babi (Manjarat Bawui)
6. Mencari Galam (Manggalam)
7. Mencari Burung (Mamburung)
8. Menoreh Karet (Mamantat)
9. Mencari Emas (Manyedot)
10. Menjadi Buruh Bangunan (Manguli)
11. Menjadi Tukang Kayu (Batukang)
12. Sewa Klotok (Manyampan)
13. Bekerja Dengan WWF
a. Membuat Tabat (Manabat)
b. Penanaman Bibit (Mimbul)
c. Monitoring Pipa Air di Tabat (Mamipa)

a. Membuat Ikan Asin (Mamundang)

Ikan yang dibuat menjadi ikan asin adalah ikan yang mati selama
menunggu penyambang. Namun ada jug a nelayan yang secara sengaja
tidak menjual ikan segar dan membuatnya menjadi ikan asin, dengan
alasan dalam bentuk ikan asin harganya lebih mahal. Dengan demikian
tampak ada upaya dari para nelayan untuk memberi nilai tambah terhadap

47
hasil tangkapannya sehingga memiliki nilainya yang relatif lebih tinggi.
Namun pada sisi lain, ini merupakan strategi ekonomi para nelayan untuk
menyimpan atau menabung sumber daya yang ada padanya, sehingga ia
selalu mempunyai dana cadangan dalam bentuk ikan asin.

Pada saat penelitian perbandingan antara harga ikan segar dan harga ikan
asin di kalangan para penyambang adalah sebagai berikut:

Tabel 18. Perbandingan Harga Ikan Basah dan Ikan Kering

No Jenis ikan Harga per kilogram


Basah Kering
1. Kakapar Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-
2. Mihau Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-
3. Karandang Rp. 6.000,- Rp. 15.000,-
4. Tampahas Rp. 20.000,- Rp. 30.000,-
5. Patung Rp. 8.000,- Rp. 15.000,-
6. Tahuman Rp. 20.000,- Rp. 30.000,-
7. Biawan Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
8. Behau Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
9. Tabakang Rp. 25.000,-

Gambar 7 Ikan asin yang sedang dalam tahap penjemuran

48
b. Membuat Keramba (Mangaramba)

Strategi lain untuk menambah pendapatan adalah dengan membuat


keramba yaitu kotak kayu berbentuk persegi empat yang dibiarkan
tenggelam sebagian di dalam air sungai. Karamba dibuat sendiri oleh
nelayan dengan bahan baku dari kayu Blangiran atau bambu. Selain
menambah pendapatan, karamba juga merupakan tabungan yang sangat
berguna ketika hasil tangkapan menurun. Namun tidak semua nelayan
memiliki karamba, karena untuk membuat keramba memerlukan modal
yang cukup banyak. Pak Bahran di Sungai Bangah menuturkan bahwa
untuk membuat keramba dengan ukuran 12 meter kubik memerlukan
biaya Rp. 600.000,-

Jumlah kepemilikan karamba tiap nelayan berkisar antara 1 – 5 karamba


dengan ukuran yang bervariasi. Jenis ikan yang dipelihara di karamba oleh
nelayan adalah ikan toman. Benih ikan toman diperoleh dari penangkapan
di perairan rawa berhutan atau membeli dari pengumpul anak ikan toman.

Ikan Toman yang dikurung di dalam keramba diberi pakan ikan-ikan kecil
atau ikan-ikan yang diklasifikasikan sebagai ikan yang nilai ekonomisnya
rendah. Ikan Toman baru bisa dipanen setelah berumur 10 bulan hingga
1 tahun. Pendapatan dari memelihara ikan di karamba bervariasi
tergantung pada ukuran dan banyaknya keramba.

c. Menjual Anak Toman (Bajual Anak Tahuman)

Menjual anak-anak ikan Toman kepada para pemilik keramba atau


pembeli dari luar. Bayi ikan Toman yang sebesar butiran beras ditangkap
dengan menggunakan sahiyap atau halawit yang sangat rapat yaitu yang
terbuat dari kassa atau kain kelambu. Kemudian ditampung dalam
keramba yang terbuat dari kain kassa juga. Untuk pembesaran bayi-bayi
Toman ini diberi pakan kuning telur cair. Setelah besar baru dikasih
daging ikan yang diblender halus. Setelah agak besar, anakan ikan Toman
itu dijual dengan harga variatif tergantung besarnya yaitu:

49
Tabel 19. Harga Anak Ikan Toman

No. Besar Anak Toman Harga/Ekor Harga/Ekor


Di Kereng Bangkirai Di Luar Kereng Bangkirai
1. Jari Kelingking Rp. 500,- Rp. 900,-
2. Ibu Jari Tangan Rp. 1.000,- Rp.2.000,-
3. Ibu Jari Kaki Rp. 1.500,- Rp. 3.000,-
4. Batu Batrei sedang Rp. 2.000,- Tidak ada data

Anak ikan Toman dari sungai Sabangau dijual kembali oleh para
pengumpul ke pembeli dari luar Kalimantan Tengah yaitu untuk dibawa ke
dan dijual di daerah Kalimantan Selatan yaitu di Bangkuang-Nagara atau
di Kalimantan Timur, Samarinda.

Menurut para nelayan kegiatan ini mesti dihentikan karena memusnahkan


anak ikan dan membuat hasil tangkapan ikan Toman sangat turun. Pak
Cakun di sungei Rasau menceriterakan bahwa tangkapan ikan Toman
tahun ini sangat kecil karena tahun lalu tetangganya secara besar-besaran
melakukan penangkapan dan penjualan anak Toman. Menurutnya,
tetangganya dalam satu kali jual mendapat untung sebesar Rp.
20.000.000,-

d. Mencari Rusa (Mambajang)

Kegiatan menangkap rusa dengan alat tangkap tradisional yang disebut


jarat atau perangkap. Biasanya dilakukan pada musim kemarau. Karena
jalur jejak rusa mudah terlacak ketika menuju bagian rawa yang masih
berair. Pada jalur itu dipasang perangkap. Diantara para nelayan ada 3
(tiga) orang yang terkenal sebagai pambajang atau penangkap rusa yaitu
Pak Bahran di sungei Bangah, Pak Madi di sungei Karanen dan Pak Teteh
di sungei Timba.

Jika tidak mencari ikan Pak Bahran akan memasang jerat rusa. Ia memiliki
300 unit perangkap rusa yang disebarkan di sekitar sungei Bangah. Setelah

50
dipasang atau dibenahi, perangkap-perangka rusa itu dijenguk oleh Pak
Bahran hanya satu kali seminggu. Dalam satu minggu belum tentu ada
yang kena. Menurut Pak Bahran rusa biasanya hanya akan turun dari
tengah hutan pada saat bulan tertutup untuk mencari makan. Biasanya
bulan tertutup ini berkisar 15 hari dalam sebulan. Dalam satu bulan, Pak
Bahran bisa mendapatkan 2 ekor rusa dengan berat rata-rata berkisar
antara 100-150 kg dan kemudian dijual dengan harga Rp. 35.000,- per
kilogram.

e. Berburu Babi (Manjarat Bawui)

Kegiatan menangkap babi dengan alat tangkap tradisional yang disebut


jarat atau perangkap. Juga dilakukan pada musim kemarau, karena babi
turun ke sungai atau danau yang masih ada airnya. Hanya Pak Madi di
sungei Karanen yang melakukan ini, karena beragama Kaharingan.

Perangkap untuk menangkap babi hutan juga disebut jarat. Tempat


memasang jarat dipilih bekas lintasan binatang yang dilaluinya berulang-
ulang atau disebut tanduhan dan di antara satu jerat dengan jerat yang
lain dibuat bentangan penghalang dari ranting-ranting kayu dan
rerumputan yang disebut papar jarat.

f. Mencari Kayu Galam (Manggalam)

Manggalam adalah pekerjaan mencari kayu Galam. Beberapa nelayan


melakukan kegiatan ini pada musim banjir saja yang mereka sebut
sebagai danum manahan. Alasannya karena dapat dilakukan sambil
menunggu waktu mengangkat alat tangkapan. Alasan lain karena pada
musim banjir lebih mudah membawa alkon (perahu motor) masuk ke
hutan Galam, sehingga mereka tidak perlu cape memikul kayu Galam dan
membawanya ke pinggir sungai. Usaha kayu Galam sekarang cukup sulit
karena hutan kayu galam telah menipis sehingga mereka harus ke tempat
yang jaraknya cukup jauh. Dari pekerjaan ini mereka bisa mendapatkan 10-
20 batang dengan harga berkisar Rp. 500 – Rp 1.500per batang sesuai
dengan diameter dan panjangnya.

51
Untuk mendapatkan kayu galam masyarakat hanya menggunakan kapak
atau pisau untuk menebang pohon galam di hutan sesuai dengan area
kerjanya, kemudian membawanya dari hutan ke pinggir sungai, baik
dengan ditarik melalui aliran sungai atau menggunakan perahu kecil
(jukung), untuk dijual kepada pengumpul kayu galam.

Gambar 8. Gambar tumpukan kayu galam di pinggir sungai Sabangau

g. Mencari Burung (Mamburung/Mangarindit)

Mamburung adalah kegiatan mencari burung. Pada mulanya burung yang


banyak dicari adalah burung Serindit, karena itu kegiatan menangkap
burung itu disebut mangarindit. Namun sekarang kegiatan ini tidak hanya
mencari burung Serindit, tetapi semua jenis burung yang berkicau,
misalnya Murai, Kajajau dan Tangkarawen.

Kegiatan mamburung dilakukan masuk ke dalam hutan hingga 12 km dari


pinggir sungai Sabangau. Para pencari burung (pamburung)
memanfaatkan genangan air tabat untuk mencapai hutan dimana burung
ini banyak didapat. Burung yang paling banyak dicari pada waktu
penelitian ini diadakan (2011) adalah burung Cucak Ijo, yang juga disebut

52
Gambar 9. Seorang Nelayan sungai dengan burung Cucak Ijo

dengan nama Tampulu Batu atau Tangkarawen. Selain harganya bagus


burung Cucak Ijo juga daya tahan tubuhnya kuat, tidak mudah strees
sehingga mudah dipelihara, dan tidak mudah mati seperti jenis burung
murai atau Kajajau.

Satu ekor burung Cucak Ijo yang betina dihargai Rp. 60.000,00/ekor
sedangkan yang jantan dihargai sekitar Rp. 230.000 – Rp. 250.000/ekor.
Ada perbedaan harga yang cukup jauh antara burung betina dengan
burung jantan, hal itu disebabkan karena burung-burung jantan bisa
diikutkan dalam kompetisi dan ketika mengikuti kompetisi suara burung
jantan terdengar lebih bagus.

Satu orang pamburung bisa mendapat 1-10 ekor burung dalam sehari.
Cara penangkapan burung tersebut, dia menggunaka seekor burung
Cucak Ijo sebagai burung parit (untuk memanggil burung yang lainnya )
kemudian dia gunakan handphone untuk mengeluarkan sura burung
seperti aslinya sehingga burung – burung mendekati burung parit
tersebut, ditangkaplah dengan menggunakan alat pancing.
Dalam satu hari, seorang pencari burung bisa mendapat 1-3 ekor burung
yang dijual kepada para pengumpul yang ada di desa Kereng Bangkirai.

53
Para pengumpul mendapat keuntungan yang banyak dari para pencari
burung. Pak Snd, seorang pengumpul burung di desa Kereng Bangkirai
dapat membeli satu unit mobil baru dari bisnis ini. Dalam satu minggu
minimal ia mendapat untung Rp. 1,5 juta.

h. Menyadap Karet (Mamantat)

Dilakukan pada saat musim kemarau, pada saat ini cuaca selalu cerah
sehingga sangat kondusif untuk menyadap karet. Para nelayan biasanya
mendatangi para pemilik kebun karet, yang adalah juga saudara atau
kerabatnya, untuk menyatakan keinginannya bekerja menyadap karet.
Pemilik kebun karet biasanya memberlakukan sistem sadap bagi hasil yaitu
50 % untuk pemilik kebun dan 50 % untuk penyadap.

Pada saat penelitian ini dilakukan harga karet sadapan per kilogram adalah
Rp. 12.000,-. Apabila dalam sehari seorang penyadap biasanya mampu
mendapatkan paling sedikit 10 kg, maka ia akan mendapatkan hasil Rp.
60.000,-/ hari. Seorang penyadap yang mahir biasanya mampu mendapat
12-13 kg / hari.

i. Mencari Emas Secara Tradisional (Manyedot)

Juga dilakukan pada saat musim kemarau yaitu ketika tangkapan tidak
banyak, maka beberapa nelayan pergi ke daerah sungai Katingan atau
Kahayan bagian hulu untuk ikut saudara atau kerabatnya melakukan
pencarian emas secara tradisional, yaitu dengan menyedot lapisan tanah
aluvial dan menyaringnya sehingga didapatkan debu atau butiran emas.

Pak Jeklarana di Timba menceriterakan bahwa ia ikut manyedot ya ketika


musim kemarau dan kalau tidak ada proyek di WWF atau ketika hasil
tangkapan ikan kurang. Pendapatan selama musim kemarau bila ikut
manyedot bisa mencapai Rp. 4.000.000,-

54
j. Menjadi Buruh Bangun (Manguli)

Dilakukan di kota Palangka Raya yaitu seiring dengan maraknya


pembangunan rumah-rumah hunian dan bangunan gedung. Para nelayan
ikut menjadi buruh harian atau kernet tukang bangunan dengan upah
antara Rp. 75.000,- hingga 85.000,- per hari

k. Menjadi Tukang Kayu (Batukang)

Ada beberapa nelayan yang mempunyai ketrampilan sebagai tukang kayu.


