Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu pengubahan komposisi solut darah
dan larutan lain (cairan dialisat) melalui membram semipermiabel
(membram dialisis). Saat ini terdapat beberapa defenisi hemodialisa.
Tetapi pada prinsifnya hemodialisa adalah suatu proses pemisahan atau
penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membram yang
semipermiabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
baik yang kronik mapun yang akut (Suhardjono, 2015).
Hemodialisa merupakan gabungan dari proses difusi dan
ultrafiltrasi, difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membram
semipermiabel berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul. Laju
difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini
adalah mekanisme utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea,
kreatinin, eloktrolit dan untuk penambahan serum bikarbonat (Suhardjono,
2015).
Ultrafiltrasi adalah aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang
terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik ataupun tekanan
osmotik. Air dengan zat terlrut dengan berat molekul kecil dapat dengan
mudah melalui membram semipermiabel, sedangkan zat terlarut dengan
molekul besar tidak dapat melalui membram semipermiabel (Suhardjono,
2015). Ultrafiltrasi terjadi sebagai akibat dari perbedaan tekanan positif
pada kompartemen darah dan tekanan negatif yang terbentuk dalam
kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa dialisat atau
transmembram prossure (TMP) (Suhardjono, 2015).
B. Indikasi Hemodialisa
Menurut Suhardjono, 2015 Hemodialisa dilkukan apabila keadaan
berikut :
1. Kelebihan (overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan
dan/atau hipertensi
2. Hiperkalemia yang refraktur restriksi diit dan terapi farmakologi
3. Asidosis metabolik yang refraktur terhadap pemberian terapi
bikarbonat
4. Hiperfosfatemia yang refraktur terhadap restriksi diit dan terapi
pengikat fosfat.
5. Anemia yang refraktur terhadap pemberian eritropoietin dan besi
6. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa
penyebab yang jelas.
7. Penurunan berat badan atau mal nutrisi, terutama apabila disertai gejala
mual, muntah atau adanya bukti lain gastroduodenitis.
8. Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah
adanya gangguan neoroogis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan
pisikiatri). Pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh
penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu
perdarahan.
C. Kontra Indikasi Hemodialisa
Kontraindikasi yang absolut untuk dilakukan hemodialisis adalah
apabila tidak didapatkan akses vaskular. Kontraindikasi relatif adalah
apabila ditemukan adanya kesulitan akses vaskular, fobia terhadap jarum,
gagal jantung, dan koagulopati (Suhardjono, 2015).
D. Prosedur Pelaksanaan Hemodialisa
1. Pra prosedur
Perawat mengevaluasi keseimbangan cairan sebelum dialisis
sehingga tindakan korektif dapat dilakukan pada permulaan prosedur.
Kemudian melakuakn pemeriksaan tekanan darah, nadi, asupan dan
haluaran, turgor kulit, gejala – gejala lain yang menganggu dan berat
badan. Kemudian juga mempersiapkan segala peralatan untuk siap
digunakan (telah selesai dilakukan priming dan sirkulasi). Perlu
diketahui berat badan kering pasien/berat badan idealyang digunakan
untuk menunjukkan saat berat badan dan volume cairan berada dalam
kisaran normal untuk seorang pasien yang tidak menunjukkan gejala
ketidakseimbangan cairan. Ini menjadi panduan untuk menentukan
ultrafiltrasi atau pembuangan/penggantian cairan. Gambaran tersebut
tidak mutlak sifatnya dan membutuhkan tinjauan ulang dan revisi
sering, khusunya pada pasien yang mendapatkan dialisis dan pasien
yang mengalami perubahan berat badan.
2. Prosedur
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan
memeriksa keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai
hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai melalui salah satu dari
beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter
hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau
16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua
lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna,
atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan
kebijakan institusi.

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh
pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser
diperuntukkan sebagai aliran “arterial”, keduanya untuk membedakan
darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai
dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial”
diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur
untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di
klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada
kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem
sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan
dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi
darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada
keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah.
Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah,
tergantung peralatan yang digunakan.

Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah


mengalir ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya
pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati
detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah
bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang
akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting
untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda
pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui
“venosa” atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan,
dialysis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang
aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah
pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun
program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan
menggunakan ulang dialiser.
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang
tindakan dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung
wajah dan sarung tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang
melakukan hemodialisis.
E. Prinsip Hemodialisa
Menurut Muttaqin (2011), prinsip hemodialisa sebagai berikut :

1. Akses Vaskuler : Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi


darah pasien. Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula
atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.

2. Membran semi permeable: Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual


dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah dan dialisat
sehingga dialysis dapat terjadi.

3. Difusi: Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang


menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi.
Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi
rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang
menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah
kehilangan zat yang dibutuhkan.

4. Konveksi: Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang


dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang
tercampur dalam cairan tersebut.

5. Ultrafiltrasi: Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali


sebagai ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat
beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada
membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat
cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh
tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir
balik ke fistula tekanan positip “mendorong” cairan menyeberangi
membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan
negative “menarik” cairan keluar darah.
a. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam
larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam
larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan
menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah
yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.

