Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar,
mampukah hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan. Mengenai hal iniada
pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini,
apakahkita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan
terhadap rasanasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka
hukum adattidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila
yangdiprioritaskan adalah menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat,
makahukum adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan
Hukumadatlah yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan hukum nasional. Dikeluarkan
pula UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang
berbunyi :Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa,dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkanunsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pada era reformasi terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaandengan
hukum adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28 ayat 3 UUD1945
amandemen kedua dan belum mengalami perubahan hingga amandemen keempat. Namun,konsep
masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan
lebih lanjut.
Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat
(1)huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah
satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diaturdalam undang-undang. Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk
dapatdikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial,
genealogis,maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur.
Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuanmasyarakat
yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangandengan hak-hak
asasi manusia. Pemikiran mengenai peranan hukum adat dalam pembentukanhukum nasional
sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat
diaplikasikan dalam bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baruterlihat di awal
tahun 1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960tentang
Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakathukum adat
sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan lagi hak-hakmasyarakat
adat yang sudah terabaikan.
1. Contoh hukum adat di Papua yang diberlakukan ketika seseorang membunuh orang lain
dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, maka akan diminta mengganti kerugian yang berupa
uang dan juga ternak babi. Tak cukup sampai disitu saja karena jumlah uang dan juga
ternak babi yang diminta adalah jumlah yang relatif besar sehingga benar-benar
memberatkan sang pelaku.
2. Contoh Hukum Adat Bali Hukum adat yang masih kental dilakukan adalah hukum yang
berkaitan dengan warisan. Dalam masyarakat adat Bali, seorang anak laki-laki adalah
seorang ahli waris dalam sebuah keluarga. Berbeda dengan anak perempuan yang hanya
berhak menikmati harta peninggalan sumai atau orang tua. Mengapa demikian? Hal ini
karena anak laki-laki yang ada pada masyarakat adat bali dianggap sebagai seorang yang
memiliki tanggung jawab besar pada keluarganya sedangkan anak perempuan hanya
bertanggung jawab pada lingkungan suami
3. Contoh Hukum Adat Minangkabau Dalam hukum adat masyarakat Minangkabau,
wanitalah yang mendapat warisan utuh. Lelaki disana hanya bertugas untuk merantau di
tanah orang, mencari harta, dan mengamalkan ilmu yang mereka dapat ketika mereka
telah kembali lagi ke tanah halaman.
4. Contoh Hukum Adat Aceh Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang
penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak
langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda.
Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih
dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah
di hadapan orang banyak biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan
denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini
berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
5. Di Minangkabau, atau di daerah Sumbar, ada Humun atau adat minangkabau yang mana
di dalam hukum adat tersebut menyatakan bahwa pihak wanita akan mendapatkan
kekayaan dan semua hak dari orang tuanya dan laki-laki dari peranakan orang
minangkabau diharuskan merantau dan mencari kesuksesan ditempat lain.
6. Sedangkan di Jawa, sebagian besar adat akan menyatakan bahwa kekayaan orang tua
akan diwariskan kepada pihak anak laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan anak
perempuan.
7. HAK ULAYAT
Hak Ulayat adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah, melahirkan suatu
hak dari masyarakat hukum terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas-batas lingkungannya.
Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara lain adalah meliputi tanah
(daratan), air (perairan seperti kali, danau, pantai beserta perairannya), tumbuh-tumbuhan yang
hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan, kayu bakar) dan binatang
yang hidup liar.
Hak Ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum dengan obyek seperti diatas , maka
masyarakat hukum di dalam menerapkan hak ulayat dilakukan dengan cara menikmati atau
memungut hasil tanah, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, masyarakt hukum
berdasarkan wewenangnya membatasi kebebasan warga masyarakatnya untuk memungut hasil
tersebut
Pengaturan tentang hak ulayat dalam UUPA dapat ditemukan dalam pasal 3, yang isinya
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Hak ulayat dari masyarakat hukum sepanjang dalam kenyataannya masih ada harus
menyesuaikan diri dengan negara dan nasional.
b. Pelaksanaan daripada hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.
c. Pengaturan hak ulayat dilakukan oleh negara dengan pasal 1 dan 2 UUPA.
Penjelasan dari pasal 3 UUPA, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang didalam perpustakaan hukum adat
disebut dengan “beschikkingsreacht”, itu berarti termasuk pula jenis-jenis tanah adat
yang ada di Bali yang dikuasi oleh masyarakat hukum adat Bali seperti desa
pakraman menguasai tanah ayahan desa (AYDS) atau tanah pekarangan desa (PKD).