Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia sastra membentuk kesatuan yang erat hubungannya dengan cerminan,
gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang
berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau
mereka alami. Sastra tidak hanya memasuki ruang dan seluk beluk serta nilai-nilai
kehidupan personal, tetapi juga memasuki ruang dan seluk-beluk serta nilai-nilai
kehidupan manusia. Sastra bisa menelusup ke urat-urat nadi kehidupan sosial, budaya,
politik, sejarah, perekonomian, perjuangan hak-hak asasi manusia, hukum, aspirasi
rakyat, moral, dan agama (Rahmanto, 1988: 6).
Penelitian terhadap karya sastra penting dilakukan untuk mengetahui relevansi
karya sastra dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung
dalam masyarakat pada dasarnya mencerminkan realita sosial dan memberikan
pengaruh terhadap masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra dapat dijadikan medium
untuk mengetahui realitas sosial yang diolah secara kreatif oleh pengarang.
Karya sastra fiksi merupakan karya imajinasi yang menawarkan berbagai
permasalahan manusia dan kemanusiaan hidup dan kehidupan. Fiksi dapat diartikan
prosa naratif yang bersifat imajinatif, tetapi juga masuk akal dan mengandung
kebenaran yang mendramatisasi hubungan-hubungan antarmanusia berdasarkan
pengalaman kehidupan manusia yang diseleksi dan bersifat subjektif. Oleh karena itu,
sastra begitu menusuk sampai ke ranah pembaca secara global.
Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang menyajikan cerita fiksi dalam
bentuk tulisan atau kata-kata yang mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Suatu
novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia bermacam-macam masalah
dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Seorang pengarang berusaha
semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita
kehidupan lewat cerita yang ada dalam novel tersebut.
Kehidupan yang dituangkan dalam novel mencakup hubungan manusia dengan
lingkungan dan masyarakat, hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan
dirinya, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Meskipun demikian, novel tetap diakui
sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Akan tetapi, novel bukan sekedar

1
tiruan kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan oleh pengarang dari
kehidupan yang ada disekitarnya.
Novel diciptakan oleh pengarang bukan sekedar dibaca sendiri, melainkan ada
ide gagasan, pengalaman dan amanat serta nilai-nilai yang ingin disampaikannya
kepada pembaca. Pengarang berharap apa yang dituangkannya dapat menjadi sebuah
masukan, sehingga pembaca dapat mengambil nilai-nilai kehidupan dan mampu
menginterpretasikannya dalam kehidupan nyata.
Dalam hubungan dengan orang lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung setiap tindakan manusia selalu dinilai oleh manusia atau individu yang lain.
Penilaian tersebut meliputi benar salah atau baik buruknya manusia dalam bersikap
ataupun bertingkah laku. Jadi, nilai moral merupakan kaidah dan pengertian yang
menentukan hal-hal yang dianggap baik atau buruk, serta menerangkan apa yang
seharusnya dan sebaiknya dilakukan manusia terhadap manusia lainnya.
Pendidikan moral mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu untuk
mengembangkan kemampuan dan pembentukan watak, serta bertujuan untuk
mengembangkan potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa. Melalui
kegiatan membaca karya sastra dapat memperoleh pembinaan moral dan kemanusiaan
dalam kehidupan sehari-harinya. Selain itu, melalui membaca karya sastra dapat
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang dihormati oleh manusia dan akan menjaga
keutuhan manusia seperti keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.
Novel Ayah dipilih karena sangat menarik untuk dikaji. Di dalamnya terdapat
cerita yang menarik, terutama konflik-konflik yang dialami tokoh utama. Novel Ayah
menceritakan tentang kasih sayang dan cinta antara ayah dan anak. Walaupun Zorro (si
anak) bukanlah anak kandung dari Sabari (ayahnya) tapi Sabari sangat menyayangi
Zorro.
Dalam novel Ayah pengarang menyajikan nilai perjuangan seorang Ayah yang
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena alasan itu, novel Ayah dianalisis
menggunakan teori sosiologi sastra. Analisis perjuangan Sabari akan dilakukan dengan
menggunakan karakter dan perjalanan hidup yang diperagakan oleh Sabari.
Menurut Damono (2002: 8-9) secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi
adalah studi objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tetang
lembaga dan proses sosial. Sosiologi dan sastra adalah wahana pemahaman manusia.
Antara sosiologi dan sastra, ada kesamaan pandang terhadap fakta kemanusiaan.
Sosiologi mencoba mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi,
2
agama, politik dan lain-lain yang semuanya itu merupakan struktur sosial kita untuk
mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang
menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Sastra pun akan
membidik hal yang jarang atau mungkin tidak terpahami oleh sosiolog. Sastra
menawarkan kehidupan unik manusia yang bersifat imajinatif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja nilai moral yang terdapat dalam novel Ayah karya Andrea Hirata?

