Jakarta -
Dalam survei kualitas pendidikan yang keluarkan oleh PISA, Indonesia
menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Pengamat menilai kompetensi
guru yang rendah dan sistem pendidikan yang terlalu kuno menjadi
penyebabnya.
1. Kualitas pengajar
"Nomor satu sebenarnya faktor yang bisa membuat anak pintar atau tidak
adalah guru. Jadi memang kompetensi guru kita sangat rendah, bisa dilihat
dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) itu nilainya di bawah 5 rata-rata," ujar
Budi.
Di era pendidikan 4.0, seharusnya guru tidak lagi menjadi 'narasumber' utama
dalam sistem pembelajaran, melainkan sebagai pendamping, penyemangat
dan fasilitator. Artinya, bila sistem pendidikan 4.0 ingin berhasil, maka anak-
anak murid kini harus diedukasi untuk menjadi lebih aktif.
"Jadi kita masih menganut pendidikan massal, sekolah masih 'pabrik' , itu kan
edukasi 2.0. Kita sudah di edukasi 4.0 yang sudah zamannya artificial
intelligence (AI) bukan lagi pabrik," ujarnya kepada DW Indonesia.
"Di Singapura penghargaan untuk guru sangat tinggi dan persyaratan untuk
menjadi guru juga tidak sembarangan. Jadi kalau tidak pintar banget, tidak
bisa menjadi guru. Kalau ogah-ogahan belajar, susah jadi guru. Tapi mereka
juga dapat imbal jasa yang sangat memuaskan," katanya.
"Jadi yang feodalistik itu mesti dihilangkan mesti ada kesetaraan musti ada
open source.
Saya kira Nadiem, dia lima tahun ini memulai dan tidak akan bisa di stop lagi,
dia sudah buka pintu gerbangnya dan harus dilaksanakan," paparnya.
"Peran teknologi akan sangat besar dalam semuanya, kualitas, efisiensi dan
administrasi sistem pendidikan sebesar ini ya," pungkas Nadiem, seperti
dilansir dari Tirto.
Dalam penelitian ini ada 5 indikator yang diukur oleh JPPI, di antaranya
governance, availability, accessibility, acceptability, dan adaptability. Dari
kelima indikator yang diukur Indonesia menempati urutan ke-7 dengan nilai
skor sebanyak 77%.
"Ya jadi dari indeks ini sebenarnya berasal dari 5 indikator itu ya, hasilnya
77%, nah dari beberapa itu ada 3 hal yang skor-nya masih rendah itu tentang
kualitas guru (availability), sekolah yang belum ramah anak (acceptability),
satu lagi soal pendidikan atau akses bagi kelompok-kelompok marginal
(adaptability)," kata Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional JPPI ketika
ditemui.
Menurut Ubaid dari 3 hal tersebut, skor kualitas guru rendah karena tidak
meratanya ketersediaan guru pada daerah terdepan, terluar, dan terpencil. Ia
juga mengatakan hal ini tidak sebanding dengan anggaran yang sudah
dihabiskan untuk gaji guru.
"Kemudian yang kedua lingkungan sekolah belum ramah anak ya, kekerasan,
kemudian seksual pelecehan itu sering terjadi di sekolah, dan masih menjadi
bulan-bulanan di media lah, dan masih banyak lagi, anak yang diculik segala
macem, itu juga skornya kecil, pemerintah harus memberikan pengawasan
tidak harus dari sekolah, tapi komite dan yang lainnya juga harus saling
berkontribusi, agar kekerasan di sekolah tidak terjadi lagi," ujarnya.
Problem lainnya adalah adaptability atau akses pendidikan bagi kelompok
marginal. Ia mengaku Indonesia belum bisa memberikan hak pendidikan bagi
anak-anak tersebut.
1. Inggris : 87%
2. Kanada : 85%
3. Australia : 83%
4. Filipina : 81%
5. Ethiopia : 79%
6. Korea Selatan : 79%
7. Indonesia : 77%
8. Nigeria : 77%
9. Honduras : 77%
10. Palestina : 76%
11. Tanzania : 73% (rvk/erd)
Indonesia merupakan negara terbesar di dunia, berada pada urutan ke empat dengan
jumlah penduduk 268.074.600 menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara
dengan penduduk yang banyak, mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar pada
usia sekolah, tetapi ironisnya data menunjukkan bahwa sekitar anak laki-laki sekitar
936.606 jiwa dan perempuan sekitar 817.679 jiwa. Seperti yang kita diketahui bahwa
jumlah penduduk yang besar tidak menjamin jumlah guru yang memiliki kualitas
diatas standar mutu.
