Anda di halaman 1dari 51

UJI BIOAKTIVITAS FRAKSI METANOL DAN ETIL ASETAT TUMBUHAN

PAKU SISIK NAGA (Drymoglossum piloselloides (L) pressl.) TERHADAP


BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Salmonella typhi

RIAN JUNI SUMITO


NIM H 141 11 026

SKRIPSI

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
UJI BIOAKTIVITAS FRAKSI METANOL DAN ETIL ASETAT TUMBUHAN
PAKU SISIK NAGA (Drymoglossum piloselloides (L) pressl.) TERHADAP
BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Salmonella typhi

RIAN JUNI SUMITO


NIM H 141 11 026

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sains
pada Jurusan Biologi

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


atas berkat ramat dan hidayahnya sehingga penulis dapat melaksanakan dan
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Bioaktivitas Fraksi Metanol dan Etil
Asetat Tumbuhan Paku Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides (L) Pressl.)
Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains (S.Si) pada
program studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa, semangat,
dukungan moril dan materil serta motivasi,
2. Dadan Kusnandar, Ph.D selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas, Tanjungpura Pontianak yang telah
menyetujui dan mengesahkan skripsi ini,
3. Riza Linda, S.Si., M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi sekaligus dosen
pembimbing kedua dan pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan, kritik, saran serta semangat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini,
4. Dra. Siti Khotimah, M.Si selaku pembimbing pertama yang telah
memberikan arahan, kritik, saran serta semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini,
5. Ari Hepi Yanti, S.Si, M.Sc selaku dosen penguji pertama yang telah
memberikan kritik, saran dan arahan yang diberikan kepada penulis,
6. Dr. Elvi Rusmiyanto PW, M.Si selaku dosen penguji kedua yang telah
memberikan kritik, saran dan arahan yang diberikan kepada penulis,
7. Dr. Ari Widiyantoro, M.Si selaku dosen pendamping dalam memberikan
semangat, kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini,
8. Dosen-dosen yang telah memberikan bantuan dan ilmu perkuliahan di
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura
Pontianak,
9. Sahabat-sahabatku Heriyati, Dino Riano, M. Gagit Syafriyansah, Suci
Maretni dan teman-teman seperjuangan Biologi angkatan 2011
(BITHOUVEN) yang telah memberikan kritik, saran dan semangat dalam
menyususn skripsi ini, serta
10. Teman-teman di HIMABIO FMIPA UNTAN, baik senior 2006-2010, serta
junior 2012-2016.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, kritik,
saran sangat penulis harapkan agar tulisan ini menjadi lebih baik. Akhir kata,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukan.

Pontianak, April 2016


Penulis,

Rian Juni Sumito


NIM. H14111026
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. ii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 2
1.3 Tujuan............................................................................................... 2
1.4 Manfaat............................................................................................. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 4


2.1 Tumbuhan Paku Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides)............. 4
2.2 Fraksinasi ......................................................................................... 5
2.3 Dinding Sel Bakteri Gram Positif dan Negatif................................. 6
2.4 Bakteri Staphylococcus aureus......................................................... 7
2.5 Bakteri Salmonella typhi................................................................... 8
2.6 Senyawa Antibakteri......................................................................... 10
2.7 Metabolit Sekunder........................................................................... 13

BAB III. METODE PENELITIAN............................................................ 15


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian........................................................... 15
3.2 Alat dan Bahan.................................................................................. 15
3.3 Rancangan Percobaan....................................................................... 15
3.4 Cara Kerja......................................................................................... 16
3.5 Analisis Data..................................................................................... 21

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................... 22


4.1 Hasil.................................................................................................. 22
4.2 Pembahasan...................................................................................... 24

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN......................................................... 28


5.1 Simpulan........................................................................................... 28
5.2 Saran................................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 29

LAMPIRAN............................................................................................... 34
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.3 Perbedaan Komposisi Dinding Sel Bakteri Gram Positif Dan Gram
Negatif.................................................................................................... 7

Tabel 3.1 Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Bakteri............................. 21

Tabel 4.1 Uji KLT pada Fraksi Metanol dan Fraksi Etil Asetat tumbuhan Sisik
Naga (D. piloselloides)......................................................................... 22

Tabel 4.2 Rerata Diameter Zona Hambat Fraksi Metanol Tumbuhan Paku Sisik
Naga Terhadap Bakteri S. aureus dan S. typhi....................................... 23
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Tumbuhan paku sisik naga pada habitus (kiri) & morfometri
(kanan)............................................................................................... 4

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus.......................................................... 8

Gambar 2.3 Bakteri Salmonella typhi................................................................... 9

Gambar 4.1 Grafik perbandingan ketiga pelarut dengan konsentrasi 0,3 g/mL... 23
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Dokumentasi.................................................................................. 34

Lampiran 2. Alur Kerja Pembuatan Fraksi Metanol Dan Etil Asetat Tumbuhan
Paku Sisik Naga............................................................................... 39

Lampiran 3. Analisis Data dengan ANOVA Satu Jalur...................................... 40

Lampiran 4. Data Respon Zona Hambat Fraksi Metanol Terhadap


Staphlococcus aureus pada Inkubasi Kedua (48 Jam)..................... 41
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia dengan
tingkat keragaman hayati yang sangat melimpah. Keragaman hayati yang ada di
Kalimantan dapat berpotensi untuk dijadikan sebagai tumbuhan obat, insektisida
alami, produksi makanan dan minyak serta produksi barang-barang lainnya. Salah
satu tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat adalah paku sisik naga
(Drymoglossum piloselloides (L) pressl.). Tumbuhan paku sisik naga
(D. piloselloides) merupakan salah satu tumbuhan dari Famili Polypodiaceae yang
dimanfaatkan oleh suku dayak di Kalimantan sebagai obat gondongan, TBC, sakit
kuning (Due, 2013), obat luka, radang tenggorokan (Meliki et al., 2013) dan sakit
gigi (Thamrin et al., 2007). Tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) bersifat
epifit yaitu tumbuhan yang tumbuh hanya menumpang pada tumbuhan lain tetapi
bukan sebagai parasit karena dapat diperbanyak dengan spora dan pemisahan akar.
Tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) mengandung senyawa metabolit
sekunder yang terdiri atas flavanoida, tanin, minyak atsiri, glikosida dan steroida
atau triterpenoida (Anjelisa & Dalimunthe, 2011).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan ekstrak
tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) menunjukkan adanya senyawa aktif
antioksidan (Malinda et al., 2013), antikanker, antimikroba (Somchit et al., 2011).
Tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) juga berpotensi untuk dijadikan
sebagai agen antibakteri terhadap bakteri patogen seperti bakteri
Staphylococcus aureus dan bakteri Salmonella enteritidis yang sering menginfeksi
kulit dan sistem pencernaan (Somchit et al., 2011).
Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menguji kandungan bahan
aktif yang ada pada tumbuhan tingkat rendah seperti lumut dan paku, diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh Fadhilla et al. (2012) tentang penggunaan lumut
hati (Marchantia paleacea) untuk menghambat bakteri S. aureus dan bakteri
S. typhi. Penelitian lain tentang penghambatan terhadap bakteri S. aureus adalah

1
2

dengan paku sarang semut (Myrmecodia tuberosa) (Efendi & Hertiani, 2013) dan
paku Adiantum lunulatum (Thomas, 2013) sedangkan penghambatan
terhadap.bakteri S. typhi adalah dengan tumbuhan paku gajah (Angiopteris evecta)
(Kinasih., 2013).
Fraksinasi merupakan metode yang sering digunakan dalam penelitian
antibakteri yaitu dengan cara pemisahan antara dua pelarut yang sifat
kepolarannya berbeda. Metode tersebut bertujuan untuk memisahkan golongan-
golongan senyawa aktif yang berperan sebagai antibakteri dari suatu tumbuhan
sehingga diperoleh senyawa murni. Penelitian mengenai fraksi tumbuhan paku
sisik naga pernah dilakukan oleh Rahmaningtyas et al. (2012) namun dalam
penelitian tersebut hanya fraksi etil aset yang diujikan terhadap bakteri S. aureus.
Oleh karena itu, penelitian tentang fraksi metanol dan etil asetat dari tumbuhan
paku sisik naga perlu dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai aktivitas
antibakteri khususnya terhadap bakteri S. aureus dan bakteri S. thypi.

1.2 Perumusan Masalah


Tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) dapat menghambat
pertumbuhan mikroba yang bersifat patogen. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Golongan senyawa metabolit sekunder apa saja yang terdapat dari fraksi
metanol dan etil asetat pada tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) ?
2. Berapa konsentrasi daya hambat optimum dari tiga konsentrasi fraksi metanol
dan etil asetat pada tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) terhadap
bakteri S. aureus dan bakteri S. typhi ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung
dari fraksi metanol dan etil asetat pada tumbuhan paku sisik naga
(D. piloselloides).
3

2. Untuk mengetahui konsentrasi daya hambat optimum dari tiga konsentrasi


fraksi metanol dan etil asetat pada tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides)
terhadap bakteri S. aureus dan bakteri S. typhi.

1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
kandungan senyawa aktif dan aktivitas antibakteri dari fraksi metanol dan etil
asetat tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) serta memberikan data awal
untuk penelitian yang aplikatif dan berguna bagi masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Paku Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides (L) pressl.)


Tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) dapat tumbuh liar
diperkarangan rumah, taman, ladang, hutan dan tempat-tempat lainnya pada
daerah yang cukup lembab. Paku sisik naga (D. piloselloides) tersebar diseluruh
Asia Tropik, Jawa dan Kalimantan. Paku sisik naga dapat tumbuh mulai dari
dataran rendah sampai ketinggian 1.000 m dpl. Paku sisik naga (D. piloselloides)
termasuk tumbuhan yang bersifat epifit. Berdasarkan Steenis (2005), epifit
merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh diatas tumbuhan lain tetapi bukan
sebagai tumbuhan parasit karena dapat membuat makanan sendiri sehingga
kelangsungan hidupnya tidak bergantung dari tumbuhan yang ditumpanginya.

