1
Kata Pengantar
Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allat SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada kita sehingga sampai pada saat ini kita masih diberi
kesempatan dan keselamatan. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman yang penuh kejahiliahan ke
zaman yang penuh dengan cahaya iman dan islam dan semoga kita selalu mendapat syafaatnya
dihari akhir nanti.
Dengan ridha Allah SWT akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas Proposal Tesis
dengan judul “Analisis Pemanfataan Teknologi, Sosialisasi Pajak, Pengetahuan Pajak dan
Ketepatan Penyampaian SPT Terhadap Kenaikan Pendapatan Pajak” dengan baik. Saya
menyadari dan mengakui bahwa dalam mengemban tugas ini saya masih banyak melakukan
kesalahan dan kekurangan yang sengaja maupun yang tidak disengaja. Tapi saya berusaha
semaksimal mungkin untuk memberikan dan menjadikan tugas ini sebaik mungkin dan dapat
digunakan kembali untuk kelanjutan penulisan Tesis Bab IV & V. Demikian pengantar dari saya,
atas perhatian dan kerjasamanya, saya ucapkan terimakasih.
Penyusun
i
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB II PEMBAHASAN 3
II.1 Dasar Perpajakan 3
II.2 Subjek Pajak Luar Negeri 5
II.3 Penghindaran Pajak Berganda Secara Unilateral 6
II.4 Tax Treaty atau Persetujuan Pajak Berganda 7
II.5 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Dalam UU PPh 11
II.6 Transfer Pricing 16
II.7 Kasus Pajak Internasional Wajib Pajak Orang Pribadi 20
II.8 Kasus Pajak Internasional Wajib Pajak Orang Badan 26
II.9 Pembahasan Terhadap Berbagai Contoh Kasus Pajak Internasional 32
Daftar Pustaka 37
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Bagi otoritas perpajakan, dampak pandemi global ini sangat nyata. Terkontraksinya
perekonomian sebagai basis pemajakan (tax base) serta terbatasnya kegiatan operasional akibat
penerapan pembatasan sosial merupakan tantangan utama yang harus dihadapi. Di sisi lain,
peranan penerimaan pajak menjadi semakin penting dalam mendukung kebijakan fiskal
1
countercyclical, di samping sebagai administrator pemberian insentif perpajakan dalam rangka
menjaga stabilitas ekonomi dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Bila kita ingat kembali, outlook perpajakan pada awal tahun 2020 sesungguhnya cukup
optimistis. Setelah mengalami perlambatan pada tahun 2019 akibat bayang-bayang perang
dagang, konflik geopolitik, serta pelemahan perdagangan internasional, perekonomian global
saat itu Bila kita ingat kembali, outlook perpajakan pada awal tahun 2020 sesungguhnya cukup
optimistis. Setelah mengalami perlambatan pada tahun 2019 akibat bayang-bayang perang
dagang, konflik geopolitik, serta pelemahan perdagangan internasional, perekonomian global
saat itu diperkirakan akan membaik, dengan proyeksi pertumbuhan tahun 2020 di level 3,4%.
Ekonomi Indonesia sendiri ditargetkan mampu tumbuh 5,3% dalam asumsi dasar makroekonomi
APBN 2020. Berkaca pada kinerja penerimaan pajak sampai dengan triwulan pertama (Q1)
2020, optimisme ini cukup beralasan. Kinerja PPN & PPnBM terus menunjukkan peningkatan,
tumbuh 2,47%. PPN Dalam Negeri sendiri tumbuh double digit 10,27%%. Beberapa jenis pajak
utama PPh Non-Migas seperti PPh Pasal 26 dan PPh Final juga menunjukkan kinerja
menggembirakan, masing-masing tumbuh 24,59 dan 9,75%, mengindikasikan perbaikan
konsumsi dan aktivitas ekonomi yang makin sehat. Kondisi ketenagakerjaan pun cukup solid,
terlihat dari kinerja PPh Pasal 21 yang stabil tumbuh 4,94%.
Namun, meminjam istilah Ibu Sri Mulyani, “COVID ini game changer”. Indonesia
mencatatkan kasus positif pertama pada tanggal 2 Maret 2020, sementara badan kesehatan dunia
WHO sendiri baru menyatakan Covid-19 sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020. Namun
efek pandemi tersebut segera terlihat. Penerimaan mulai menunjukkan perlambatan pada bulan
April, dan mencatatkan kontraksi yang cukup dalam pada bulan Mei, 38,19% terhadap Mei
2019. Setelah menempuh upaya-upaya penanggulangan Covid-19, kondisi berangsur-angsur
membaik. Indonesia memasuki fase new normal dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini
tercermin pada realisasi penerimaan pajak yang terus menunjukkan tren membaik, seiring
dengan mulai pulihnya (recovery) ekonomi –meski masih terbatas– sepanjang Q3 dan Q4 2020.