Pada saat tertentu biasanya ada orang yang meminta ia melakukan
pembangunan atas rumahnya yang terbuat dari kayu, tentu saja dengan
upah atau borongan yang memadai. Namun terkadang para nelayan juga
bisa hanya menjadi buruh harian yang membantu tukang kayu utama
dengan upah berkisar antara Rp. 65.000,- hingga Rp. 85.000,- per hari.

l. Sewa Klotok (Manyampan)

Terkadang ada kelompok pemancing yang datang dari kota Palangka Raya
atau dari kota lain. Maka para nelayan punya kesempatan untuk
menyewakan klotok atau perahu motor mereka. Pada saat peneltian
dilakukan tarif yang diberlakukan adalah sbb.:
- Untuk yang sudah dikenal atau langganan antara Rp. 300.000- Rp.
400.000,- per hari
- Untuk orang baru dan datang dari luar kota, misalnya Crew TV
Mancing Mania, adalah Rp. 800.000,- per hari

55
Gambar 10 Para Nelayan sedang “manyampan” yaitu mengantar para “mancing
mania”

m. Bekerja dengan WWF (Manabat, Mimbul, Mamipa dan


Manyampan)

Kehadiran WWF di juga menjadi sumber pendapatan bagi para nelayan.


Pak Bahran di sungai Bangah menuturkan bahwa setiap tanggal 23 ia
mengecek pipa (mamipa) monitoring kedalaman air tanah yang terdapat
di samping kiri-kanan dam. Selain itu para nelayan juga terlibat dalam
pembuat kanal atau tabat dengan upah Rp. Rp. 95.000/hari. Juga terlibat
dalam kegiatan penanaman (mimbul) dengan upah borongan yaitu tiga 30
ha dengan borongannya sekitar Rp. 20.000.000, tapi yang mengerjakannya
bisa mencapai sepuluh orang. Sehingga satu orang bisa mendapat hasil
antara 2-4 juta rupiah. Selain itu bila ada turis datang para nelayan juga
ikut ambil bagian untuk mengantar turis-turis dengan mengunakan
kelotoknya yang disewa oleh WWF.

3.12. Tabat dan Hasil Tangkapan

Ketika ditanya pengaruh tabat terhadap hasil tangkapan, para nelayan


memberi beberapa jawaban. Ada kelompok nelayan mengatakan
mengurangi hasil tangkapan, namun ada juga yang mengatakan

56
menambah hasil tangkapan, serta ada juga yang mengatakan tidak
mempengaruhi sedikit atau banyaknya tangkapan.

Nelayan yang mengatakan bahwa tabat membuat turun hasil tangkapan,


memberikan alasan karena:
1. Menghalangi naiknya ikan ke sungai-sungai kecil pada musim surung
danum layap.
2. Menghalangi turunnya ikan ke sungai-sungai kecil pada musim air
surut, musim marintak

Bagi para nelayan ini, tabat tidak hanya menghempang air tetapi juga
ikan-ikan. Bahkan bagi beberapa nelayan, tabat menghalangi keleluasaan
perahu motor mereka masuk ke daerah hulu-hulu sungai. Keluhan ini
terutama diajukan oleh mereka yang punya pekerjaan sampingan sebagai
pencari burung (pamburung) dan gemor (panggemor).

Namun pada sisi lain, ada nelayan mengatakan bahwa adanya tabat
berpengaruh menaikkan tangkapan mereka dengan alasan sbb.:

Tabel 20. Alasan Tabat Mempengaruhi Naik atau Banyaknya Hasil Tangkapan

No. Alasan
1. Bisa menangkap ikan yang tertahan di dekat tabat terutama pada musim
kemarau
2. Karena tabat menahan lajunya air dan membuat air terarah dan
terkonsentrasi ke satu tempat, hal itu memudahkan ia memasang bubu
untuk menangkap ikan.
3. Tabat membuat hutan menjadi basah atau berair, sehingga ikan
mempunyai tempat untuk berlindung, hidup dan berkembang biak
4. Tabat membuat hutan menjadi subur, hal itu membuat ikan juga subur
atau banyak karena makanan melimpah pada hutan yang subur
5. Tabat membuat air tertahan lebih lama untuk sementara waktu, hal itu
memberi kesempatan bagi ikan untuk berkembang biak.
6. Tabat membuat terjadinya arus-sambung atau air yang bertingkat, hal itu
sangat disukai ikan tampahas.

57
Tetapi ada juga nelayan yang mengatakan tidak ada pengaruh apa-apa
terhadap hasil tangkapan mereka dengan alasan sebagaimana tabel
berikut:

Tabel 21. Alasan Tabat Tidak Berpengaruh Terhadap Hasil Tangkapan

No. Alasan
1. Tidak berpengaruh karena mereka tidak mencari ikan di parit atau tatas
yang ditabat
2. Tidak berpengaruh karena tabat dibangun di hulu sungai-sungai kecil,
sedangkan mereka mencari ikan di sungai utama saja
3. Tidak berpengaruhi karena lokasi penabatan parit tidak mengenai lokasi
pencarian ikan
Tidak berpengaruhi karena lokasi pemukiman jauh dari lokasi kegiatan
pembuatan tabat (pemukiman ules)

3.14. Kebakaran Hutan dan Hasil Tangkapan

Para nelayan mengatakan bahwa pada musim kemarau memang bisa


terjadi kebakaran di sepanjang sungai Sabangau. Pohon Rasau yang
mengering memang mudah tersulut api dan terbakar. Hal itu terjadi
karena ada banyak pemancing dari luar datang memancing di sungai
Sabangau. Mereka dengan sembarang membuang puntung rokok atau
membuat api unggun di pinggir sungai namun tidak dipadamkan dengan
baik.

Namun ada juga informasi menyatakan bahwa pinggiran sungai Sabangau


dengan sengaja dibakar oleh nelayan dengan tujuan agar memudahkan
pemasangan rawai . Rawai adalah suatu alat tangkap yang berbentuk tali
panjang yang dibentangkan secara horizontal, pada tali panjang diikatkan
tali-tali lain yang teratur secara vertikal ada ujung tali vertikal diikatkan
mata pancing dan dipasang di dasar perairan dengan bantuan pemberat.
Untuk mengetahui adanya alat tangkap di perairan digunakan tanda
dengan bantuan pelampung yang dihubungkan oleh tali pelampung.
Karena dibentangkan, maka pemasangan alat tangkap ini memerlukan
tempat terbuka yang luas.

58
Seorang informan dengan jujur mengatakan bahwa ia dengan sengaja
membakar hamparan pohon Rasau atau pandan sungai yang terdapat di
pinggiran sungai Sabangau. Tujuan pembakaran itu agar ada ruang
terbuka tempat ikan bermain. Tempat yang demikian menjadi tempat
berkumpulnya ikan, maka di tempat itu ia bisa mendapat tangkapan
banyak.

Seorang nelayan lain mengatakan bahwa ikan tertentu yaitu ikan Patung
atau Biawan, menyukai tempat yang agak terbuka dan bukan tempat yang
gelap tertutup Rasau. Tampaknya di tempat yang agak terbuka ikan
Patung mendapatkan banyak makanan. Karena banyak ikan Patung
berkumpul di tempat itu, maka mengundang ikan predator lainnya juga
datang ke tempat itu. Hal ini mendorong beberapa orang nelayan
membakar dengan sengaja beberapa tempat yang padat dengan pohon
Rasau dengan tujuan untuk mempermudah pemasangan alat tangkapan
dan memperbanyak jumlah tangkapan.

