Anda di halaman 1dari 7

1.

DEFINISI HUKUM ADAT DARI BEBERAPA PERSEPSI


A. Peristilahan Hukum Adat
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis yang merupakan pedoman bagi sebagian besar
orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari-hari baik di kota
maupun di desa.
Istilah Hukum Adat (Adatrecht ) berasal dari Bahasa Belanda = Snouck Hurgronje
kemudian dilanjutkan Cornelis van Vallenhoven (Bapak Hukum Adat Indonesia) sebagai
istilah teknis-juridis.
B. Unsur Hukum Adat
UNSUR ASLI pada umumnya tidak tertulis, hanya sebagian kecil saja yang tertulis, tidak
berpengaruh dan sering dapat diabaikan saja. UNSUR TIDAK ASLI yaitu yang datang dari
luar sebagai akibat persentuhan dengan kebudayaan lain dan pengaruh hukum agama yang
dianut.
C. Definisi Hukum Adat
 Hukum adat masih dalam pertumbuhan
 Hukum adat selalu dihadapkan pada dua keadaan yang sifatnya bertentangan seperti:
tertulis/tidak tertulis; sanksinya pasti/tidak pasti; sumber dari raja/dari rakyat, dsb.
D. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Adat
Hukum adat yang dilaksanakan pada saat ini merupakan hukum positif di Indonesia.
Dasar hukum berlakunya hukum adat = Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar
1945 juncto pasal 131 Indische Staats Regeling ayat 2 sub b.
Tidak satu pasalpun dalam UUD 1945 yang menyebut-nyebut hukum adat atau hukum
tidak tertulis. Kalau dalam UUDS 1950 banyak pasal-pasalnya menyebutkan tentang hukum
adat, misalnya pasal 32, pasal 104 ayat 1.
E. Manfaat Mempelajari Hukum Adat
 Ilmu untuk Ilmu (hukum adat dipelajari untuk memenuhi dua tugas yaitu
penyelidikan dan pengajaran). Pandangan teoritis ini cenderung menyimpan hukum
adat dalam sifat dan corak aslinya.
 Untuk kepentingan masyarakat (ilmu yg dipelajari untuk pembangunan dan
kebesaran Nusa dan Bangsa.
 Manfaat mempelajari hukum adat itu haruslah bersifat praktis dan nasional. Sifat
praktis dan nasional terlihat dari 3 sudut:
1. Dari sudut pembinaan hukum nasional
2. Dari sudut mengembalikan dan memupuk kepribadian bangsa Indonesia.
3. Dalam praktek peradilan.
F. Sejarah Perkembangan Hukum Adat
1. Perintis Penemu Hukum Adat
2. Penemu Hukum Adat
3. Sejarah Politik Hukum Adat
G. Masyarakat Hukum Adat
Kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa,
dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota
kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya
dala, arti melepaskan diri dari ikatan untuk selama-lamanya.

2. CORAK DAN SISITEM HUKUM ADAT


a. Komunal, adalah manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan
kemasyarakatan yang kuat. Rasa kebersamaan meliputi seluruh lapangan hukum adat.
Kepentingan perseorangan selalu diimbangi dengan kepentingan bersama. Misalnya hak
seseorang atas benda berfungsi sosial, ada pola hidup tolong menolong dan
kegotongroyongan.
b. Religis-magis (magis-religius), adalah adanya kepercayaan kepada hal-hal gaib (roh-roh,
makhluk halus, kekuatan sakti). Misalnya adanya upacara sesajen untuk roh-roh leluhur dan
adanya pantangan/ritus.
c. Kontan (konkrit), adalah setiap perbuatan harus sesuai dengan pernyataan nyata atau yang
diucapkan. Misalnya kata jual digunakan bila nyata-nyata diikuti dengan tindakan
pembayaran kontan dari pembeli dan penyerahan barang oleh penjual.
d. Visual, adalah hubungan hokum dianggap terjadi bila diberi wujud suatu benda atau tanda
yang dapat dilihat. Misalnya adanya uang muka dalam jual beli, dan pemberian cincin
sebagai tanda pertunangan.

