Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

DEFINISI, SIFAT-SIFAT DAN ASAL MULA BATUBARA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pemrosesan batubara

Oleh:
TABAH (122018002)

Dosen Pengampu:
Netty Herawati, S.T., M.T

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur diatas kuasa Allah SWT., karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, para sahabat, keluarga serta umatnya hingga akhir zaman.
Makalah tentang “Definis, Sifat-Sifat, dan Asal Mula Batubara” ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pemrosesan Batubara pada Program Studi Teknik
Kimia, Universitas Muhammadiyah Palembang.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya mencapai kesempurnaan, hal
ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis yang masih perlu banyak
belajar. Oleh karena itu jika terdapat kekurangan dan kesalahan penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan penulis dalam membuat karya tulis di waktu
yang akan datang. Penulis berharap semoga maklah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, 09 Mei 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
2.1 Definisi Batubara......................................................................................... 3
2. 2 Sifat-Sifat Batubara.................................................................................... 5
2.2.1 Sifat Fisik Batubara............................................................................... 5
2.2.2 Sifat Kimia Batubara ............................................................................ 7
2.3 Asal Mula Batubara...................................................................................... 8
2.3.1 Teori Pembentukan Batubara................................................................ 8
2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara........................... 10
2.3.3 Proses Pembentukan Batubara.............................................................. 10
2.3.4 Material Pembentuk Batubara............................................................... 15
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 17
3.2 Saran............................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumber daya
alam yang melimpah, baik itu sumber daya alam hayati maupun sumber daya alam non-
hayati. Sumber daya  mineral merupakan salah satu jenis sumber daya  non-hayati.
Sumber daya  mineral yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Endapan bahan galian pada umumnya tersebar secara
tidak merata di dalam kulit bumi. Sumber daya mineral tersebut antara lain: minyak
bumi, emas, batu bara, perak, timah, dan lain-lain.
Sumber daya itu diambil dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia. Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan
nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat
dengan memperhatikan kelestarian hidup sekitar. Salah satu kegiatan dalam
memanfaatkan sumber daya alam adalah kegiatan penambangan bahan galian, tetapi
kegiatan penambangan selain menimbulkan dampak positif juga dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan hidup terutama perusahaannya ,bentang alam,
berubahnya estetika lingkungan, habitat flora dan fauna menjadi rusak, penurunan
kualitas tanah, penurunan kualitas air atau penurunan permukaan air tanah, timbulnya
debu dan kebisingan.
Sumber daya mineral yang berupa endapan bahan galian memiliki sifat khusus
dibandingkan dengan sumber daya lain yaitu biasanya disebut wasting assets atau
diusahakan ditambang, maka bahan galian tersebut tidak akan “tumbuh” atau tidak dapat
diperbaharui kembali. Dengan kata lain industri pertambangan merupakan industri dasar
tanpa daur, oleh karena itu di dalam mengusahakan industri pertambangan akan selalu
berhadapan dengan sesuatu yang serba terbatas, baik lokasi, jenis, jumlah maupun mutu
materialnya. Keterbatasan tersebut ditambah lagi dengan usaha meningkatkan
keselamatan kerja serta menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian
dalam mengelola sumberdaya mineral diperlukan penerapan system penambangan yang
sesuai dan tepat, baik ditinjau dari segi teknik maupun ekonomis,agar perolehannya
dapat optimal (Prodjosoemanto, 2006 dalam Ahyani, 2011).
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi
lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh
syn-sedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah
batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.
Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan
Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan
Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan
sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang
lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut
Skala waktu geologi. Di Indonesia produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar
44 juta ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi
dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan
untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk rumah
tangga dan industri kecil.

1.2 Rumusan Masalah


Dari berbagai pemarapan diatas mengenai batubara, adapun rumusan masalahnya yaitu:
1. Apa definisi batubara?
2. Bagaimana sifat-sifat dari batubara?
3. Bagaimana asal mula adanya batubara?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi dari batubara
2. Untuk mengetahui sifat-sifat dari batubara
3. Untuk mengetahui asal mula adanya batubara
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Batubara


Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang berasal dari batuan sedimen
yang dapat terbakar dan terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa
tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri
dari karbon, hidrogen dan oksigen (Wikipedia, 2016). Batubara merupakan salah satu
sumber energi di Indonesia. Jumlah batubara di Indonesia mencapai 120,5 miliar ton dan
cadangannya mencapai 31,35 miliar ton (Badan Geologi, 2013).
Batubara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang
awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Penimbunan danau dan sedimen
lainnya, bersama dengan pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik)
mengubur rawa dan gambut yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam.
Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena suhu dan tekanan yang
tinggi sehingga menyebabkan tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan fisik dan
kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian menjadi
batubara. Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode
Pembentukan Karbon atau Batubara) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.
Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama
waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut
berubah menjadi lignite (batubara muda) atau brown coal (batubara coklat) yang
merupakan batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan
batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam
pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus
menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara ‘sub-
bitumen’. Perubahan kimia dan fisik terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih
keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’.
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit. Tingkat perubahan yang dialami batubara, dari
gambut sampai menjadi antrasit disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang
penting dan hubungan tersebut disebut sebagai ‘tingkat mutu’ batubara. Batubara dengan
mutu yang rendah, seperti batubara muda dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan
materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Batubara muda memilih tingkat
kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan demikian
kandungan energinya rendah. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih
keras dan kuat dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan
mutu yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat
kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak. Antrasit
adalah batubara dengan mutu yang paling baik dan dengan demikian memiliki
kandungan karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat kelembaban yang lebih
rendah. Materi pembentuk batubara, hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari
tumbuhan, jenis-jenis tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel
(1981) adalah sebagai berikut:
1. Alga, dari zaman prekambrium hingga ordovisium dan bersel tunggal sangat sedikit
endapan batubara dari periode ini Silofita, dari zaman Silur hingga devon tengah
merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batubara dari periode ini. 
2. Plirodefita, umur devon atas hingga karbon atas. Tumbuhan pembentuknya
merupakan tumbuhan tanpa bunga dan biji serta berkembang biak dengan spora. 
3. Gimnospermae, dari zaman permian hingga kapur tengah. Tumbuhan heteroseksual,
biji terbungkus dalam buah, contohnya Pinus. 
4. Angiosspermae, dari zaman kapur atas. Jenis tumbuhan modern, buah menutupi biji,
jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae
sehingga secara umum kurang terawetkan.

Kelas dan jenis batubara, Berdasarkan proses pembentukannya yang dikontrol oleh
tekanan, panas, dan waktu, umumnya batubara dibagi kedalam lima kelas yaitu:
1. Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan. (luster)
metalik. Mengandung antara 86 %-98 % unsur karbon (C) dengan kadar air kurang
dari 8 %.
2. Bituminus mengandung 68-86 % Unsur karbon (c) dan berkadar air 8-10 % dari
beratnya.
3. Subbituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air. Sehingga menjadi sumber
panas yang kurang efisien dibanding dengan bituminus. 
4. Lignit atau batubara cokelat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air
35-75 % dari beratnya.
5. Gambut, berpori dan memiliki kadar air diatas 75 % serta memiliki nilai kalori yang
paling rendah.

2.2 Sifat-Sifat Batubara


Batubara memiliki sifat-sifat fisik dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui
dalam berbagai bentuk. Analisis unsur memberikan rumus formula empiris seperti
C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.

Gambar 2.2
Rumus Bangun Batubara
(USGS dalam Chapter II, 2016)
2.2.1 Sifat Fisik Batubara
Sifat fisik batubara tergantung kepada unsur kimia yang membentuk batubara
tersebut, semua sifat fisik yang dikemukakan dibawah ini mempunyai hubungan
erat satu sama lain.
1. Berat Jenis
Berat jenis (specific gravity) batubara berkisar dari 1,25g/cm3 sampai 1,70
g/cm3, pertambahannya sesuai dengan peningkatan derajat batubaranya. Tetapi
berat jenis batubara turun sedikit dari lignit (1,5g/cm3) sampai batubara
bituminous (1,25g/cm3), kemudian naik lagi menjadi 1,5g/cm 3 untuk antrasit
sampai grafit (2,2g/cm3). Berat jenis batubara juga sangat bergantung pada
jumlah dan jenis mineral yang dikandung abu dan juga kekompakan
porositasnya. Kandungan karbon juga akan mempengaruhi kualitas batubara
dalam penggunaan. Batubara jenis yang rendah menyebabkan sifat pembakaran
yang baik.