Nelayan yang lain mengatakan bahwa kebakaran hutan itu positif karena
tempat bekas kebakaran hutan akan ditumbuhi rumput-rumput yang
baru. Pada musim banjir tempat yang demikian merupakan tempat yang
ideal untuk memasang tampirai. Sementara nelayan lain megatakan
bahwa kebakaran hutan membuka jalan atau akses serta mempermudah
mereka bisa masuk lebih jauh ke dalam hutan rawa untuk memasang alat-
alat tangkapan. Nelayan lain menyatakan merasa diuntungkan oleh
kebakaran karena melalui peristiwa itu ia mendapatkan banyak tempat
untuk memasang tampirai. Sementara ada juga nelayan lain berpendapat
bahwa kebakaran hutan juga membakar maka akan membuat hamparan
tanah terbakar sehingga membentuk cerukan atau kubangan kecil dan di
tempat yang seperti ini bisanya terdapat banyak ikan.

Beberapa pendapat yang menyetujui pembakaran di atas, dapat diringkas


pada tabel berikut ini:

59
Tabel 22. Alasan Setuju Pembakaran

No. Alasan
1. Ada lahan terbuka tempat ikan Patung cari makan dan berkumpul
2. Ada lahan terbuka tempat mudah memasang Rawai
3. Membuat tumbuh rumput-rumput baru, tempat yang ideal untuk memasang
Tampirai pada musim hujan.
4. Membuka akses ke hutan rawa dan memperluas tempat tangkapan
5. Menimbulkan cerukan pada tanah yang nantinya menjadi kolam atau danau
kecil yang disukai ikan.
6. Habis kebakaran biasanya jumlah tangkapan menjadi banyak

Data di atas bisa dibaca secara ilmiah bahwa nelayan telah memiliki
pengetahuan tentang pola hidup dan pola makan ikan. Mereka juga
mengetahui cara untuk mengumpulkan atau mengkonsentrasikan ikan
pada satu tempat. Pengetahuan itu mendorong mereka mengambil
tindakan pembakaran padang Rasau. Pada sisi ini, nelayan melihat
kebakaran hutan itu positif dan menguntungkan.

Pada sisi lain, ada nelayan yang melihat kebakaran sebagai sesuatu yang
negatif dan merugikan, dengan alasan sebagaimana tercantum dalam
tabel berikut:

Tabel 23. Alasan Tidak Setuju Pembakaran

No. Alasan
1. Merusakan atau menghilangkan tempat memasang alat tangkapan
2. Menghilangkan tempat ikan mencari makan atau membuat makanan ikan
habis
3. Membuat ikan lari/sembunyi tidak mau datang lagi ke tempat bekas kebakaran
4. Menghilangkan tempat ikan tinggal dan berlindung
5. Menghabiskan telur-telur ikan, telur-telur ikan ikut terbakar
6. Membuat ikan tidak mau menepi ke pinggir sungai dan masuk ke daerah rawa
7. Merugikan karena alat tangkapan yang dipasang di hutan rawa juga ikut
terbakar

Yusmadi (50 th) di Rasau mengatakan bahwa kebakaran hutan


menghancurkan tempat tinggal ikan. Kalau tempat tinggalnya hancur
maka ikan semakin berkurang. Cakun (57 th) mengatakan kebakaran

60
membuat hilangnya tempat ikan berlindung. Saberi (40 th) di Rasau
menyatakan bahwa terbakarnya pinggiran sungai menghilangkan tempat
berkumpul dan tempat bertelur ikan-ikan, sehingga ikan pergi dari daerah
itu. tidak ada lagi tempat ikan berkumpul dan bertelur di tempat bekas
kebakaran.

Samali (40 th) di Mangkok menyatakan bahwa kebakaran hutan


mengganggu hasil tangkapan karena hal itu menyebabkan tidak adanya
tempat menaruh atau menambatkan bubu lagi karena rawa atau
tempatnya terbakar dan berubah menjadi seperti danau. Saleh (52 th)
juga tinggal di Mangkok mengatakan ketika hutan atau Rasau terbakar
ikan-ikan yang bersembunyi di bawah akar rasau akan berpindah tempat
dan itu akan mengurangi hasil tangkapan.

Pak Rusbandi menyatakan bahwa kebakaran hutan sangat merugikan


karena karena tampirai yang digunakan dan dipasang juga ikut terbakar.
Sedangkan Nasri menyatakan bahwa kebakaran merupakan hal yang
mengganggu karena membuat rawa menjadi bersih sehingga tidak ada
lagi tempat ikan berlindung dan ikan menjadi lari. Menurut pak Nasrin
ikan lebih suka berada ditempat yang rindang dan sejuk dan ikan juga
tidak suka berada di tempat yang panas. Selain itu, kebakaran hutan juga
membuat nelayan sulit mencari tempat memasang alat tangkapan.

Saleh (52) di Karanen mengatakan bahwa kebakaran hutan membuat ikan-


ikan yang bersembunyi di bawah akar rasau akan berpindah tempat dan
itu akan mengurangi hasil tangkapan. Jainudin (45) di Selowati
mengatakan bahwa kebakaran hutan dapat mengganggu hasil tangkapan
karena saat kebakaran hutan terjadi maka tempat ikan-ikan bertelur juga
ikut terbakar, tidak hanya itu makanan ikan juga habis terbakar. Akibatnya
adalah tempat itu tidak lagi didatangi ikan dan bukan tempat pemasangan
alat tangkapan yang baik.

Menurut para nelayan, beberapa ikan tertentu seperti Kakapar, Tahuman


dan Karandang, meletakkan telur di tempat tertentu yang mereka sebut

61
pasar yaitu tumpukan daun Rasau yang telah mati, tenggelam dan
menumpuk di dasar sungai. Apabila pada musim kering daun Rasau ini
terbakar maka ikan-ikan akan mencari tempat lain untuk meletakkan
telurnya. Hal ini diperkuat oleh Pak Udin (36 th) di Mangkok yang
menyatakan bahwa kebakaran hutan akan mengurangi tempat ikan untuk
mencari makan dan bertelur pada waktu air banjir.

Pak Ayen (54 th) di Selowati mengatakan bahwa memang kebakaran itu
berwajah ganda yaitu: kebakaran hutan dapat mengganggu hasil
tangkapan karena bila terjadi kebakaran hutan maka tempat untuk
memasang tampirai pun tidak ada lagi, akan tetapi kebakaran juga
mendatangkan keuntungan karena menyediakan tempat bagi mereka
yang menangkap ikan dengan menggunakan pancing rawai.

Dengan demikian untuk mengurangi pembakaran hutan, salah satu


solusinya adalah mengurangi atau membatasi alat tangkap yang
memerlukan tempat terbuka yang terlalu luas.