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Sosiologi sebagai studi yang
ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-
lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang
bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada
pengarang dan pembaca. Pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya
dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan
di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya
sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra
menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan
bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya,
fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa
diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat
kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi,
refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cerminan
kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah
kelahiran sastra tidak dalam kekosongan social (Endarswara, 2008). Bidang sosiologi
sastra merupakan bidang interdisipliner ilmu sastra dengan teori-teori ilmu sosial.
Menurut Endraswara (2008:79) sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada
masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia
dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi.
Wellek dan Austin Waren (1990:111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang
berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial
status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai
kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah
warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi
pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke
4
lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang
latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki
peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang.
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang
menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan
apa yang menjadi tujuannya. Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang
tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah
sosial. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra
sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. Beranggapan
dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah
puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam
ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang
adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya
sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, seni tidak
hanya meniru kehidupan tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru
gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih menitikberatkan pada butir kedua, yaitu
sosiologi karya sastra.
Menurut Ratna (2015: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus
diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin
oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan
yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui
kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah
kemasyarakatan.
4. Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang
lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika.
Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
5
6. masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat
diteliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua,
persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan
berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan social budayanya.
Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap
teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian
sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara
permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih
mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra
biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat. Sastra dapat dikatakan sebagai
cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai Salinan kehidupan, tidak berarti struktur
masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah
gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu
yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan
bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.

B. Perpektif Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Sastra
sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya,
berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa
perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.
Goldmann (dalam Endraswara, 2011: 79) mengemukakan tiga ciri dasar, yaitu:
(1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan,
dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan
lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang
global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan
untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.

6
C. Nilai Moral dalam Karya Sastra
Nilai moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang
disaratkan lewat cerita. Pesan moral sastra lebih memberat pada kodrati manusia yang
hakiki, bukan pada aturan yang dibuat, ditentukan, dan dihakimi manusia
(Nurgiyantoro, 2010: 321).
Dapat disimpulkan bahwa karya sastra (novel) menjadi pengaruh yang cukup
besar bagi seseorang. Karya sastra (novel) semua mengandung nilai moral, karena
pendidikan moral itu suatu peristiwa antarpribadi.

D. Aspek-Aspek Nilai Moral


Jenis moral dalam karya sastra sangat bervariasi dan tidak terbatas jumlahnya,
baik persoalan hidup maupun persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia
dan dapat diangkat sebagai ajaran moral dalam karya sastra. Secara garis besar, wujud
pesan
moral dalam karya sastra dibagi menjadi (1) hubungan manusia dengan dirinya sendiri;
(2) hubungan manusia dengan manusia lain; (3) hubungan manusia dengan lingkungan
alam dan (4) hubungan manusia dengan Tuhan (Nurgiyantoro, 2012: 323).
Persoalan hidup manusia dengan dirinya sendiri, merupakan kondisi jiwa
manusia itu sendiri. Tingkat masalahnya pun bermacammacam jenis intensitasnya.
Masalah-masalah yang hubungannya dengan sesama manusia itu antara lain dapat
berwujud persahabatan, kekeluargaan dan yang lainnya. Hubungan tersebut merupakan
kegiatan
yang berada pada lingkungan sosial masyarakat. Manusia hidup di dunia ini menempati
alam. Itulah sebabynya manusia tidak dapat dilepaskan dari alam. Setelah manusia
dapat melksanakan kegiatan hidup, maka sudah semestinya manusia bersyukur kepada
Tuhan. Seseorang yang beragama adalah orang yang mencoba memahami dan
menghayati hidup lebih dari sekedar lahiriyah saja, tetapi juga mementingkan
kebutuhan rohaniyahnya (Nurgiyantoro, 2012: 327).

