Anda di halaman 1dari 3

Sebenarnya perbandingan ini tidaklah sebegitu kasar seperti yang kita bayangkan.

Karena di
dalam nats Yunaninya, dipergunakan kata kynarion, yang artinya anjing kecil (cattelus, little dog,
puppy, whelp), yang manis mungil, yang biasanya menjadi teman anak-anak bermain. Bila anak-
anak makan, maka anjing-anjing kecil itu ikut dan menanti sisa-sisa makanan anak-anak itu,
yang sengaja diberi saat mereka makan. Jadi, bukannya dalam arti anjing-anjing gelandangan,
yang berkeliaran di jalan-jalan. Namun, bagaimanapun juga, perbandingan ini pasti akan
menyakiti hati wanita itu.

Tetapi reaksi ibu kanaan ini, ia sama sekali tidak merasa tersinggung. Malahan justru untuk
mengajukan argumentasi baru. Pada ayat 27, ibu itu menjawab: “Benar Tuhan, namun anjing itu
makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya”

Bahwa anak-anak harus kenyang dulu baru anjing-anjing kecil itu diberi makan, adalah hal yang
wajar. Tetapi sementara anak-anak itu makan – bayangkan saja bagaimana anak-anak kita kalau
makan, biasanya makanan berhamburan tak karuan dan berjatuhan dari meja – betapa banyak
remah roti, serpih-serpih makanan yang berhamburan. Kalau ini yang dimakan oleh anjing-
anjing kecil manis itu, bukankah tidak merugikan sama sekali bagi anak-anak itu? Jawab wanita
itu bukan hanya tepat dan jitu, tetapi juga merupakan suatu pengakuan yang penuh hikmat akan
kebenaran perkataan Yesus. Ia mengaku hak penuh dari Yesus untuk menolak permintaannya
namun serentak merendahkan dirinya dengan penuh kesadaran untuk menerima pengasihan
Tuhan. Ia tidak meminta agar Yesus memutabalikkan orde Ilahi, tetapi sebaliknya ia
mengungkapkan kepercayaannya akan kekuasaan dan wibawa Yesus yang mengatasi segala
jarak dan pembatasan antara segala bangsa. Menurut logika wanita ini, hal Yesus menolong dia,
seorang wanita yang bukan dari bangsa pilihan itu, bukanlah berarti Yesus mengkhianati
panggilan Mesias-Nya, malah justru akan merupakan penjangkauan kasih yang merangkul
seluruh dunia. Permohonan si ibu itu dikabulkan-Nya, “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah
kepadamu seperti yang kau kehendaki” (ay. 28)

Nilai cerita

Peristiwa yang dikisahkan kepada kita oleh penginjil Matius ini dan juga oleh Markus, bukanlah
sekedar untuk mengungkapkan salah satu aspek dari kebinekaan pengalaman Yesus di bumi ini,
melainkan ia dicatat, karena ia mempunyai suatu nilai yang khusus dan penting. Dan nilai
penting dari peristiwa ini ialah pada peran dan rahasia iman yang besar. Inilah yang dipuji oleh
Yesus pada si ibu tadi. Iman besar yang diungkapkan di sini ialah iman yang mengakui
sepenuhnya hak Yesus untuk menolak permintaan yang sungguh, dan serentak hanya dan melulu
berharap pada anugrah Yesus saja. Wanita ini telah dapat memberikan kepada Allah hak yang
sepenuhnya; ia mengakui, menerima kedaulatan Allah atas dirinya. Justru karena itulah
pertolongan Allah dianugrahkan kepadanya.