Gambar 2.1 Tumbuhan paku sisik naga pada habitus (kiri) & morfometri (kanan)

Paku Sisik naga merupakan tumbuhan berhabitus terna dengan bentuk akar
rimpang yang panjang akarnya 5-22 cm dan akar melekat kuat pada dahan pohon.
Daun sisik naga berwarna hijau sampai hijau kecokelatan, berbentuk jorong
memanjang, bertangkai pendek dan permukaan daun yang tua tidak memiliki
rambut atau berambut jarang pada permukaan bawahnya. Daun fertil mengandung
spora, bertangkai pendek, oval memanjang dengan panjang 1-5 cm dan lebar 1-2
cm, sedangkan daun steril tidak mengandung spora, berbentuk bulat dengan
panjang 1-3 cm dan lebar 1-2 cm (Khastini & Vivin, 2013).

4
5

Klasifikasi dari sisik naga (D. piloselloides) adalah (Hassler, 2013) :


Kerajaan : Plantae
Divisi : Pteridophyta
Kelas : Pteridopsida
Bangsa : Polypodiales
Suku : Polypodiaceae
Marga : Drymoglossum
Jenis : Drymoglossum piloselloides (L) pressl
Berdasarkan analisis fitokimia oleh Cahyadi et al. (2014), diketahui bahwa
ekstrak daun sisik naga (D. piloselloides) mengandung metabolit sekunder seperti
triterpenoid, steroid dan polifenol. Metabolit sekunder yang dihasilkan daun sisik
naga (D. piloselloides) dapat menghambat pertumbuhan bakteri seperti
Staphylococcus aureus, Eschericia coli (Rahmaningtyas et al., 2012).
Shigella dysenteriae, Propionibacterium acnes (Khotimah et al., 2014),
Streptococcus pneumoniae, Bacillus subtilis, Salmonella enteritidis. Sedangkan
jamur seperti Candida albicans, Candida tropicalis, Trichophyton rubrum,
Trichophyton mentagrophytes dan Microsporum canis (Somchit et al., 2011).

2.2 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan suatu proses pemisahan komponen-komponen
senyawa kimia berdasarkan sifat kepolaran tergantung dari jenis senyawa yang
terkandung dalam tumbuhan. Pengetahuan mengenai sifat senyawa yang terdapat
dalam ekstrak sangat mempengaruhi hasil dari fraksinasi, oleh karena itu jika
digunakan air sebagai pengekstraksi maka senyawa yang terekstraksi akan bersifat
polar dan jika digunakan pelarut non polar misalnya n-heksan, maka senyawa yang
terekstraksi bersifat non polar (Harborne, 1987). Menurut
Adijuwana & Nur (1989) pembagian atau pemisahan ini didasarkan pada bobot
dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedangkan fraksi
yang lebih ringan akan berada diatas permukaan. Fraksinasi bertingkat biasanya
menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, metanol, diklorometan
atau campuran pelarut tersebut. Fraksinasi bertingkat umumnya diawali dengan
pelarut yang non polar kemudian dilanjutkan pada pelarut yang lebih polar dengan
tingkat polaritas pelarut yang ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut.
6

Pelarut metanol merupakan jenis pelarut yang bersifat polar sehingga pada proses
fraksi, senyawa yang terkandung pada tumbuhan hanya bersifat polar sedangkan
pelarut etil asetat yang bersifat semi polar memiliki cangkupan kecil sehingga
proses fraksi hanya dapat mengikat senyawa metabolit sekunder yang bersifat
polar atau non polar.
Metode yang sering dipakai dalam proses fraksinasi bertingkat yaitu
dengan menggunakan corong pisah dan kromatografi kolom. Corong
pisah merupakan alat yang digunakan dalam ekstraksi cair-cair untuk
memisahkan suatu komponen dalam suatu campuran antara dua fase pelarut
dengan densitas yang berbeda sedangkan kromatografi kolom adalah alat yang
digunakan untuk pemisahan komponen-komponen dalam campuran dari beberapa
senyawa yang diperoleh dari isolasi tumbuhan. Teknik ini banyak digunakan
dalam pemisahan senyawa-senyawa organik dan larutan yang sukar menguap
(Yazid, 2005).

2.3 Dinding Sel Bakteri Gram Positif dan Negatif


Komponen utama penyusun dinding sel bakteri gram positif adalah
peptidoglikan dan asam teikoat. Peptidoglikan yang terkandung pada bakteri gram
positif mencapai 50 % dari total dinding sel bakteri. Selain itu, asam teikoat juga
berfungsi untuk mengikat ion magnesium (Mg). Ion tersebut terkandung dalam
membran sitoplasma sehingga memberikan ketahanan sel terhadap suhu yang
tinggi (Waluyo, 2007). Dinding sel bakteri gram positif lebih permeabel terhadap
senyawa yang bersifat hidrofil dibandingkan sel bakteri gram negatif karena sel
bakteri gram positif memiliki dinding yang tersusun dari asam teikhik dan asam
teikhouronik berupa polimer yang larut dalam air (Jawetz et al., 2004). Dinding
sel bakteri gram positif seperti bakteri Staphylococcus aureus sebagian besar
terdiri atas beberapa lapisan peptidoglikan yang membentuk suatu struktur yang
tebal dan kaku. Kekakuan pada dinding sel bakteri disebabkan karena lapisan
peptidoglikan yang tebal membuat bakteri gram positif tahan terhadap kondisi lisis
osmotic (Jawetz et al., 1996).
7

Dinding sel bakteri gram negatif meliputi peptidoglikan dan selaput luar
yang mengandung tiga polimer yaitu lipoprotein, fosfolipida dan lipopolisakarida
(Pelczar et al.,1986). Protein (porin) yang terdapat pada bakteri gram negatif
menyebabkan dinding sel lapisan luar bersifat impermeabel (tidak dapat tembus)
terhadap molekul besar, namun dapat melewatkan molekul kecil seperti
oligosakarida, monosakarida dan asam amino (Waluyo, 2007). Bakteri gram
negatif seperti bakteri Salmonella thypi terdiri atas satu lapisan peptidoglikan pada
dinding selnya. Selain itu, dinding sel bakteri gram negatif juga tidak mempunyai
asam teikoat tetapi mengandung sejumlah polisakarida dan lebih rentan terhadap
kerusakan mekanik dan kimia. Perbedaan penyusun dinding sel antara bakteri
gram positif dan gram negatif dapat dilihat pada Tabel 2.3 dibawahi ini :

Tabel 2.3 Perbedaan komposisi dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif
Gram positif Gram negatif
Ketebalan 15-23 nm 10-15 nm
Asam teikoat Ada Tidak ada
Sifat tahan asam Ada yang tahan asam Tidak ada yang tahan asam
Sumber : (Gupte, 1990)

2.4 Bakteri Staphylococcus aureus


Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang
berukuran 0,8 – 1 µm, berbentuk bulat seperti buah anggur, bersifat fakultatif
anaerob, tidak membentuk spora dan tidak motil. Respirasi dilakukan secara
fermentasi dengan produksi asam laktat, mampu memproduksi zat ekstraseluler
(Gupte, 1990).
Menurut Holt et al., (1994), klasifikasi dari bakteri S. aureus adalah :
Divisi : Bacteria
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Entobacteriaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus

Bakteri S. aureus dapat hidup dilingkungan yang mempunyai pH ekstrim


yaitu pada kisaran 2-10, sehingga dapat dikatakan bahwa bakteri S. aureus dapat
8

bertahan pada pH tinggi baik pada kondisi asam, basa maupun netral. Selain itu
bakteri S. aureus tidak dapat tumbuh pada kisaran suhu tinggi. Bakteri S. aureus
hanya dapat tumbuh pada kisaran suhu 35-37 °C (Pelczar et al., 1986).

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus (Todar, 2008)

Menurut Pratiwi (2008), bakteri S. aureus merupakan bakteri yang


memiliki tingkat infeksi lebih tinggi diantara jenis yang lainnya dan memiliki
toksin yang tahan pada pemanasan 60°C selama 30 menit. Bakteri S. aureus
menghasilkan senyawa enterotoksin yang bersifat tahan terhadap aktivitas sintesis
oleh enzim-enzim pencernaan. Siagian (2002), menyatakan bahwa enterotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus dapat menyebabkan keracunan pada
manusia akibat mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi. Gejala yang
ditimbulkan dari mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri
S. aureus adalah pusing, muntah-muntah, kram otot, berkeringat, menggigil, detak
jantung lemah dan pembengkakan saluran pernapasan.
Bakteri S. aureus juga dapat menyebabkan infeksi seperti peradangan,
nekrosis, tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut dan pembentukan abses.
Penyakit ini biasa menyerang kulit yang mengalami luka dan dapat menyebar ke
orang lain yang juga mengalami luka (Usman, 1993). Berdasarkan penelitian
Efendi & Hertiani (2013), kandungan senyawa metabolit sekunder pada paku
sarang semut (Myrmecodia tuberosa) yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri S. aureus adalah senyawa fenolik.

2.5 Bakteri Salmonella typhi


Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri gram positif yang memiliki
ciri-ciri dengan bentuk seperti batang lurus dengan ukuran 2-5 µm, tidak memiliki
9

spora, umumnya bersifat motil dengan flagella peritrik dan bersifat anaerobik
fakultatif. Bakteri S. typhi dapat tumbuh pada suhu antara 15 - 41°C dengan suhu
optimal 37°C (Rostinawati, 2009).