2. Kekerasan
Kekerasan batubara berkaitan dengan struktur batubara yang ada. Keras
atau lemahnya batubara juga terkandung pada komposisi dan jenis batubaranya.
Uji kekerasan batubara dapat dilakukan dengan mesin Hardgrove Grindibility
Index (HGI). Nilai HGI menunjukan niali kekersan batubara. Nilai HGI
berbanding terbalik dengan kekerasan batubara. Semakin tinggi nilai HGI ,
maka batubara tersebut semakin lunak. Dan sebaliknya, jika nilai HGI batubara
tersebut semakin rendah maka batubara tersebut semakin keras.
3. Warna
Warna batubara bervariasi mulai dari berwarna coklat pada lignit sampai
warna hitam legam pada antrasit. Warna variasi litotipe (batubara yang kaya
akan vitrain) umumnya berwarna cerah.
4. Goresan
Goresan batubara warnanya berkisar antara terang sampai coklat tua. Pada
lignit, mempunyai goresan hitam keabu-abuan, batubara berbitumin mempunyai
warna goresan hitam, batubara cannel mempunyai warna goresan dari coklat
sampai hitam legam. 
5. Pecahan
Pecahan dari batubara memperlihatkan bentuk dari potongan batubara
dalam sifat memecahnya. Ini dapat pula memeperlihatkan sifat dan mutu dari
suatu batubara. Antrasit dan batubara cannel mempunyai pecahan konkoidal.
Batubara dengan zat terbang tinggi, cenderung memecah dalam bentuk persegi,
balok atau kubus.

2.2.2 Sifat Kimia Batubara


Sifat kimia dari batubara sangat berhubungan langsung dengan senyawa
penyusun dari batubara tersebut, baik senyawa organik ataupun senyawa
anorganik. Sifat kimia dari batubara dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Karbon
Jumlah karbon yang terdapat dalam batubara bertambah sesuai dengan
peningkatan derajat batubaranya. Kenaikan derajatnya dari 60% sampai 100%.
Persentase akan lebih kecil daripada lignit dan menjadi besar pada antrasit dan
hamper 100% dalam grafit. Unsur karbon dalam batubara sangat penting
peranannya sebagai penyebab panas. Karbon dalam batubara tidak berada dalam
unsurnya tetapi dalam bentuk senyawa. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah
karbon yang besar yang dipisahkan dalam bentuk zat terbang.
2. Hidrogen
Hidrogen yang terdapat dalam batubara berangsur-angsur habis akibat
evolusi metan. Kandungan hidrogen dalam liginit berkisar antara 5%, 6% dan
4.5% dalam batubara berbitumin serta sekitar 3% smpai 3,5% dalam antrasit.
3. Oksigen
Oksigen yang terdapat dalam batubara merupakan oksigen yang tidak
reaktif. Sebagaimana dengan hidrogen kandungan oksigen akan berkurang
selam evolusi atau pembentukan air dan karbondioksida. Kandungan oksigen
dalam lignit sekitar 20% atau lebih, dalam batubara berbitumin sekitar 4%
sampai 10% dan sekitar 1,5% sampai 2% dalam batubara antrasit.
4. Nitrogen
Nitrogen yang terdapat dalam batubara berupa senyawa organik yang
terbentuk sepenuhnya dari protein bahan tanaman asalnya jumlahnya sekitar
0,55% sampai 3%. Batubara berbitumin biasanya mengandung lebih banyak
nitrogen daripada lignit dan antrasit. 
5. Sulfur
Sulfur dalam batubara biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan
kemungkinan berasal dari pembentuk dan diperkaya oleh bakteri sulfur. Sulfur
dalam batubara biasanya kurang dari 4%, tetapi dalam beberapa hal sulfurnya
bisa mempunyai konsentrasi yang tinggi. Sulfur terdapat dalam tiga bentuk,
yaitu:
 Sulfur Piritik (piritic Sulfur)
Sulfur Piritik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur
yang terdapat dalam makrodeposit (lensa, urat, kekar, dan bola) dan
mikrodeposit (partikel halus yang menyebar). 
 Sulfur Organik
Sulfur Organik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur,
biasanya berasosiasi dengan konsentrasi sulfat selama pertumbuhan
endapan. 
 Sulfat Sulfur
Sulfat terutama berupa kalsium dan besi, jumlahnya relatif kecil dari
seluruh jumlah sulfurnya.