Pendidikan Indonesia saat ini jauh di atas rata-rata dan terkesan tertinggal, pada
Laporan Right Education Index (RTEI) menyebutkan bahwa kualitas pendidikan
Indonesia berada di bawah Filipina dan Malaysia. Berada pada posisi ke enam dengan
skor sebesar 38.61 menurut Global Talent Competitiveness Index 2019. Hal ini
membuat pendidikan jauh dibawah standar rata-rata.
Salah satu faktor yang menjadikan Indonesia masih rendah adalah kualitas guru yang
tidak melewati standar mutu, padahal yang seperti kita ketahui diperkirakan ada
300.000 sarjana pendidikan yang lulus setiap tahunnya, tapi mengapa kualitas
pendidikan Indonesia masih tergolong rendah saat ini. Masih terdapat 25% guru yang
belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% hampir setengah lebih belum
memilki sertifikat profesi berdasarkan data UNESCO dalam Global Education
Monitoring (GEM).
Guru merupakan elemen penting dalam pendidikan, lantas bagaimana jika salah satu
elemen penting tidak terpenuhi secara maksimal, pasti menimbulkan suatu kerusakan
yang besar dalam sektor pendidikan. Pendidikan Indonesia saat ini masih
dilaksanakan oleh guru yang tidak mempunyai kualitas yang mempuni, hal ini terlihat
jelas masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang yang dikuasai,
hanya sekedar untuk memenuhi jadwal mengajar sehingga mengambil bidang yang
tidak dikuasinya.
Faktor yang mempengaruhi kualitas guru rendah salah satunya adalah kualifikasi guru
yang belum melewati standar mutu pendidikan yang dibutuhkan, masih banyak guru
yang malas untuk mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuan dan
kompentensi dalam mengajar, hal ini berdampak pada kualitas anak yang diajar tidak
mengalami perubahan yang signifikan, mengajar hanya sebagai kewajiban tidak
diiringi dengan kemampuan yang memadai.
Padahal seperti yang kita ketahui bahwa kualitas guru sangat menjamin hasil kualitas
peserta didik yang akan dihasilkan, kebanyakan guru saat ini hanya bersifat mengajar
tetapi tidak mengetahui apakah pelajaran yang diajarkan sudah tepat, metode yang
digunakan sudah sesuai apa belum, peserta didik mengerti apa tidak hal yang telah
dijelaskan. Guru saat ini hanya berorintasi pada hasil yang ingin dicapai untuk diri
mereka sendiri, tetapi tidak memikirkan hasil dari apa yang telah mereka kerjakan,
bagaimana dampak kedepannya. Hal ini membuat sebagian besar guru tidak terpacu
untuk merubah menjadi lebih baik dan meningkatkan diri sebagai guru yang
mempunyai kualitas yang melewati standar mutu.
Tetapi jangan melupakan faktor yang bersifat dari luar, bahwa sekarang ini sertifikasi
guru tidak layak disebut dengan sertifikasi, karena sebagian besar praktek sertifikasi
guru sudah tidak benar dijalankan. Sertifikasi guru saat ini hanya sekedar kertas tidak
dibuktikan dengan kompetensi yang memadai dalam diri guru. Hal ini dibuktikan
masih banyak praktek mengajar yang dilakukan oleh guru yang bersertifikasi bersifat
asal, dan tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Tentu kita berpikir bahwa guru
yang sudah tersertifikasi mempunyai standar mutu yang bagus, tapi nyatanya tidak
kita tertampar oleh kenyataan pahit ini.
Masalah ini harus mempunyai solusi yang tepat, karena merupakan masalah yang
sangat berdampak signifikan, pendidikan merupakan pondasi utama dari suatu
bangsa. Masalah ini dapat diubah dengan adanya capaian target yang harus dapat
dilaksanakan oleh guru, mewajibkan guru untuk dapat mengembangkan diri mereka,
guru yang tidak melewati standar mutu yang mumpuni untuk mengajar tidak
diperbolehkan untuk mengajar, terkesan jahat memang, tetapi jika praktek seperti ini
masih dilaksanakan dengan membiarkan guru yang tidak mempunyai standar mutu
yang baik untuk mengajar, bagaimana bisa menghasilkan peserta didik yang dapat
bersaing dan hal ini juga menyebabkan guru malas untuk meningkatkan kapasitas diri
mereka.
Program sertifikasi harus mempunyai tujuan yang jelas untuk menghasilkan guru
yang berkualitas, tidak serta merta program dilaksanakan tetapi tidak memberikan
dampak yang jelas dan memberikan perubahan yang besar ke arah yang lebih positif.
Program sertifikasi semestinya dilakukan untuk meningkatkan kualitas praktek guru.
Dengan memberikan pembelajaran secara mendalam, sebagai contoh yaitu
memberikan pelajaran menggunakan metode yang tepat dalam mengajar.