Anda di halaman 1dari 6

Peringkat 6 Terbawah, Indonesia

Diminta Tinggalkan Sistem


Pendidikan 'Feodalistik'
Deutsche Welle (DW) - detikNews
Jumat, 06 Des 2019 09:11 WIB
28 komentar

Jakarta - 
Dalam survei kualitas pendidikan yang keluarkan oleh PISA, Indonesia
menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Pengamat menilai kompetensi
guru yang rendah dan sistem pendidikan yang terlalu kuno menjadi
penyebabnya.

Survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International


Student Assessment (PISA), pada Selasa (3/12) di Paris, menempatkan
Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara.

Data ini menjadikan Indonesia bercokol di peringkat enam terbawah, masih


jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei
Darussalam. Survei PISA merupakan rujukan dalam menilai kualitas
pendidikan di dunia, yang menilai kemampuan membaca, matematika dan
sains.

Mengapa kualitas pendidikan Indonesia begitu buruk?

Kompetensi guru dan sistem yang membelenggu

Menurut pengamat pendidikan Budi Trikorayanto, setidaknya ada tiga


masalah yang masih membelenggu pendidikan Indonesia:

1. Kualitas pengajar

Kompetensi guru di Indonesia masih berada di tingkat yang sangat rendah.


Padahal Budi menilai, untuk menghasilkan murid-murid cerdas diperlukan
sumber-sumber pengajar yang kompeten.

"Nomor satu sebenarnya faktor yang bisa membuat anak pintar atau tidak
adalah guru. Jadi memang kompetensi guru kita sangat rendah, bisa dilihat
dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) itu nilainya di bawah 5 rata-rata," ujar
Budi.

2. Sistem pendidikan yang membelenggu

Di era pendidikan 4.0, seharusnya guru tidak lagi menjadi 'narasumber' utama
dalam sistem pembelajaran, melainkan sebagai pendamping, penyemangat
dan fasilitator. Artinya, bila sistem pendidikan 4.0 ingin berhasil, maka anak-
anak murid kini harus diedukasi untuk menjadi lebih aktif.
"Jadi kita masih menganut pendidikan massal, sekolah masih 'pabrik' , itu kan
edukasi 2.0. Kita sudah di edukasi 4.0 yang sudah zamannya artificial
intelligence (AI) bukan lagi pabrik," ujarnya kepada DW Indonesia.

Budi mengharapkan anak-anak lebih diedukasi untuk aktif belajar dan


mencari tahu sesuatu dari sumber-sumber lain di luar sekolah, misalnya lewat
situs-situs yang terverifikasi dan memiliki kredibilitas di internet.

Terlebih setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda. Mereka akan


menjadi lebih cerdas bila mempelajari suatu hal yang berkenaan dengan
minat dan bakatnya.

3. Lembaga pendidikan perlu pembenahan

Budi menekankan perlunya meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang


mencetak guru-guru berkualitas di masa depan. Ia mencontohkan salah
satunya yakni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).

"Kampus-kampus IKIP, yang model pengajarannya seperti itu membuat guru


menjadi kurang punya ide kreativitas dan kurang eksplor dengan
akademisnya. Sehingga setiap tahun ketika ada Uji Kompetensi Guru (UKG)
mereka hasilnya selalu rendah," sebutnya.

Baca juga: Pengamat: Penghapusan Ujian Nasional Berikan Keadilan


Pendidikan Bagi Siswa

Belajar dari negara tetangga

Hasil penelitian PISA menyebutkan bahwa Indonesia mendapatkan angka


371 untuk kategori membaca, 379 untuk matematika dan 396 untuk ilmu
pengetahuan (sains). Indonesia tertinggal dari Malaysia yang berada di
peringkat ke-56, dengan mendapat nilai 415 untuk membaca, 440 untuk
matematika dan 438 untuk sains.

Sementara, Singapura menempati peringkat nomor dua teratas, karena


mempunyai sistem pendidikan yang matang.

