Anda di halaman 1dari 8

Tafa Nanda Resta

F1F018052

Essay Human Rights and Humanitarian Intervention pada

Kasus Konflik di Libya

A.Humanitarian Intervention

Humanitarian intervention atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan intervensi kemanusian
adalah adanya suatu campur tangan dari negara lain kepada suatu negara untuk urusan
kemanusiaan. Yang berarti bahwa suatu tindakan atas nama kemanusiaan kepada negara oleh
suatu negara untuk melakukan misi kemanusiaan. Namun ada beberapa pendapat ahli yang
memberikan berbagai macam arti mengenai Human inetrventions. Menurut Adam Roberts,
humanitarian intervention adalah intervensi militer kepada negara lain, dengan kesepakatan
yang terbatas atau tanpa kesepakatan dengan pejabat di negara tersebut, untuk mencegah
widespread suffering dan kematian sebuah populasi. Memang terkadang campur tangan
sebuah negara untuk melakukan misi kemanusiaan dalam sudut pandang Hak asasi manusia
agaknya memang benar, namun bagaimana suatu intervensi kemanusiaan tersebut hanya
menjadi suatu kamuflase politik negara adidaya semisal Amerika Serikat. Pengerahan kekuatan
militer AS ke Irak atas nama kemanusiaan dengan alasan yang cukup aneh yakni kecurigaan AS
terhadap Saddam Husain yang mengembangkan senjata kimia dan ketidak nyamanan rakyat
Irak pada kebijakan Saddam yang otoriter membuat AS dan sekutu nekad menyerang negeri
abu nawas tersebut.

Irak sebagai negara yang berdaulat dan merdeka seolah menghadapi bencana yang luar biasa
dengan invasi AS tesebut pada tahun 2003. Dalam piagam PBB disebutkan memang tidak boleh
ada intervensi negara lain (luar) untuk permasalahan dalam negeri suatu negara. Kasus Irak ini
tentunya menjadi suatu peristiwa dunia yang harus banyak mendapat pelajaran. Mengingat
dalam beberapa kabar yang beredar dan temuan oleh PBB bahwa Irak memang tidak memiliki
senjata pemusnah massal seperti yang disebutkan oleh AS. Bagi penulis alasan utama
penyerangan AS ke Irak bermotif ekonomi belaka, lantaran cadangan minyak di AS sudah mulai
menipis, kebutuhan bahan bakar dalam negeri meningkat maka alternative nya yakni
menyerang Irak yang punya cadangan minyak melimpah. Intervensi AS atas nama HAM untuk
rakyat Irak yang dibawah pemerintahan tirani Saddam, sebagai alasan untuk invasi adalah suatu
hal yang sangat munafik dan mengada-ada, karena urusan tersebut sebenarya lebih bersifat
dalam negeri irak sendiri bukan urusan AS. Apalagi Saddam Husain dinyatakan sebagai orang
yang mengganggu stabilitas keamanan nasional AS, ini sungguh lucu dan tidak masuk akal.

Sementara Simon Duke mendefinisikannya sebagai suatu bentuk penggunaan kekuatan


bersenjata oleh suatu negara (atau sekelompok negara) untuk melindungi warga negara dari
negara yang dituju dari pelanggaran HAM berat yang terjadi disana. Ian Brownlie
mengartikannya sebagai ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata (use of force) oleh
suatu negara (atau sekelompok negara) atau sebuah organisasi internasional ke negara lain
dengan tujuan perlindungan terhadap HAM. Beberapa pendapat tadi secara garis besar kita
bisa melihat bahwa konsepsi mengenai human intervention ini menjadi suatu hal yang akan
menjadi benar untuk dilakukan atas nama kemanuasiaan, dari penjelasan Ianbrownlie misal,
bahwa intervensi tersebut akan menjadi syah dan benar yang didasarkan atas nama
kemanuasiaan.

B.Hak Asasi Manusia

Istilah Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Hak ini wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. John Locke adalah peletak dasar
hak asasi manusia. Menurutnya, semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas
hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dicabut atau dipreteli oleh negara. Melalui suatu "kontrak sosial", perlindungan atas hak yang
tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa
negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat
di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu
pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Dengan demikian, Negara harus
mengutamakan kepentingan rakyat.