Gambar 2.3 Bakteri Salmonella typhi (Todar, 2008)

Bakteri S. typhi merupakan mikroorganisme yang bersifat patogen pada


binatang dan manusia. Bakteri S. typhi menghasilkan dan mensekresikan protein
serta memiliki kemampuan hidup secara intraseluler didalam tubuih. Pertumbuhan
bakteri S. typhi cukup baik pada media yang mengandung garam empedu sehingga
bakteri tersebut tahan terhadap zat warna hijau, senyawa tertationat dan natrium
deoksikholat (Rostinawati, 2009). Berdasarkan uji biokimia terhadap bakteri
S. typhi didapatkan hasil berupa oksidase negatif, katalase positif, indole dan
voges-proskauer negatif, methyl red dan simmons citrate positif, lysine dan
dekarboksilasi ornithine positif dan terdapat variasi reaksi arginin dihidrolase
(Holt et al., 1994).
Klasifikasi dari Salmonella typhi adalah (D’aoust, 2001) :
Kerajaan : Bacteria
Divisi : Proteobacteria
Kelas : Camma Proteobacteria
Bangsa : Enterobacteriales
Suku : Enterobacteriaceae
Marga : Salmonella
Jenis : Salmonella typhi
10

Bakteri S. typhi bisa hidup pada bahan pangan mentah, seperti telur dan
daging. Penyakit yang diakibatkan oleh bakteri S. typhi dinamakan salmonellosis.
Bakteri S. typhi adalah penyebab utama dari penyakit yang ditularkan melalui
makanan (foodborne diseases). Pada umumnya, serotipe Salmonella
menyebabkan penyakit pada organ pencernaan. Orang yang mengalami
salmonellosis dapat menunjukkan beberapa gejala seperti diare, keram perut dan
demam dalam waktu 8 - 72 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi
oleh Salmonella. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan muntah -
muntah (Sorrels et al., 1970).
Bakteri S. typhi masuk melalui aliran darah dan berkembang biak dalam
kantung empedu. Infeksi dari bakteri S. typhi dapat menyebabkan kondisi
pertahanan tubuh menjadi menurun, hal ini berakibat fatal kepada balita, ibu hamil
dan janin serta lansia. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri S. typhi dapat
menyebabkan penyakit tifus yang merupakan penyakit menular dan akut yang
sering terjadi dimasyarakat dan pada umumnya gejala penyakit ini kurang lebih
selama 10 – 14 hari. Gejala dini yang terjadi pada penderita penyakit tifus adalah
demam, perut kembung, susah buang air besar, pusing, lesu, ruam, tidak
bersemangat, nafsu makan hilang, mual dan muntah (Pelczar et al., 1986).
Berdasarkan penelitian Kinasih (2013), kandungan senyawa metabolit sekunder
pada tumbuhan paku gajah (Angiopteris evecta) yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri S. typhi adalah flavonoid, tanin dan triterpenoid.

2.6 Senyawa Antibakteri


Antibakteri merupakan suatu senyawa yang bermanfaat untuk membunuh
bakteri, khususnya bakteri yang bersifat patogen bagi manusia. Penggunaan
senyawa antibakteri dalam konsentrasi kecil dapat menghambat bahkan dapat
membunuh bakteri (Ganiswana, 1995). Antibakteri dibagi menjadi dua kelompok
berdasarkan daya kerja terhadap bakteri yaitu antibakteri bersifat bakteriostatik
dan bakteriosida. Antibakteri bersifat bakteriostatik adalah antibakteri yang
aktivitasnya hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri saja namun tidak
dapat mematikan bakteri sedangkan antibakteri bersifat bakteriosida adalah
11

antibakteri yang aktivitasnya dapat membunuh bakteri, sehingga antibakteri yang


bersifat bakteriosida lebih efektif dibandingkan pada antibakteri yang bersifat
bakteriostatik (Gupte, 1990).
Antibakteri dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan mekanisme
kerjanya pada sel bakteri yaitu (Setiabudy & Gan, 2001) :
a. Antibakteri yang mengganggu aktivitas metabolit sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid,
trimetropin, asam ρ-aminisalisat (PAS) dan sulfon. Antibakteri tersebut
mempunyai aktivitas yang bersifat bakteriostatik. Bakteri membutuhkan asam
folat yang disintesis oleh asam amino benzoat untuk kebutuhan hidupnya
.Kelompok antibakteri seperti sulfonamid dapat membentuk asam folat sehingga
menyebabkan asam folat yang dihasilkan oleh bakteri akan menjadi
nonfungsional. Efek yang dihasilkan dari sulfonamid ini mengakibatkan
kehidupan bakteri akan terganggu.
b. Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel bakteri
Antibakteri yang termasuk kelompok ini adalah streptomisin, eretrimisin,
linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Antibakteri tersebut mempunyai
aktivitas yang bersifat bakteriostatik. Kelompok antibakteri ini mampu
menghambat sintesis protein dan menyebabkan kesalahan dalam pembacaan kode
pada mRNA sehingga protein tidak terbentuk dan sel bakteri akan mati.
c. Antibakteri yang mengganggu permeabilitas sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini seperti polimiksin,
golongan polien dan berbagai antibakteri kemoteraputik (antiseptik). Antibakteri
tersebut mempunyai aktivitas yang bersifat bakteriosida. Golongan antibakteri
polimiksin dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada
membran fosfolipid sel bakteri, sedangkan antiseptik dapat merusak permeabilitas
selektif membran sel bakteri.
d. Antibakteri yang menghambat dan merusak sintesis dinding sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin. Antibakteri tersebut
mempunyai aktivitas yang bersifat bakteriosida. Dinding sel bakteri berfungsi
12

sebagai pelindung membran sel dan sitoplasma dari tekanan mekanin dan non-
mekanik. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks
polimer mukopeptida (glikopeptida). Antibakteri seperti sikloserin dapat
menghambat reaksi dalam proses sintesis dinding sel yang akan terikat pada
reseptor sel berupa enzim transpeptidase, kemudian terjadi reaksi transpeptidase
sehingga sintesis peptidoglikan terhambat. Oleh karena, tekanan osmotik didalam
sel bakteri lebih tinggi dari pada diluar sel maka kerusakan dinding sel pada
bakteri akan terjadinya lisis.
e. Antibakteri yang menghambat sintesis dan merusak asam nukleat bakteri
Antibakteri yang termasuk kelompok ini adalah rifampisin dan golongan
kuinolon. Antibakteri tersebut mempunyai aktivitas yang bersifat bakteriosida.
Golongan antibakteri seperti rifampisin berikatan dengan enzim polimerase RNA
sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA sedangkan kuinolon menghambat
enzim DNA girase pada bakteri yang berfungsi menyusun kromosom yang
panjang menjadi bentuk spiral sehingga dapat menghambat sintesis DNA pada
bakteri.
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan 2 cara yaitu metode difusi
dan dilusi. Metode difusi merupakan metode standar yang ditetapkan oleh
National Committee of Clinical Laboratory Standards (NCCLS) tahun 1993 untuk
menentukkan adanya aktivitas antibakteri dari ekstrak kasar. Cara ini dikenal
dengan uji difusi kertas Kirby-bauer (Prescoot et al., 2005). Prinsip dari metode
difusi adalah penempatan kertas cakram yang berisi sejumlah senyawa antibakteri
pada permukaan media padat kemudian diinkubasi dan diamati zana hambat
disekitar kertas cakram. Zana hambat terbentuk menunjukkan tidak adanya
pertumbuhan bakteri (Tortora, 2001).
Metode dilusi merupakan metode yang dapat dijadikan alternatif untuk
menentukan konsentrasi hambat tumbuh minimum ekstrak tanaman. Metode
dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat
(solid dilution). Metode dilusi cair (broth dilution) mengukur MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum) dan MBC
(Minimum Bactericidal Concentration atau Kadar Bunuh Minimum, KBM).
13

Metode dilusi padat (solid dilution) serupa dengan metode dilusi cair namun
menggunakan metode padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen
antimikroba yang di uji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji
(Pratiwi, 2008). Prinsip dari metode dilusi adalah pengenceran antibakteri
sehingga diperoleh beberapa konsentrasi antibakteri yang ditambahkan suspensi
bakteri dalam media (Jawezt et al., 1996).

2.7 Metabolit Sekunder


Senyawa metabolit sekunder adalah senyawa yang dikeluarkan oleh
tumbuhan dan memiliki kemampuan bioaktivitas sebagai pelindung terhadap
hama patogen atau lingkungan ekstrim (Lenny, 2006). Kelompok-kelompok
senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai antibakteri adalah :
a. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen, biasanya
dalam bentuk cincin heterosiklik. Alkaloid dibedakan dari sebagian besar
komponen tumbuhan lain berdasarkan sifat basa (kationya). Senyawa metabolit
sekunder ini dijumpai pada tumbuh-tumbuhan dan diyakini memiliki efek fisiologi
yang kuat sebagai mekanisme pertahanan diri selain itu dapat juga digunakan
sebagai antimikroba (Robinson, 1995).
b. Flavonoid
Flavonoid tersebar luas pada tumbuhan dan berfungsi memproduksi
sebagian besar pigmen pada tumbuhan termasuk pigmen kuning dan biru pada
bunga. Senyawa ini juga berperan dalam pengatur tumbuh, pengaturan
fotosintesis, antimikroba dan sebagai antivirus. Efek flavonoid terhadap
organisme sangat beragam, salah satunya flavonoid dapat bekerja sebagai
inhibitor. Hal ini menjadikan dasar tumbuhan yang mengandung flavonoid sebagai
pengobatan tradisional (Robinson, 1995).
c. Steroid
Steroid merupakan senyawa metabolit sekunder yang dapat ditemukan
pada jaringan hewan maupun tumbuhan. Namun tahap awal biosintesis steroid,
14