2.3 Asal Mula Batubara


Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan
Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung
antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara
ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai
‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batu bara muda)
atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ dengan jenis maturitas organik rendah.
Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan warnanya
bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan.
Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun,
batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas
organiknya dan mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-bitumen’. Perubahan
kimiawi dan fisik terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya
lebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat,
penigkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk
antrasit.
2.3.1 Teori Pembentukan Batubara
Pembentukan batubara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada
era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang
lalu (jtl) adalah masa pembentukan batubara yang paling produktif dimana hampir
seluruh deposit batu bara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara
terbentuk. Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan endapan batu
bara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung
terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di berbagai belahan bumi lain.
Batubara merupakan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini. Secara
umum, batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang mengalami pengendapan pada
tekanan dan suhu yang tinggi selama jutaan tahun. Berdasarkan terjadinya batubara, ada
dua teori yang menggambarkan pembentukan batubara yaitu sebagai berikut:
1. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentukan lapisan batubara,
terbentuknya di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal batubara itu berada. Dengan
demikian segera setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses
transportasi, tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalificatio. Jenis
batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran yang luas dan merata
dengan kualitas yang baik, karena abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk
menurut teori Insitu terdapat di Muara Enim, Sumatera Selatan.
Berdasarkan teori ini, batubara terbentuk dari tumbuhan yang berasal dari hutan
yang merupakan tempat batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk di
daerah ini biasanya terjadi di hutan basah dan berawa. Tumbuh-tumbuhan roboh dan
mati kemudian tenggelam dalam rawa tersebut kemudian mengendap dan mengalami
pembusukan dalam waktu yang lama.
2. Teori Drift
Berbeda dengan teori Insitu, batubara yang terbentuk menurut teori ini adalah
batubara dari tumbuhan atau pohon yang bukan berasal dari tempat batubara tersebut
terbentuk. Batubara yang terbentuk berdasarkan teori ini telah mengalami perpindahan
dan biasanya terbentuk di daerah delta. Adapun ciri-ciri batubaranya itu dengan
lapisan tipis, tidak menerus (splitting), dan banyak pengotor.
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terjadinya di tempat yang berbeda dengan tempat asalnya. Dengan demikian
tumbuhan yang telah mati terbawa oleh arus air dan berakumulasi di suatu tempat.
Batubara yang terbentuk menurut Teori ini terdapat di Mahakam Purba, Kalimantan
Timur.
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan
yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa
dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 -
-[10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan unsur H, N, O, dan C
dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh
bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati
1992).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi,
kimia, dan fisik yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang
menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari
gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan
meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer,
1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai
tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus,
semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.

3.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara


Ada tiga faktor yang mempengaruhi proses pembetukan batubara yaitu: umur,
suhu dan tekanan. Mutu endapan batubara juga ditentukan oleh suhu, tekanan serta
lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik. Pembentukan
batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) dikenal
sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta
tahun yang lalu. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut/peat
(C60H6O34) yang selanjutnya berubah menjadi batubara muda (lignite) atau disebut
pula batubara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batubara dengan jenis
maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara sub-
bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisik terus berlangsung hingga
batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk
bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit. Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya
menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara.
Disamping itu semakin tinggi peringkat batubara, maka kadar karbon akan
meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat
pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau mutu batubara,
maka batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu
rendah seperti lignite dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang
rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture)
yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga
rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak,
serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan
berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan
energinya juga semakin besar.

3.3.3 Proses Pembentukan Batubara


Proses pembentukan batubara dari tumbuhan mengalami dua tahap, yaitu tahap
pembentukan gambut (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification) :
1. Tahap Pembentukan Gambut (peatification)
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia
yang secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu zona permukaan yang
umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zona tengah sampai
kedalaman 0,5m yang disebut dengan peatigenic layer (Teichmuller, 1982). Pada
zona peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut, dan actinomyces yang aktif. Bakteri
aerob akan menyebabkan oksidasi biologi pada komponen-komponen tumbuhan
yang material utamanya adalah cellulose. Senyawa-senyawa protein dan gula
cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah menjadi glikose dengan cara
hidrolisis:
C6H10O5 + H2O Փ C6H12O6
(sellulosa) (glukosa)
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada
penguraian lengkap dari senyawa organik, yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 Փ 6 CO2 + 5 H2O

Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid


dan umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material resin
umumnya hanya mengalami perubahan sedikit. Apabila kandungan oksigen air
rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya kedalaman, sehingga tidak
memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak
mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna, dengan kata
lain tidak terjadi proses oksidasi yang sempurna.
Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi
melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut (peat).
Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan mati
dan diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10m, dimana kehidupan
bakteri makin berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi
primer, polymerisasi, dan reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi
oksigen dari substansi organik dan mengubahnya menjadi produk bituminous yang
kaya hidrogen, selanjutnya dengan tidak tersedianya oksigen, maka hidrogen dan
karbon akan menjadi  H2O, CH4, CO, dan CO2.
Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai
pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya sampai
peatigenic layer, yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi, pertambahan
kandungan karbon mencapai 64%. Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic
layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya substansi yang mengandung
oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang diubah secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan
proses penting yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada
kedalaman. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi proses humifikasi dimana
bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi lingkungan berikut ini:
a. Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
b. Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan
untuk bakteri anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.
c. Suplay oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.
d. Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan
bakteri.

Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984), menyebutkan


bahwa pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang
sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas
bakteri dan penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses
penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam
kaitannya dengan ketersediaan oksigen, dimana salah satu dari empat proses
biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1. Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration),
menghasilkan zat terbang, terutama CO2, metan, dan air. Umumnya
menghasilkan sisa yang tidak padat. Beberapa unsur utama tumbuhan akan
lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin (getah) dan lilin.
2. Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah
menjadi humus akibat oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya
kandungan air lembab. Batubara yang dihasilkan berupa humic coal.
3. Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas
lapisan yang terakumulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya
pada lingkungan yang reduksi dan adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan
tumbuhan menjadi hancur, kemudian terakumulasi dan menjadi gambut,
selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4. Putrefaction (permentasi) yaitu penguraian hancuran tanaman akuatik
(terutama algae), bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi
pada kondisi air diam (stagnant), hasilnya membentuk sapropel, sedangkan
batubara yang dihasilkan adalah batubara sapropelik. 
Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:
a. Berwarna kecoklatan sampai hitam.
b. Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)
c. Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
d. Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat cellulose (pada
brown coal cellulose tidak hadir).
e. Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
f. Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.
Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara pasti
membedakan antara peat dan brown coal, apalagi proses perubahannya
berlangsung secara bertahap.

2. Tahap pembatubaraan (coalification)


Menurut Stach (1982) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut
sebagai tahap fisik-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari
gambut menjadi batubara secara bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal,
bituminous coal, semi anthracite, anthracite, meta-anthracite) yang disebabkan
oleh peningkatan temperatur dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh
lapisan sedimen, maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut,
tekanan akan meningkat dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan
yang bertambah akan mengakibatkan peningkatan temperatur. Disamping itu,
temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman yang disebut
gradien geotermal. Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan oleh
aktivitas magma dan aktivitas tektonik lainnya.
Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi
gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air,
pelepasan gas-gas (H2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan
kekerasan, serta peningkatan kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu
merupakan faktor-faktor yang menentukan “kualitas” batubara. Pada tahap ini
terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri menerus
dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta hidrogen
makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan
reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisik.
Perubahan-perubahan fisik-kimia yang berlangsung secara bertahap.
1) Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai
membentuk endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan
sedikit CO2 membentuk C65H4O30 yang dalam kondisi dry basis besarnya
analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
2) Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat
rendah dengan susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon
80,4%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 19,1%.
3) Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah
sampai tingkat medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat
tinggi. Pada tahap ini kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai
satu atom oksigen tertinggal di molekul.
4) Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen
menurun lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan
empat adalah CH4, CO2, dan sedikit H2O.
5) Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen
tetap dan kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap
sebelumnya.

Sementara proses pembentukan batubara pada umumnya di bagi menjadi


dua tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Peatification (Tahap Penggambutan)
Pada tahap ini, sisa-sisa tumbuhan mengendap dan tersimpan dalam
kondisi bebas oksigen (anaerob). Material tumbuhan ini melepaskan H, N, O
dan C dalam bentuk CO2, H2O, dan NH3 menjadi hunus. Bakteri anaerob
akan mengubah tumpukan sisa tumbuhan ini menjadi gambut.
2. Coalification (Pembatubaraan)
Pada tahap ini, endapan batubara terus mengalami pembebanan hingga
semakin menumpuk dan memadat. Tahap ini merupakan gabungan dari
proses biologi, kimia, dan fisik. Pada tahap ini, komposisi karbon akan
meningkat, sementara komposisi hidrogen dan oksigen akan berkurang.
Melalui proses ini,  batubara akan terbagi menjadi berdasarkan tingkat
kematangan.

3.3.4 Material Pembentuk Batubara


 Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya antara lain :
a. Algae, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
b. Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari algae. Sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
c. Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara
berumur Karbon di Eropa dan Amerika utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji,
berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
d. Gymnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah.
Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung
kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pterydospermae seperti gangamopteris dan glossopteris
adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
e. Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang
menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding
gimnospermae.