2
Grafik 1 – Penerimaan pajak tahun 2020, bulan-demi-bulan : penerimaan pajak
berangsur pulih seiring recovery ekonomi.
Sampai dengan akhir tahun 2020, penerimaan pajak yang tercatat masuk ke Kas Negara
adalah sebesar Rp1.069,98 triliun (lihat Tabel 1). Sebagaimana disampaikan di atas, dampak
pandemi Covid-19 serta pemberian insentif perpajakan memberikan tekanan yang cukup
signifikan terhadap penerimaan pajak. Bila dibandingkan penerimaan tahun lalu, penerimaan
pajak terkontraksi sebesar 19,71%. Pemanfaatan insentif perpajakan sendiri berkontribusi
sebesar 22,1% terhadap penurunan penerimaan ini. Mengingat kondisi yang extraordinary,
capaian ini dirasa cukup positif, dengan realisasi sebesar 89,25% dari target tahun 2020 sebesar
3
Rp1.198,82 triliun. Bahkan, capaian realisasi ini lebih tinggi dibandingkan capaian realisasi
tahun 2019, yakni 84,48% dari target.
Penerimaan pada dua kelompok pajak mampu melampaui target yang ditetapkan, yakni
PPh Migas (realisasi 104,14%) dan PBB Sektor P3 (realisasi 155,88%). Membaiknya kinerja
PPh Migas tidak lepas dari kembali membaiknya harga minyak dunia pada Q3 dan Q4 2020,
setelah sempat mengalami tekanan yang cukup dalam pada bulan April. Bahkan harga minyak
West Texas Intermediate crude (WTI) sempat mencatatkan harga minyak negatif pertama
kalinya dalam sejarah. Demikian pula PBB Sektor P3 yang kinerjanya ditopang oleh jenis pajak
PBB Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagai kontributor utama.
Untuk jenis-jenis pajak utama, capaian yang menggembirakan kembali dicatatkan PPh
Orang Pribadi. Realisasi penerimaan PPh Orang Pribadi mampu melebihi target, dengan capaian
sebesar 112,92% (lihat Tabel 2). PPh Orang Pribadi merupakan satu-satunya jenis pajak utama
yang masih mampu tumbuh positif 3,22% di tengah pandemi. Hal ini tidak lepas dari resiliensi
usaha dan tetap terjaganya tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak
Orang Pribadi. Selain PPh Orang Pribadi, penerimaan dua jenis pajak lain melampaui target,
yakni PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26. Kinerja PPh Pasal 21 sepanjang tahun 2020 cukup solid,
4
dengan tingkat kontraksi yang cukup moderat sebesar -5,20% dan realisasi mencapai 104,59%
dari target, terutama mengingat adanya fasilitas insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah.
Kontraksi terutama diakibatkan terganggunya pasar tenaga kerja akibat pandemi Covid-
19. Ini juga tercermin dari meningkatnya jenis setoran PPh Pasal 21 atas pesangon, pensiun, dan
tunjangan/ jaminan hari tua, mengindikasikan peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Namun kenaikan tersebut terbatas pada bulan Juni, Juli dan Agustus, dan selanjutnya pada Q4
2020 telah kembali menunjukkan normalisasi (lihat Grafik 2). Sedangkan PPh Pasal 26
terkontraksi tipis 2,87 persen (yoy), dengan realisasi mencapai 107,37 persen. Kinerja ini
menunjukkan masih stabilnya tingkat transaksi dengan mitra dagang luar negeri (gaji, bunga,
dividen, royalti dan sejenisnya), selain juga didorong oleh peningkatan pembayaran ketetapan
pajak (SKP).
Penerimaan PPh Final relatif cukup baik, dengan realisasi mencapai 98,01%. Kontraksi
masih relatif terjaga di level 10,80%, yang utamanya diakibatkan rendahnya tingkat suku bunga.
