Oleh:
Dr.Andri Catur Jatmiko,SpKK
1
2
BA BAB 1
PENDAHULUAN
akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari
lapisan epidermis yang luas (French, 2008; Allanore, 2008). Penyebab dari SSJ dan
NET ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab antara lain alergi obat, infeksi, dan idiopatik. Beberapa obat yang
penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian. SJS sangat menyita
tersebut terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari 2646 kasus tersebut, sebanyak
35,6% atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan
terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus. Insidensi SSJ dan
NET semakin meningkat karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat dan
dewasa ini semua obat dapat diperoleh secara bebas (Lee, 2013). Menurut WHO,
sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong sebagai
3
kegawatdaruratan karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
akut dan berat, yang diakibatkan oleh reaksi intolerans terhadap obat dan beberapa
infeksi (Pohan dkk, 2005). Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang
mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula,
merupakan reaksi mukokutaneus yang mengancam nyawa secara akut oleh karena
adanya nekrosis secara luas dan lepasnya lapisan epidermis (Allanore dkk, 2008).
2.2 Epidemiologi
Sindrom stevens johnson terjadi 1 sampai 6 kasus per tahun. SJS dapat terjadi
pada semua usia dengan peningkatan resikonya pada usia diatas 40 tahun, dan lebih
banyak mengenai wanita. Pasien yang terinfeksi HIV dan yang terkena kanker lebih
Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu
pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum,
Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien (HLA,
berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut 10% untuk SJS,
30% untuk SJS/NET, dan lebih dari 30% untuk NET. Dalam analisa kelangsungan
5
hidup SJS/NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan adalah 23% pada enam
minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun .Bertambahnya usia,
komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan
menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan
2.3 Etiologi
Penyebab SJS banyak, tetapi obat merupakan penyebab utama. Disamping itu
Beberapa obat sebagai penyebab antara lain preparat sulfa terutama long acting
Penyebab utama adalah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena
Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering
Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksasol,
6
(Allanore dkk, 2008)
Gambar 2.1
Obat dan Resiko terjadinya Epidermal Necrolysis
2.4 Patofisiologi
klasifikasi Comb and Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung
diperantarai sel yang melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif.
Reaksi ini dicetuskan sel T, CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik
7
CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+ pada dermis pada reaksi
bulosa yang berat. Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah perifer
penderita SSJ ataupun NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang
dapat membunuh melalui perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi
ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan oleh sel penyaji
antigen (APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor
seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat, MHC
epidermal hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif. Sitokin penting seperti
IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga ada pada lesi
Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan
menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini bahwa
peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ dan NET,
dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya terdapat pelepasan kulit.
Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi kaskade enzim
8
atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi perubahan pada Fas yang
merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya
kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis keratinosit (Allanore dkk, 2008).
Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T
sel target. Kemudian granzyme B melewati saluran ini dan mengaktifkan kaskade
prohapten atau dengan interkasi farmakologi langsung antar obat, molekul MHC dan
(HLA-B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET
karbamazepin atau sindroma hipersensitivitas obat (juga dikenal sebagai reaksi obat
dengan eosinofilia dan gejala sistemik atau DRESS). Satu dari laporan pertama
menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada 100% pasien SSJ yang diinduksi
dan pada 9% populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15% individu dari Cina
prevalensi 2-4% lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India
9
(Allanore dkk, 2008)
Gambar 2.2
Patofisiologi
Gejala muncul sekitar 8 minggu (biasaya 4-30 hari) setelah onset terpapar
obat-obatan. Gejala klinis diawali dengan sindroma prodormal yang non spesifik dan
reaksi konstitusional berupa demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri
dada, mialgia, sehingga penderita berobat. Gejala tidak spesifik ini biasanya muncul
1-3 hari sebelum munculnya lesi mukokutaneus. Dalam keadaan ini, sering penderita
dimulai dengan gejala prodormal, sepertiga kasus dengan gejala pada membran
mukus, dan sepertiga lainnya dengan aksantema (Pohan dkk, 2005; Allanore, 2015).