3.12. Penggunaan racun dan alat setrum

Sama seperti kebakaran hutan, para nelayan sungai Sabangau


menyebutkan bahwa pelaku penangkapan ikan dengan cara
menggunakan racun ikan (potas) dan alat setrum adalah orang-orang luar.
Mereka menyebutkan bahwa pelakunya masuk dari kanal (karukan) yang
tembus dengan desa Garong. Hal itu diperkuat dengan beberapa
peristiwa yang mereka lakukan antara lain:
- Pengejaran dan penangkapan pelaku penyetruman ikan yang
perahunya mereka sita dan serahkan ke BKSDA.
- Pembakaran pondok nelayan musiman yang menangkap ikan dengan
menggunakan setrum dan potas.

Ceritera tentang penyetruman oleh orang luar itu semakin diperkuat


dengan adanya dua surat. Pertama, Surat Komitmen Bersama tertanggal
25 Agustus 2010, salah satunya menyatakan bahwa bersepakat dan
berkomitmen untuk tidak melakukan penyetruman ikan. Kedua, laporan

62
atau surat resmi tertanggal 26 Agustus 2010, yang pernah dikirimkan ke
Kapolsek Kecamatan Sabangau Kuala yang meminta agar ada penertiban
atas kegiatan penyetruman ikan.

Hampir semua nelayan mengetahui tentang peraturan, hukum atau


larangan penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan alat setrum
listrik. Hampir semua nelayan juga bisa memaparkan efek merugikan yang
ditimbulkan dari kegiatan ini, yaitu turunnya tangkapan. Misalnya pak
Jainudin (45) di Selowati mengatakan bahwa penyetruman ikan
mempengaruhi jumlah tangkapan karena alat setruman mampu menarik
ikan-ikan untuk datang. Setelah kegiatan penyetruman biasanya ikan
menjadi liar dan sulit untuk ditangkap. Pak Kambrani (42 th) di Baluh
mengatakan bahwa penggunaan alat setrum membuat ikan-ikan menjadi
takut mendekati perangkap walaupun sudah dipasang umpan.

Selain itu, penggunaan racun juga akan sangat berpengaruh karena


penangkapan ikan menggunakan racun bisa membunuh ikan dari yang
rekecil sampai yang besar. Beberapa nelayan dengan lebih rinci
menjelaskan bahwa penyetruman menyebabkan ikan cacat. Terutama
pada ikan ttampahas, akan mengalami kemandulan yaitu tidak mau
bertelur. Begitu juga dengan telurnya tidak mau menetas.

Kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat setrum dan racun ini


biasanya terjadi pada musim kemarau pada saat air surut. Beberapa
nelayan pendatang berpura-pura memancing atau menombak ikan
(manyuar), namun sebenarnya mereka sedang menyetrum ikan. Kegiatan
ini tidak kentara kalau tidak diamati secara jeli, karena genset atau mesin
listrik yang mereka pergunakan memakai alat peredam yaitu knalpotnya
dipasang pipa melengkung yang direndam di air. Penyetruman juga
dilakukan dengan menggunakan 8-10 unit aki atau accu.

Beberapa nelayan secara diam-diam memberitahukan bahwa kegiatan


penyetruman ikan terkadang juga dilakukan oleh nelayan setempat yang
ingin secara cepat dan mudah mendapat ikan. Indikasi dari hal ini adalah
padatnya tempat penyetruman aki / accu yang ada di desa Kereng

63
Bangkirai, oleh nelayan setempat. Indikasi lain adalah adanya nelayan
yang memiliki sendiri alat setrum aki / accu, yang tujuannya agar tidak
ada yang curiga dengan kegiatan destruktifnya.

Penggunaan racun potas di sungai utama disebut dengan istilah marujak


yaitu ujung rongga batang bambu yang dipakai sebagai teken (alat
pendorong perahu) dimasuki dengan potas. Batang bambu itu ditusuk-
tusuk di bagian akar pohon rasau atau pada bagian sungai yang dalam
dengan tujuan agar ikan keluar dan dengan mudah ditangkap dengan
jaring atau tombak ikan yang disebut sarimpang.

3.13. Kearifan Lokal

Para nelayan sungai Sabangau dalam menjalani kehidupannya sehari-hari


secara alami menciptakan beragam aturan kehidupan yang tujuannya
untuk keberlangsungan hidup mereka sendiri. Namun secara tidak
direncanakan ternyata aturan kehidupan itu berdampak positif terhadap
kelestarian mata pencaharian dan lingkungan hidup mereka. Aturan
kehidupan yang oleh para akademisi disebut dengan “kearifan lokal” itu
bersumber dari tuturan lisan nenek moyang dan diberlakukan secara sadar
bahwa hal itu baik, berguna dan harus dilakukan. Memang ada beberapa
aturan kehidupan itu nampaknya irrasional karena sulit diterangkan secara
ilmiah, namun itu semua sudah mengindikasikan adanya upaya
penyelamatan dan pelestarian lingkungan yang dilakukan masyarakat
sejak lama.

Ada beberapa kearifan lokal yang terdapat di kalangan nelayan Sabangau


telah perlahan dilupakan, misalnya tradisi tentang dewata air yang
bernama Jata. Hanya beberapa orang nelayan yang masih bisa
menuturkan tentang Jata dan hanya satu orang yang bisa dan masih
melakukan ritual kepada Jata yaitu bapak Hamdi di Karanen. adalah
sebagaimana tabel di bawah ini:

64
Tabel 24. Daftar Kearifan Lokal di Kalangan Nelayan Sungai Sabangau

Jenis Kearifan Aturan Akibat Kalau Dilanggar

Perlakuan Tidak boleh menancapkan alat Hasil tangkapan kurang


terhadap pengayuh sewaktu menangkap ikan.
peralatan

Perlakuan Tidak boleh menangkap induk dari Hasil tangkapan kurang


terhadap ikan Toman. Bila menggerombol
tangkapan dengan anaknya, boleh tangkap
anak-anaknya untuk dibudi-daya,
tetapi induknya dilepas.
Kalau ada ikan-ikan yang kecil atau Hasil tangkapan kurang
anak ikan masuk ke alat tangkap
harus di lepas kembali
Kalau mendapat ikan Toman dengan
berat lebih dari 5 Kg harus dilepas
kembali
Kalau mendapat ikan Tampahas
dengan berat lebih dari 50 Kg harus
dilepas kembali
Tidak boleh mengganggu atau Ikan akan jera bertelur di
menangkap ikan Tampahas yang tempat itu
sedang menetaskan telur.
Tidak boleh menghempas- Alat tangkapan akan
Perlakuan hempaskan bubu atau buwu yang diganggu dan dirusak oleh
terhadap alat berlumut ke air kalau Berang-Berang.
tangkap. membersihkannya.
Tidak boleh mendirikan bubu dengan Bubu akan di ganggu bai
muara atau mulut bubu menghadap hutan atau buaya.
ke atas.
Hanya boleh alat tangkap tradisional Tangkapan menurun,
tidak boleh setrum dan racun potas karena mematikan induk
ikan dan telurnya
Perlakuan Tidak boleh dengan sengaja merusak Hasil tangkapan kurang
terhadap daerah tempat bertelur dan berkembang-
tangkapan biaknya ikan.
Kalau bertemu ular air, tidak boleh Darah ular akan mencemar
dibunuh dengan dipukul atau tempat menangkap ikan,
dibacok dengan parang. Ular itu akibatnya ikan tidak mau
ditangkap cukup dimulut ular air itu datang di tempat itu
diletakan tembakau jawa dimulutnya
sehingga ia mati karena mabuk
tembakau.
Ikan Tampahas tidak boleh ditangkap Darah ikan itu akan
dengan cara menombak atau mencemar tempat
membacok dengan parang, sehingga menangkap ikan, akibatnya