baik hewan maupun tumbuhan berasal dari pengubahan asam asetat melalui asam
mevalon`at dan skualen menjadi lanosterol dan sikloartenol (Lenny, 2006).
Salah satu metode untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit
sekunder pada suatu tumbuhan adalah metode Kromatogafi Lapis Tipis (KLT).
Metode KLT merupakan metode pemisahan antar zat-zat yang terdistribusi antara
dua fase yaitu fase diam dan fase gerak, fase diam merupakan bahan yang berupa
lapisan tipis dengan bentuk padatan sedangkan fase gerak merupakan bahan
berupa cairan yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut dengan berdasarkan
polaritas masing-masing pelarut (Rohman, 2009). Proses dalam penentuan eluen
sangat tergantung pada pelarut yang digunakan. Jika eluen yang digunakan sudah
baik maka akan terjadi pemisahan senyawa dengan sempurna, makanya digunakan
tiga pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Tujuan dilakukannya analisis
KLT adalah untuk pemeriksaan kandungan kimia yang terkandung dalam fraksi
metanol dan etil asetat secara kualitatif sehingga memperoleh gambaran umum
mengenai golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan.
Kelebihan dari metode KLT ini adalah hasil pemisahan yang diperoleh lebih baik,
jumlah sampel yang digunakan sedikit dan waktu yang digunakan lebih cepat.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober 2015 hingga Desember
2015. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia, Jurusan Kimia,
Laboratorium Kimia Farmasi, Fakultas Kedokteran, Laboratorium Teknologi
Kayu, Fakultas Kehutanan dan Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tanjungpura,
Pontianak.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
autoklaf merek Omron, batang pengaduk, biosafety cabinet, blender merek
Myako, bunsen, cawan petri, chamber, corong pisah, cotton stick, desikator gel,
erlenmeyer merek Iwaki Pyrex, gelas beaker Iwaki Pyrex, gelas ukur Iwaki Pyrex,
hot plate merek Kika Laboratechnik, inkubator merek Memmert, jarum ose,
kamera merek Sony, lampu sinar UV 254 nm dan 366 nm, magnetic stirrer,
mikroskop merek Olympus, penggaris, pinset, pipet kapiler, pipet tetes, plastik
wayang, plat silica, rak tabung, spatula, tabung reaksi, timbangan analitik merek
Ohause Adventure, toples, dan vacum rotary evaporator merek Buchi Sibata
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70 %,
alumunium foil, akuades, biakan murni bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri
Salmonella typhi, diklorometan, etil asetat, kapas, kertas cakram whatman no.1,
kertas saring, larutan Dimetyl Sulfuxid (DMSO) 10%, larutan Mc Farland 0,5
standar, metanol teknis, media MHA (Mueller Hinton Agar), media NA (Nutrient
Agar), NaCl fisiologis, n-heksan, paku sisik naga (Drymoglossum piloselloides),
plat silika, ciprofloxacin 500 mg dan spirtus.

3.3 Rancangan Percobaan


Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan acak
lengkap (RAL). Perlakuan yang diuji adalah variasi antara konsentrasi fraksi

15
16

metanol dan fraksi etil asetat lalu pada masing-masing fraksi diujikan terhadap dua
jenis bakteri yang berbeda. Konsentrasi masing-masing fraksi metanol dan fraksi
etil asetat paku sisik naga yang digunakan yaitu 0,25 g/mL, 0,3 g/mL dan
0,35 g/mL (b/v), sedangkan untuk kontrol positif menggunakan antibiotik
Ciprofloxacin dan kontrol pelarut menggunakan larutan DMSO 10 %. Setiap
perlakuan diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 20 unit percobaan.

3.4 Cara Kerja


3.4.1 Sterilisasi Alat
Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri seperti tabung
reaksi dicuci dengan deterjen lalu dibilas dengan air hingga bersih dan
dikeringkan. Kemudian kertas saring berdiameter + 6 mm disimpan ke dalam
tabung reaksi. Alat-alat yang telah kering dan tabung reaksi berisi kertas saring
tersebut dibungkus dengan plastik wayang dan disterilisasi dengan autoklaf pada
suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.

3.4.2 Pembuatan Larutan


1. Larutan Kontrol Positif dan Negatif
Kontrol positif dibuat dari sediaan obat ciprofloxacin 500 mg yang digerus
sampai menjadi serbuk lalu ditimbang sebanyak 0,5 mg kemudian dilarutkan
dengan akuades sebanyak 100 ml sehingga didapatkan larutan ciprofloxacin
0,5 mg/100 mL sedangkan untuk kontrol negatif menggunakan larutan DMSO
10 % dengan cara melarutkan 10 mL DMSO murni dalam 100 ml akuades
sehingga didapatkan larutan DMSO 10 % kemudian disterilkan diautoklaf pada
suhu 121°C selama 15 menit.
2. Larutan NaCl Fisiologis
Sebanyak 0.9 g NaCl dilarutkan dalam 100 mL akuades, diaduk sampai
larut. Setelah itu, larutan NaCl fisologis dimasukkan kedalam tabung reaksi
sebanyak 10 ml dan disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama
15 menit (Rahmaningtyas et al., 2012).

16
17

3. Larutan Mc. Farland no 0,5 standar


Sebanyak 0,05 mL larutan BaCl2 dilarutkan kedalam akuades sebanyak
10 mL lalu ditambahkan larutan H2 SO4 1 % sebanyak 9,95 mL. Kemudian larutan
tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi lalu divortex sampai homogen dan
simpan didalam kulkas (Bonang & Koeswardono, 1982).

3.4.3 Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel paku sisik naga (D. pilosilloides) dilakukan di Desa
Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Sampel paku
sisik naga (D. pilosilloides) yang diambil adalah seluruh organ tubuh baik dari
daun hingga akar kemudian diambil sebanyak 8 kg. Setelah itu sampel paku sisik
naga (D. pilosilloides) dibawa ke laboratorium mikrobiologi untuk dilakukan
pembuatan simplisia.

3.4.4 Pembuatan Simplisia


Sampel paku sisik naga (D. pilosilloides) dibersihkan dari substrat-substrat
yang masih menempel dari akar paku sisik naga, kemudian dikeringkan dengan
cara dikering anginkan di udara pada tempat yang tidak terkena sinar matahari
secara langsung selama 1 bulan (Harborne, 1987). Pengeringan dilanjutkan
dengan menggunakan oven pada suhu 34℃ selama 1 minggu. Setelah kering
sampel paku sisik naga (D. pilosilloides) dihaluskan dengan menggunakan blender
sehingga sampel tersebut berbentuk serbuk, serbuk tersebut yang dikenal dengan
simplisia. Simplisia berupa serbuk ditimbang sebanyak 250 g lalu dimasukkan
dalam toples untuk dilakukan ekstraksi.

3.4.5 Ektraksi Simplisia paku Sisik Naga


Serbuk simplisia sebanyak 250 g dimaserasi dengan metanol yang sudah
didestilasi sebanyak 1,5 liter atau sampai sampel terendam, kemudian disimpan
pada suhu ruang dan terlindungi dari cahaya. Maserasi dilakukan selama 4x24
jam dan setiap 2x24 jam harus didiaduk dan diambil filtratnya dengan metode
penyaring. Hasil saringan kemudian diuapkan dengan vacum rotary evaporator
pada kecepatan 70-110 rpm pada suhu 40℃ - 45℃ (Kusumadewi et al., 2014).

17
18

Ekstrak kental hasil evaporation dimasukkan ke dalam wadah steril yang


dibungkus dengan alumunium foil kemudian disimpan dalam desikator gel.

3.4.6 Fraksi paku Sisik Naga


Fraksinasi paku sisik naga (D. pilosilloides) dilakukan berdasarkan sifat
kepolarannya dan dimulai dengan pelarut n-heksan kemudian pelarut etil asetat
dan pelarut diklorometan. Pelarut n-heksan berfungsi untuk memisahkan senyawa
yang bersifat non polar sedangkan pelarut etil asetat dan pelarut diklorometan
berfungsi sebagai bahan untuk pemisahan antara polar dengan semi polar
(Rahimah et al., 2013). Ekstrak tumbuhan paku sisik naga (D. pilosilloides)
dilarutkan dalam 150 mL metanol yang sebelumnya sudah didestilasi lalu
dimasukkan kedalam corong pisah dengan keran tertutup. Setelah itu sebanyak
100 mL n-heksan ditambahkan kedalam larutan ekstrak kemudian dikocok hingga
homogen, lalu corong pisah dibalik dan dibuka kerannya agar tekanan udara yang
terdapat dalam corong pisah keluar. Setelah itu didiamkan selama 1 menit hingga
terlihat lapisan yang terpisah antara n-heksan dan metanol, dimana fraksi metanol
berada di lapisan bawah dan fraksi n-heksan dilapisan atas. Selanjutnya fraksi
metanol dipisahkan dari fraksi n-heksan dengan membuka keran corong pisah
kemudian ditampung didalam gelas erlenmeyer. Proses diulang sebanyak dua kali
dengan pelarut yang sama. Setelah dua kali pengulangan fraksi n-heksan diuapkan
dengan vacum rotary evaporator dengan suhu 40℃ - 45℃ sehingga diperoleh
fraksi n-heksan kering (Asih et al., 2012).
Fraksinasi selanjutnya dengan pelarut diklorometan sebanyak 50 mL
ditambahkan dengan fraksi metanol sisa. Proses dilakukan sama seperti fraksi
n-heksan, kemudian dihasilkan fraksi diklorometan dan fraksi metanol lagi, fraksi
metanol dipisah dari fraksi diklorometan, lalu fraksi diklorometan diuapkan
dengan vacum rotary evaporator kemudian dihasilkam fraksi diklorometan
kering. Fraksinasi terakhir dengan pelarut etil asetat sebanyak 50 mL ditambahkan
dengan fraksi metanol sisa. Proses dilakukan sama dengan kedua pelarut
sebelumnya, sehingga dihasilkan fraksi metanol kering (Salni et al., 2011). Setelah

18
19

itu fraksi metanol dan fraksi etil asetat diambil untuk dilakukan pengujian KLT
dan aktivitas antibakteri.