Andrew Heywood, berpendapat bahwa hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat
universal, fundamental, dan absolut. Universal dalam arti bahwa hak asasi manusia adalah milik
seluruh umat manusia di dunia tanpa memandang kebangsaan, asal-usul etnik atau ras, latar
belakang sosial dan lainnya. Fundamental dalam arti hak- hak asasi itu tidak dapat dicabut: hak-
hak asasi manusia dapat dipungkiri ataupun dilanggar namun tidak dapat dihilangkan dari diri
manusia. Absolut dalam arti, sebagai landasan dasar kehidupan manusia yang murni, hak-hak
asasi itu tidak dapat disyaratkan, atau secara sederhana berarti hak asasi manusia pasti akan
ada dan terus melekat dalam diri manusia dalam kondisi apapun.
Persoalan HAM menjadi isu utama dalam pelaksanaan Humanitarian Intervention, banyak
alasan berupa pertolongan maupun perlindungan HAM yang menjadi factor utama suatu
negara melakukan intervensi kemanusiaan. Memang kita tidak bisa membiarkan sebuah rezim
politik disebuah negara melakukan penghabisan suku (genosida) maupun penindasan
kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri. Perilaku negara maju yang sering melakukan
Humanitarian Intervention action semisal AS dan beberapa negara Uni eropa memang dalam
beberapa perspektif bisa dianggap benar apabila benar-benar atas dasar kemanusiaan. Yang
menjadi persoalan apabila tindakan intervensi tersebut hanya bermotif ekonomi dan membuat
keadaan semakin tidak kondusif, maka apa yang disebut sebagai Humanitarian Intervention
action patut dipertanyakan dan harus dikoreksi ulang. Kasus invasi AS ke Irak menjadi contoh
kongrit bagaimana kepentingan ekonomi (minyak mentah) lebih kentara daripada kepentingan
untuk misi kemanuasiaan.

C. Negara dan Kedaulatan

Negara merupakan subyek hukum internasional yang paling tua karena negaralah yang
pertama-tama muncul sebagai subyek hukum internasional dan baru belakangan diikuti oleh
subyek-subyek hukum internasional lainnya. Negara sebagai pribadi dalam hukum internasional
harus memiliki kualifikasi: penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah, dan
kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara negara lain. Keempat kriteria
tersebut telah dianggap mencerminkan hukum kebiasaan internasional.

Jean Bodin, seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis, merupakan orang yang pertama
kali memperkenalkan istilah kedaulatan sebagai istilah kenegaraan. Menurut Bodin, yang
dikenal sebagai bapak teori kedaulatan, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara yang bersifat mutlak dan abadi. Kedaulatan bersifat mutlak yaitu tidak dapat dibatasi
oleh hukum. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara berlangsung terus-menerus tanpa
terputus-putus. Maksudnya pemerintah atau kepala negara dapat berganti-ganti, tetapi negara
dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus.

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan kedaulatan negara akan berakhir bilamana


kedaulatan negara lain dimulai. Dewasa ini selain dibatasi oleh batas negara, kedaulatan negara
juga dibatasi oleh hukum internasional dan kedaulatan dari sesama negara lainnya tentunya
negara berdaulat bukan diartikan sebagai negara yang bebas dari segala hukum dan norma
yang berlaku dalam norma pergaulan atau hukum internasional. Maka berdaulat itu sendiri juga
berarti menghargai kedaulatan negara lain, dengan seperti itu maka kedaulatan akan benar-
benar mendapat rohnya, karena ini dari kedaulatan sendiri adalah mengahargai hak asasi dan
menghargai kepentingan pribadi.
Bagaiman persoalan humanitarian intervention yang terkadang melanggar kedaulatan sebuah
negara. Piagam PBB dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antar negara tidak
diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tentang hal ini semakin dipertegas dengan
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1970.
Memang PBB sangat menekankan untuk tidak melakukan suatu intervensi kepada suatu
negara, karena hal tersebut tentunya melanggar kedaulatan negara dan terirorialnya. Namun
para pendukung humanitarian intervention punya pendapat lain dengan acuan piagam PBB
pula. Seperti hasil penelitian D'Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara
kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan, pihak yang
melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut
hanya untuk melakukan penegakan hak asasi manusia. Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan
sah secara hukum internasional apabila tidak melanggar batasan yang ditentukan oleh
ketentuan Pasal 2(4) Piagam PBB di atas. Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian juga
dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1(3) Piagam PBB

Alasan mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai tanggung jawab bersama sering
menjadi latar belakang yang digunakan oleh negara yang berkepentingan untuk melakukan
intervensi kemanusiaan. Batasan wilayah ataupun terirori negara menjadi kabur adanya,
mengingat urusan hak asasi ini menjadi perkara yang serius dan menjadi tanggung jawab
bersama masyarakat internasional. Dalam piagam PBB juga disebutkan bahwa diperbolehkan
bagi warga negara suatu negara yang mengalami penindasan yang berkaitan dengan HAM
untuk meminta bantuan negara lain guna menyelesaikan persoalan tersebut. Maka intervensi
kemanusiaan sendiri menjadi suatu hal yang masih diperdebatkan oleh banyak akademisi
maupun praktisi terkait dengan kedaulatan sebuah negara, maupun persoalan HAM yang
menjadi tanggung jawab masyarakat internasional.

D. Humanitarian Intervention Dalam Kasus Libya

Libya adalah sebuah negara yang bisa dikatakan makmur walaupun mash dalam kategori
negara berkembang. Libya sendiri memang terkenal dengan negara berpenghasilan besar
dengan ekpor minyak bumi sebagai salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Namun
pada tahun 2011 negara ini mengalami krisis politik yang disebabkan oleh kemauan rakyatnya
sendiri untuk melakukan pergantian presiden melalui pemilihan langsung. Hal ini menjadi
sebab, karena di Libya selama masa kemerdekaan sampai 2011 belum mengalami pergantian
pemimpin.