BI 7-day reverse repo rate saat ini berada pada level 3,75%, level terendah dalam empat tahun
5
terakhir. Selain itu, pemberian insentif PPh Final Ditanggung Pemerintah untuk Wajib Pajak
UMKM juga turut berpengaruh. Capaian penerimaan cukup baik sebesar 90,53% juga dicatatkan
oleh jenis pajak PPN Dalam Negeri. Kontraksi masih terkendali di level 13,24%, yang terutama
dipicu peningkatan restitusi akibat pemanfaatan insentif restitusi dipercepat. Apabila restitusi
dikeluarkan dari perhitungan, kontraksi PPN Dalam Negeri secara bruto sebenarnya lebih
moderat, yakni di angka 6,75%. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan konsumsi dalam negeri
sesungguhnya relatif terkendali di tengah kondisi pembatasan sosial masyarakat. Namun
demikian, meskipun berdasarkan data secara umum tren penerimaan PPN Dalam Negeri
menunjukkan recovery, kondisi masih cukup volatil sehingga gangguan (shock) seperti
peningkatan jumlah kasus Covid-19 atau penerapan PSBB/ pengetatan pembatasan sosial dapat
memberikan tekanan yang cukup signifikan.
Di sisi lain, PPh Badan dan pajak atas impor terkontraksi cukup dalam. Terdapat
beberapa faktor yang mengakibatkan PPh Badan terkontraksi hingga 37,80%. Pertama,
melambatnya profitabilitas badan usaha pada tahun 2019, yang merupakan dasar perhitungan
pajak tahun 2020. Kedua, pemberian insentif perpajakan berupa potongan angsuran sebesar 30%,
yang selanjutnya ditingkatkan menjadi 50%. Ketiga, penurunan tarif PPh Badan dari 25%
menjadi 22% sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Sedangkan pajak atas impor terkontraksi 25,84%,
terutama pada jenis pajak PPh Pasal 22 Impor yang terkontraksi 49,51%. Tekanan ini
diakibatkan salah satunya karena pemanfaatan insentif perpajakan berupa pembebasan PPh Pasal
22 Impor oleh wajib pajak. Sebagai perbandingan, PPN Impor yang tidak menerapkan insentif
serupa (fasilitas pembebasan PPN Impor hanya diberikan untuk kebutuhan medis
penanggulangan Covid-19) mengalami kontraksi yang lebih rendah, 19,43%. Angka tersebut
kurang lebih in-line dengan data BPS yang menyebutkan nilai impor periode Januari–November
2020 turun 18,91% dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Disisi lain, kontraksi ini juga
disebabkan masih terganggunya rantai produksi dan distribusi global akibat pandemi Covid-19,
serta masih berlanjutnya perang dagang antarnegara ekonomi besar. Namun demikian, tren
kinerja ekspor-impor Indonesia, termasuk net export, terus menunjukkan recovery pada Q3 dan
Q4, dengan turning point terjadi pada bulan Juni 2020 (lihat grafik 3).
6
Grafik 3 – Ekspor-Impor terus membaik
7
Beralih ke perspektif sektoral, seluruh sektor-sektor utama mengalami kontraksi pada
tahun 2020 (lihat Grafik 4). Akan tetapi, seiring dengan aktivitas ekonomi yang mulai pulih,
penerimaan sektoral cenderung membaik pada Q4 pada sebagian besar sektor dominan
penerimaan pajak. Tekanan pada Sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan berasal dari
melambatnya impor dan tingkat konsumsi masyarakat. Sektor Jasa Keuangan tertekan oleh
penurunan tingkat suku bunga, peningkatan Non-performing Loan (NPL), serta perlambatan
serapan kredit yang berakibat pada penurunan profitablitas. Cenderung terbatasnya kegiatan
konstruksi dan penjualan properti menjadi sumber tekanan utama sektor Konstruksi & Real Estat
pada tahun 2020. Sementara itu, sedikitnya penggunaan sarana transportasi akibat pembatasan
sosial, dan perlambatan pembangunan sarana penunjang, masih menggerus penerimaan sektor
Transportasi & Pergudangan.
Usaha ke arah ini telah melalui milestone krusial, dimana pada hari Rabu tanggal 13
Januari Presiden Joko Widodo telah melakukan vaksinasi Covid-19 perdana di Istana Negara,
Jakarta. Kesuksesan kita sebagai bangsa dalam menanggulangi pandemi ini bergantung pada
dukungan dan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat dalam menyukseskan program
vaksinasi tersebut. Menutup tulisan ini, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan apresiasi dan
terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh wajib pajak atas kontribusinya selama tahun 2020.