3. SEJARAH HUKUM ADAT DI INDONESIA


Pada masa kompeni V.O.C (1602-1800) di pusat pemerintahan dinyatakan berlaku
satustelsel hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda,
naikhukum tatanegara, hukum privat maupun hukum pidana. Diluar wilayah itu adat pribumi
tidakdiindahkan sama sekali. Jika lambat laun di sana-sini, wilayah di sekitar tempat
kediamanGubernur, de facto masuk kedalam kekuatan V.O.C, maka diwilayah itu juga
dinyatakan berlakuhukum Kompeniuntuk orang-orang Indonesia dan Cina.
V.O.C juga membuat praturan-praturan mengenai ketetapan hukum adat antara
lain:Hukum adat masih belum di temukan sebagai hukum rakyat, sebaliknya hukum adat
didiindentifikasikan dengan hukum islam atau hukum raja-raja dan jika ada kesempatan hukum
adatitu direproduksikan dengan membuat bayak anaksir hukum barat V.O.C juga mengira
bahwahukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan berupa kitab hukum, dan menganggap hukum
adat lebihrendah drajatnya dari pada hukum Belanda.
Pada masa pemerintahan Dendels (1808-1811) hukum adat dianggap dilekati dengan
beberapa kelemahan (terutama pada hukum pidana) namaun ia merasa segan mengganti
hukumadat tersebut. Oleh karena itu ia menempuh jalan tengah, pada pokoknya hukum adat
akandiberlakukan untuk bangsa Indonesia. Namun hukum adat tidak boleh diterapkan jika
bertentangandengan perintah dar4i penguasa atau dengan asas-asas keadilan serta kepatutan.
Bersdarkananggapan itu, Daendels memutuskan, Walaupun golongan Bumiputra di jawa tetap
dibiarkanmemakai hukumnya (materi dan formal) sendiri.
Seperti halnya dengan pimpinan V.O.C Deandels pun mengedentifikan hukum adat
denganhukum Islam dan memandang rendah hukum adat itu, sehingga tidak pantas diberlakukan
terhadap orang eropa
Pada masa Pemerintahan Rafless (1811-1816) mengadakan banyak perubahan
dalamsusunan badan-badan pengadilan akan tetapi hukum Materilnya tidak dirubah Dalam
perkara antara orang Indonesia diberlakukan hukum adat dengan syarat tidak menentang dengan
prinsip- prinsip keadilan yang universal dan diakui. Tentang penilaiannya dibedakan menjadi dua
bidang. Pertama, hukum pidana, Rafless mencela sanksi pidana yang tidak sesuai dengan
kemajuan zamanseperti bakar hidup-hidup atau ditikam dengan keris Kedua, hukum perdata
diterapkan ketikasalah seorang bersengketa baik penggugat ataupun tergugat, maka perkaranya
harus diadili olehCourt of Justice, yang menerapkan hukum Eropa. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwahukum adat dipandang lebih rendah dari hukum barat.
Pada tahun 1927 pemerintah Belanda mengubah haluannya dengan menolak
konsepsiunifikasi hukum dan saatnya untuk menuangkan materi hukum perdata bagi rakyat
Indonesiakedalam bentuk perundang-undangan. Hal ini lebih cenderung untuk melukiskan
hukum adatsedarah demi sedarah dan sesuai dengan keinginan Van Vollenhoven, pekerjaan ini
dapatdilakukan oleh seorang ahli hukum bangsa Indonesia yang disponsori oleh guru besar
hukum adat pada Rechts-Hoge School.
Van Vollenhoven mencatat bahwa tahun 1927 dan 1928 terjadi suatu titik balik dalam
politik hukum adat yang dianut pemerintah India Belanda yang telah melepaskan pendapat
lamayaitu: membuat suatu kodivikasi hukum bagi orang Indonesia asli yang sedapat-dapatnya
dansebanyak-banyaknya didasarkan kepada asas hukum Eropa, yang menganut paham baru
antaralain: hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli akan ditentukan sesudah diadakan
penyelidikan tentang kebutuhan hukum mereka yang sebenarnya. Dan apabila ternyata
bahwahukum adat itu belum dapat ditinggalkan atau diganti dengan hukum lain, maka hukum
adat yangmasih diperlukan itu tetap dipertahankan.
Masa 1928-1945 setelah berjalannya politik hukum adat baru Ter Haar
menggambarkanhasil perundang-undangan di lapangan hukum adat sebagai berikut
1. Peradilan adat di daerah yang diperintah secara langsung diberi beberapa aturan
dasardalam ordonasi dan peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh residen setempat.
2. Hakim desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam S1935-102 yang menyisipkan
pasa 3a kedalam RO
3. Tanggal 1 Januari 1938 merepakan hari sejarah bagi hukum adat, karena pada waktuitu
dalam Raud van Justice dikota Betawi mendirikan suatu Adatkamer (Kamar Adat)yang
mengadili dalam tingkat banding perkara-perkara hukum privat adat yang telah
diputuskan oleh Landraden di Jawa, Palembang, Jambi, Bangka Blitung, Kalimantan dan
Bali. Pembentukan Adatkamer itu memberi jaminan lebih baik kepada penerapanhukum
adat, sebab persoalan hukum adat tidak lagi dititipkan kepada Civiele Kamer diEaad van
Justice, sehingga perhatian terhadap hukum adatdapat dicurahkan secara khusus