7
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Nilai Religius
Kata religi berasal dari bahasa asing yaitu religion yang berarti agama atau
kepercayaan akan adanya kekuatan kodrati di atas manusia. Sedangkan religius berasal
dari kata religious yang artinya sifat religi yang terdapat pada diri seseorang.
Religius dideskripsikan sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam beribadah
sesuai dengan agama yang dianutnya, toleran kepada penganut aama lainnya dan
mampu hidup dengan rukun. Karakter religious sangat penting dalam kehidupan
seseorang dan menjadi sikap hidup yang mengacu pada tatanan dan larangan sikap yang
telah diatur dalam aturan agamanya.
Berikut ini adalah beberapa kutipan dalam novel Ayah yang menunjukan adanya
nilai religious yang disampaikan oleh pengarang.
“...Lalu pontang panting berlari ke masjid agar tak terlambat dan dimarahi guru mengaji”. (Halaman 9).

Bukti lain adanya nilai religiusitas yang dikisahkan dalam novel Ayah tersebut
dikemukakan melalui tindakan rasa syukur kepada Tuhan dengan cara berdoa agar
terkabul. Berikut ini sajian kutipan nilai religiusitas dalam novel tersebut.
“Gelisah hampir putus asa ke sana kemari anak kecil itu menawarkan diri, tetapi pintu tertutup untuknya.

Dalam kekecewaan yang dalam, dia berdoa dan terkabul. Di dinding kantor dinas pasar dilihatnya pengumuman

lomba balap sepeda di ibu kota kabupaten”. (Halama 89).

Beberapa kutipan tersebut menunjukan bahwa dalam novel tersebut tampak


nilai religius berkategori percaya kepada Tuhan dengan adanya nilai religius yang
disampaikan kepada pembaca, bahwa kita harus berusaha membiasakan berharap
kepada Tuhan yang Maha Esa. Siratan lain dari kutipan kisah novel tersebut, bahwa
Tuhanlah yang telah memberikan segalanya termasuk ilmu dan segala pemecahan
masalah. Aspek nilai religius selanjutnya adalah sikap toleransi.
Sikap toleransi sebagai bagian dari nilai pendidikan religius yang bersumber
dari Tuhan. Sikap ini diperintahkan oleh Tuhan untuk bersikap toleransi yang baik
kepada sesama manusia atau istilah dalam agama Islam (habluminanas) untuk
menciptakan rasa damai, tanpa memandang agama, ras, suku, dan golongan. Selama
golongan tersebut tidak mengganggu. Intinya kita diwajibkan saling menghargai dan
hidup berdamai dengan manusia di manapun tanpa membedakan suku, ras, dan

8
golongan. Berikut ini kutipan nilai religius dari novel Ayah yang terkandung pesan atau
memerintahkan kepada pembaca untuk hidup bertoleransi.
Kutipan dari novel Ayah menunjukkan bukti bahwa novel tersebut memuat nilai
pendidikan religius bahwa kita harus menuntut ilmu salah satunya dengan
memperdalam ajaran agama. Kendati pesan-pesan yang disampaikan tersurat dan
sebagian secara tersirat, namun nilai religius yang disampaikan pengarang untuk
mendalami ajaran agama dapat dengan mudah terinterpretasikan pembaca.

B. Nilai Persatuan
Persatuan merupakan suatu nilai yang sangat penting untuk dimiliki oleh
seseorang. Karena nilai persatuan ini akan mencegah terjadinya perpecahan yang
diakibatkan oleh perbedaan yang dimiliki seseorang kepada yang lain. Nilai persatuan
dapat mempertahankan dan menjaga keutuhan agar tidak tercerai-berai, juga dapat
menuntun kita agar melewati setiap masalah dengan cara bekerja sama.
Untuk memenangkan hati Marlena, Sabari selalu mendapat dukungan dari
sahabat-sahabatnya. Walaupun sebenarnya mereka lelah menasehati Sabari untuk
melupakan Marlena dan mencari perempuan yang lain, hati dan pikiran Sabari hanya
untuk Marlena. Ukun, Tamat, dan Toharun pun membantu Sabari sebisa mungkin,
karena tidak ingin melihat sahabatnya itu sedih dan murung. Ketiga sahabatnya itu
bersatu membantu Sabari dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya. Mereka ingin
Sabari bahagia, mereka tidak tega melihat Sabari menderita.
“Ukun menyarankan agar Sabari minta maaf kepada Lena dan Bogel secara terbuka sekaligus