"Di Singapura penghargaan untuk guru sangat tinggi dan persyaratan untuk
menjadi guru juga tidak sembarangan. Jadi kalau tidak pintar banget, tidak
bisa menjadi guru. Kalau ogah-ogahan belajar, susah jadi guru. Tapi mereka
juga dapat imbal jasa yang sangat memuaskan," katanya.

Budi kembali menegaskan bahwa sejumlah permasalah yang dihadapi


Indonesia, seperti kesejahteraan guru, pada akhirnya bermuara kepada
kompetensi seorang pengajar atau guru itu sendiri.

"Singapura memang menekankan kerja keras. Jadi bukan mengurangi jam


belajar, kalau saya lihat. Kalau kita kan menekankan pada iman dan taqwa,
serta anak berbahagia, itu repot juga. Belajar itu sesuatu yang serius dan
perlu disiplin bukan supaya sekedar anak terlihat bahagia, anak beriman dan
bertaqwa," jelasnya.
Tinggalkan sistem pendidikan kuno

Budi menambahkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih terlalu kuno


atau ia sebut 'feodalistik', sehingga kurang menghargai kebebasan berpikir.

Budi menambahkan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan


(Mendikbud) Nadiem Makarim harus berani menyederhanakan kurikulum,
serta mengurangi aturan-aturan dan belenggu untuk menciptakan kebebasan
pendidikan.

"Jadi yang feodalistik itu mesti dihilangkan mesti ada kesetaraan musti ada
open source.

Saya kira Nadiem, dia lima tahun ini memulai dan tidak akan bisa di stop lagi,
dia sudah buka pintu gerbangnya dan harus dilaksanakan," paparnya.

Sejak dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud),


Nadiem Makarim memang hadir dengan usulan-usulan baru untuk
memajukan pendidikan Indonesia, seperti menciptakan pendidikan berbasis
kompetensi dan karakter. Usulannya kini tengah dalam tahap pengkajian di
Kemendikbud.

"Peran teknologi akan sangat besar dalam semuanya, kualitas, efisiensi dan
administrasi sistem pendidikan sebesar ini ya," pungkas Nadiem, seperti
dilansir dari Tirto.

Ia juga menanggapi hasil survei PISA tidak boleh dikesampingkan. Justu


survei ini menjadi acuan memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia selama
lima tahun ke depan.

"Hasil penilaian PISA menjadi masukan yang berharga untuk mengevaluasi


dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang akan menjadi fokus
Pemerintah selama lima tahun ke depan. Menekankan pentingnya
kompetensi guna meningkatkan kualitas untuk menghadapi tantangan Abad
21," kata Nadiem dalam keterangannya, Selasa (3/12/2019), seperti dilansir
dari detikcom.

Kecenderungan zaman telah berubah ke arah yang lebih digital. Indonesia


perlu segera berbenah dan menyongsong target pendidikan 4.0 untuk
menciptakan manusia-manusia yang cerdas dan berbudi pekerti baik.
(pkp/hp)
JPPI: Indeks Pendidikan Indonesia di Bawah
Ethiopia dan Filipina
Cici Marlina Rahayu - detikNews
Kamis, 23 Mar 2017 11:59 WIB

Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melakukan


penelitian Right to Education Index (RTEI) guna mengukur pemenuhan hak
atas pendidikan di berbagai negara. Hasil penelitian menyatakan kualitas
pendidikan di Indonesia masih di bawah Ehtiopia dan Filipina.

Penelitian ini dilakukan di 14 negara secara random, yakni Inggris, Kanada,


Australia, Filipina, Ethiopia, Korea Selatan, Indonesia, Nigeria, Honduras,
Palestina, Tanzania, Zimbabwe, Kongo dan Chili.

Penelitian ini dipublikasikan dalam 'International Seminar and Report Launch'


di Hotel Santika, Jalan Pintu 1 TMII, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis
(23/3/2017), dengan mengangkat tema 'Bridging The Gap Between Education
Policy and Implementation'. 