 Klasifikasi Batubara
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan
waktu, batubara umumnya dibagi dalam beberapa kelas yaitu:
a. Lignit
Lignit merupakan batubara peringkat rendah dimana kedudukan lignit dalam
tingkat klasifikasi batubara berada pada daerah transisi dari jenis gambut ke batubara.
Lignit adalah batubara yang berwarna hitam dan memiliki tekstur seperti kayu. Sifat
batubara jenis lignit:
1. Warna hitam, sangat rapuh.
2. Nilai kalor rendah, kandungan karbon sedikit
3. Kandungan air tinggi
4. Kandungan abu banyak
5. Kandungan sulfur banyak (Sukandarrumidi, 2006)
b. Sub-Bituminus
Batubara jenis ini merupakan peralihan antara jenis lignit dan bituminus.
Batubara jenis ini memiliki warna hitam yang mempunyai kandungan air, zat terbang,
dan oksigen yang tinggi serta memiliki kandungan karbon yang rendah. Sifat-sifat
tersebut menunjukkan bahwa batubara jenis sub-bituminus ini merupakan batubara
tingkat rendah.
c. Bituminus
Batubara jenis ini merupakan batubara yang berwarna hitam dengan tekstur
ikatan yang baik. Sifat batubara jenis bituminus:
1. Warna hitam mengkilat, kurang kompak
2. Nilai kalor tinggi, kandungan karbon relatif tinggi
3. Kandungan air sedikit
4. Kandungan abu sedikit
5. Kandungan sulfur sedikit
d. Antrasit
Antrasit merupakan batubara paling tinggi tingkatan yang mempunyai kandungan
karbon lebih dari 93% dan kandungan zat terbang kurang dari 10%. Antrasit umumnya
lebih keras, kuat dan seringkali berwarna hitam mengkilat seperti kaca (Yunita, 2000).
Sifat batubara jenis antrasit :
1. Warna hitam sangat mengkilat, kompak
2. Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon sangat tinggi
3. Kandungan air sangat sedikit
4. Kandungan abu sangat sedikit
5. Kandungan sulfur sangat sedikit

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan
Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung
antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara
ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai
‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batu bara muda)
atau ‘brown coal’ (batu bara coklat)’ – Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas
organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak
lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat
pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batu bara muda
mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan
mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-bitumen’.
Perubahan kimiawi dan fisik terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih
keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi
yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit. Proses pembentukan batubara dari tumbuhan mengalami dua tahap,
yaitu :
a. Tahap Pembentukan Gambut (peatification)
b. Tahap pembatubaraan (coalification)

3.2 Saran
Sebaiknya sumber daya alam seperti Batubara yang ada di Indonesia dipergunakan
sebaik mungkin sehingga kemanfaatan bahan bakar fosil dapat berjalan secara
maksimal,karena bahan bakar fosil tidak dapat diperbarui dan juga dalam proses
pembentukannya membutuhan waktu yang sangat lama.

DAFTAR PUSTAKA

Arief.T, Said.M. 2009. Analisis Kebutuhan Batubara dan Gas Bumi Sumatera Selatan Dalam
Menunjang Pengelolaan Sumberdaya Energi Yang Berwawasan Lingkungan
SebagaicSalah Satu Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumsel. Jurnal
Pembangunan Manusia Edisi 5.

Bapedalda Provinsi Sumatera Selatan. 2005. Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan


Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005.

Binnie .C; Kimber.M; Smethurst.G. 2002. Basic Water Treatmen. Third Edition. RSC Press.
Cambridge UK.

Cheremisinoff, N.P. 1996. Biotechnology For Waste And Wastewater Treatment. Noyes
Publications. New Jerasy, USA.

Fitriyanti R . 2013. Karakteristik Limbah Cair Stockpile Batubara. Jurnal Media Teknik
Volume 10 No 1. Pusat Penelitian Fakultas Teknik Universitas PGRI Palembang.

Gusniani. 1996. Karakteristik Limbah Cair Industri. Universitas Indonesia. Jakarta .

Herlambang. 2002. Teknologi Pengolahan Limbah Cair Industri. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Lingkungan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Pemerintah Kota Samarinda.

Hugges, MA. 2000. Coagulation and Flokulation dalam Svarovsky, Ladislav. Solid-Liquid
Separation. Fourth Edition. Butterworth-Heinemann. Oxford. USA.

Anda mungkin juga menyukai