65
keluar darahnya. ikan tidak mau datang di
tempat itu
Bila mendapat tangkapan banyak Hasil tangkapan kurang
melakukan ritual dengan
menenggelamkan 5-10 butir telur
ayam atau bebek, sebagai tanda
syukur kepada alam.
Perlakuan Kalau bertemu ular atau buaya Agar hewan itu tidak ganas
terhadap jangan diganggu, dan menyerang manusia
binatang lain
Tidak menangkap ikan pada hari
Hari Kerja Jumaat, hanya istirahat di rumah
Tidak menangkap ikan pada hari
permulaan puasa, hari raya Idul Fitri /
Idul Adha, dan atau pada hari-hari Tidak ada penjelasan
bulan syawal (setelah Idul Fitri)
Tidak bekerja kalau ada anggota
keluarga yang meninggal dunia

Gambar 11 Bendera Kuning dan Bendera Merah di pinggir sungai sebagai tanda
permohonan nazar agar pekerjaan mendatangkan hasil

66
3.11. Perubahan Iklim

Nelayan sungai Sabangau sangat menggantungkan hidupnya pada situasi


alam yaitu musim, curah hujan, tinggi-rendahnya permukaan air, dan
kondisi alam (sungai, hutan, semak, perdu, dll.). Perubahan yang terjadi
pada alam, misalnya iklim, sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan
mereka.

Dari beberapa wawancara didapatkan data bahwa nelayan sangat tidak


menyukai situasi alam yang tidak teratur. Mereka tidak menyukai hujan
yang turun mendadak dan kemudian berhenti mendadak juga. Hal yang
serba mendadak itu membuat mereka tidak punya kesempatan banyak
untuk mempersiapkan alat tangkapan, akibatnya adalah mereka
kehilangan peluang dan kesempatan untuk mendapat tangkapan.

Situasi alam yang serba mendadak dan tidak teratur atau yang mereka
istilahkan dengan meleset, sering terjadi dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir. Misalnya beberapa nelayan yang telah berusia lanjut mengatakan
bahwa tanda-tanda alam yang pada jaman dahulu dapat dijadikan
petunjuk untuk menentukan kapan datangnya musim hujan atau musim
kemarau, pada masa kini hal itu sudah tidak dapat dipakai lagi. Misalnya
pada jaman dahulu mereka bisa memprediksi kapan datangnya musim
hujan atau surung layap dengan memperhatikan warna dan bentuk dari
telur-telur ikan yang masih bisa ditangkap pada saat musim kemarau.
Namun kini hal itu tidak berlaku lagi. Musim bisa berubah bahkan
bergeser, sehingga semua perhitungan menjadi meleset.

Nelayan sungai Sabangau menyukai situasi alam yang serba teratur, sesuai
dengan hitungan dan prediksi. Mereka menyukai hujan turun secara
konstan (batitir nanar) karena akan memberi kesempatan bagi ikan untuk
berimigrasi dan menetas telurnya. Hal itu juga memberi kesempatan bagi
nelayan untuk memasang alat tangkapan. Alam, cuaca dan iklim yang
teratur bagi para nelayan sungai Sabangau adalah juga hasil tangkapan
dan pendapatan yang teratur. Iklim yang tidak teratur membuat pola
tangkap juga menjadi tidak teratur dan akhirnya membuat kehidupan
tidak teratur.

67
Satu hal yang diamati oleh para nelayan di sungai Sabangau adalah
fenomena lauk bangai yang terjadi setelah pergantian musim kemarau ke
musim hujan. Pada saat wayah lauk bangai ikan bermunculan ke
permukaan air sungai Sabangau, atau berkumpul ke pinggir sungai hingga
ada yang naik ke daratan. Ikan yang demikian oleh masyarakat setempat
disebut dengan lauk bangai, nangau atau buseng tungape. Menurut
nelayan sungai Sabangau, wayah lauk bangai terjadi bila warna air berubah
hitam, berbau busuk dan rasanya masam. Menurut mereka kondisi air
yang membuat ikan mabuk atau keracunan sehingga mengapung di
permukaan air dan mati secara massal.6

6
Bangai adalah proses alami yang mengakibatkan kematian ikan sungai dalam jumlah banyak,
yaitu naiknya belerang ke permukaan sungai melalui proses pembalikan (upwelling). Secara
ilmiah fenomena lauk bangai ini dapat dijelaskan sebagai pengaruh dari pergantian musim
kemarau ke musim hujan yang menyebabkan terjadinya proses pencemaran alamiah (.
Pencemaran alamiah itu bermula dari tumbuhan kering yang mati terendam padam musim air
dalam mengalami proses penguraian atau perombakan oleh bakteri atau organisme pengurai
(dekomposer). Dalam proses tersebut bakteri maupun organisme pengurai memerlukan energi
yang besar dengan cara mengkonsumsi oksigen yang besar pula, hal ini mengakibatkan oksigen
yang terlarut dalam air menjadi berkurang. Besarnya energi yang dikeluarkan menyebabkan
peningkatan hasil respirasi yang diikuti oleh peningkatan ekskresi seperti suhu, karbondioksida
dan kadar amoniak dalam air sehingga pH menurun yang mengakibatkan air menjadi asam dan
terbentuk senyawa H2S yang menimbulkan bau busuk. Pada keadaan ini kualitas air menurun
drastis dan pada akhirnya ikan-ikan yang tidak dapat beradaptasi dengan kondisi air yang
demikian akan mati dan aktivitas penangkapan juga jarang dilakukan. Lihat Rizmi Yunita,
“Karakteristik perairan rawa Bangkau dan keragaman ikan di kabupaten Hulu Sungai Selatan
propinsi Kalimantan Selatan”, dalam ECOTROPHIC 5 (1) : 34 – 40.