Pajak yang anda bayarkan menjadi tulang punggung utama pembangunan bangsa, utamanya
dalam upaya kita bersama untuk melawan pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir.
8
1.2. Identifikasi Masalah
Sampai dengan akhir tahun 2020, penerimaan pajak yang tercatat masuk ke Kas Negara
adalah sebesar Rp1.069,98 triliun Sebagaimana disampaikan di atas, dampak pandemi Covid-19
serta pemberian insentif perpajakan memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap
penerimaan pajak. Bila dibandingkan penerimaan tahun lalu, penerimaan pajak terkontraksi
sebesar 19,71%. Pemanfaatan insentif perpajakan sendiri berkontribusi sebesar 22,1% terhadap
penurunan penerimaan ini. Mengingat kondisi yang extraordinary, capaian ini dirasa cukup
positif, dengan realisasi sebesar 89,25% dari target tahun 2020 sebesar Rp1.198,82 triliun.
Bahkan, capaian realisasi ini lebih tinggi dibandingkan capaian realisasi tahun 2019, yakni
84,48% dari target.
Dari uraian diatas terdapat beberapa masalah yang teridentifikasi, antara lain:
1. Penerimaan pajak tahun 2020 mengalami penurunan sekitar 19,71% dari penerimaan
pajak tahun 2019.
2. Rasio kepatuhan tahun 2020 justru mengalami peningkatan. Jumlah Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan PPh yang diterima pada tahun 2020 sebanyak 14,76 juta SPT, atau 78%
dari jumlah Wajib Pajak yang wajib memasukkan SPT, naik dari 73% pada tahun 2019.
Tapi mengapa jumlah penerimaan pajak menurun?
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka batasan masalah pada penelitian ini
dibatasi pada pengaruh empat variabel yang digunakan yaitu Pemanfaatan Teknologi Informasi,
Sosialisasi Pajak, Pengetahuan Pajak dan Ketepatan Penyampaian SPT. Penelitian ini lebih
memfokuskan pada tingkat kenaikan pendapatan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Medan Timur.
9
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarakan identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Berdasarakan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
10
1.6. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, yaitu:
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Sedangkan menurut Prof. Dr. Rocmat Soemitro, S.H., “pajak adalah iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur – unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara, iuran
tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang – undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan
undang-undang serta aturan pelaksanaanya.
12
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah.
4. Digunakan nuntuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran– pengeluaran
yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Bagi negara, pajak adalah suatu sumber penerimaan penting yang akan digunakan
untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembanguna. Bagi segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor
privat perusahaan ke sektor publik (Erly Suandy, 2009). Penghasilan negara adalah berasal
dari rakyatnya melalui pungutan pajak, dan atau dari hasil kekayaan alam yang ada didalam
negara itu (natural resource). Dua sumber itu merupakan sumber terpenting yang
memberikan penghasilan kepada negara. Penghasilan tersebut untuk membiayai kepentingan
umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan rakyat,
pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Pungutan pajak merupakan penghasilan
masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui pengeluaran-
pengeluaran rutin dan pengeluaran-pengeluaran pembangunan, yang akhirnya digunakan
untuk kepentingan seluruh masyarakat baik yang membayar pajak maupun tidak.
Sedangkan, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan , meliputi pembayaran pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.
Negara mempunyai fungsi dan peranan yang penting dalam mengatur perpajakan
sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam rangka membiayai pembangunan dan
pengeluaran pemerintah. Fungsi pajak seperti dikemukakan Wirawan Bs. Ilyas dan Richard
Burton dalam buku Hukum Pajak tahun 2008, yaitu:
13
Fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-
undang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara.
Ciri- ciri pengertian pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi yaitu Menurut
Waluyo (2011:3):
14
5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi pablik
(public investment).
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak
kepada Negara untuk memungut pajak. Terdapat lima teori yang mendukung pemungutan
pajak (Mardiasmo, 2016:5):
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh
karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi
karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap
negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar
sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat
digunakan 2 pendekatan yaitu :
a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki
seseorang.
b. Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa
pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
15
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut
pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga
negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan.
1. Menurut Golongan
a. Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh
wajib pajak dan tidak dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain.
Pajak harus menjadi beban wajib pajak yang bersangkutan. Contohnya: pajak
penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh pihakpihak tertentu yang
meperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika
terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya
pajak, misalnya terjadi penyerahan barang dan jasa. 26 Contoh: pajak pertambahan
nilai (PPN). PPN terjadi karena terdapat pertambahn nilai terhadap barang dan jasa.
Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi dapat
dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit.
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaanya memperhatikan pada keadaan
pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya.
Contoh: pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memperhatikan keadaan pribadi
wajib pajak (status perkawinan, banyaknya anak, dan tanggungan lainya).
16
b. Pajak Obyektif
Pajak objektif adalah pajak yang pengenaanya memperhatikan pada objeknya
baik pada berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan
timbulnya kewajiban membayar pajak tanpa memperhatikan keadaan subjek pajak
maupun tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
Serta Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB).
3. Menurut Lembaga Pemungut
a. Pajak Negara
Pajak negara (pajak pusat) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM, PBB, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
b. Pajak Daerah
Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat I (pajak
provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah masing-masing.
Contoh: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air, bea balik nama
kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pemanfaatan air
bawah tanah dan air permukaan, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak penerangan jalan dan pajak parker
Penerimaan negara yang berasal dari sektor perpajakan sangat penting bagi
pencapaian tujuan negara. Fungsi pajak antara lain (Suandy, 2009):
1. Fungsi budgetair (penerimaan), disebut juga fungsi utama pajak atau fungsi fiskal (fiscal
function), yaitu pajak digunakan untuk memasukan dana secara optimal kas negara
berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi regularend (mengatur), disebut juga fungsi tambahan yaitu pajak dipergunakan
oleh pemerintah sebagai alat kebijakan mencapai tujuan tertentu.
17
3. Fungsi redistribusi pendapatan berarti pajak digunakan sebagai alat untuk mengalihkan
kekayaan dari sebagian masyarakat ke golongan masyarakat lain yang berpenghasilan
rendah.
4. Fungsi demokrasi berarti pajak merupakan salah satu perwujudan dari sistem
kekeluargaan dan kegotongroyongan rakyat yang sadar akan baktinya kepada Negara.
Agar pemungutan pajak negara maupun pajak daerah tidak menimbulkan hambatan
atau perlawanan maka pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (Mardiasmo,
2016:4):
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni
mencapai keadilan, undang – undang maupun pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil
dalam perundang – undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata,
serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya
yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan
Pajak (Pengadilan Pajak).
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan UUD (Syarat Yuridis) Pemungutan pajak harus
mengacu pada hukum pajak yang berlaku sehingga dapat memberikan jaminan atau
kepastian hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik itu negara atau
untuk warga negaranya. Seperti yang diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang
menyatakan bahwa: “pengenaan pajak dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai)
untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan Undang-Undang”. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun
warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh
menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) Sesuai fungsi budgetair, biaya
pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
18
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Contoh:
a. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tariff menjadi 2 macam tarif.
b. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya1 tarif, yaitu 10%.
c. Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan yang berlaku bagi badan maupun
perseorangan.
19
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada
pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya.
Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat
diminta kembali.
20
Ciri – cirinya:
Wewenang untuk menentukan beasarnya pajak terutang berada pada
fiskus
Wajib Pajak bersifat pasif.
Utang Pajak Timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus
b. Self Assessment
System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan
wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Ciri – cirinya:
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada
Wajib Pajak sendiri.
Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
Fiskus tidak akan ikut campur dan hanya mengawasi.
c. Withholding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak.
Cirinya: wewenang memotong atau memungut pajak yang terutang berada
pada pihak ketiga, yaitu pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
21
2) Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: Besarnya tarif
Bea Materai untuk cek dan bilyet giro nilai nominal berapapun adalah Rp
3.000,00
3) Tarif Progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar. 34 Contoh: pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Tabel 2.1
Tarif Pajak Progresif
4) Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
Perkembangan era teknologi saat ini sangat berdampak pada pola hidup masyarakat
dunia tentang penggunaan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi khususnya
dalam administrasi pajak menyebabkan terjadinya berbagai macam perubahan seperti tugas
yang dilakukan manusia digantikan oleh tenaga mesin atau elektronik. Dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi, Direktorat Jenderal Pajak menyediakan fasilitas berbasis
elektronik guna meningkatkan pelayanan yang akan memudahkan Wajib Pajak dalam
melaksakan kewajiban perpajakannya, salah satunya dengan program e-System. Program
eSystem yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak diantaranya terdiri dari eregistration,
e-SPT, dan efiling. Program e-System ini sendiri diharapkan dapat mempermudah wajib
pajak dalam hal mendaftarkan, memperhitungkan, membayar maupun melaporkan karena
22
dalam aplikasi yang disediakan dibuat semudah mungkin untuk dipahami oleh Wajib Pajak.