Dalam penelitian ini ada 5 indikator yang diukur oleh JPPI, di antaranya
governance, availability, accessibility, acceptability, dan adaptability. Dari
kelima indikator yang diukur Indonesia menempati urutan ke-7 dengan nilai
skor sebanyak 77%.

Tentunya hal ini kurang membanggakan, karena menunjukkan kualitas


pendidikan yang belum memadai. Skor tersebut sama dengan dua negara
lainnya yaitu, Nigeria dan Honduras. Selain itu kualitas pendidikan di
Indonesia, berada di bawah Filipina dan Ethiopia.

"Ya jadi dari indeks ini sebenarnya berasal dari 5 indikator itu ya, hasilnya
77%, nah dari beberapa itu ada 3 hal yang skor-nya masih rendah itu tentang
kualitas guru (availability), sekolah yang belum ramah anak (acceptability),
satu lagi soal pendidikan atau akses bagi kelompok-kelompok marginal
(adaptability)," kata Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional JPPI ketika
ditemui.

Menurut Ubaid dari 3 hal tersebut, skor kualitas guru rendah karena tidak
meratanya ketersediaan guru pada daerah terdepan, terluar, dan terpencil. Ia
juga mengatakan hal ini tidak sebanding dengan anggaran yang sudah
dihabiskan untuk gaji guru.

"Kemudian yang kedua lingkungan sekolah belum ramah anak ya, kekerasan,
kemudian seksual pelecehan itu sering terjadi di sekolah, dan masih menjadi
bulan-bulanan di media lah, dan masih banyak lagi, anak yang diculik segala
macem, itu juga skornya kecil, pemerintah harus memberikan pengawasan
tidak harus dari sekolah, tapi komite dan yang lainnya juga harus saling
berkontribusi, agar kekerasan di sekolah tidak terjadi lagi," ujarnya.
Problem lainnya adalah adaptability atau akses pendidikan bagi kelompok
marginal. Ia mengaku Indonesia belum bisa memberikan hak pendidikan bagi
anak-anak tersebut. 

Berikut urutan peringkat kualitas pendidikan berdasarkan RTEI:

1. Inggris : 87%
2. Kanada : 85%
3. Australia : 83%
4. Filipina : 81%
5. Ethiopia : 79%
6. Korea Selatan : 79%
7. Indonesia : 77%
8. Nigeria : 77%
9. Honduras : 77%
10. Palestina : 76%
11. Tanzania : 73% (rvk/erd)

Kualitas Guru Indonesia Masih Rendah?


11 November 2019   13:37 Diperbarui: 11 November 2019   13:58

Indonesia merupakan negara terbesar di dunia, berada pada urutan  ke empat dengan
jumlah penduduk 268.074.600 menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara
dengan penduduk yang banyak, mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar pada
usia sekolah, tetapi ironisnya data menunjukkan bahwa sekitar anak laki-laki sekitar
936.606 jiwa dan perempuan sekitar 817.679 jiwa. Seperti yang kita diketahui bahwa
jumlah penduduk yang besar tidak menjamin jumlah guru yang memiliki kualitas
diatas standar mutu.

Pendidikan Indonesia saat ini jauh di atas rata-rata dan terkesan tertinggal, pada
Laporan Right Education Index (RTEI) menyebutkan bahwa kualitas pendidikan
Indonesia berada di bawah Filipina dan Malaysia. Berada pada posisi ke enam dengan
skor sebesar 38.61 menurut Global Talent Competitiveness Index 2019. Hal ini
membuat pendidikan jauh dibawah standar rata-rata.

Salah satu faktor yang menjadikan Indonesia masih rendah adalah kualitas guru yang
tidak melewati standar mutu, padahal yang seperti kita ketahui diperkirakan ada
300.000 sarjana pendidikan yang lulus setiap tahunnya, tapi mengapa kualitas
pendidikan Indonesia masih tergolong rendah saat ini. Masih terdapat 25% guru yang
belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% hampir setengah lebih belum
memilki sertifikat profesi berdasarkan data UNESCO dalam Global Education
Monitoring (GEM).