68
4
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian 3,


beberapa hal yang dapat menjadi kesimpulan dan saran adalah sbb.:

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan pola kerja nelayan sungai Sabangau terdiri dari: nelayan


menetap, nelayan musiman dan nelayan komuter.
2. Berdasarkan etnisitas, nelayan sungai Sabangau terdiri dari nelayan asli
yaitu dari suku Dayak, dan pendatang yaitu dari suku Banjar, Berangas
dan Jawa.
3. Suku-suku ini saling berbagi ruang kehidupan yaitu wilayah-wilayah
tangkapan untuk mencari nafkah di empat musim tangkapan yang
mereka sebut sebagai wayah surung layap, wayah danum manahan,
wayah marintak dan wayah danum surut.
4. Masyarakat nelayan di sungai Sabangau telah memiliki pola tata ruang
wilayah tangkapan yang diatur secara tradisional. Wilayah tangkapan
sebagai ruang kehidupan dibagi menjadi ruang privat, semi privat dan
ruang publik. Ruang publik yaitu sungai Sabangau boleh dimanfaatkan
secara umum oleh masyarakat luas. Ruang semi privat yang rawa
banjiran yang terdapat di sebalah kanan-kiri sungai menjadi wilayah
tangkapan nelayan setempat. Ruang privat yaitu anak sungai, tatas,
baruh dan talaga,k sungai, tatas, baruh dan talaga, menjadi milik
keluarga pengelolanya. Orang luar boleh ikut menjadi milik keluarga

69
pengelolanya. Orang luar boleh ikut apabila telah menjadi apabila
telah menjadi anggota keluarga anggota keluarga melalui perkawinan.
5. Pola penguasaan dan pemilikan wilayah tangkapan berdasarkan pada
hukum adat yaitu siapa yang mulai membuka dan mengelola maka ia
dan keturunannya menjadi penguasa dan pengelola. Wilay.ah
tangkapan tidak boleh diperjualbelikan hanya boleh diwariskan turun-
temurun
6. Pola pemanfaatan sumber daya alam dilakukan melalui pekerjaan
utama yaitu nelayan sungai dan juga melalui pekerjaan sampingan
yaitu:
a. Membuat Ikan Asin (Mamundang)
b. Keramba (Mangaramba)
c. Menangkap dan Menjual Anak Toman
d. Menjerat Rusa (Manjarat Bajang)
e. Menjerat Babi (Manjarat Bawui)
f. Mencari Galam (Manggalam)
g. Mencari Burung (Mamburung)
h. Sewa Klotok (Manyampan)
i. Bekerja Dengan WWF
- Membuat Tabat (Manabat)
- Menanaman Bibit (Mimbul)
- Monitoring Pipa Air di Tabat (Mamipa)

7. Mekanisme pemanfaatan sumber daya alam diatur secara tradisional


yaitu melalui mekanisme kekeluargaan dan kearifan lokal, yaitu: untuk
ruang publik dan ruang semi privat diatur sbb.:

a. Tidak boleh mengambil/mencuri tangkapan orang lain


b. Jangan tumpang tindih dalam pemasangan alat
c. Tidak boleh menangkap ikan dengan racun dan setrum listrik
d. Orang luar desa boleh menangkap ikan di wilayah komunal
hanya untuk kepentingan non komersial seperti rekreasi
memancing

70
e. Penguasaan wilayah komunal hanya terbatas untuk kepentingan
penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain dapat melewati
wilayah itu dengan bebas.

Sedangkan ruang privat bersifat tertutup hanya untuk anggota keluarga


dengan aturan:
a. Orang luar yang non keluarga tidak boleh bekerja di dalam
wilayah keluarga
b. Orang luar dapat menangkap ikan atau bekerja mencari
penghasilan hidup di wilayah keluarga, apabila melakukan
ikatan kekerabatan dengan cara perkawinan.
c. Orang luar dapat memasuki dan mengakses wilayah keluarga
yaitu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun
dengan ijin dan kontrol dari pihak keluarga, serta membayar
kontribusi.
d. Penguasaan dan kepemilikan wilayah keluarga tidak boleh
diperjual-belikan, harus diturunkan pada keturunannya.
e. Tidak boleh melakukan penangkapan ikan dengan cara yang
memusnahkan ikan, misalnya dengan racun potas atau setrum
listrik.

8. Konflik antar sesama nelayan masih bersifat tertutup atau laten yaitu
masalah penguasaan wilayah tangkapan. Konflik dengan nelayan dari
luar daerah yang melakukan penyetruman ikan dan pemakaian racun
potas sudah bersifat terbuka.
9. Akibat penting dari pembuatan tabat adalah alam masih mampu
memberi dukungan kehidupan kepada para nelayan dengan indikator
utamanya adalah ekonomi tradisional nelayan di sungai Sabangau
relatif masih utuh dan bisa menjamin keberlangsungan hidup para
nelayan. Mereka tidak hanya menjalankan kehidupan ekonomi yang
subsisten tetapi juga komersil dalam skala kecil. Bila dibandinngkan
dengan masyarakat tradisional yang berada di sekitar perkebunan
besar sawit (PBS) mereka belum mengalami “proletarisasi” yaitu
perubahan mata pencaharian hidup dari kegiatan ekonomi yang
otonom menjadi sekedar buruh dari sebuah sektor usaha yang

71
dikendali oleh pihak lain. Kalaupun mereka mempunyai pekerjaan
sampingan atau pekerjaan lain, itu semata adalah strategi adaptasi
dalam menghadapi masa-masa paceklik dan sebagai indikator dari
bagaimana mereka melakukan pemanfaatan sumber daya alam yang
ada di sekitar mereka. Mereka juga belum mengalami apa yang
disebut dengan ‘defisherisation’, yaitu suatu proses memudarnya atau
hilangnya kegiatan nelayan yang mandiri menjadi sekedar buruh, pada sektor
usaha yang bersifat kapitalistis. Karena itu harus diusahakan jangan ada
pengalihan mata pencaharian. Kalau ada peluang kerja baru jangan sampai
menggantikan pekerjaan yang sudah ada. Peluang kerja baru sifatnya
hanyalah suplemen atau tambahan dan bukan pengganti pekerjaan pokok
sebagai nelayan
10. Nelayan tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pengaruh
penebangan pohon hutan dan kebakaran hutan terhadap sumberdaya
ikan. Mereka juga tidak banyak mengetahui tentang kait-mengait
antara kelestarian hutan dengan keberlangsungan nafkah hidup
mereka sebagai petani, akibatnya mereka secara sadar melakukan
pembakaran hutan agar dapat dengan mudah memasang alat
tangkapan dan agar dapat memiliki akses masuk ke daerah rawa. Hal
ini dapat membuat kegiatan penabatan menjadi kelihatan tidak
bermanfaat.
11. Pembuatan tabat pada satu sisi memang menjadi semacam tabungan
ikan yang dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Namun karena
cara penangkapan secara tradisional yaitu “sistem bendung dan
keringkan” membuat tabat atau dam banyak dirusak dengan tujuan
agar genangan air yang ada di sebelah hulu tabat kering dan kemudian
ikan mudah ditangkap.
12. Perubahan iklim yang membuat musim tangkapan ikan bergeser dan
munculnya fenomena ikan bangai, juga dapat membuat kegiatan
penabatan menjadi kelihatan tidak bermanfaat. Perubahan iklim dapat
membuat musim paceklik lebih panjang sehingga dapat membuat
nelayan sungai melupakan pekerjaan utama dan menekuni pekerjaan
sampingan.