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar,
mampukah hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan. Mengenai hal iniada
pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini,
apakahkita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan
terhadap rasanasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka
hukum adattidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila
yangdiprioritaskan adalah menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat,
makahukum adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan
Hukumadatlah yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan hukum nasional. Dikeluarkan
pula UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang
berbunyi :Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa,dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkanunsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pada era reformasi terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaandengan
hukum adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28 ayat 3 UUD1945
amandemen kedua dan belum mengalami perubahan hingga amandemen keempat. Namun,konsep
masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan
lebih lanjut.
Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat
(1)huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah
satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diaturdalam undang-undang. Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk
dapatdikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial,
genealogis,maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur.
Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuanmasyarakat
yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangandengan hak-hak
asasi manusia. Pemikiran mengenai peranan hukum adat dalam pembentukanhukum nasional
sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat
diaplikasikan dalam bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baruterlihat di awal
tahun 1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960tentang
Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakathukum adat
sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan lagi hak-hakmasyarakat
adat yang sudah terabaikan.

4. PERADILAN ADAT DI INDONESIA


Peradilan adat berfungsi untuk memutus maupun mendamaikan sengketa adat berdasarkan
hukum adat. Kelembagaan pengadilan adat merupakan pengadilan yang hidup dalam praktik
sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat). UU Desa juga mengakui keberadaan
kelembagaan peradilan desa adat tersebut.

1. Contoh hukum adat di Papua yang diberlakukan ketika seseorang membunuh orang lain
dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, maka akan diminta mengganti kerugian yang berupa
uang dan juga ternak babi. Tak cukup sampai disitu saja karena jumlah uang dan juga
ternak babi yang diminta adalah jumlah yang relatif besar sehingga benar-benar
memberatkan sang pelaku.
2. Contoh Hukum Adat Bali Hukum adat yang masih kental dilakukan adalah hukum yang
berkaitan dengan warisan. Dalam masyarakat adat Bali, seorang anak laki-laki adalah
seorang ahli waris dalam sebuah keluarga. Berbeda dengan anak perempuan yang hanya
berhak menikmati harta peninggalan sumai atau orang tua. Mengapa demikian? Hal ini
karena anak laki-laki yang ada pada masyarakat adat bali dianggap sebagai seorang yang
memiliki tanggung jawab besar pada keluarganya sedangkan anak perempuan hanya
bertanggung jawab pada lingkungan suami
3. Contoh Hukum Adat Minangkabau Dalam hukum adat masyarakat Minangkabau,
wanitalah yang mendapat warisan utuh. Lelaki disana hanya bertugas untuk merantau di
tanah orang, mencari harta, dan mengamalkan ilmu yang mereka dapat ketika mereka
telah kembali lagi ke tanah halaman.
4. Contoh Hukum Adat Aceh Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang
penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak
langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda.
Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih
dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah
di hadapan orang banyak biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan
denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini
berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
5. Di Minangkabau, atau di daerah Sumbar, ada Humun atau adat minangkabau yang mana
di dalam hukum adat tersebut menyatakan bahwa pihak wanita akan mendapatkan
kekayaan dan semua hak dari orang tuanya dan laki-laki dari peranakan orang
minangkabau diharuskan merantau dan mencari kesuksesan ditempat lain.
6. Sedangkan di Jawa, sebagian besar adat akan menyatakan bahwa kekayaan orang tua
akan diwariskan kepada pihak anak laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan anak
perempuan.