mempersembahkan sebuah lagu untuk Lena melalui organ tunggal liveshow radio itu”. (Halaman 95)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Ukun memberikan saran untuk Sabari atas
insiden rumus kerucut yang membuatnya merasa bersalah kepada Marlena dan Bogel.
Sabari dan sahabatnya bersatu dalam mencari penyelesaian masalah Sabari. Karena
dengan bersatu, maka akan ditemukan solusi yang tepat. Itulah gunanya Sahabat, ada
saat Sabari membutuhkan
“Jadi, kalian mau mencari Lena dan Zorro, agar Sabari tidak jadi orang Sinting? Itu baru namanya kawan,

sungguh mulia!” (Halaman295)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Ukun dan Tamat bersatu untuk mencari
Marlena dan Zorro demi Sabari. Mereka melakukan banyak hal agar dapat menemukan
Marlena dan Zorro. Mereka kasihan melihat keadaan Sabari yang semakin memburuk

9
dan bahkan hampir gila. Mereka yakin jika mereka menemukan Marlena dan Zorro,
Sabari bisa normal kembali.
“Keesokannya, Jumat sore, berbondong-bondong orang ke dermaga untuk mengantar Tamat dan Ukun.

Banyak sekali, mereka datang karena bersimpati pada dua sahabat yang ingin mencari Lena dan Zorro, demi

sahabatnya”. (Halaman 299)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa bukan hanya Ukun dan Tamat saja yang
bersatu untuk mencari Marlena dan Zorro, tetapi orang lain pun ikut memberikan
semangat kepada Ukun dan Tamat demi mempertemukan kembali Sabari dengan
Marlena dan Zorro. Orang-orang di sekitar tempat tinggal mereka juga merasa prihatin
dengan keadaan Sabari yang menyedihkan, mereka memberi semangat dan dukungan
kepada sahabat Sabari tersebut. Semoga mereka berhasil membawa pulang Marlena
dan Zorro, itu doa mereka.

C. Saling Menghargai
Sebagaimana halnya dengan nilai persatuan, nilai saling menghargai sangat
penting bagi proses kehidupan di masyarakat. Kita harus bisa menghargai dan
menghormati orang-orang yang ada di sekitar kita.
Walaupun kadang Sabari merasa kesal dengan perkataan Ukun, Tamat, dan
Toharun yang mengatakan dia bodoh dan buta akan cintanya kepada Marlena, Sabari
tidak membenci ketiga sahabatnya itu, dia merasa bersyukur karena sahabatnya peduli
dengannya. Sabari menghargai setiap pendapat sahabatnya, walaupun pendapat mereka
bertentangan dengan Sabari.
“Sabari menyesal telah mendebat Ukun soal surat itu, lebih-lebih telah mengungkit-ungkit soal Geografi.

Setelah ditelaahnya lebih lanjut, dia memang keterlaluan. Mengidentikkan dirinya dengan satu huruf S saja dan Lena

dengan satu huruf L adalah satu perbuatan amatir yang tidak masuk akal. (Halaman 54)

“Sudahlah, Ri, semua itu hanya harapan palsu. Kasihan aku melihatmu. Masih banyak perempuan di

Belantik ni,” kata Tamat. (Halaman 54) Sabari mengangguk-angguk. Tampak benar minatnya untuk

mempertimbangkan saran itu. (Halaman 54) Sabari berterima kasih atas wejangan dan nasihat kawan-kawan

dekatnya itu. Dia sadar bahwa sudah saatnya bersikap rasional soal Lena. “Menyesal aku harus bertengkar dengan

kalian gara-gara Lena, gara-gara huruf S dan L. Maafkan aku, Boi.” Keempat sahabat itu bersalaman dengan takzim.

10
Sabari terharu. “Ah, apa jadinya aku ini tanpa kalian? Sahabat-Sahabat Terbaikku, sehidup semati, sejak dari susuan,

dalam susah dan senang makan sepinggan tidur sebantal.” (Halaman 55)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Sabari tidak setuju dengan pendapat
sahabatnya bahkan mereka sampai bertengkar kemudian Sabari menyadari
kesalahannya dan meminta maaf kepada mereka. Walau bagaimanapun mereka adalah
sahabatnya, dia menghargai nasihat sahabatnya itu, karena Sabari tahu sebenarnya
mereka mencemaskan dan peduli kepada Sabari. Sabari bersyukur memiliki sahabat
seperti mereka yang selalu ada saat dia membutuhkan.
“Permohonan maaf secara terbuka adalah sikap yang gentleman. Bahwa kau tak bisa bernyayi, semua