Menurut beberapa peneliti sebelumnya dijelaskan sebagai berikut:
Wardiana (2002), “teknologi informasi adalah Suatu teknologi yang digunakan untuk
mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi
data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi
yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan
pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan”.
23
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa TI selain sebagai manfaat
pajak dan umum adalah sebagai berikut: pertama, TI sebagai sumber yakni TI dapat
dimanfaatkan untuk sumber informasi dan untuk mencari informasi yang akan dibutuhkan.
Kedua, TI sebagai media, sebagai alat bantu yang memfasilitasi penyampaian suatu
informasi agar dapat diterima dan dimengerti dengan mudah. Ketiga, TI sebagai pengembang
keterampilan pembelajaran, pengembangan keterampilan - keterampilan berbasis teknologi
informasi dengan aplikasi - aplikasi dalam kurikulum.
Sosialisasi perpajakan adalah salah satu upaya dari Direktorat Jenderal Pajak untuk
memberikan pengertian, informasi dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan
Wajib Pajak pada khususnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan
dan per undang–undangan perpajakan. Dengan adanya sosialisasi perpajakan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak diharapkan akan dapat terciptanya rasa kesadaran masyarakat
dan Wajib Pajak khususnya untuk membayar pajak guna kelangsungan Negara. Kegiatan
sosialisasi atau penyuluhan perpajakan dibagi ke dalam 3 (tiga) fokus, yaitu:
1) Kegiatan sosialisasi bagi calon Wajib Pajak
2) Kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak baru
3) Kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak terdaftar.
Adanya kegiatan pengenalan dan penyuluhan pajak lebih jauh kepada masyarakat
diharapkan dapat membantu sosialisasi pajak berjalan dengan sebagaimana semestinya.
Dalam surat edaran Dirjen Pajak No. SE – 98/PJ/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Kerja dan Laporan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa upaya untuk meningkatkan pemahaman dan
kesadaran masyarakat tentang hak kewajiban perpajakannya harus dilakukan karena
beberapa alasan, antara lain:
24
2. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak terdaftar masih memiliki ruang yang besar untuk
ditingkatkan.
3. Upaya untuk meningkatkan jumlah penerimaan pajak dan meningkatkan beasrnya tax
ratio.
4. Peraturan dan kebijakan di bidang perpajakan bersifat dinamis
Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan perpajakan dapat dilakukan dengan dua cara
sebagai berikut, Herryanto dan Toli (2013):
1) Sosialisasi Langsung
Sosialisasi langsung adalah kegiatan sosialisasi perpajakan dengan berinteraksi
langsung dengan Wajib Pajak. Bentuk sosialisasi langsung yang pernah diadakan antara
lain Early Tax Education, Tax Goes To School / Tax Goes To Campus yang diisi dengan
berbagai acara yang menarik mulaik dari debat pajak sampai dengan seminar pajak
dimana acara tersebut bertujuan guna menimbulkan pemahaman tentang pajak ke
mahasiswa yang dinilai sangat kritis, perlombaan perpajakan (Cerdas Cermat, Debat,
Pidato Perpajakann Artikel), 40 sarasehan / tax ghatering, kelas pajak / klinik pajak,
seminar / diskusi / ceramah, dan workshop / bimbingan teknis.
2) Sosialisasi Tidak Langsung
Sosialisasi tidak langsung adalah kegiatan sosialisasi perpajakan kepada
masyarakat dengan tidak atau sedikit melakukan interaksi dengan peserta. Contoh
kegiatan sosialisasi tidak langsung antara lain sosialisasi melalui radio / televisi,
penyebaran buku / booklet / leaflet perpajakan. Bentuk – bentuk sosialisasi tidak
25
langsung dapat dibedakan berdasarkan medianya, dengan media elektronik dapat berupa
talkshow TV, built – in program, dan talkshow radio. Sedangkan dengan media cetak
(Koran / majalah / tabloid / buku) dapat berupa suplemen, advertorial (booklet / leaflet
perpajakan), rubric Tanya jawab, penulisan artikel pajak, dan penerbitan majalah / buku /
alat peraga penyuluhan (termasuk komik pajak).