5. PERSEKUTUAN HUKUM ADAT


 Persekutuan Hukum GENEALOGIS, yaitu faktor yang melandaskan pada pertalian darah
satu keturunan, atau apabila keanggotaan seseorang anggota tergantung dari keturunan
yang sama misalnya daerah Toraja, dalam hal ini terdapat 3 macam dasar pertalian
keturunan (Susunan hukum kekeluargaan) yaitu :
1. Pertalian darah menurut garis keturunan Bapak (Patrilineal).
2. Pertalian darah menurut garis keturunan Ibu (Matrilineal).
3. Pertalian darah menurut garis keturunan bapak dan ibu (Parental).
 Persekutuan Hukum TERITORIAL yaitu faktor yang terikat pada suatu daerah tertentu
keanggotaan seseorang tergantung pada tempat tinggal dilingkungan darah persekutuan
itu astau buka ada 3 persekutuan teritorial yaitu :
1. Persekutuan DESA
2. Persektuaun DAERAH
3. Perserikatan (Beberapa Kampung)
 Persekutuan Hukum GENEALOGIS TERITORIAL, keanggotaan didasarkan satu ggaris
keturunan dan juga berdiam pada daerah yang bersangkutan. Persekutuan dibagi dalam 5
jenis sebagai berikut :
1. Suatu daerah/kampung didiami hanya satu bagian klan (golongan).
2. Satu daerah tertentu didiami satu marga
3. Dua Klan yang saling bergabung yang sebabkan karna ditaklukkan oleh klan yang
datang
4. Dalam suatu daerah semua golongan berkedudukan yang sama dan merupakan badan
persekutuan (Nagari).
5. Suatu negara berdiam beberapa klan yang tidak bertalian famili.

6. BAGIAN-BAGIAN HUKUM ADAT


a. Hukum adat kekerabatan, biasa juga dikenal istilah persekutuan hukum geneologis,
karenakan ada faktor hubungan darah satu keturunan yang sama.
b. Hukum adat perkawinan, dalam sisitem perkawinan adat ini dikenal dengan 3 sistem
yaitu : Sistem endogomi, Sistem eksogomi, dan Sistem Eleutherogomi.
c. Hukum adat waris, hukum adat waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan
harta kekayaan baik materil maupun inmateril yang dapat diserahkan kepada
keturunannya, serta mengatur saat cara dan proses peralihannya.
d. Hukum adat peradilan, berlakunya suatu peraturan hukum adat tampak dalam penetapan
putusan petugas hukum misalnya putusan kepala adat, putusan hakim perdamian desa,
sesuai lapangan kompensasinya masing-masing.
e. Hukum adat perekonomian, masyarakat adat mengadakan permufakatan untuk
memelihara kepentingan bersama misalnya akan mengadakan pengairan untuk
memelihara keperluan bersama maka diadakan badan pengurus yang bersifat kerjasama,
adapun wewenang pengurus kerjasama ada ditangan pengurus desa/kampung yang
bersangkutan.