orang tahu itu. Bicara saja kau sumbang, apalagi bernyanyi. Namun, kau yang tak bisa bernyayi, berusaha keras

untuk bernyayi dengan baik, meski suaramu macam radio rusak, dan semua itu demi minta maaf pada Lena, betapa

tulus dan manisnya. Pasti Lena terkesan!” Tamat meyakinkan. (Halaman 96) Demi mendengar kata Lena terkesan,

membawakan lagu yang biasa dibawakan Luciano Pavarotti sekalipun Sabari siap”. (Halaman 96)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Tamat meyakinkan dan memberi saran dan
motivasi yang baik untuk Sabari. Pendapat Tamat tersebut pun disambut baik oleh
Sabari. Sabari menghargai setiap kritik dan saran dari sahabat-sahabatnya.

D. Kerja Sama
Ukun dan Tamat bekerja sama mencari Marlena dan Zorro kesana-kemari tanpa
lelah. Mereka bahkan sempat menjadi gelandangan di kota seberang karena kehabisan
uang, tetapi mereka berdua berusaha untuk mengumpulkan uang dengan bekerja
serabutan di pasar demi meraih tujuan mereka.
“Ukun berharap terjadi keajaiban sehingga Sabari mengurungkan niatnya berhenti sekolah, dan keajaiban

itu terjadi. Pontangpanting Ukun naik sepeda ke rumah Sabari. Sampai di sana napasnya tersengal-sengal. “Boi,

cepat ke sekolah! Ada lagi surat Lena untukmu!” (Halaman 74)

Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa Ukun, Tamat, dan Toharun bekerja sama
agar Sabari tidak berhenti sekolah. Mereka membuat surat palsu dengan
mengatasnamakan Lena. Mereka tidak menginginkan kalua Sabri berhenti seolah
sehingga mereka melakukan kerja sama ini.
“Tentu saja Ukun dan Tamat tahu keadaan Sabari. Mereka mencari-carinya, tetapi dia sudah hilang. Sabari

sendiri tahu dia dicari kawan-kawnnya. Dia merasa malu, dia tidak mau bertemu dengan siapa pun”. (Halaman 40)

11
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Ukun dan Tamat bekerjasama mencari di
mana keberadaan Sabari. Mereka khawatir dengan keadaan Sabari yang semain
memburuk semenjak ditinggal pleh Marlena dan Zorro.

E. Rela Berkorban
Rela berkorban merupakan cetusan jiwa atau semangat seseorang dalam
menghadapi tantangan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Semangat
adalah salah satu contoh jiwa dan semangat yang di dalamnya mengandung nilai
berkorban. Joyomartono (1990:6) mengatakan bahwa rela berkorban merupakan suatu
nilai yang sangat diperlukan dalam melakukan suatu perjuangan. Karena tanpa
pengorbanan tulus ikhlas, kita tidak akan pernah mencapai suatu kesuksesan besar
dalam suatu perjuangan.
Sabari yang merupakan pria sederhana tetapi memiliki hati yang baik, dia rela
melakukan apa saja demi mendapatkan Marlena dan membesarkan Zorro. Dia rela
mengorbankan kebahagiannya untuk orang yang dicintainya, hatinya begitu tulus.
Sabari tidak peduli dengan materi, dia juga tidak peduli dengan para tetangga yang
mencibir kehidupan rumah tangganya, dia hanya peduli kepada Marlena dan Zorro,
bahkan dirinya sendiri pun dia tidak peduli. Pengorbanan Sabari terhadap Marlena
begitu luar biasa, tidak ada orang yang sehebat Sabari.
“Jika Lena berada di kantin, Sabari pasti berada dekat rumpunrumpun beluntas di muka perpustakaan.

Berpura-pura melihatlihat sarang burung prenjak, padahal matanya mencuri pandang. Jika Lena ada di tempat parkir

sepeda, Sabari gelisah menunggunya melewati gerbang. Kalau Lena main pingpong, Sabari rajin sekali menyapu

ruang olahraga, meski bukan giliran piketnya. Kalau Lena main kasti, tak tahu siapa yang menyuruhnya, Sabari

sigap sekali latihan baris-berbaris di lapangan sekolah, sendirian”. (Halaman 37)

Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana Sabari rela berkorban, apapun


dilakukannya untuk Marlena, walaupun itu hal konyol dan aneh, tetapi bagi Sabari
itulah perjuangannya agar bisa melihat wajah Marlena dari dekat. Sabari rela
menghabiskan waktunya melakukan hal-hal tersebut.
“Sabari telah berdiri tegak menunggu Lena di bawah pohon akasia, dekat gerbang sekolah, sejak masih

gelap. Bahkan, penjaga sekolah belum bangun. Dia melihat matahari terbit, mendengar anjing menggonggong dan

ayam berkokok menjelang pagi”. (Halaman 67)