10
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa (Pohan dkk, 2005; Allanore, 2015;
1. Kelainan kulit
leher, dagu, tubuh dan ekstremitas. Lesi target (target lesions) dan
bula dengan Nikolsky sign positif sering didapatkan. Vesikel dan bula
generalisata.
bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal. Rash dapat secara cepat
gambaran eritema yang luas dan menyebar. Nikolsky sign positif pade
area eritematus. Pada fase ini, lesi akan berkembang menjadi bula
lepas pada bagian yang tertekan atau oleh karena trauma gesek,
11
Pasien dapat diklasifikasikan menjadi 3 grup berdasarkan total luas
area epidermis yang lepas (Nikolsky sign positif): SJS, <10% dari
Gambar 2.3
Flat atypical target lesions
12
(Allanore dkk, 2008)
Gambar 2.4
Nikolsky sign
sekitar 90 % kasus dan dapat sebelum atau sesudah dari erupsi kulit.
Dimulai dengan eritema yang diikuti erosi yang nyeri pada mukosa
bukal, okular dan genital. Hal ini selalu menyebabkan gangguan saat
Rongga mulut dan garis bibir hampir selalu terkena dan menyebabkan
13
erosi yang ditutupi doleh pseudomembran berwarna putih keabuan
konjungtivitis purulen.
Gambar 2.5
Nekrosis dan erosi pada mukos bibir dan rongga mulut
14
(Allanore dkk, 2008)
Gambar 2.6
Krusta pada bibir dan daerah bulu mata
3. Kelainan ekstrakutaneus
pernapasan akut terjadi secara cepat setelah munculnya lesi pada kulit,
esofagus, usus halus, atau kolon dengan gejala diare yang profus
15
dengan malabsorbsi, melena dan bahkan bisa menyebabkan perforasi
kolon.
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
16
dipertimbangkan menjadi faktor prognostik yang tidak
b. Histopatologi
berupa:
papilar.
adneksa.
yang tersebar dan juga erosi yang melibatkan seluruh tubuh dengan
17
Diagnosis GBFDE didasarkan oleh 4 kriteria ini, yaitu (Lipowicz dkk,
2013):
target lesion.
18
(Lipowicz dkk, 2010)
Gambar 2.7
Perbedaan antara GBFDE dengan SJS/TNE
19
menjadi TEN. Pada TEN keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ
20
(Hamzah, 2015)
Gambar 2.9
SSSS yang Generalisata pada Neonatus
2.8 Tatalaksana
BJ Plasma) dan nutrisi, terlebih oleh karena pasien sukar atau tidak
dexamethasone.
21
dexamethasone adalah efek sampingnya lebih sedikit, oleh karena
dexamethasone.
mg/kgBB/hari.
dimonitor.
garam.
8. Dapat juga diberikan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv, pada
2.9 Komplikasi
22
Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia, yang didapati sekitar 16% di
antara seluruh kasus yang datang berobat. Komplikasi yang lain ialah kehilangan
cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi
Selama masa akut, komplikasi terserig adalah sepsis. Hilangnya epitel menjadi
predisposisi pasien terinfeksi bakteri atau jamur, yang menjadi penyebab utama
persen dan 15 persen kasus. Komplikasi lanjut oftalmik ditemukan pada 20 persen
sampai 70 persen pasien. Komplikasi lanjut ini disebabkan oleh karena perubahan
fungsi dari epitel konjungtiva yang membuat mata menjadi kering dan sistem
lakrimasi yang abnormal. Hal ini menyebabkan terjadinya inflamasi kronis, fibrosis,
entropion, trikiasis, dan simblefaron. Iritasi yang berkepanjangan dan defisiensi dari
stem cells yang ada pada limbus dapat menyebabkan terjadinya metaplasia dari epitel
Perubahan pada kuku, termasuk perubahan pada pigmentasi dari nail bed,
ridging, dystrophic nails, dan permanent anoychia terjadi pada lebih dari 50% kasus.