Pengetahuan memeiliki arti yang luas sehingga sulit untuk menentukan definisi yang
pasti. Menurut Widayati dan Nurlis (2010), “pengetahuan adalah hasil kerja fikir yang
mengubah tidak tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara”. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pengetahuan perpajakan merupakan pengetahuan wajib pajak tentang
peraturan perpajakan yang berlaku dan mengaplikasikan pengetahuan tentang peraturan yang
ada dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Menurut Khasanah (2014:22), “pengetahuan pajak adalah informasi pajak yang dapat
digunakan wajib pajak sebagai dasar untuk bertindak, mengambil 41 keputusan, dan
menempuh jarak atau strategi tertentu sehubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajibannya dibidang perpajakan”.
Menurut Nugraheni (2015:5), “bila setiap wajib pajak mempunyai pengetahuan dan
pemahaman yang memandai tentang peraturan perpajakan, maka dapat dipastikan wajib
pajak secara sadar akan patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik
dan benar sehingga mereka terhindar dari pengenaan sanksi perpajakan yang berlaku”.
“Dengan wajib pajak memahami pengetahuan perpajakan maka wajib pajak dapat
mengetahui kewajiban yang harus dilakukan dalam hal perpajakan”. (Zuhdi, et al. 2015).
Dari pernyataan di atas jika dikaitkan dengan kepatuhan wajib pajak maka kepatuhan
wajib pajak akan meningkat seiring dengan pengetahuan perpajakan yang dimiliki. Karena
dengan tingginya pengetahuan perpajakan yang dimiliki, wajib pajak akan mengetahui
kewajiban dan sanksi yang akan didapat jika tidak melaksanakan kewajibannya.
26
melekat dibenak seseorang. Atau dalam arti lain pengetahuan merupakan berbagai gejala
yang ditemukan dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal.
1) Bagi Wajib Pajak PPh Sebagai sarana wajib pajak untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang
dan untuk melaporkan tentang:
1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak 19.
2) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau objek pajak.
3) Harta dan kewajiban.
4) Pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa
Pajak.
2) Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan atau ekspor BKP
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Adapun fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah PPN dan
PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
27
2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3) Bagi Pemotong/Pemungut Pajak Sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkan.Pengelompokkan Surat Pemberitahuan (SPT)
a. Menurut Jenisnya
1. SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Yang dimaksud
dengan Masa Pajak adalah satu bulan takwim, misalnya masa Januari, Maret, dan
bulan-bulan takwim lainnya. Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender
atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling
lama 3 (tiga) bulan kalender. Dalam hal-hal tertentu, satu Surat Pemberitahuan
dapat digunakan untuk beberapa Masa Pajak.
2. SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak.
b. Menurut Wajib Pajak
1. SPT Wajib Pajak Orang Pribadi
2. SPT Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap ( BUT )
3. SPT Wajib Pajak Bendaharawan
c. Menurut Jenis Pajak
1. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi
2. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan
d. Menurut Kriteria Pajak
1. SPT Nihil
2. SPT Kurang Bayar
3. SPT Lebih Bayar
28
Beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian ini mengenai pemanfaatan
teknologi informasi, sosialisasi perpajakan, pengetahuan perpajakan dan ketepatan penyampaian
SPT terhadap kenaikan pendapatan pajak yang telah memberikan kontribusi bagi penelitian
selanjutnya terutama bagi penelitian ini. Dibawah ini terdapat penelitian terdahulu yang dapat
digunakan sebagai refrensi pada penelitian in, yaitu sebagai berikut:
29
Wonocolo dapat merealisasikan suatu dasar pengetahuan yang dapat memberikan
pemahaman kepada wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hasil uji t
menyatakan bahwa: Sosialisasi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib
pajak orang pribadi, dibuktikan dengan nilai thitung 2,329 > ttabel 1,985 dan memiliki
tingkat signifikan 0,022 < 0,05. Artinya H0 ditolak dan H1 diterima, hal ini bahwa
variabel sosialisasi perpajakan berpengaruh pada variabel kepatuhan wajib pajak orang
pribadi. Kesadaran wajib pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang
pribadi, dibuktikan dengan nilai thitung 6,732 > ttabel 1,985 dan memiliki tingkat
signifikan 0,000 < 0,05. Artinya H0 ditolak dan H2 diterima, hal ini bahwa variabel
kesadaran wajib pajak berpengaruh pada variabel kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
Sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi,
dibuktikan dengan nilai thitung 8,164 > ttabel 1,985 dan memiliki tingkat signifikan
0,000 < 0,05. Artinya H0 ditolak dan H3 diterima, hal ini bahwa variabel sanksi
perpajakan berpengaruh pada variabel kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
30
nilai signifikansi (2-tailed) ≤ 0,05 yaitu 0,000, sehingga menyatakan bahwa H0 ditolak
dan H1 diterima. Hasil ni memiliki arti bahwa perhitungan tarif pajak berpengaruh pada
kepatuhan pajak mahasiswa pelaku UMKM.