72
B. Saran

Berdasarkan pola tata ruang, pola penguasaan, pola pemilikan daerah


tangkapan, pola mekanisme pemanfaatan sumber daya, serta kearifan
lokal yang sudah ada terdapat pada masyarakat nelayan di sungai
Sabangau, dapat dikatakan bahwa masyarakat nelayan di sungai Sabangau
telah memiliki satu sistem atau mekanisme pengaturan diri. Namun sistem
atau mekanisme itu belum berwujud institusi atau kelembagaan formal.
Karena itu disarankan agar WWF menginiasiasi suatu institusi atau
kelembagaan formal yang lengkap dengan aturan, sanksi, dan pemegang
legalitas tertulis. Hal itu dapat dilakukan dengan cara:

1. Melegal-formalkan kelembagaan informal (tradisional) yang telah ada


di dalam masyarakat, yaitu lembaga adat Dayak
2. Menformulasikan suatu kelembagaan formal baru dengan
mengembangkan kearifan lokal yang telah ada di dalam masyarakat,
misalnya Formas, Kelompok Masyarakat Konservasi, etc.
3. Melegal-formalkan kelembagaan informal masyarakat lain yang cocok
dengan karakteristik masyarakat nelayan di sungai Sabangau.

Institusi atau kelembagaan formal yang telah terbentuk mempunyai tugas


utama:

1. Membangun kesadaran untuk menggiatkan kembali (revitalisasi)


implementasi beragam kearifan lokal yang berkaitan dengan
sumberdaya alam yang ada di kawasan sungai Sabangau.
2. Mengeluarkan seperangkat aturan atau praktik pengelolaan wilayah
sungai, anak, sungai, baruh, talaga dan tatas serta segala sumberdaya
yang terkandung didalamnya, yang menyangkut siapa yang memiliki
hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan
teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperkenankan. Perangkat
atau aturan yang dimaksud dapat berupa Hukum Adat Tertulis atau
Peraturan Desa (Perdes) yang antara lain memuat:

73
a. Batas Wilayah Tangkapan
Mengatur tentang dimana wilayah yang boleh dilakukan penangkapan,
dimana yang tidak boleh. Harus ada satu wilayah yang menjadi wilayah
suaka ikan atau reservat.

b. Jenis Ikan
Mengatur ikan apa saja yang boleh ditangkap, baik dari jenis maupun
ukuran. Bagian ini harus memuat tentang pelarangan penangkapan
anak ikan Toman untuk diperjualbelikan keluar Sabangau

c. Alat Tangkap
Mengatur jenis alat tangkap apa saja yang boleh dan tidak boleh, baik
dari segi jenis, bentuk dan ukuran. Juga mengatur tentang
pembatasan alat tangkapan, sehingga dicantumkan jumlah maksimum
alat tangkapan per keluarga nelayan.

d. Waktu Penangkapan
Mengatur waktu pengkapan. Harus ada larangan menangkap ikan
pada waktu-waktu tertentu. Sehingga ikan mempunyai waktu dan
kesempatan berkembang biak.

e. Pola Penangkapan
Mengatur cara penangkapan yang boleh dan tidak boleh. Misalnya
apakah boleh memperbanyak tangkapan dengan membakar hutan
rasau terlebih dahulu.

f. Pola Budi-Daya
Mengatur ikan apa yang sebaiknya dibudidayakan. Sebaiknya ada
penggantian budidaya ikan predator

g. Pemegang Hak dan Legalitas


Mengatur tentang siapa saja yang berhak bekerja di daerah tangkapan.
Juga dicantumkan tentang pembatasan jumlah nelayan yang ideal
sesuai dengan daya dukung lingkungan.

74
h. Sanksi
Sanksi yang diberikan kepada pelanggar aturan dengan prinsip sbb. :
- Bagi masyarakat setempat, sanksi adalah hukuman sosial,
diberikan secara bertahap dan lebih pada pembinaan dan
penyadartahuan.
- Bagi pihak luar, sanksi harus memberikan efek jera dan diberikan
secara langsung.
- Bagi pihak luar, komunitas atau kampung asal pelanggar aturan
dapat dituntut karena membiarkan warganya melakukan
pelanggaran adat atau aturan.

Sehubungan dengan monitoring terhadap manfaat dan dampak positif


maupun negatif dari demonstration activity perlu dilakukan rapat tahunan
para nelayan yang bertujuan untuk:
1. Mengevaluasi apakah pendapatan mereka menurun atau meningkat
dengan indikator:
a. Jumlah tangkapan
b. Panjang atau pendeknya masa tangkapan banyak dan
sedikit (masa paceklik).
c. Jenis ikan apa saja yang semakin banyak dan semakin
sedikit.
d. Kesejahteraan hidup
2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang membuat pendapatan mereka
menurun atau meningkat.
3. Memetakan permasalah, peluang dan potensi yang mereka miliki,
sehingga diketahui pola pengembangan yang tepat.

75
5
PENUTUP

Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat nelayan di sungai


Sabangau selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu secara
dinamis. Karena itu apa yang disajikan dalam laporan ini adalah potret
sesaat (snapshot) yang sangat boleh jadi akan berubah pada masa-masa
mendatang. Karena itu pada masa-masa mendatang, secara periodik perlu
dilakukan kajian sosial ekonomi dan budaya lanjutan untuk mengetahui
dinamika perkembangan sosial ekonomi dan budaya masyarakat,
khususnya dalam kaitannya dengan perbaikan upaya pemberdayaan
masyarakat.

Pada saat laporan ini disusun telah terjadi perubahan pola penguasaan
sungai Sabangau yang adalah ruang publik atau common property.
Orang-orang kota yang terkena demam “mancingmania” yang menjadikan
kegiatan memancing bukan sebagai mata pencaharian tetapi lebih sebagai
gaya hidup (lifestyle), telah berbondong-bondong masuk ke sungai
Sabangau. Mereka tidak sekedar menyewa perahu dan memancing
dengan perlatan pancing yang serba mahal, tetapi juga mengkapling-
kapling sungai Sabangau menjadi spot-spot atau lapak-lapak
pemancingan pribadi, dimana orang lain (sesama pemancing mania)
dilarang masuk ke spot-spot yang telah diklaim menjadi milik pribadi.
Selain mengintroduksi pola tata ruang baru, fenomena ini juga
mengintroduksi pola konflik baru.

76
Juga pada saat laporan ini sedang disusun, ada beberapa nelayan di
sungai Sabangau yang telah mendirikan warung di daerah Garong-Pulang
Pisau. Di pinggir jalan trans Kalimantan, dimana telah terbangun sentra
penjualan ikan asin, mereka juga membangun rumah yang sekaligus
warung tempat menjual ikan asin. Mereka telah membangun pola
penjulan ikan yang baru, yaitu menjual langsung kepada pembeli dan
menyingkirkan para tengkulak atau panyambang.

Karena itu pada masa mendatang, perlu dilakukan penelitian lanjutan


untuk memprediksi trend atau pergeseran yang akan terjadi. Hal itu patut
dilakukan karena dapat membuat demonstration activity yang sudah
dilakukan menjadi tampak tidak bermanfaat. Juga perlu dilakukan
baseline survey untuk melengkapi beberapa data dan informasi yang
belum tercakup dalam laporan ini (pendapatan perkapita, gender, HCVA,
dll) serta untuk mempertajam analisis untuk kepentingan peningkatan
upaya pemberdayaan masyarakat.

77

Anda mungkin juga menyukai