F. Perangkat Hemodialisa
1. Perangkat khusus
a. Mesin hemodialisa
b. Ginjal buatan (dializer) yaitu alat yang digunakan untuk
mengeluarkan sisa metabolisme atau zat toksin laindari dalam
tubuh. Didalamnya terdapat 2 ruangan atau kompartemen:
1) kompartemen darah
2) kompartemen dialisat.
2. Blood lines : selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke dializer dan
kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi :
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa
metablolisme.
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama
dialysis.
3. Alat-alat kesehatan
a. Tempat tidur fungsional
b. Timbangan BB
c. Pengukur TB
d. Stetoskop
e. Termometer
f. Peralatan KG
g. Set O2 lengkap
h. Suction set
i. Meja tindakan.
3. Obat-obatan dan cairan:
a. Obat-obatan hemodialisa : heparin, frotamin, lidocain untuk
anestesi.
b. Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
c. Dialisat
d. Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
e. Obat-obatan emergency.
G. Pelaksanaan Hemodialisa
a. Perawatan sebelum hemodialisa
a. Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
b. Kran air dibuka.
c. Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk
keluar atau saluran pembuangan.
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
e. Hidupkan mesin.
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
g. Matikan mesin hemodialisis.
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis.
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
b. Menyiapkan sirkulasi darah.
a. Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
b. Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi ‘inset’
(tanda merah) diatas dan posisi ‘outset’ (tanda biru) dibawah.
c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ‘inset’ dari
dialiser.
d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung ‘outset’ adri dialiser
dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
e. Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
f. Hubungkan set infuse ke slang arteri.
g. Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang
lalu klem.
h. Memutarkan letak dialiser dengan posisi ‘inset’ dibawah dan
‘ouset’ diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara.
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
j. Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt,
kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
l. Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
m. Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk
mengalirkan udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan
dialiser bebas udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
n. Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak
500 cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada
gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
p. Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
q. Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru
15-20 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
r. Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’
diatas dan ‘outset’ dibawah.
s. Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-
10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
c. Persiapan pasien.
a. Menimbang BB
b. Mengatur posisi pasien.
c. Observasi KU
d. Observasi TTV
e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi,
biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti
dibawah ini:
1) Dengan interval A-V Shunt/fistula simino
2) Dengan eksternal A-V Shunt/schungula.
3) Tanpa 1-2 (vena pulmonalis).
H. Komplikasi yang terjadi
1. Menurut Suhardjono (2015) Komplikasi Akut Hemodialisa adalah:
a. Hipotensi
Merupakan kompliksi akut yang sering terjadi selama HD,
terutama pada pasien dengan diabetes. Sejumlah faktor resiko
terjadinya hipotensi adalah ultrafiltrasi dalam jumlah besar disertai
mekanisme kompensasi pengisian vaskular (vascular filling) yang
tidak adekut, gangguan respon vasoaktif atau otonom, osmolar
shift, pemberian anti hipertensi yang berlebihan, dan menurunnya
pompa jantung. Hipotensi saat HD dapat dicegah dengan
melakukan evaluasi berat badan kering dan modifikasi ultrafiltrasi,
sehingga diharapkan jumlah cairan yang dikeluarkan lebih banyak
pada awal dibandingkan di akhir dialisis. Cara lain yang dapat
dilakukan adalah ultrafiltrasi bertahap/sekuensial yang dilanjutkan
dengan dialisis, mendinginkan dialisat selama dialisis berlansung,
dan menghindari makan berat selama dialisis.
b. Kram otot
sering terjadi selama dialisis dan penyebabnya masih belum
jelas. Beberapa faktor pencetus yang dihubungkan dengan kejadian
kram otot ini adalah gangguan prfusi otot karena pengambilan
cairan yang agresif dan pengambilan dialisat rendah sodium.
Beberapa strategi yang dipakai untuk mencegah kran otot adalah
mengurangi jumlah volume cairan yang diambil selama dialisis,
melakukan profiling ultrafiltrasi, dan pemakain dialisat yang
mengandung kadar natrium tinggi atau modeling natrium.
c. Reaksi anafilaktoid terhadap dialiser.
terutama pada pemakain pertama, sering dilaporkan terjadi
pada membram bionkompatibel yang mengandung selulosa.
2. Menurut Suhardjono (2015) Komplikasi Jangka Panjang Hemodialisa
Adalah penyakit kardiovaskular menjadi penyebab utama
kematian pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) selain dari
infeksi. Penyebab dasar penyakit kardiovaskular berkaitan dengan
faktor risiko seperti diabetes melitus, inflamasi kronik, perubahan
besar pada volume ekstraseluler (terutama pada penambahan berat
badan interdialitik yang besar), tatalaksana hipertensi yang tidak
adekuat, dislipedimia, anemia, klasifikasi vaskular,
hiperhomosisteinemia, dan mungkin juga diakibatkan oleh perubahan
hemodinamik kardiovaskular selama dialisis berlansung.
I. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Risiko ketidakseimbangan elektrolit
2. Kelebihan volume cairan b.d kelebihan asupan cairan
J. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Risiko Fluid Balance: Fluid monitoring:
ketidakseimbangan 1. Mempertahankan urine 1. Monitor TTV
elektrolit output sesuai dengan usia 2. Monitor intake & output cairan
dan BB, BJ urine normal, 3. Observasi respon pasien
HT normal 4. Kolaborasi dengan tim dokter
2. TTV normal (TD, N, RR,
S)
2 Kelebihan volume cairan Fluid balance: Fluid management:
b.d kelebihan asupan cairan 1. Edema perifer/ Terbebas 1. Monitor input dan output cairan
dari edem 2. Pasang kateter urin jika
2. Keseimbangan intake dan diperlukan
output dalam 24 jam. 3. Ajarkan keluarga untuk bisa
3. TTV dalam batas normal mencatat cairan yang masuk.
(TD : 120/80- 4. Kolaborasi dengan tim dokter
140/90mmHg, N :60- dalam pemberian terapi
100x/menit, RR : 18- farmakologi
22x/menit, S: 36-37°C
DAFTAR PUSTAKA

Suhardjono, 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI.Jakarta:
Internal Publishing

Judith, M. Wilkinson, 2012, Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan


Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC.

Brunner & Suddarth, 2012, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
volume 2, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai