Anda di halaman 1dari 32

PENELITIAN

Karakteristik Penderita Stevens Johnson


Syndrome di RSUD Kab.Jombang
Tahun 2016 -2018

Oleh:
Dr.Andri Catur Jatmiko,SpKK

SMF KULIT KELAMIN


RSUD KABUPATEN JOMBANG
2018

1
2
BA BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah penyakit mukokutaneus yang bersifat

akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari

lapisan epidermis yang luas (French, 2008; Allanore, 2008). Penyebab dari SSJ dan

NET ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap

sebagai penyebab antara lain alergi obat, infeksi, dan idiopatik. Beberapa obat yang

dianggap sebagai penyebab alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik,

antikonvulsan, antibiotik dan antimalaria (Darmstadt, 2004).

SJS merupakan penyakit sistemik serius yang dapat berkembang menjadi

penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian. SJS sangat menyita

perhatian karena SJS merupakan kegawatdaruratan sehingga memerlukan

penatalaksanaan cepat dan tepat (Levi, 2009).

Data yang diperoleh berdasarkan penelitian oleh Committe Drug Adverse

Reaction Monitoring Directory for Drug and Food Administration, Departemen

Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1981-1995 menyatakan selama periode

tersebut terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari 2646 kasus tersebut, sebanyak

35,6% atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan

terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus. Insidensi SSJ dan

NET semakin meningkat karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat dan

dewasa ini semua obat dapat diperoleh secara bebas (Lee, 2013). Menurut WHO,

sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong sebagai

3
kegawatdaruratan karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan

perawatan di rumah sakit bahkan dapat mengakibatkan kematian, SSJ adalah

beberapa bentuk kegawatdaruratan tersebut (Thomson, 2013).

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindroma Stevens-Johnson (SJS) termasuk penyakit kulit dan mukosa yang

akut dan berat, yang diakibatkan oleh reaksi intolerans terhadap obat dan beberapa

infeksi (Pohan dkk, 2005). Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang

mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum

bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula,

dapat disertai purpura (Djuanda dkk, 2015). Sindroma Stevens-Johnson (SJS)

merupakan reaksi mukokutaneus yang mengancam nyawa secara akut oleh karena

adanya nekrosis secara luas dan lepasnya lapisan epidermis (Allanore dkk, 2008).

2.2 Epidemiologi

Sindrom stevens johnson terjadi 1 sampai 6 kasus per tahun. SJS dapat terjadi

pada semua usia dengan peningkatan resikonya pada usia diatas 40 tahun, dan lebih

banyak mengenai wanita. Pasien yang terinfeksi HIV dan yang terkena kanker lebih

tinggi resiko terkena SSJ (Harr, 2010; Valleyrie, 2008).

Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu

pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum,

dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV positif.

Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien (HLA,

enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi dapat

berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut 10% untuk SJS,

30% untuk SJS/NET, dan lebih dari 30% untuk NET. Dalam analisa kelangsungan

5
hidup SJS/NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan adalah 23% pada enam

minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun .Bertambahnya usia,

komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan

dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian

menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan

dengan kulit putih (Torres, 2009; Widgerow, 2011).

2.3 Etiologi

Penyebab SJS banyak, tetapi obat merupakan penyebab utama. Disamping itu

vaksinasi, graft-versus-host-disease, kadang-kadang menyebabkan timbulnya SJS.

Beberapa obat sebagai penyebab antara lain preparat sulfa terutama long acting

sulfonamide, beberapa antibiotik (tetracycline, penicilline), allopurinol, anti konvulsi

(Pohan dkk, 2005).

Penyebab utama adalah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena

infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian

Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering

ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%).

Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksasol,

dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif (Djuanda dkk, 2015).

6
(Allanore dkk, 2008)

Gambar 2.1
Obat dan Resiko terjadinya Epidermal Necrolysis

2.4 Patofisiologi

Penyakit ini disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe 2 (sitolitik) menurut

klasifikasi Comb and Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung

pada sel sasaran (target cell) (Djuanda dkk, 2015).

Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang

diperantarai sel yang melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif.

Reaksi ini dicetuskan sel T, CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik

yang berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian imunopatologis dijumpai adanya

7
CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+ pada dermis pada reaksi

bulosa yang berat. Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah perifer

penderita SSJ ataupun NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang

dapat membunuh melalui perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi

ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan oleh sel penyaji

antigen (APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor

seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat, MHC

(major histocompatibility complex-restricted cytotoxic reactions) melawan keratinosit

(Allanore dkk, 2008).

Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+

bereaksi terhadap obat-obatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan jaringan

sitotoksik yang rumit dan terbatas berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya,

regulasi CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan pentingnya pencegahan kerusakan

epidermal hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif. Sitokin penting seperti

IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga ada pada lesi

kulit SSJ/NET (Allanore dkk, 2008).

Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan

menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini bahwa

peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ dan NET,

dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya terdapat pelepasan kulit.

Viard dkk. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis keratinosit.

Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi kaskade enzim

intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian menyebabkan kematian sel.

Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade kaspase melalui perforin/granzyme

8
atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi perubahan pada Fas yang

menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain Protein). FADD

merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya

membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian

mengalami autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya mengaktifkan

kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis keratinosit (Allanore dkk, 2008).

Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T

sitotoksik mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada membran

sel target. Kemudian granzyme B melewati saluran ini dan mengaktifkan kaskade

kaspase. Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T dengan bertindak sebagai hapten,

prohapten atau dengan interkasi farmakologi langsung antar obat, molekul MHC dan

reseptor sel T (Allanore dkk, 2008).

Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte Antigen

(HLA-B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET

yang diinduksi karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi eksantematosa diinduksi

karbamazepin atau sindroma hipersensitivitas obat (juga dikenal sebagai reaksi obat

dengan eosinofilia dan gejala sistemik atau DRESS). Satu dari laporan pertama

menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada 100% pasien SSJ yang diinduksi

karbamazepin tetapi hanya sebesar 3% dari pasien yang mentoleransi karbamazepin

dan pada 9% populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15% individu dari Cina

selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai angka

prevalensi 2-4% lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India

(Allanore dkk, 2008).

9
(Allanore dkk, 2008)

Gambar 2.2
Patofisiologi

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala muncul sekitar 8 minggu (biasaya 4-30 hari) setelah onset terpapar

obat-obatan. Gejala klinis diawali dengan sindroma prodormal yang non spesifik dan

reaksi konstitusional berupa demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri

dada, mialgia, sehingga penderita berobat. Gejala tidak spesifik ini biasanya muncul

1-3 hari sebelum munculnya lesi mukokutaneus. Dalam keadaan ini, sering penderita

mendapatkan pengobatan antibiotik, dan anti inflamasi, sehingga menyebabkan

kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS. Sekitar sepertiga kasus

dimulai dengan gejala prodormal, sepertiga kasus dengan gejala pada membran

mukus, dan sepertiga lainnya dengan aksantema (Pohan dkk, 2005; Allanore, 2015).

10
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa (Pohan dkk, 2005; Allanore, 2015;

Djuanda dkk, 2015):

1. Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Makula

eritematus yang menyerupai morbilliform rash, timbul pada muka,

leher, dagu, tubuh dan ekstremitas. Lesi target (target lesions) dan

bula dengan Nikolsky sign positif sering didapatkan. Vesikel dan bula

kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu

dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya

generalisata.

Erupsi biasanya terjadi secara simetris terdistribusi pada wajah, badan

bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal. Rash dapat secara cepat

menyebar ke seluruh tubuh dalam beberapa hari bahkan beberapa jam.

Lesi pada kulit dimulai dengan adanya eritematus, merah kehitaman,

purpura dengan bentuk yang irreguler dan akan secara progresif

bergabung. Atypical target lesion dengan bagian tengahnya berwarna

gelap sering ditemukan. Bergabungnya lesi nekrotik menyebabkan

gambaran eritema yang luas dan menyebar. Nikolsky sign positif pade

area eritematus. Pada fase ini, lesi akan berkembang menjadi bula

yang mudah pecah dengan tekanan. Epidermis yang nekrosis mudah

lepas pada bagian yang tertekan atau oleh karena trauma gesek,

menampakkan area luas yang terbuka.

11
Pasien dapat diklasifikasikan menjadi 3 grup berdasarkan total luas

area epidermis yang lepas (Nikolsky sign positif): SJS, <10% dari

body surface area (BSA); SJS/TEN overlap, diantara 10-30% dari

BSA; TEN, >30% dari BSA. Cara mengukurnya yaitu 1% BSA

adalah sebesar 1 telapak tangan beserta jarinya.

(Allanore dkk, 2008)

Gambar 2.3
Flat atypical target lesions

12
(Allanore dkk, 2008)

Gambar 2.4
Nikolsky sign

2. Keterlibatan membran mukus

Keterlibatan membran mukus (setidaknya di dua daerah) terlihat

sekitar 90 % kasus dan dapat sebelum atau sesudah dari erupsi kulit.

Kelainan yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian

disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di

lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).

Dimulai dengan eritema yang diikuti erosi yang nyeri pada mukosa

bukal, okular dan genital. Hal ini selalu menyebabkan gangguan saat

makan, fotofobia, sinekia konjungtival, dan nyeri saat berkemih.

Rongga mulut dan garis bibir hampir selalu terkena dan menyebabkan

13
erosi yang ditutupi doleh pseudomembran berwarna putih keabuan

dan berdarah yang nyeri, dan juga krusta.

Hampir sekitar 85% pasien mengalami lesi konjungtival, utamanya

dengan gejala hiperemia, erosi, chemosis, fotofobia dan lakrimasi.

Kadang juga menyebabkan rontoknya bulu mata. Dalam bentuk

parahnya dapat menyebabkan ulkus kornea, uveitis anterior, dan

konjungtivitis purulen.

(Allanore dkk, 2008)

Gambar 2.5
Nekrosis dan erosi pada mukos bibir dan rongga mulut

14
(Allanore dkk, 2008)

Gambar 2.6
Krusta pada bibir dan daerah bulu mata

3. Kelainan ekstrakutaneus

Keterlibatan rongga viseral juga dapat terjadi, terutama komplikasi

pada rongga pernapasan dan pencernaan. Komplikasi awal pada

rongga pernapasan terjadi hampir 25% pada pasien dengan

menunjukkan gejala dispneu, hipersekresi bronkial, hipoksemia,

hemoptisis. Pada beberapa kasus dilaporkan jika kegagalan sistem

pernapasan akut terjadi secara cepat setelah munculnya lesi pada kulit,

maka memiliki prognosis yang jelek.

Keterlibatan saluran pencernaan lebih jarang ditemukan. Kelainan

yang dapat ditemukan pada saluran pencernaan yaitu nekrosis epitel

esofagus, usus halus, atau kolon dengan gejala diare yang profus

15
dengan malabsorbsi, melena dan bahkan bisa menyebabkan perforasi

kolon.

Keterlibatan ginjal pernah dilaporkan. Proteinuria, mikroalbuminuria,

hematuria dan azotemia tidak jarang. Kerusakan tubulus proksimal

dapat disebabkan dari nekrosisnya sel tubulus.

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan klinis

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika ada

leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi

bakterial. Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena

alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi

dilakukan kultur darah.

Hilangnya cairan melalui evaporasi yang masif dapat

menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit,

hipoalbuminemia, dan hipoprotenemia, insufisiensi renal

dan prerenal azotemia yang ringan dan sementara sering

ditemukan. Peningkatan level nitrogen urea dalam darah

merupakan salah satu marker/pertanda dari tingkat

keparahan. Anemia sering terjadi, leukositosis ringan dan

juga trombositopenia sering terjadi. Neutropenia sering

16
dipertimbangkan menjadi faktor prognostik yang tidak

baik pada SSJ, namun kurang memiliki dampak yang

signifikan pada SCORTEN.

b. Histopatologi

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema

multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan

sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan

berupa:

 Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-

pembuluh darah dermis superfisial.

 Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis

papilar.

 Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai

terbentuk vesikel subepidermal.

 Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di

adneksa.

 Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

2.7 Diagnosis Banding

1. Generelized bullous fixed drug eruption (GBFDE)

Generelized bullous fixed drug eruption (GBFDE) merupakan bagian

dari fixed drug eruption (FDE) dengan karakteristik terdapatnya bula

yang tersebar dan juga erosi yang melibatkan seluruh tubuh dengan

lesi tipikal FDE (Cho dkk, 2013).

17
Diagnosis GBFDE didasarkan oleh 4 kriteria ini, yaitu (Lipowicz dkk,

2013):

a. Reaksi yang sama dengan sebelumnya.

b. Lebih dari 2 membran mukus yang terkena, dan absennya

target lesion.

c. Bula dan erosi yang berbatas jelas dan lebar.

d. Lesi dan erosi setidaknya pada 2 area yang berbeda.

18
(Lipowicz dkk, 2010)
Gambar 2.7
Perbedaan antara GBFDE dengan SJS/TNE

2. TEN (Toxic Epidermal Necrolysis)

TEN merupakan bentuk parah dari SSJ, hendaknya dicari apakah

kterdapat epidermiolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa

punggungnya. Apabila terdapat epidermiolisis maka diagnosisnya

19
menjadi TEN. Pada TEN keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ

(Djuanda dkk, 2015).

(Daili dkk, 2005)


Gambar 2.8
Epidermiolisis yang luas pada kasus peralihan sindrom

Steven-Johnson dan NET

3. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (4S)

Staphylococcus scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit


yang ditandai dengan munculnya lepuhan-lepuhan pada kulit yang
disebabkan racun yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus
(Ladhani, 1999).
Epidermolisis yang terjadi pada Staphylococcus scalded skin

syndrome mirip dengan nekrolisis epidermal toksis, hanya saja pada

Staphylococcus scalded skin syndrom epidermolisis hanya terbatas

pada stratum korneum. Dari segi usia, nekrolisis epidermal toksik

muncul pada usia dewasa sedangkan staphylococcus scalded skin

syndrom muncul pada bayi dan anak-anak (Ladhani, 1999).

20
(Hamzah, 2015)
Gambar 2.9
SSSS yang Generalisata pada Neonatus

2.8 Tatalaksana

1. Obat yang diduga penyebab/kausa dari SSJ harus segera dihentikan.

2. Pasien harus rawat inap.

3. Mengatur keseimbangan cairan, elektrolit, protein (sebaiknya periksa

BJ Plasma) dan nutrisi, terlebih oleh karena pasien sukar atau tidak

dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan dan juga

kesadaran dapat menurun. Untuk itu diberikan infus, misalnya

dekstrose 5%, NaCl 9% dan Ringer Laktat berbanding 1:1:1 dalam 1

labu yang diberikan 8 jam sekali.

4. Pemberian glukokortikoid merupakan tindakan life-saving.

Glukokortikoid yang digunakan adalah methylprednisolone atau

dexamethasone.

Methylprednisolone diberikan secara oral dengan dosis 1,5-2

mg/kgBB/hari. Kelebihan methylprednisolone dibandingkan dengan

21
dexamethasone adalah efek sampingnya lebih sedikit, oleh karena

methylprednisolone termasuk kortikosteroid golongan kerja sedang

sedangkan dexamethasone golongan kerja lama. Namun

kekurangannya adalah harganya yang lebih mahal dibandingkan

dexamethasone.

Dexamethasone diberikan secara injeksi dengan dosis 0,15-0,2

mg/kgBB/hari.

5. Pemberian antibiotik untuk infeksi. Antibiotik yang diberikan

hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat

bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik

yang diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip

dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah

sensitisasi silang. Sebaiknya antibiotik diberikan berdasarkan hasil

kultur kulit, mukosa dan sputum.

Antibiotik yang sering menyebabkan SJS misalnya sulfonamide,

penicillin, cephalosporin. Antibiotik yang dapat digunakan adalah

gentamycine 80 mg iv, sehari 2-3 kali, dosis 1-1,5 mg/kgBB/kali.

6. Hematokrit, blood gases, keseimbangan cairan dan elektrolit selalu

dimonitor.

7. Pemberian makanan TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein), rendah

garam.

8. Dapat juga diberikan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv, pada

kasus purpura yang luas.

9. Perawatan dan pengobatan kelainan mata.

2.9 Komplikasi

22
Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia, yang didapati sekitar 16% di

antara seluruh kasus yang datang berobat. Komplikasi yang lain ialah kehilangan

cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi

kebutaan karena gangguan lakrimasi (Djuanda dkk, 2015).

Selama masa akut, komplikasi terserig adalah sepsis. Hilangnya epitel menjadi

predisposisi pasien terinfeksi bakteri atau jamur, yang menjadi penyebab utama

mortalitas. Multiple system failure dan komplikasi pulmonum ditemukan pada 30

persen dan 15 persen kasus. Komplikasi lanjut oftalmik ditemukan pada 20 persen

sampai 70 persen pasien. Komplikasi lanjut ini disebabkan oleh karena perubahan

fungsi dari epitel konjungtiva yang membuat mata menjadi kering dan sistem

lakrimasi yang abnormal. Hal ini menyebabkan terjadinya inflamasi kronis, fibrosis,

entropion, trikiasis, dan simblefaron. Iritasi yang berkepanjangan dan defisiensi dari

stem cells yang ada pada limbus dapat menyebabkan terjadinya metaplasia dari epitel

kornea dengan ulkus yang nyeri dan penurunan pengelihatan.

Perubahan pada kuku, termasuk perubahan pada pigmentasi dari nail bed,

ridging, dystrophic nails, dan permanent anoychia terjadi pada lebih dari 50% kasus.

Dispareunia tidak jarang terjadi danberhubungan dengan keringnya daerah

vagina, gatal, nyeri dan dapat terjadi perdarahan. Adhesi dari genetalia memerlukan

tindakan pembedahan. Striktur esofagus, intestinal, bronkial, uretra dan anal dapat

terjadi meskipun sangat jarang.

Oleh karena adanya komplikasi lanjut dari SJS tersebut, sangat dianjurkan

untuk pasien dilakukan follow up sampai beberapa minggu setelah keluar dari RS,

termasuk dilakukannya pemeriksaan oleh ophthalmologist.

23
2.10 Prognosis

Jika tindakan yang dilakukan cepat dan tepat, maka prognosis cukup

memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih

buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini

dapat mendatangkan kematian (Djuanda dkk, 2015).

Proses terlepasnya epidermis sekitar 5 sampai 7 hari. Selanjutnya merupakan

fase plateu, yang sesuai dengan proses reepitelisasi. Fase ini memerlukan waktu

beberapa hari sampai beberapa minggu, bergantung dari keparahan penyakitnya dan

keadaan umum pasien. Selama fase ini, komplikasi yang mengancam nyawa seperti

sepsis atau systemic organ failure dapat terjadi. Persentase rata-rata mortalitasnya

adalah antara 5 sampai dengan 12 persen untuk SJS (Allanore dkk, 2015).

SCORTEN merupakan sistem skoring yang digunakan untuk menentukan

prognosis dari pasien dengan epidermal necrolysis Sistem skoring ini baik digunakan

pada hari ke 3 rawat inap (Allanore dkk, 2015).

24
(Allanore dkk, 2008)

Gambar 2.10
Sistem scoring SCORTEN

25
BAB 3

TINJAUAN PENELITIAN DESKRIPTIF

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Committe Drug Adverse Reaction

Monitoring Directory for Drug and Food Administration, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia pada tahun 1981-1995 menyatakan selama periode tersebut

terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari 2646 kasus tersebut, sebanyak 35,6%

atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada

8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus. Insidensi SSJ dan NET semakin

meningkat karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat (Lee, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Indrastiti dkk. (2015) di Rumah Sakit

Umum Daerah Semarang periode tahun 2008-2014 pada penderita SSJ dan NET yang

dihubungkan dengan usia, riwayat atopi dan konsumsi obat-obatan ditemukan bahwa

24 sampel penderita SSJ diperoleh mayoritas berusia lebih dari 40 tahun yaitu

sebanyak 11 orang (45.8%) dan didapatkan paling sedikit penderita SSJ pada usia

kurang dari 4 tahun yaitu sebanyak 4 0rang (16.7%). Pada penderita NET diperoleh 3

sampel dimana seluruhnya berusia lebih dari 40 tahun (100%). Distribusi riwayat

atopi pada SSJ dan NET, diperoleh hasil sampel penderita SSJ mayoritas memiliki

riwayat atopi sebanyak 18 orang (75%). Pada penderita NET diperoleh mayoritas

penderita NET memiliki riwayat atopi sebanyak 2 orang (66,7%). Distribusi golongan

obat pada kejadaian SSJ dan NET, dari 24 sampel penderita SSJ, diperoleh hasil

sampel pasien SSJ mayoritas mengkonsumsi golongan obat antipiretik yaitu 8 orang

(33.3%) dan didapatkan paling sedikit mengkonsumsi golongan obat antikonvulsan

yaitu sebanyak 1 orang(4,2%). Pada penderita NET yaitu sebanyak 3 orang diperoleh

26
pasien NET mayoritas mengkonsumsi golongan obat antibiotik yaitu sebanyak 2

orang (66.7%).

Berdasarkan penelitian deskriptif retrospektif yang dilakukan oleh Fitriana,

dkk. (2018) pada pasien SJS dan TEN di RSUD Dr.Soetomo Surabaya usia 0-18

tahun pada periode 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2016 ditemukan sampel

sebanyak 19 orang. Dari 19 sampel ini ditemukan bahwa penyebab utamanya oleh

reaksi alergi tubuh yaitu sebanyak 15 orang pasien dengan persentase sebesar 79%,

sedangkan 4 orang pasien lainnya masih belum diketahui penyebab timbulnya

penyakit. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa pada beberapa pasien, terdapat

lebih dari satu obat penginduksi terjadinya penyakit. Satu diantara empat pasien

dengan etiologi yang masih belum diketahui menderita pneumonia sebagai penyakit

penyerta. Terdapat kemungkinan jika SJS yang diderita oleh pasien dapat disebabkan

oleh bakteri penyebab pneumonia yaitu Mycoplasma pneumoniae. Obat penginduksi

terbanyak yang ditemukan pada pasien dalam penelitian ini adalah jenis

acetaminophen yang ditemukan pada 8 orang pasien (24%), kemudian antibiotik

golongan cephalosporin (15%), dan antibiotik golongan penicillin (9%). Manifestasi

klinis yang dapat ditemukan pada subjek penelitian adalah manifestasi pada kulit

maupun pada mukosa. Kedua bentuk manifestasi ini ditemukan terjadi pada seluruh

subjek dalam penelitian ini. Manifestasi klinis pada mukosa dapat terjadi pada

mukosa mulut, genitalia, dan mata. Selain itu, pada penelitian ini juga dapat

ditemukan bahwa dalam satu orang subjek penelitian dapat mengalami lebih dari satu

manifestasi klinis. Gambaran manifestasi klinis pada kulit berupa makula ditemukan

pada seluruh pasien (100%) dalam penelitian ini. Makula tersebut terdiri dari makula

hiperpigmentasi pada 13 pasien (68%), makula eritematosa pada 11 pasien (58%),

dan terdapat 5 pasien (26%) yang memiliki manifestasi klinis campuran antara

27
makula hiperpigmentasi dan eritematosa. Manifestasi klinis pada mukosa terbanyak

yang diamati pada subjek dalam penelitian ini adalah manifestasi klinis pada mukosa

mulut berupa lesi mukosa bibir yang ditemukan terjadi pada tiga belas orang pasien

(68%), manifestasi klinis pada mata berupa hiperemi konjungtiva pada sembilan

orang pasien (47%), dan manifestasi klinis pada mukosa genitalia berupa lesi pada

mukosa genitalia pada tujuh orang pasien (37%). Ditemukan 13 orang subjek

penelitian yang juga menderita penyakit penyerta. Penyakit penyerta terbanyak yang

ditemukan terjadi pada subjek penelitian adalah malnutrisi yang dialami oleh 4 orang

pasien (31%), kemudian konjungtivis yang juga dialami oleh 4 orang pasien (31%)

dari total 13 orang pasien. Selain itu, berdasarkan pengamatan dalam penelitian ini

dapat ditemukan bahwa dalam satu orang subjek penelitian dapat menderita lebih dari

satu penyakit penyerta. Berdasarkan pengamatan pada subjek penelitian, terdapat 6

orang pasien yang mengalami komplikasi (32%). Gambaran distribusi komplikasi

terbanyak yang dapat diamati adalah konjungtivitis yang terjadi pada 4 orang pasien