Guru merupakan elemen penting dalam pendidikan, lantas bagaimana jika salah satu
elemen penting tidak terpenuhi secara maksimal, pasti menimbulkan suatu kerusakan
yang besar dalam sektor pendidikan. Pendidikan Indonesia saat ini masih
dilaksanakan oleh guru yang tidak mempunyai kualitas yang mempuni, hal ini terlihat
jelas masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang yang dikuasai,
hanya sekedar untuk memenuhi jadwal mengajar sehingga mengambil bidang yang
tidak dikuasinya.

Faktor yang mempengaruhi kualitas guru rendah salah satunya adalah kualifikasi guru
yang belum melewati standar mutu pendidikan yang dibutuhkan, masih banyak guru
yang malas untuk mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuan dan
kompentensi dalam mengajar, hal ini berdampak pada kualitas anak yang diajar tidak
mengalami perubahan yang signifikan, mengajar hanya sebagai kewajiban tidak
diiringi dengan kemampuan yang memadai.

Padahal seperti yang kita ketahui bahwa kualitas guru sangat menjamin hasil kualitas
peserta didik yang akan dihasilkan, kebanyakan guru saat ini hanya bersifat mengajar
tetapi tidak mengetahui apakah pelajaran yang diajarkan sudah tepat, metode yang
digunakan sudah sesuai apa belum, peserta didik mengerti apa tidak hal yang telah
dijelaskan. Guru saat ini hanya berorintasi pada hasil yang ingin dicapai untuk diri
mereka sendiri, tetapi tidak memikirkan hasil dari apa yang telah mereka kerjakan,
bagaimana dampak kedepannya. Hal ini membuat sebagian besar guru tidak terpacu
untuk merubah menjadi lebih baik dan meningkatkan diri sebagai guru yang
mempunyai kualitas yang melewati standar mutu.

Tetapi jangan melupakan faktor yang bersifat dari luar, bahwa sekarang ini sertifikasi
guru tidak layak disebut dengan sertifikasi, karena sebagian besar praktek sertifikasi
guru sudah tidak benar dijalankan. Sertifikasi guru saat ini hanya sekedar kertas tidak
dibuktikan dengan kompetensi yang memadai dalam diri guru. Hal ini dibuktikan
masih banyak praktek mengajar yang dilakukan oleh guru yang bersertifikasi bersifat
asal, dan tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Tentu kita berpikir bahwa guru
yang sudah tersertifikasi mempunyai standar mutu yang bagus, tapi nyatanya tidak
kita tertampar oleh kenyataan pahit ini.

Masalah ini harus mempunyai solusi yang tepat, karena merupakan masalah yang
sangat berdampak signifikan, pendidikan merupakan pondasi utama dari suatu
bangsa. Masalah ini dapat diubah dengan adanya capaian target yang harus dapat
dilaksanakan oleh guru, mewajibkan guru untuk dapat mengembangkan diri mereka,
guru yang tidak melewati standar mutu yang mumpuni untuk mengajar tidak
diperbolehkan untuk mengajar, terkesan jahat memang, tetapi jika praktek seperti ini
masih dilaksanakan dengan membiarkan guru yang tidak mempunyai standar mutu
yang baik untuk mengajar, bagaimana bisa menghasilkan peserta didik yang dapat
bersaing dan hal ini juga menyebabkan guru malas untuk meningkatkan kapasitas diri
mereka.

Program sertifikasi harus mempunyai tujuan yang jelas untuk menghasilkan guru
yang berkualitas, tidak serta merta  program dilaksanakan tetapi tidak memberikan
dampak yang jelas dan memberikan perubahan yang besar ke arah yang lebih positif.
Program sertifikasi semestinya dilakukan untuk meningkatkan kualitas praktek guru.
Dengan memberikan pembelajaran secara mendalam, sebagai contoh  yaitu
memberikan pelajaran menggunakan metode yang tepat dalam mengajar.

Anda mungkin juga menyukai