3.4.7 Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Larutan sisa dari masing-masing fraksi metanol dan etil asetat kemudian di
ujikan dengan metode KLT. Sebelum melakukan uji KLT, terlebih dahulu plat
silika dipotong dengan ukuran 1x5 cm. Setelah itu dibuat garis dengan pensil
untuk mempermudah penotolan. Jarak antara garis dengan tepi bawah plat adalah
1 cm dan 0,5 cm dari tepi atas plat. Larutan uji yang sudah dilarutkan dengan
pelarut metanol dan etil asetat kemudian ditotolkan dengan menggunakan pipet
kapiler diatas permukaan plat silika lalu masukkan kedalam chamber yang
sebelumnya sudah diisi dengan eluen metanol : etil asetat secara bertingkat supaya
terjadi pemisahan, kemudian plat silika diletakkan dengan posisi miring secara
vertical dan dibiarkan hingga larutan tersebut naik sampai batas garis. Sehingga
plat silika yang sudah sampai batas diambil dengan pinset lalu dikeringkan selama
1 menit, kemudian plat silika tersebut diamati pada cahaya tampak UV dengan
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.

3.4.8 Pembuatan Kultur Murni Bakteri


Media NA dilarutkan dengan akuades dan dipanaskan menggunakan hot
plate dengan suhu 150°C dan mot 6 hingga larut. Setelah itu, media NA
dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 9 mL dan disterilkan dengan
autoklaf pada suhu 121 °C, tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah steril, tabung
dimiringkan dan didiamkan sampai media memadat (Waluyo, 2007). Kultur murni
bakteri S. aureus dan bakteri S. typhi diinokulasi sebanyak satu ose pada medium
agar miring NA dalam tabung reaksi dengan cara digoreskan secara aseptik,
kemudian di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.

3.4.9 Pembuatan Suspensi Bakteri


Bakteri uji S. aureus dan bakteri S. typhi dibiakkan pada media miring NA
steril pada suhu 37°C selama 24 jam, koloni yang terbentuk diambil dengan jarum

19
20

ose dan disuspensikan dengan cara dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi
9 mL larutan NaCl fisiologis steril (Rahmaningtyas et al., 2012). Suspensi yang
terbentuk disetarakan dengan standar Mc. Farland 0,5 yaitu sebanding dengan
1,5 x 108 sel bakteri/mL.

3.4.10 Pembuatan Larutan Sampel


Larutan fraksi metanol dan fraksi etil asetat paku sisik naga
(D. pilosilloides) dibuat berdasarkan hasil uji pendahuluan yang menunjukkan
bahwa pada konsentrasi 0,3 g/mL ekstrak metanol paku sisik naga menunjukkan
adanya daya hambat pertumbuhan terhadap bakteri S. aureus sebesar 14 mm
dengan respon kuat dan bakteri S. typhi sebesar 8,3 mm dengan respon sedang
sehingga dalam penelitian ini dibuat perbandingan dengan masing-masing tiga
konsentrasi yaitu 0,25 g/mL, 0,3 g/mL dan 0,35 g/mL (b/v). Konsentrasi tersebut
dibuat dengan cara menimbang fraksi metanol dan etil asetat yang masing-masing
ditimbang sebanyak 0,25 g ; 0,3 g dan 0,35 g kemudian dilarutkan dalam 1 mL
DMSO 10 %.

3.4.11 Pembuatan Medium MHA (Mueller Hinton Agar)


Media MHA dibuat dengan cara melarutkan 38 g media MHA dilarutkan
dalam akuades sampai volume 1 liter (Becton et al., 2006), kemudian dipanaskan
dan diaduk sampai larut. Selanjutnya larutan tersebut dimasukkan kedalam
erlenmeyer yang kemudian dimasukkan kedalam autoklaf selama 15 menit pada
suhu 121°C untuk disterilisasi. Media MHA kemudian dimasukkan kedalam
cawan petri masing-masing sebanyak 20 mL dan dibiarkan memadat pada suhu
kamar.

3.4.11 Uji Aktivitas Antibakteri


Pengujian daya hambat fraksi metanol dan fraksi etil asetat paku sisik naga
terhadap bakteri S. aureus dan S. typhi dengan metode difusi (kirby-bauer) yang
menggunakan kertas cakram berukuran 6 mm. Biakan bakteri S.aureus dan bakteri
S. typhi yang berumur 18 - 20 jam kemudian diapus merata dengan menggunakan
cotton stick pada permukaan medium MHA dibiarkan selama 5 menit. Setelah itu

20
21

kertas cakram ukuran 6 mm direndam dengan fraksi metanol dan etil asetat paku
sisik naga dengan berbagai konsentrasi, kontrol positif antibiotik ciprofloxacin
dan kontrol negatif larutan DMSO 10 %, kemudian kertas cakram diletakkan pada
permukaan media MHA ditekan sedikit agar melekat. Jarak kertas saring antara
satu dengan yang lainnya sebesar 4 cm dan dari tepi media sebesar 2 cm.
Kemudian medium MHA diinkubasi selama 24 jam dan 48 jam dengan suhu 37°C.
Diukur diameter zona hambat yang terbentuk dengan menggunakan jangka sorong
(Roslizawaty et al., 2013). Pengukuran rata-rata diameter zona hambat dihitung
dengan rumus dibawah ini :
Diameter 1+Diameter 2+Diameter 3+Diameter4
Rata-rata diameter =
4
Diameter zona hambat pada waktu 24 jam dan 48 jam dikategorikan
tingkat responnya berdasarkan tabel klasifikasi menurut Davis & Stout (1971)
(Tabel 3.1) :
Tabel 3.1 Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Bakteri
Diameter Zona Hambat Respon Hambatan
≥ 20 mm Sangat Kuat
11-19 mm Kuat
5-10 mm Sedang
<5 mm Lemah

3.5 Analisis Data


Unit perlakuan dan data yang diperoleh melalui pengukuran diameter zona
hambat pada jam ke-24 dari tiap-tiap konsentrasi fraksi metanol dan fraksi etil
asetat paku sisik naga dianalisis dengan ANOVA satu jalur (Schefler, 1987).
Analisis data statistik dilakukan menggunakan program minitab versi 16. Apabila
diperoleh hasil yang menunjukkan beda nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey
dengan taraf signifikasi α = 0,05 (Zar,1999).

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Uji Kromatografi Lapis Tipis pada Fraksi Tumbuhan Paku Sisik Naga
(Drymoglossum piloselloides (L) pressl.)
Uji KLT dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang
terdapat pada tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides). Hasil uji KLT yang telah
dilakukan pada fraksi metanol dan etil asetat tumbuhan paku sisik naga
(D. piloselloides) memperlihatkan adanya noda / bercak pada plat silica. Hasil uji
KLT fraksi metanol dan etil asetat tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides)
mengandung senyawa metabolit sekunder berupa golongan flavonoid dan terpenoid
(Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Uji KLT pada Fraksi Metanol dan Fraksi Etil Asetat tumbuhan Sisik
Naga (D. piloselloides)
Jenis Sebelum Sesudah Senyawa
Pelarut Eluen di Sinar Sinar UV Metabolit
UV 254 nm 366 nm Sekunder
Biru Flavonoid
Fraksi Metanol : Etil asetat Coklat Kuning & &
Metanol (3 : 7) muda kehijauan Coklat Terpenoid
kehitaman (366 nm)
Biru Flavonoid
Fraksi Etil asetat : Metanol Hijau Hijau & &
Etil (3 : 7) muda Coklat Terpenoid
Asetat muda (366 nm)

4.1.2 Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi Tumbuhan Paku Sisik Naga


(D. Piloselloide)
Hasil penelitian pada fraksi metanol tumbuhan paku sisik naga hanya dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (Tabel 4.2) sedangkan
pada fraksi etil asetat tumbuhan paku sisik naga tidak dapat menghambat
pertumbuhan bakteri S. aureus dan Salmonella typhi. Hasil dari data analisis uji
ANOVA satu jalur fraksi metanol terhadap bakteri S. aureus adalah Ftabel < Fhitung

22
23

(F2,72 < F961,62) (p = 0,000 < 0,05) (Lampiran 3) sedangkan pengujian fraksi etil
asetat terhadap bakteri S. aureus dan bakteri S. typhi tidak dilakukan karena tidak
memiliki zona hambat. Hasil pengujian menyatakan bahwa fraksi metanol memiliki
aktivitas antibakteri lebih besar dibandingkan fraksi etil asetat. Pengukuran
diameter zona hambat menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara fraksi metanol
dan fraksi etil asetat tumbuhan paku sisik naga.