vagina, gatal, nyeri dan dapat terjadi perdarahan. Adhesi dari genetalia memerlukan
tindakan pembedahan. Striktur esofagus, intestinal, bronkial, uretra dan anal dapat
Oleh karena adanya komplikasi lanjut dari SJS tersebut, sangat dianjurkan
untuk pasien dilakukan follow up sampai beberapa minggu setelah keluar dari RS,
23
2.10 Prognosis
Jika tindakan yang dilakukan cepat dan tepat, maka prognosis cukup
memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih
buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini
fase plateu, yang sesuai dengan proses reepitelisasi. Fase ini memerlukan waktu
beberapa hari sampai beberapa minggu, bergantung dari keparahan penyakitnya dan
keadaan umum pasien. Selama fase ini, komplikasi yang mengancam nyawa seperti
sepsis atau systemic organ failure dapat terjadi. Persentase rata-rata mortalitasnya
adalah antara 5 sampai dengan 12 persen untuk SJS (Allanore dkk, 2015).
prognosis dari pasien dengan epidermal necrolysis Sistem skoring ini baik digunakan
24
(Allanore dkk, 2008)
Gambar 2.10
Sistem scoring SCORTEN
25
BAB 3
terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari 2646 kasus tersebut, sebanyak 35,6%
atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada
8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus. Insidensi SSJ dan NET semakin
meningkat karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat (Lee, 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Indrastiti dkk. (2015) di Rumah Sakit
Umum Daerah Semarang periode tahun 2008-2014 pada penderita SSJ dan NET yang
dihubungkan dengan usia, riwayat atopi dan konsumsi obat-obatan ditemukan bahwa
24 sampel penderita SSJ diperoleh mayoritas berusia lebih dari 40 tahun yaitu
sebanyak 11 orang (45.8%) dan didapatkan paling sedikit penderita SSJ pada usia
kurang dari 4 tahun yaitu sebanyak 4 0rang (16.7%). Pada penderita NET diperoleh 3
sampel dimana seluruhnya berusia lebih dari 40 tahun (100%). Distribusi riwayat
atopi pada SSJ dan NET, diperoleh hasil sampel penderita SSJ mayoritas memiliki
riwayat atopi sebanyak 18 orang (75%). Pada penderita NET diperoleh mayoritas
penderita NET memiliki riwayat atopi sebanyak 2 orang (66,7%). Distribusi golongan
obat pada kejadaian SSJ dan NET, dari 24 sampel penderita SSJ, diperoleh hasil
sampel pasien SSJ mayoritas mengkonsumsi golongan obat antipiretik yaitu 8 orang
yaitu sebanyak 1 orang(4,2%). Pada penderita NET yaitu sebanyak 3 orang diperoleh
26
pasien NET mayoritas mengkonsumsi golongan obat antibiotik yaitu sebanyak 2
orang (66.7%).
dkk. (2018) pada pasien SJS dan TEN di RSUD Dr.Soetomo Surabaya usia 0-18
tahun pada periode 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2016 ditemukan sampel
sebanyak 19 orang. Dari 19 sampel ini ditemukan bahwa penyebab utamanya oleh
reaksi alergi tubuh yaitu sebanyak 15 orang pasien dengan persentase sebesar 79%,
penyakit. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa pada beberapa pasien, terdapat
lebih dari satu obat penginduksi terjadinya penyakit. Satu diantara empat pasien
dengan etiologi yang masih belum diketahui menderita pneumonia sebagai penyakit
penyerta. Terdapat kemungkinan jika SJS yang diderita oleh pasien dapat disebabkan
terbanyak yang ditemukan pada pasien dalam penelitian ini adalah jenis
klinis yang dapat ditemukan pada subjek penelitian adalah manifestasi pada kulit
maupun pada mukosa. Kedua bentuk manifestasi ini ditemukan terjadi pada seluruh
subjek dalam penelitian ini. Manifestasi klinis pada mukosa dapat terjadi pada