31
7. Muhammad Nur Rizki (2019)
Judul dalam penelitian terdahulu ini adalah “Pemanfaatan Teknologi Informasi,
Sosialisasi Perpajakan Dan Pengetahuan Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.”
Hasil penelitian menemukan bahwa pemanfaatan tekhnologi informasi, sosialisasi pajak
dan pengetahuan pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan Wajib
Pajak secara parsial. Hasil uji hipotesis menyatakan bahwa: Pemanfaatan Teknologi
Informasi hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat terlihat hasil variabel pemanfaatan
teknologi informasi (X1) memiliki nilai thitung sebesar 1.987 yang > dari t tabel 1,984
dengan nilai signifikansi 0.090 > 0,05 yang berarti nilai Signifikansinya lebih besar dari
0,05, maka hipotesis pertama diterima. Hal tersebut menyatakan bahwa pemanfaatan
teknologi informasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak
orang pribadi. Sosialisasi Perpajakan Hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat terlihat
hasil variabel sosialisasi perpajakan (X2) memiliki nilai thitung sebesar 1.991 yang > dari
t tabel 1,984 dengan dengan nilai signifikansi 0.52 > 0,05, maka hipotesis kedua diterima.
Hal tersebut menyatakan bahwa sosialisasi perpajakan berpengaruh positif dan sigifikan
terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi. Pengetahuan Perpajakan Hasil penelitian
yang telah dilakukan, dapat terlihat hasil Variabel pengetahuan perpajakan (X3) memiliki
nilai thitung sebesar 6.073 yang > dari t tabel 1,984 dengan nilai signifikansi 0,000 <
0,05, maka hipotesis ketiga diterima. Hal tersebut menyatakan bahwa pengetahuan
perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
32
Hasil uji hasil uji statistik t menunjukkan bahwa besarnya thitung untuk SPT sebagai
proksi dari variabel ketepatan pelaporan SPT sebesar 5,575. Hasil tersebut menunjukkan
thitung lebih besar dari ttabel (5,575 > 1,690) dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 <
0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel ketepatan pelaporan SPT secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap penerimaaPajak Pertambahan Nilai di KPP Pratama
Medan Belawan.
33
dengan hasil perhitungan dan data yg diperoleh bisa disimpulkan bahwasannya secara
parsial berpengaruh terhadap pendapatan pajak. Variabel kelima yaitu pembukuan
keuangan, yang mana sesuai dengan hasil perhitungan dan data yg diperoleh bisa
disimpulkan bahwasannya secara parsial berpengaruh terhadap pendapatan pajak.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Pajak Internasional atau lebih tepatnya Perpajakan Internasional adalah tata cara dan
hukum pemajakan yang terdiri atas kaidah-kaidah, baik kaidah perpajakan nasional maupun
34
kaidah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip yang telah diterima baik oleh
negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya
unsur-unsur asing, baik mengenai subjek maupun mengenai objeknya Pajak Berganda
merupakan permasalahan Perpajakan Internasional yang terjadi antar beberapa negara.
III.2 Saran
Diperlukan hubungan timbal balik antar negara, sehingga dalam pemungutan pajak dapat
dilakukan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada Wajib Pajak. System Whistle Blower sangat
efektif untuk diterapkan di Indonesia dengan imbalan yang sesuai dengan tingkat Permasalahan
perpajakan, sehingga memungkin memberi rasa takut atau terror kepada wajib pajak lain yang
melakukan penyalahgunaan perpajakan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
http://kangom.blogspot.com/
http://1man1a.wordpress.com/
http://vidyariashintawati.blogspot.com/
35
http://dudiwahyudi.com/
http://kompas.com/
http://bola.inilah.com/
http://sport.detik.com/
http://nasional.kontan.co.id/
http://cetak.kompas.com/
http://sport.detik.com/
http://bisniskeuangan.kompas.com/
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Artikel_Pajak_170513.pdf
http://www.aktual.co/
http://www.bbc.co.uk/indonesia/
http://jasaoffshore.blogspot.com/
http://taxationindonesia.blogspot.com/ http://jurnalakuntansikeuangan.com/
36