Tabel 4.2 Rerata Diameter Zona Hambat Fraksi Metanol Tumbuhan Paku Sisik
Naga Terhadap Bakteri S. aureus dan S. typhi
No Jenis Konsen- Rerata diameter zona hambat (mm)
Pelarut trasi S. aureus S. typhi
(g/mL) 24 jam 48 jam 24 jam 48 jam
c*
1 Fraksi 0,25 11,19 10,5 0 0
Metanol 0,30 11,68c 10,81 0 0
0,35 13,62b** 12,25 0 0
a
2 Ciproflo- 0,005 22,18 21,18 22,5 21,3
xasin mg/mL
3 DMSO 10 % 0d 0 0 0
Keteragan : angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata dengan taraf kepercayaan 95 % (uji tukey)
* : nilai terendah
** : nilai tertinggi

Hasil uji pendahuluan pada ekstrak tumbuhan paku sisik naga dengan
konsentrasi 0,3 g/mL sudah mempunyai zona hambat sebesar 14 mm terhadap
bakteri S. aureus dan 8,3 mm terhadap bakteri S. typhi. Hasil perbandingan antara
kedua fraksi dengan ekstrak tumbuhan paku sisik naga terdapat perbedaan zona
hambat terhadap kedua bakteri tersebut (Gambar 4.1) sehingga ekstrak metanol
memiliki aktivitas antibakteri lebih efektif dibandingkan dengan fraksi metanol
maupun fraksi etil asetat.
Diameter Zona Hambat

S. aureus S. typhi
20 14
11,68
8,3
10
0 0 0
0
Fraksi Metanol Fraksi Etil Asetat Ekstrak Metanol
Gambar 4.1 Grafik perbandingan ketiga pelarut dengan konsentrasi 0,3 g/mL
24

4.2 Pembahasan
Deteksi golongan senyawa pada uji KLT dapat dilakukan dengan cara
melihat lempeng pada plat KLT berwarna atau berpendar dibawah lampu sinar UV
(berfluorosensi). Hasil uji KLT fraksi metanol dan etil asetat didapatkan berupa
noda atau bercak yang berwarna pada plat silica (Tabel 4.1). Hasil Fraksi metanol
menggunakan eluen dengan perbandingan metanol dan etil asetat (3:7)
menunjukkan pola pada sinar UV 254 nm dan 366 nm. Profil noda sinar UV
254 nm terlihat noda berwarna kuning kehijauan sedangkan pada sinar UV 366 nm
profil noda berwarna biru dan coklat kehitaman (Lampiran 1).
Hasil uji KLT fraksi etil asetat dengan perbandingan eluen berupa etil asetat
dan metanol (3:7) menunjukkan profil noda sinar UV 254 nm terlihat noda
berwarna kuning kehijauan sedangkan sinar UV 366 nm profil noda berwarna biru
dan coklat muda (Lampiran 1). Menurut Rita et al., (2008) warna coklat yang
terbentuk pada sinar UV 366 nm termasuk golongan terpenoid dan berdasarkan
hasil penelitian Marliana et al., (2005) warna biru pada plat silica yang terpapar
sinar UV 366 nm menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid. Hasil uji KLT
fraksi metanol dan etil asetat didapatkan dua golongan senyawa yaitu flavonoid dan
terpenoid.
Saat proses pendeteksian dengan menggunakan sinar UV terlihat bercak
pada plat silica tampak berekor. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari jenis
pelarut yang digunakan sehingga terjadi pemisahan yang kurang sempurna
(Silverstein, 1987). Pada proses penotolan, fraksi metanol dan etil asetat harus
ditotolkan tepat pada garis tengah dengan Jarak 1 cm dari batas bawah. Hal ini
dibuat agar pelarut eluen tidak berinteraksi langsung dengan sampel. Apabila jarak
tepi bawah terlalu kecil maka sampel akan bersentuhan dengan eluen dan ada
sebagian molekul sampel akan terlarut dalam eluen. Hal ini menyebabkan hasil
pada kromatografi lapis tipis tidak valid (Fauziyah, 2012).
Hasil yang didapatkan bahwa fraksi metanol tumbuhan paku sisik naga
memiliki kandungan golongan senyawa flavonoid dan terpenoid. Kedua senyawa
tersebut menyebabkan terbentuknya diameter zona hambat terhadap bakteri
S. aureus. Menurut Harbone (1996) golongan tersebut memiliki aktivitas biologis
25

yang berbeda-beda pada masing-masing penggunaannya. Golongan flavonoid


merupakan golongan senyawa fenol yang berperan sebagai antibakteri dengan cara
membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu
integritas membran sel bakteri (Farida et al., 2010), menurut Rahayu (2000),
senyawa fenol dapat mendenaturasikan protein dan merusak dinding sel sehingga
dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus. Sedangkan golongan
senyawa terpenoid dapat menghambat pertumbuhan dengan mengganggu proses
terbentuknya membran sel sehingga membran sel tidak terbentuk dengan sempurna
(Ajizah, 2004).
Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik ciprofloxacin. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada kontrol positif memberikan zona hambat yang
sangat besar pada masing-masing bakteri. Ciprofloxacin merupakan salah satu
antibiotik golongan Fluorokuinon yang memiliki daya hambat antibakteri sangat
kuat terhadap bakteri gram negatif (S. typhi) dibandingkan dengan bakteri gram
positif (S. aureus) (Setiabudy & Gan, 2001). Hal tersebut didukung dari hasil
penelitian bahwa kontrol positif antibiotik ciprofloxacin memiliki daya hambat
lebih besar terhadap bakteri gram negatif dibandingkan dengan bakteri gram positif
(Tabel 4.2). Kesetaraan antara fraksi metanol dan fraksi etil asetat terhadap kedua
bakteri tersebut dengan antibiotik ciprofloxacin menunjukkan bahwa diameter zona
hambat pada fraksi tumbuhan paku sisik naga sangat berbeda nyata terhadap
diameter zona hambat dari antibiotik ciprofloxacin sehingga aktivitas antibiotik
terhadap bakteri lebih efektif dibandingkan dengan aktivitas antibakteri dari fraksi
tumbuhan paku sisik naga.
Pelarut DMSO 10 % merupakan pelarut yang digunakan sebagai kontrol
negatif, berdasarkan (Tabel 4.2) didapatkan bahwa pada kontrol negatif tidak
terbentuknya diameter zona hambat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelarut tidak
berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri, sehingga aktivitas antibakterinya benar-
benar murni dihasilkan dari fraksi metanol dan fraksi etil asetat paku sisik naga
tanpa pengaruh dari pelarutnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan zona hambat
antara bakteri S. aureus dengan bakteri S. typhi. Hal ini disebabkan komposisi
26

dinding sel pada kedua bakteri tersebut berbeda. Dinding sel bakteri pada bakteri
S. aureus hanya terdiri dari dua lapisan peptidoglikan yaitu lipopolisakarida dan
protein dengan kandungan lipid sebesar 1 - 4 % sedangkan pada bakteri S. typhi
memiliki tiga lapisan yaitu fosfolipid, protein dan lipopolisakarida dengan
kandungan lipid sebesar 11 - 22 % (Jawetz et al., 2004). Perbedaan kandungan lipid
pada kedua bakteri tersebut menyebabkan bakteri gram positif lebih mudah
dihambat oleh golongan senyawa flavonoid dibandingkan terhadap bakteri gram
negatif karena golongan senyawa flavonoid bersifat polar sehingga kandungan lipid
(non polar) yang rendah mudah untuk dihambat oleh senyawa flavonoid. Selain itu
bakteri gram positif memiliki membran plasma yang tunggal sehingga
memudahkan golongan senyawa terpenoid untuk menghambat atau mengganggu
proses pembentukan membran sel. Perbedaan lapisan komposisi dinding sel ini
menyebabkan bakteri S. typhi memiliki ketahanan lebih besar terhadap senyawa
antibakteri dibandingkan dengan bakteri S. aureus sehingga hasil penelitian fraksi
tumbuhan paku sisik naga tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
S. typhi.
Hasil pengujian fraksi etil asetat tumbuhan paku sisik naga (Gambar 4.1)
menunjukkan bahwa fraksi etil asetat tidak mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap bakteri S. aureus maupun bakteri S. typhi. Hal ini disebabkan karena
penggunaan konsentrasi dalam uji aktivitas antibakteri terlalu rendah sehingga zat
aktif seperti flavonoid dan terpenoid yang berperan sebagai antibakteri pada kedua
fraksi tersebut belum dapat menghambat aktivitas pertumbuhan bakteri S. aureus
maupun bakteri S. typhi. Hasil ini membuktikan bahwa fraksi metanol lebih efektif
dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dibandingkan dengan fraksi etil
asetat.
Peningkatan konsentrasi fraksi akan mempengaruhi suatu aktivitas
antibakteri. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin tinggi pula
daya hambatnya. Hal tersebut didukung dari hasil penelitian bahwa peningkatan
konsentrasi fraksi metanol tumbuhan paku sisik naga (Tabel 4.2) mengalami
peningkatan diameter zona hambat. Menurut Ajizah (2004), peningkatan
konsentrasi tanaman obat akan meningkatkan kadar bahan aktif yang berperan aktif
27

sebagai antibakteri sehingga kemampuan antibakteri akan semakin besar dalam


penghambatan pertumbuhan bakteri.
Madigan et al. (2006) menyatakan bahwa besar kecilnya zona hambat suatu
bakteri dipengaruhi oleh jumlah antibakteri yang direndam kedalam kertas cakram,
daya larut antibakteri tersebut ke media, koefisen difusi dan efektifnya antibakteri
tersebut serta ketebalan pada media. Adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan
dalam aktivitas antibakteri meliputi pH lingkungan, Komponen medium,
ukuran/jumlah koloni, lamanya inkubasi dan aktivitas metabolit mikroorganisme
(Jawetz et al., 2004).
Hasil penelitian memperlihatkan ekstrak metanol tumbuhan paku sisik naga
memiliki aktivitas antibakteri yang lebih efektif daripada fraksi metanol maupun
fraksi etil asetat (Gambar 4.1). Masing-masing konsentrasi ekstrak dan fraksi
metanol pada konsentrasi 0,3 g/mL memberikan respon yang sama-sama kuat tetapi
zona hambat pada ekstrak metanol lebih besar dibandingkan dengan fraksi metanol
sedangkan fraksi etil asetat tidak memiliki respon kuat maupun lemah. Hal ini
disebabkan kandungan senyawa metabolit sekunder yang ada pada fraksi tumbuhan
paku sisik naga bersifat antagonis karena memiliki mekanisme antibakteri yang
sama antara flavonoid dengan terpenoid yaitu dapat mengganggu permeabilitas sel
bakteri (membran sel).
Hasil dari penelitian menunjukkan aktivitas antibakteri pada masing-masing
konsentrasi fraksi metanol tumbuhan paku sisik naga bersifat bakteriostatis
(Tabel 4.2), hal ini membuktikan bahwa pada masa inkubasi kedua (48 jam) tidak
mengalami peningkatan serta ditandai dengan berkurangnya diameter zona hambat.
Menurut Mycek (2001), bahwa suatu antibakteri bersifat bakteriostatik jika
senyawa antbakteri tersebut hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri jika
pemberian senyawa terus dilakukan dan jika dihentikan, maka pertumbuhan dari
bakteri akan kembali meningkat yang ditandai dengan berkurangnya diameter zona
hambat pada masa inkubasi kedua. Sebaliknya bersifat bakteriosida jika diamater
zona hambat meningkat pada masa inkubasi kedua, hal ini disebabkan karena
senyawa ini mampu membunuh dan menghentikan aktivitas fisiologis dari bakteri,
meskipun pemberian senyawa tersebut dihentikan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang uji aktivitas antibakteri fraksi
tumbuhan paku sisik naga (Drymoglossum piloselloides (L) pressl.) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Hasil uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada Fraksi metanol dan etil asetat
tumbuhan paku sisik naga (D. piloselloides) memiliki kandungan senyawa
metabolit sekunder berupa golongan senyawa flavonoid dan terpenoid,
2. Konsentrasi 0,25 g/mL pada fraksi metanol merupakan perlakuan terendah
yang memiliki daya hambat terhadap bakteri S. aureus dengan kategori respon
hambatan kuat sedangkan pada fraksi etil asetat tidak memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri S. aureus dan S. typhi.