mukosa mulut, genitalia, dan mata. Selain itu, pada penelitian ini juga dapat
ditemukan bahwa dalam satu orang subjek penelitian dapat mengalami lebih dari satu
manifestasi klinis. Gambaran manifestasi klinis pada kulit berupa makula ditemukan
pada seluruh pasien (100%) dalam penelitian ini. Makula tersebut terdiri dari makula
dan terdapat 5 pasien (26%) yang memiliki manifestasi klinis campuran antara
27
makula hiperpigmentasi dan eritematosa. Manifestasi klinis pada mukosa terbanyak
yang diamati pada subjek dalam penelitian ini adalah manifestasi klinis pada mukosa
mulut berupa lesi mukosa bibir yang ditemukan terjadi pada tiga belas orang pasien
(68%), manifestasi klinis pada mata berupa hiperemi konjungtiva pada sembilan
orang pasien (47%), dan manifestasi klinis pada mukosa genitalia berupa lesi pada
mukosa genitalia pada tujuh orang pasien (37%). Ditemukan 13 orang subjek
penelitian yang juga menderita penyakit penyerta. Penyakit penyerta terbanyak yang
ditemukan terjadi pada subjek penelitian adalah malnutrisi yang dialami oleh 4 orang
pasien (31%), kemudian konjungtivis yang juga dialami oleh 4 orang pasien (31%)
dari total 13 orang pasien. Selain itu, berdasarkan pengamatan dalam penelitian ini
dapat ditemukan bahwa dalam satu orang subjek penelitian dapat menderita lebih dari
terbanyak yang dapat diamati adalah konjungtivitis yang terjadi pada 4 orang pasien
(67%) dari total 6 orang pasien. Selain itu, dalam satu pasien dapat ditemukan lebih
dari satu komplikasi, dan pasien dengan komplikasi yang lebih parah ditemukan
terjadi pada pasien yang mengalami SJS-TEN overlap maupun TEN. Lama
perawatan terbanyak yang dialami subjek dalam penelitian ini yaitu selama 1 hingga
7 hari dengan jumlah delapan orang dari (53%). Rata-rata lama perawatan pasien
adalah 11,6 hari. Lama perawatan terpendek yaitu selama empat hari, sementara lama
lain terbanyak yang dibutuhkan oleh pasien adalah konsultasi ke dokter spesialis mata
pada 8 orang pasien (80%) dari total 10 orang pasien. Selain itu pada penelitian ini
juga ditemukan bahwa ada beberapa pasien yang membutuhkan lebih dari 1
28
konsultasi ke dokter lain. Tatalaksana terapi terbanyak pada pasien yang menjadi
penginduksi timbulnya SJS, SJS-TEN overlap, maupun TEN yang mana hal ini
dilakukan pada 15 orang pasien (79%). Selain itu, terdapat 19 pasien yang menjadi
subjek dalam penelitian ini juga mendapatkan lebih dari satu terapi selama masa
perawatannya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nur (2011) yang dilakukan di RSU
dr. Soedarso Pontianak pada bulan April - Juli 2011 pada pasien Drug Eruption di
RSU dr. Soedarso Pontianak selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31
Desember 2010 didapatkan subjek pada penelitian ini adalah 95 pasien Drug
Eruption di poliklinik kulit dan kelamin serta rawat inap RSU dr. Soedarso
(53,7%). Didapatkan proporsi kasus untuk Drug Eruption non-SJS sejumlah 55 kasus
persentase sebesar 20%, disusul oleh kelompok umur 41-50 tahun dan kelompok
umur 61-70 tahun dengan persentase masing-masing sebesar 17% dan 15%.
Kelompok umur dengan persentase terkecil adalah kelompok umur 71-80 tahun
dengan persentase sebesar 3%. Berdasarkan diagram obat penyebab Sindrom Stevens
29
kasus (17%), amoxicillin sebanyak 3 kasus (8%) dan antikonvulsan sebanyak 2 kasus
BAB 4
Jumlah penderita : 56
Antibiotik :17
Antiepilepsi : 13
Antipiretik :3
Tidak diket :2
7 hari :3
Penyakit penyerta :
30
Gout/RA : 21
HIV :15
Epilepsy :13
Diare :4
Ispa :3
Keluhan Klinis :
Kulit : 56
Mucosa :
Mulut : 32
Mulut+Mata : 17
Mulut+Mata+Genitalia : 7
31
32