Rahasia iman (arti cerita ini untuk kita sekarang)

Tiga kali Yesus menunjukkan sikap “tidak” terhadap permohonan si ibu ini:

1. Dengan berdiam, membisu tak berkata apa-apa


2. Dengan memberikan penjelasan kepada murid-Nya, bahwa Ia tidak melayani permintaan
itu;
3. Secara langsung, tetapi dengan kalimat kiasan, Ia menolak permintaan si ibu

Namun, ibu tersebut tidak berputus asa. Di sinilah terjadi pergumulan (pergulatan) iman.
Si ibu telah mendengar tentang Yesus, bahwa Ia adalah pengasih, suka menolong dan membantu
yang menderita dan kesusahan. Tetapi setelah ia sendiri berjumpa dengan Yesus seolah-olah
berlawanan sekali dengan yang ia dengar. Ia justru bertemu dengan seorang yang tampak
angkuh, tidak mau tahu dengan kedukaannya, malahan seolah-olah mengambil sikap
bermusuhan dengan dia. Inikah orang yang dianggap Mesias? Inikah berita kesukaan? Justru di
sinilah muncul rahasia iman itu. Apa yang ia lihat dan alami sendiri saat itu tidak mampu
mengoyakkan niat dan tekad hatinya. Ia mati-matian bertahan pada keyakinan bahwa Yesus itu
adalah satu-satunya yang mampu menolong menyembuhkan anaknya. Seolah-olah ia berkata:
Tuhan, berlakulah sekehendak-Mu. Aku tetap percaya pada apa yang pernah kudengar dan
kuharap tentang Tuhan pasti benar adanya. Cinta kasih yang begitu besar terhadap anaknya yang
menderita sakit itu menambah kekuatannya untuk bergumul melawan tangkisan (penolakan)
Yesus. Ia memandang kepada Yesus, dan hatinya berkata: Terserah saja Tuhan! Memang aku
tidak wajar mendapat pertolongan Tuhan. Tetapi… aku tidak berbuat salah dalam hal meminta
pertolonganMu untuk menyembuhkan anakku.

Dalam diri ibu tersebut ditemukan suatu iman yang sungguh-sungguh kuat, bukan
sekedar percaya-percayaan.
Yesus berangkat dari Kapernaum dan pergi ke arah Timur Laut, ke suatu daerah jajahan
Tirus dan Sidon, yang terletak di utara Galilea. Di daerah inilah Ia bertemu dengan seorang
wanita, yang seketika mengenal Dia lalu berteriak meminta pertolongan untuk menyembuhkan
anaknya yang sakit. Keadaan penyakit anaknya ini rupanya gawat sekali. Dalam peristiwa ini
kita akan sangat terkejut melihat sikap Yesus yang berbeda sekali dengan apa yang biasanya kita
dengar,

Kalau kita percaya bahwa Allah itu setia memelihara kita dan memberi rezeki yang
cukup, maka ini adalah hal yang tidak sulit; kalau kita percaya bahwa Ia mengampuni dosa-dosa
kita, juga bukan hal yang sukar.

Tetapi adalah suatu kepercayaan yang sukar dan luar biasa beratnya untuk dipertahankan
kalau kita merasa bahwa Allah sendiri melawan kita, dan kalau kita harus bergumul melawan
Dia sampai kita menang, seperti halnya wanita Kanaan ini. Menurut martin Luther, peristiwa
wanita Kanaan ini merupakan suatu persamaan dan kesejajaran dengan peristiwa yang dialami
oleh Yakub di tepi Sungai Yabok (Kej. 32) yang bergulat dengan Tuhan sendiri, sampai fajar
merekah, dan akhirnya ia menang serta diberkati oleh Tuhan dan dianugrahkan nama Israel.

Tidak sedikit di antara kita yang sering mengeluh, karena merasa bahwa doa kita tidak
didengar oleh Tuhan. Tetapi apakah benar doa kita selama ini betul-betul suatu pergumulan,
suatu pergulatan untuk memperoleh berkat? Ataukah hanya sekedar permohonan dalam
kebimbangan, yang dikacaukan pula oleh keragu-raguan, apakah ia diterima atau ditolak?
Apakah doa kita itu didukung sepenuhnya oleh keyakinan untuk menang atau kita sudah undur
dalam sikap “tidak” yang pertama dari Tuhan?

Sering pula kita berkata: Kita tidak boleh mendesak Tuhan. Bukankah kita diajar untuk
berdoa: “Bukan kehendakku,

Anda mungkin juga menyukai