7. HAK ULAYAT
Hak Ulayat adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah, melahirkan suatu
hak dari masyarakat hukum terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas-batas lingkungannya.
Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara lain adalah meliputi tanah
(daratan), air (perairan seperti kali, danau, pantai beserta perairannya), tumbuh-tumbuhan yang
hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan, kayu bakar) dan binatang
yang hidup liar.
Hak Ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum dengan obyek seperti diatas , maka
masyarakat hukum di dalam menerapkan hak ulayat dilakukan dengan cara menikmati atau
memungut hasil tanah, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, masyarakt hukum
berdasarkan wewenangnya membatasi kebebasan warga masyarakatnya untuk memungut hasil
tersebut
Pengaturan tentang hak ulayat dalam UUPA dapat ditemukan dalam pasal 3, yang isinya
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Hak ulayat dari masyarakat hukum sepanjang dalam kenyataannya masih ada harus
menyesuaikan diri dengan negara dan nasional.
b. Pelaksanaan daripada hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.
c. Pengaturan hak ulayat dilakukan oleh negara dengan pasal 1 dan 2 UUPA.
Penjelasan dari pasal 3 UUPA, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang didalam perpustakaan hukum adat
disebut dengan “beschikkingsreacht”, itu berarti termasuk pula jenis-jenis tanah adat
yang ada di Bali yang dikuasi oleh masyarakat hukum adat Bali seperti desa
pakraman menguasai tanah ayahan desa (AYDS) atau tanah pekarangan desa (PKD).

8. PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN BERASASKAN KEARIFAN LOKAL


Sengketa dengan makna “suatu perselisihan khusus yang terkait fakta hukum atau
kebijakan di mana dua pihak saling berhadapan antara yang mengklaim dan yang menolak”.
a. Tanah salah satu sumber Sengketa
Pertama, sengketa atau konflik terjadi dalam konteks perebutan sumber daya
agraria, dalam sengketa atau konflik agraria ini yang terjadi sebenarnya bukanlah
masalah kelangkaan sumber daya tanah, melainkan perebutan sumber daya agraria
berupa ekspansi besar-besaran oleh pemodal untuk menguasai sumber agraria yang
sebelumnya dikuasai oleh rakyat.
Kedua, sengketa atau konflik terjadi dalam konteks pemaksaan terhadap
komoditas yang tellah ditentukan melahirkan konflik-konflik tanah, disektor pertanian,
khususnya subsektor perkebunan, konflik tanah muncuk akibat penentuan komoditas
yang dimaksudkan untuk mendorong kebutuhan ekspor.
Ketiga, sengketa atau konflik terjadi dalam konteks massa mengambang
(floatingmass). Sengketa atau konflik tanah muncul ketika petani tidak mempunyai kaitan
dengan elemen kekuatan diatasnya. Pada saat petanai tidak mempunyai aliansi
kemanapun posisinya menjadi lemah. Sengketa-sengketa atau konflik-konflik yang
dimunculkan hampir selalu bisa diredam, dan dihambat oleh kekuasaan sehingga tidak
menjadi meluas.
b. Perlawanan Masyarakat Petani
Pertama, setiap masyarakat senantiasa berada dalam perubahan yang tidak pernah
berakhir, atau dengan kata lain, 10 perubahan sosial merupakan gejala dalam setiap
masyarakat.
Kedua, setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau
dengan kata lain konflik adalah gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
Ketiga, setiap unsur di dalam suatu masyrakat memberikan sumbangan bagi
terjadinya diseintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
Keempat, setiap masyarakat terintegrasi diatas penguasaan atau dominasi oleh
sejumlah orang atas sejumlah orang lain.
c. Model-Model Penyelesaian Sengketa pada Masyarakat
Sengketa adalah fenomena hukum yang bersifat universal yang dapat terjadi di mana saja
dan kapan saja, karena sangketa itu tidak terikat oleh ruang dan waktu sebagai fenomena
hukum setiap sengketa memerlukan tindakan penyelesaian dan tidak ada suatu sengketa
tanpa adanya penyelesaian ew3

Anda mungkin juga menyukai