12
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Sabari rela pergi ke sekolah subuh hanya
untuk meyakinkan dirinya bahwa puisi yang ditulis Marlena itu untuknya. Dengan
penuh semangat Sabari menunggu Marlena, dia tidak Sabar menunjukkan wajahnya
pada Marlena.
“Siang itu Markoni memanggil Sabari dan menawarinya untuk menikahi Lena. Lena ada di situ, duduk

membatu menghadapi meja. Markoni meninggalkan mereka. Sabari gemetar. Sinar matahari menembus celah tirai

keong, terpantul di atas dulang tembaga di tengah meja, tempias menampar wajah Lena. Tak berkedip Lena menatap

lelaki buruk rupa yang dengan gagah berani telah menumbalkan diri untuknya”. (Halaman 170)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Sabari rela menikahi Marlena, gadis yang
sangat dicintainya itu, walaupun Marlena sedang hamil dan tidak tahu siapa Ayah anak
yang tengah dikandungnya. Sabari dengan berani mengambil langkah besar seperti itu,
dia mengorbankan dirinya sendiri. Sabari berpikir mungkin inilah jalan yang diberikan
Tuhan untuknya agar bisa bersama dengan Marlena, dengan penuh tanggung jawab
Sabari menerima Marlena apa adanya.

13
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis terhadap novel Ayah karya Andrea Hirata, diperoleh
kesimpulan bahwa nilai moral yang terdapat dalam novel tersebut meliputi 1) nilai religius, 2)
nilai persatuan, 3) nilai saling menghargai, 4) kerja sama, dan 5) rela berkorban.
1. Nilai Religius
Nilai religious tergambar pada tokoh melalui penampilan penokohan dan sajian dialog
novel tersebut. Sabari dan Marlena sebagai tokoh utama memiliki sikap agamis yang
ditunjukan dengan perilaku yang dimunculkan dalam novel. Nilai religiusitas tersebut
dimunculkan dengan pesan kepada pembaca agar mensyukuri kepada Tuhan, hidup
sikap toleran, dan mendalami ajaran agama. Ketiga pesan tersebut disampaikan baik
dari sudut pandang pengarang langsung ataupun dari dialog antartokoh.
2. Nilai Persatuan
Nilai persatuan dalam novel Ayah tersebut tergambar melalui tokoh Ukun dan Tamat.
Mereka bersatu demi kebahagiaan sahabatnya yaitu Sabari. Nilai persatuan tersebut
ditunjukan dengan pesan kepada pembaca agar selalu bersatu dalam mengahadapi
keadaan sesulit apapun karena dengan persatuan semua akan terasa menyenangkan.
3. Nilai Saling Menghargai
Dalam novel tersebut nilai saling menghargai digambarkan melalui penampilan
penokohan dan dialog. Saling menghargai tergambar pada saat Sabari akhirnya
meminta maaf kepada sahabatnya karena sampai bertengkar pada saat ia dinasihati.
Nilai saling menghargai tersebut ditunjukan dengan pesan kepada para pembaca agas
selalu saling menghargai pendapat orang lain.
4. Nilai Kerja Sama
Nilai kerjasama tergambar pada tokoh melalui penokohan dan sajian dialog novel
tersebut. Ukun, Tamat, Toharun bekerjasama agar Sabari tidak berhenti sekolah.
Mereka membuat surat palsu dengan mengatasnamakan Lena. Dari nilai tersebut
penulis menyampaikan amanat agar dalam menjalankan sesuatau kita harus
bekerjasama agar semuanya cepat selesai dan tidak terasa berat.
5. Rela Berkorban
Dalam novel Ayah nilai rela berkorban digambarkan melalui penokohan. Sabari rela
menikahi Marlena walaupun dia tau kalau Marlena sedang hamil entah dengan siapa,
itu dilakukan karena cinta Sabari kepada Marlena. Dari novel tersebut penulis
14
menyampaikan amanat kepada pembaca agar selalu berusaha membahagiakan orang
disekitarnya.
Banyak hal-hal yang menarik dari novel Ayah karya Andrea Hirata untuk dikaji nilai
moralnya. Semua nilai moral tersebut berfungsi untuk menyampaikan makna dari tiap-tiap
nilai. Penggambaran karakter Sabari yang dilakukan Andrea Hirata membuat pembaca
tersentuh akan semangat perjuangan yang dilakukannya. Andrea Hirata menyampaikan pesan
yang mendalam disetiap kata-kata yang dituliskannya dalam novel. Dari novel Ayah kita
belajar banyak hal baik yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun itu
hanyalah sebuah tulisan tetapi dapat mempengaruhi pemikiran orang lain tentang perjuangan
suatu kehidupan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.


Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Wellek, Renne Dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan Oleh Melani
Budianta). Jakarta: Pustaka Jaya.

16
Lampiran
Sinopsis Novel Ayah
Novel Ayah menceritakan tentang seorang pria bernama Sabari. Dia lelaki sederhana
yang tidak tampan juga tidak kaya. Sabari jatuh cinta kepada seorang perempuan bernama
Marlena, dia gadis cantik bermata indah dan berlesung pipi. Mereka pertama kali bertemu saat
ujian seleksi masuk SMA, tiba-tiba Marlena merampas kertas jawaban Sabari dan
menconteknya. Sabari hanya bisa diam, terpana akan kecantikan Marlena. Belum pernah dia
melihat perempuan secantik itu, padahal sebelumnya Sabari tidak peduli dengan yang namanya
cinta.
Singkat cerita, Sabari dan Marlena lulus masuk SMA, tetapi mereka tidak sekelas.
Sabari sangat senang bisa satu sekolah dengan Marlena. Dia berusaha mendekati Marlena
dengan berbagai cara. Sabari sering mengirim surat dan puisi, dia sangat pintar menulis puisi
dan nilai Bahasa Indonesianya selalu memuaskan walaupun pelajaran yang lain tidak. Sabari
bahkan masuk tim inti kasti SMA, menjadi ahli kaligrafi, masuk tim Paskibra SMA, masuk
band SMA, semua itu dilakukannya demi Marlena, tetapi Marlena tidak suka pada Sabari dan
tidak membalas perasaannya. Marlena merobek kecil-kecil surat-surat yang diberikan Sabari
kemudian dihamburkannya di tempat parkir.
Sabari tidak menyerah, dia tetap mencintai Marlena walaupun diperlakukan seperti itu.
Ukun, Tamat, dan Toharun sudah sering dan sudah capek menasihati Sabari agar melupakan
Marlena dan mencari perempuan yang lain. Tetapi ucapan sahabatnya tersebut tidak
dihiraukannya. Akhirnya, terdengar kabar bahwa Marlena berpacaran dengan Bogel Leboi.
Bogel Leboi punya segalanya, keluarga mampu, kawan banyak, berwajah menarik, populer,
trendi dan lumayan pintar. Sabari tidak putus asa, dia masih tetap mencintai Marlena. Karena
tahu Sabari mencintai Marlena, Bogel Leboi pun sering mengusilinya. Sebenarnya ada seorang
gadis bernama Izmi yang diam-diam menyukai Sabari. Dia terpesona akan kegigihan Sabari
demi mendapatkan Marlena.
Setelah lulus SMA, Sabari langsung bekerja sebagai kuli bangunan karena Ayahnya
yang sakit tidak mampu menyekolahkannya ke Universitas. Sabari bekerja dengan giat agar
bisa melupakan Marlena. Tetapi hasilnya nihil, dia masih tetap mencintai Marlena. Segala
usaha sudah dilakukannya agar Marlena hilang dari hidup dan pikirannya, Ukun dan Tamat
pun turut serta membantunya, tetapi gagal. Akhirnya, Sabari pun bekerja di pabrik percetakan
batako milik Markoni, ayahnya Marlena. Pabrik percetakan itu berada di samping rumah
keluarga Markoni. Dengan niat melihat Marlena dari kejauhan saja pun sudah membuat Sabari