5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi yang tepat
untuk penggunaan fraksi baik dengan pelarut metanol maupun etil asetat sebagai
antibakteri secara in-vitro dan aktivitas antibakteri tumbuhan paku sisik naga dalam
berbagai variasi pelarut seperti air, etanol dan n-butana serta perlu dilakukan
pengujian aktivitas antibakteri terhadap bakteri lainya yang bersifat patogen.

28
DAFTAR PUSTAKA

Adijuwana & Nur, MA, 1989, Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi, Pusat
Antar Universitas IPB, Bogor

Anjelisa, P & Dalimunthe, A, 2011, ’Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol


Daun Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides [L.] Presl.)’,Prosiding
Seminar Nasional Biologi FMIPA , Sumatra Utara, Hal. 303-309

Asih, IARA, Ratnayani, K & Swardana, IB, 2012, ’Isolasi dan Identifikasi Senyawa
golongan Flavonoid dari Madu Kelengkeng (Nephelium longata L.)’,
Jurnal Kimia, vol. 6, no. 1, hal. 72-78

Ajizah, A, 2004, ’Sensitivitas Salmonella thypimurium Terhadap Ekstrak Daun


Psidium guajava L’, journal Bioscientiae vol. 1, no. 1, hal. 31-38

Becton, Dickinson & Company, 2006, BBL™ Mueller Hinton II Agar, BD, USA

Bonang, G & Koeswardono, 1982, Mikrobiologi Untuk Laboratorium dan Klinik,


PT Gramedia, Jakarta

Cahyadi, GAS, Gusti, AGB, & Emmy, S, 2014, ’Isolasi Dan Identifikasi Senyawa
Aktif Anti Bakteri Pada Daun Herba Sisik Naga (Drymoglossum
Piloselloides Presl.)’, Jurnal Kimia, vol. 8, no. 1, hal.83-90

D’aoust, J. V, 2001, Salmonella, Di dalam: Labbe’ RG, Garcia S, editor, Guide


to Foodborne Pathogens, Wiley, AJ & Sons, Inc., Publication, New York

Davis, WW & Stout, TR, 1971, ’Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic
Assay’, Journal of Microbiology, vol. 22, no. 4, hal. 659-665

Due, R, 2013, Etnobotani Tumbuhan Obat Suku Dayak Pesaguan Dan


Implementasinya Dalam Pembuatan Flash Card Biodiversitas, Skripsi,
Universitas Tanjungpura, Pontianak

Efendi, YN & Hertiani, T, 2013, ’Potensi Antimikroba Ekstrak Etanol Sarang


Semut (Myrmecodia tuberosa Jack.) Terhadap Candida albicans,
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus’, Traditional Medicine
Journal, vol. 18, no. 1, hal. 53-58

Fadhilla, R, Iskandar, EAP & Kusumaningrum, HD, 2012, ’Aktivitas Antibakteri


Ekstrak Tumbuhan Lumut HatI (Marchantia paleacea) Terhadap Bakteri
Patogen Dan Perusak Pangan’, Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, vol.
23, no. 2, hal. 126-131

29
30

Farida, R, Dewa, M, Titis, N & Endrawati, 2010, ‘Manfaat Sirih Merah (Piper
crocatum) Sebagai Agen Anti Bakterial Terhadap Bakteri Gram Positif
dan Gram Negatif’, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia

Fauziyah B.. 2012, ’Analisis Kualitatif Fenilalanin secara Kromatografi Kertas


dan Kromatografi lapis tipis (Studi Awal Pengembangan Metode
Deteksi Penyakit Phenylketonuria)’, Saintis, vol. 1, no. 2, hal. 10-18

Ganiswara, SG, 1995, Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta

Gupte, S, 1990, Mikrobiologi Dasar, Edisi Ketiga, Penerbit Binarupa Aksara,


Jakarta

Harborne, JB, 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa


Tumbuhan, Edisi Kedua, Alih Bahasa, Padmawinata K, ITB, Bandung

Hassler, M, 2013, World Ferns, Drymoglossum piloselloides, diakses 24 Februari


2015,<http://www.catalogueoflife.org/annualchecklist/2014/details/speci
es/id / 16557445/ synonym/ 16596633>

Holt, JS, 1994, Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, 9nd ed, A Waverly
Company, Baltimore

Jawetz, E, Melnic, JL & Adelberg, EA, 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi ke-
20, Penerjemah Edi Nugroho dan RF. Maulany, Buku Kedokteran, EGC,
Jakarta

Jawetz, Melnick & Adenberg, S, 2004, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 1, Salemba


Medika, Jakarta

Karou, DMH, Dicko, J, Simpore & Traore, AS, 2005, ’Antioxidant and
Antibacterial Activities of Polyphenols From Etnomedicinal Plant Of
Burkina Faso’, African Journal Of Biotecnology vol. 4, no. 8, hal. 823-
828

Khastini, RO, & Vivin, S, 2013, ‘Uji Aktivitas Ekstrak Air Daun Fertil dan Steril
Sisik Naga terhadap Enteropatogenik E. Coli’, Prosiding Semirata FMIPA
Universitas Lampung 2013 Prodi Pendidikan Biologi FKIP UNTIRTA,
Lampung, hal. 237-242

Khotimah, S, Widiyantoro, A & Linda, R, 2014, Antibacterial Activity Of


Secondary Metabolite From Drymoglossum piloselloides Against
Propionibacterium acnes, Artikel Ilmiah, ICAEAM, Kuala Lumpur,
Malaysia
31

Kinasih, FP, 2013, Uji Fitokimia Dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pangkal Batang
Paku Gajah (Angiopteris evecta) Terhadap Bakteri Salmonella typhi
Sebagai Agen Penyebab Demam Tifoid Secara In Vitro, Skripsi,
Universitas Bengkulu, Bengkulu

Kusumadewi, T, Siti K, & Ari, HY, 2014, ‘Ekstrak Metanol Buah Sonneratia alba
sebagai Penghambat Pertumbuhan Helminthosporium sp. yang diisolasi
dari Daun Jagung’, Protobiont, vol. 3 no. 2 hal. 149-154

Lenny, 2006, Senyawa Terpenoida dan Sterioda, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan

Madigan, MT, Martinko, JM & Brock, 2006, Biology of Microorganism. Edisi


ke11, Pearson, Education, Upper Saddle River, USA

Malinda, AF, Fatimawali & Adithya,Y, 2013, ’Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol
Daun Paku Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides L.Presl) Terhadap
Peroksidasi Lipid Hati Pada Tikus Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi
Ccl’, Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi, vol. 2, no. 02, hal. 72-76

Marliana, SD, Suryanti, V & Suyono, 2005, ’Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium
edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol’, Biofarmasi, vol. 3, no. 1, hal.
26-31

Meliki, Linda, R & Lovadi, I, 2013, ’Etnobotani Tumbuhan Obat oleh Suku Dayak
Iban Desa Tanjung Sari Kecamatan Ketungau Tengah Kabupaten
Sintang’, Jurnal Protobiont, vol. 2, no. 3, hal. 129-135

Mycek, MJ, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2, Widya Medika,


Jakarta

Ngajow, M, Abidjulu, J & Kamu, V, 2013, ’Pengaruh Antibakteri Ekstrak Kulit


Batang Matoa (Pometia pinnata) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus
Secara In Vitro’, Jurnal Mipa Unsrat Online, vol. 2, no. 2, hal. 128-132

Pasaribu, SP, Eva, M & Boby, SN, 2008, ‘Uji Fitokimia, Toksisitas dan Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol Batang Jarak Cina (Jatropha multifida L.)’,
Jurnal Kimia Mulawarman, vol. 5, no. 2, hal. 1693-5616

Pelczar, MJ, Chan, ECS & Crieg, NR, 1986, Dasar - dasar Mikrobiologi, Cetakan
pertama, Jilid Dua, Penerbit UI-Press, Jakarta

Pratiwi, ST, 2008, Mikrobiologi Farmasi, Erlangga, Jakarta

Prescott, LM, Harley, JP & Klein, DA, 2005, Microbiology, Eds ke-6, McGraw
32

Hill, New York

Purwanti, E, 2007, Senyawa Bioaktif Tanaman Sereh (Cymbopogon nardus)


Ekstrak Kloroform dan Etanol serta Pengaruhnya terhadap
Mikroorganisme Penyebab Diare, Skripsi, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang

Rahayu, PW, 2000, ’Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil


Olahan Industri Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak’,Buletin Teknologi
dan Industri Pangan, vol 11, no. 2, hal. 42-48

Rahimah, Sayekti, E & Jayuska, A, 2013, ‘Karakterisasi Senyawa Flavonoid Hasil


Isolat Dari Fraksi Etil Asetat Daun Matoa (Pometia pinnata J.R.Forst &
G.Forst)’ , Jurnal Kimia Khatulistiwa, vol. 2, no. 2, hal. 84-89

Rahmaningtyas, R, Husain, NMS & Tri A, 2012, Identifikasi Senyawa Dalam


Ekstrak Etanol Dan Fraksi Etil Asetat Daun Sisik Naga (Drymoglossum
Piloselloides) Dengan Gc-Ms Dan Uji Aktivitas Antibakteri, Skripsi,
Universitas Pakuan Bogor, Bogor

Rita, WS, Suirta, IW & Sabirin, A, 2008, ’Isolasi dan Identifikasi Senyawa yang
Berpotensi Sebagai Antitumor pada Daging Buah Pare Bukit Jimbaran’,
Jurnal Kimia, vol. 2, no. 1, hal. 1-6

Robinson, T, 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, terbitan keenam,


diterjemahkan Kosasih, ITB Bandung, Bandung

Rohman, A, 2009, Kromatografi Untuk Analisis. Edisi Ke I. Cetakan I. Graha Ilmu,


Jakarta

Roslizawaty, Nita YR, Fakhrurrazi & Herrialfia, 2013, ‘Aktivitas Antibakterial


Ekstrak Etanol Dan Rebusan Sarang Semut (Myrmecodia Sp.) Terhadap
Bakteri Escherichia Coli’, Medika Veterinaria, vol. 7, no. 2, hal. 91-94

Rostinawati, T, 2009, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Rosela (Hibiscus


sabdariffa pL) Terhadap Escherichia coli, Salmonella typhi dan
Stapylococcus aureus Dengan Metode Delusi Agar, Skripsi, Fakultas
Farmasi, Universitas Padjajar, Jatinango

Salni, Marisa, H & Mukti, RW, 2011, ’Isolasi Senyawa Antibakteri Dari Daun
Jengkol (Pithecolobium lobatum Benth) dan Penentuan Nilai KHM-nya’,
Jurnal Penelitian Sains, vol. 14, no. 1, hal. 38-41

Schefler, WC, 1987, Statistika untuk biologi, farmasi, kedokteran dan ilmu yang
bertautan, Terbitan kedua diterjemahkan Suroso, ITB Bandung, Bandung
33

Setiabudy, R & Gan, VHS, 2001, Antimikroba, Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-
4, Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokeran, Universitas Indonesia,
Jakarta

Siagian, A, 2002, Mikrobia Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya,


Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara, Medan

Silverstein, 1987, Penyelidikan Spektrometrik Senyawa Organik, Erlangga, Jakarta

Somchit, MN, Hassan, H, Zuraini, A, Chong, LC, Mohamed, Z & Zakaria, ZA,
2011, ’In Vitro Antifungal And Antibacterial Activity Of Drymoglossum
piloselloides L. Presl. Against Several Fungi Responsible For Athlete’s
Foot And Common Pathogenic Bacteria’, Journal of Microbiology
Research, vol. 5, no. 21, hal. 3537-3541

Sorrells, KM., Speck, ML & Warren, JA, 1970, ‘Pathogenicity of Salmonella


gallinarum After Metabolic Injury by Freezing’, Applied and
Environmental Microbiology, vol. 19, no. 1, hal. 39–43

Steenis, CGGJV, Hoed, GD & Eyma, PJ, 2005, FLORA, terjemahan Moeso
Surjowinoto, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

Thamrin, MS, Asikin, Mukhlis & Budiman, A, 2007, Potensi ekstrak flora lahan
rawa sebagai pestisida nabati, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor

Thomas, T, 2013, ’Antibacterial Activity Of Adiantum lunulatum Burm. F.


Towards Bacteria Implicated In Cutaneous Infections’, Journal of
Biological & Scientific Opinion, vol. 1, no. 4, hal. 334-336

Todar, K, 2008, Lectures in Microbiology, University of Wisconcin-Madison,


Departement of Bacteriology, The Microbiology World

Tortora, 2001, Microbiology in Introduction, International Edition, Banjarmasin


Cummings Inc, Banjarmasin

Usman, CW, 1993, Kokus Positif Gram, Dalam, Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran, edisi revisi, Bina Rupa Aksara, Jakarta

Waluyo, L, 2007, Teknik Dan Metode Dasar Mikrobiologi, Edisi ke-1, UMM Press,
Malang

Yazid, E, 2005, Kimia Fisika untuk Paramedis, ANDI Yogyakarta, Yogyakarta

Zar, JH, 1999, Biostatistical Analysis, Third Edition, Prentice Hall International
Edition, New Jersey, London
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi
1. Fraksinasi Tumbuhan Paku Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides)

Tumbuhan Paku Sisik Naga Serbuk Simplisia


(Drymoglossum piloselloides)

Maserasi dengan Metanol Ekstrak Metanol


Tumbuhan Paku Sisik Naga

s s as das das da

Fraksi Metanol & n-Heksan Fraksi Metanol & Etil Asetat

34
35

2. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada Fraksi Metanol dan Etil Asetat
Tumbuhan Paku Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides)

Kombinasi Eluen (fase gerak) pada fraksi metanol dan fraksi etil asetat

Plat silica (fase diam) Perendaman plat silica

Sebelum di sinar UV Sebelum di sinar UV


(fraksi metanol) (fraksi etil asetat)
36

Setelah di sinar UV 254 nm Setelah di sinar UV 366 nm


Fraksi Metanol Fraksi Metanol
metanol : etil asetat metanol : etil asetat
(3:7) (3:7)

Setelah di sinar UV 254 nm Setelah di sinar UV 366 nm


Fraksi etil asetat Fraksi etil asetat
etil asetat : metanol etil asetat : metanol
(3:7) (3:7)
37

3. Aktivitas Antibakteri Fraksi Metanol & Etil Asetat pada Bakteri


Staphylococcus aureus & Salmonella typhi
0,3
0,35

K+

K-

Fraksi Metanol 30 % dan 35 % pada Bakteri Staphylococcus aureus


(Konsentrasi 0,3 g/mL dan 0,35 g/mL)

K- 0,35

K+
0,3

Fraksi Metanol 30 % dan 35 % pada Bakteri Salmonella typhi


(Konsentrasi 0,3 g/mL dan 0,35 g/mL)

0,25 0,25

Fraksi metanol 25 % pada bakteri Fraksi metanol 25 % pada bakteri


Staphylococcus aureus Salmonella typhi
(Konsentrasi 0,25 g/mL) (Konsentrasi 0,25 g/mL)
38

0,3
0,3 0,35

K-

0,25
0,25 K+ 0,35

Fraksi Etil Asetat 25 %, 30 % dan 35 % pada Bakteri Staphylococcus aureus


(Konsentrasi 0,25 g/mL 0,3 g/mL dan 0,35 g/mL)

0,3 0,35 0,35

K-

0,25
0,25 K+ 0,3

Fraksi Etil Asetat 25 %, 30 % dan 35 % pada Bakteri Salmonella typhi


(Konsentrasi 0,25 g/mL 0,3 g/mL dan 0,35 g/mL)

K+ K+

0,3 0,3 K-
K-

Ekstrak Metanol 30 % pada Bakteri Staphylococcus aureus & Salmonella typh


(Konsentrasi 0,3 g/mL)
39

Lampiran 2. Alur Kerja Pembuatan Fraksi Metanol dan Etil Asetat


Tumbuhan Paku Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides)

Sterilisasi Alat

Pengambilan Sampel

Pembuatan Simplisia

Serbuk Simplisia Tumbuhan


Paku Sisik Naga
(Drymoglossum piloselloides)

Maserasi
Diuapkan dengan Rotary
Evaporator
Dengan pelarut metanol selama 4x 24 jam

Dilakukan uji Kromatografi lapis Tipis dan uji aktivitas antibakeri


40

Lampiran 3. Analisis Data dengan ANOVA Satu Jalur


Fraksi Metanol pada S.aureus
Analysis of Variance For Diameter

Analysis of Variance for data, using Adjusted SS for Tests


Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Ulangan 3 4,94 4,94 1,65 1,58 0,202
Konsentrasi 4 4013,43 4013,43 1003,36 961,62 0,000
Error 72 75,12 75,12 1,04
Total 79 4093,49

S = 1,02147 R-Sq = 98,16% R-Sq(adj) = 97,99%

Grouping Information Using Tukey Method and 95,0% Confidence

Perlakuan N Mean Grouping


Kontrol + 16 22,1875 A
0,35 g/mL 16 13,6250 B
0,3 g/mL 16 11,6875 C
0,25 g/mL 16 11,1875 C
Kontrol - 16 0,0000 D

Means that do not share a letter are significantly different.


41

Lampiran 4. Data Respon Zona Hambat Fraksi Metanol Terhadap


Staphlococcus aureus pada Inkubasi Kedua (48 Jam)

Perlakuan Diameter zona hambat (mm) Rata – rata


U1 U2 U3 U4 (mm)
0,25 g/mL 10 10 12 10
11 10 11 10 10,5
10 11 12 10
10 10 11 10
0,3 g/mL 12 10 11 11
11 10 11 12 10,8125
12 9 10 12
10 10 11 11
0,35 g/mL 13 11 12 14
12 12 11 14 12,25
12 11 13 14
12 10 11 14
K+ 22 24 20 19
22 22 19 21 21,1875
21 24 19 20
21 22 21 22
K- 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0

Anda mungkin juga menyukai