(67%) dari total 6 orang pasien. Selain itu, dalam satu pasien dapat ditemukan lebih

dari satu komplikasi, dan pasien dengan komplikasi yang lebih parah ditemukan

terjadi pada pasien yang mengalami SJS-TEN overlap maupun TEN. Lama

perawatan terbanyak yang dialami subjek dalam penelitian ini yaitu selama 1 hingga

7 hari dengan jumlah delapan orang dari (53%). Rata-rata lama perawatan pasien

adalah 11,6 hari. Lama perawatan terpendek yaitu selama empat hari, sementara lama

perawatan terpanjang adalah 31 hari. Berdasarkan pengamatan didapatkan bahwa 10

orang pasien membutuhkan konsultasi ke dokter lain. Distribusi konsultasi ke dokter

lain terbanyak yang dibutuhkan oleh pasien adalah konsultasi ke dokter spesialis mata

pada 8 orang pasien (80%) dari total 10 orang pasien. Selain itu pada penelitian ini

juga ditemukan bahwa ada beberapa pasien yang membutuhkan lebih dari 1

28
konsultasi ke dokter lain. Tatalaksana terapi terbanyak pada pasien yang menjadi

subjek dalam penelitian ini adalah melakukan penghentian administrasi obat

penginduksi timbulnya SJS, SJS-TEN overlap, maupun TEN yang mana hal ini

dilakukan pada 15 orang pasien (79%). Selain itu, terdapat 19 pasien yang menjadi

subjek dalam penelitian ini juga mendapatkan lebih dari satu terapi selama masa

perawatannya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nur (2011) yang dilakukan di RSU

dr. Soedarso Pontianak pada bulan April - Juli 2011 pada pasien Drug Eruption di

RSU dr. Soedarso Pontianak selama periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31

Desember 2010 didapatkan subjek pada penelitian ini adalah 95 pasien Drug

Eruption di poliklinik kulit dan kelamin serta rawat inap RSU dr. Soedarso

Pontianak. Didapatkan pasien laki-laki sebanyak 44 (46,3%) dan 51 perempuan

(53,7%). Didapatkan proporsi kasus untuk Drug Eruption non-SJS sejumlah 55 kasus

(58%) dan proporsi kasus Sindrom Steven-Johnson sebanyak 40 kasus (42%).

Diagram hasil penelitian tentang jenis kelamin pasien Sindrom Steven-Johnson

adalah sebanyak 17 laki-laki (43%) dan 23 perempuan (57%). Diagram kelompok

umur pasien Sindrom Steven-Johnson, didapatkan kelompok umur yang terbanyak

menderita Sindrom Steven-Johnson adalah kelompok usia 11-20 tahun dengan

persentase sebesar 20%, disusul oleh kelompok umur 41-50 tahun dan kelompok

umur 61-70 tahun dengan persentase masing-masing sebesar 17% dan 15%.

Kelompok umur dengan persentase terkecil adalah kelompok umur 71-80 tahun

dengan persentase sebesar 3%. Berdasarkan diagram obat penyebab Sindrom Stevens

Johnson didapatkan hasil sebanyak masing-masing 14 kasus untuk cefadroxil dan

sulfadoksin dengan persentase yang sama yaitu sebesar 35%,piroxicam sebanyak 7

29
kasus (17%), amoxicillin sebanyak 3 kasus (8%) dan antikonvulsan sebanyak 2 kasus

dengan persentase terkecil yaitu 5%.

BAB 4

Data Penderita SJS di RSUD Kab.Jombang

Tahun 2016 -2017

Jumlah penderita : 56

Jenis kelamin pria : 19 Wanita :37

Usia <20 tahun :8

21-40 tahun :23

41-60 tahun :10

>60 tahun :15

Obat penyebab Analgetik :21

Antibiotik :17

Antiepilepsi : 13

Antipiretik :3

Tidak diket :2

Rentang waktu muncul gejala klinis :

1-3 hari :32

4-6 hari :21

 7 hari :3

Penyakit penyerta :

30
Gout/RA : 21

HIV :15

Epilepsy :13

Diare :4

Ispa :3

Keluhan Klinis :

Kulit : 56

Mucosa :

Mulut : 32

Mulut+Mata : 17

Mulut+Mata+Genitalia : 7

Kelainan Organ lain : 11

Meninggal Dunia selama perawatan :4

31
32

Anda mungkin juga menyukai