17
senang. Sabari bekerja dengan giat dan bahkan mendapat penghargaan karyawan terbaik.
Marlena mengetahui Sabari bekerja di pabrik ayahnya, dia pun semakin membenci Sabari.
Suatu ketika terdengar perkelahian antara Markoni dan Marlena, ternyata Marlena
hamil tanpa tahu siapa ayah anak yang dikandungnya. Marlena memang dikenal sebagai wanita
yang sering berganti pacar, keluar malam, bahkan tidak pulang ke rumah berhari-hari. Singakat
cerita, Sabari pun mau menikah dan menjadi ayah untuk anak yang dikandung Marlena.
Dengan terpaksa, Marlena mau dinikahkan dengan Sabari. Walaupun sudah menikah, Sabari
dan Marlena tinggal terpisah di rumah orangtua masing-masing. Sabari pun tidak keberatan
dan merasa senang karena Marlena sudah menjadi istrinya.
Akhirnya, Marlena pun melahirkan seorang anak laki-laki tampan yang diberi nama
Zorro oleh Sabari, sebenarnya itu nama panggilannya, nama sebenarnya adalah Amiru. Sabari
sangat senang menjadi seorang ayah, dia merawat dan memberikan kasih sayangnya kepada
Zorro. Marlena dan Zorro pun pindah ke rumah yang baru dibangun Sabari, rumah sederhana
yang cukup untuk mereka bertiga. Perasaan Marlena pada Sabari tidak berubah, dia tetap tidak
menyukai Sabari. Marlena sering pergi dari rumah dan tidak pulang-pulang. Marlena pun
menggugat cerai Sabari dan mengambil Zorro lalu membawanya pergi.
Sabari sangat sedih kehilangan Zorro, dia sangat menyayangi Zorro. Marlena kemudian
menikah dengan dealer motor vespa di Pangkal Pinang, hanya beberapa bulan berumah tangga
dengan pria itu Marlena meminta cerai. Marlena menikah lagi di Bengkulu dengan pegawai
negeri sipil bernama Manikam. Karena merasa bosan, Marlena pun cerai dengan Manikam dan
memutuskan hidup mandiri dengan Zorro.
Setelah hampir setahun hidup mandiri, Marlena pun menikah lagi dengan seorang
musisi band asal Medan bernama JonPijareli. Mereka pun menetap di Medan. Zorro tumbuh
menjadi anak yang cerdas dan pandai membuat puisi seperti Sabari. Akhirnya Marlena pun
cerai lagi karena Jon selingkuh. Marlena dan Zorro pun tinggal di jalanan, Marlena bekerja
serabutan. Sekolah Zorro tak keruan karena sering berpindah-pindah. Mereka akhirnya pindah
ke Tanjun Pinang, Marlena bekerja di travel agent.
Setelah sekian lama ditinggal istri dan anak, Sabari menjadi linglung dan hampir tidak
waras. Dia pergi dari rumah dan tidak pulang-pulang. Sabari hidup di jalanan luntang-lantung
tidak ada tujuan. Karena kasihan melihat sahabatnya menderita, Ukun dan Tamat memutuskan
untuk mencari dan membawa pulang Marlena dan Zorro. Mereka mencari Marlena dan Zorro
melalui Zuraida, teman dekat Marlena, mereka sering berkirim surat.
Ukun dan Tamat pun dengan penuh semangat mencari Marlena dan Zorro demi sahabat
mereka Sabari. Mereka berdua berkeliling Sumatera dengan gigih, mereka bertemu dengan
18
mantan suami Marlena, JonPijareli dan Manikam, juga para sahabat pena Marlena guna
mendapatkan petunjuk keberadaan Marlena dan Zorro. Dua bulan lamanya Ukun dan Tamat
kesana-kemari mencari, bahkan mereka sampai hidup luntang-lantung di jalanan karena uang
mereka semakin menipis, mereka bekerja serabutan di pasar mengumpulkan uang untuk
ongkos menuju tempat terakhir yaitu Pelabuhan Dabo dimana Marlena dan Zorro berada.
Singkat cerita, Ukun dan Tamat pun mengirim surat kepada Sabari bahwa mereka sudah
menemukan dan akan membawa pulang Marlena dan Zorro. Sabari pun sangat senang, dia pun
akhirnya pulang ke rumah dan mempersiapkan segalanya. Sabari menunggu Marlena dan Zorro
di dermaga. Akhirnya setelah bertahun-tahun Sabari bertemu dengan Zorro dan memeluk anak
laki-lakinya itu erat-erat sambil menangis tersedu-sedu. Marlena mengizinkan Zorro tinggal
dengan Sabari. Hanya dengan Marlena Sabari pernah menikah, hingga akhir hayatnya pun
Sabari tetap mencintai Marlena. Marlena tetap berumah tangga dengan Amirza dan tinggal di
Dabo hingga tutup usia. Sebelum meninggal, dalam sakitnya Marlena berpesan untuk
dimakamkan di Belantik, dekat makam Sabari.

19

Anda mungkin juga menyukai