Negara penghasil minyak ini dipimpin oleh seorang yang bisa dikatakan revolusioner yakni
Colonel Moammar Khadafi, dia mempimpin Libya selama kurang lebih 41 tahun, lebih lama 9
tahun daripada presiden Indonesia Soeharto. Setelah Tunisia dan Mesir dilanda krisis politik
yang besar, yang disebut juga sebagai arab spring, akhirnya Libya pun menjadi sasaran empuk
dari gelombang demokrasi tersebut. Rakyat Libya menuntut pemerintahan khadafi untuk
melakukan pemilihan umum sebagai salah satu syarat demokratisasi, setahu penulis dari
beberapa literature termasuk media massa, kondidi ekonomi dan jaminan social pendidikan di
Libya termasuk yang paling baik ketimbang negara lain di utara afrika, subsidi pendidikan dan
jaminan social menjadi cara yang ampuh untuk memanjakan rakyat Libya dengan hasil minyak
bumi yang melimpah. Namun kesejahterahan ekonomi yang tidak dibarengi dengan akses
politik maupun keterwakilan politik menyebabkan rakyat Libya seolah ditipu oleh khadafi.
Mengingat selama puluhan tahun berkuasa, akses politik maupun kekuasaan politik hanya
dimiliki terbatas oleh loyalis Khadafi, kerabat dan tentunya keluarga besar Khadafi sendiri.

Hal ini menyebabkan terjadinya demontrasi yang menuntut pemerintahan khadafi untuk
melakukan pemilihan umum dan tentunya melakukan pergantian kepemimpinan. Hal ini
membuat khdafi geram, mengingat sudah banyak yang dilakukan oleh khadafi untuk rakyat.
Maka khadafi dengan kuasnya melakukan berbagai macam tindakan untuk meredam aksi
tersebut dengan menggunakan pendekata militer. Militer digunakan khadafi untuk menyerbu
demonstran yang menolak atau tidak pro dengan khadafi. Pada tanggal 17 Februari, terjadi
protes besar-besaran dan dalam kurun waktu sekitar seminggu, protes merebak hampir ke
seantero negeri. Meningkatnya jumlah warga yang turun ke jalan untuk melakukan protes ini
tentu saja membuat Khadafi khawatir. Oleh sebab itu, Khadafi memerintahkan pasukannya
untuk menghalau massa yang protes. Protes yang pada awalnya berlangsung damai pun
berbuah kerusuhan. banyak korban jiwa dalam kerusuhan yang terjadi di Libya, sehingga
demontrasi semakin besar, dan tentunya hal ini sangat positif bagi kelompok pemberontak
yang tentunya tidak pro dengan khadafi.

Masalah yang terjadi di Libya menyebabkan keaman di wilayah kawasan terganggu yang
kemudian hal ini direspon cepat oleh masyarakat dunia. Eropa sebagai kontingen yang paling
dekat dengan Libya mencoba untuk melakukan intervensi atas nama kemanusiaan pada kasus
Libya ini. Atas nama kepentingan kemanusiaan, maka Dewan Keamanan PBB kemudian
mengeluarkan Resolusi 1970 untuk memberlakukan embargo senjata, membekukan asset
khadafi dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan melarang mereka
melakukan perjalanan, serta himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi Libya.
Resolusi tersebut juga menyerukan kepada khadafi untuk diperiksa di ICC, namun ia bergeming.
DK PBB berdasarkan Piagam PBB bab VII pasal 42, kembali mengeluarkan sebuah resolusi
setelah mendapat desakan Liga Arab. Resolusi yang dikenal sebagai Resolusi 1973 itu berisi
tentang perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona larangan terbang) di wilayah
Libya, dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah disebutkan dalam Resolusi 1970. No-fly zone
ditujukan untuk mencegah pesawat tempur pasukan Gaddafi melakukan misi pembunuhan dari
udara.
PBB mencoba memainkan perananya untuk mengelola konflik di Libya agar tidak semakin
membesar, hal ini cerminkan dengan berbagai tindakan soft politik berupa berbagai macam
embargo yang dijelaskan diatas. Namun NATO, Amerika dan sekutu khsusnya Eropa mengambil
tindakan yang cepat dengan melancarkan operasi Odyssey Dawn pada 19 Maret dini hari.
Mereka mulai memasuki dan menyerbu target-target pemerintahan di Libya dengan alasan
untuk menegakkan Resolusi 1973. Setelah sekitar lima hari, tongkat kendali humanitarian
intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation Unified
Protection. Pada tanggal 24 Maret, NATO mengambil alih komando operasi laut dan sehari
sesudahnya mengambil alih komando operasi udara.

1) Intervensi NATO Pada Kasus Libya

Keterlibatan NATO dalam konflik Libya menurut penulis bukan malah meredam konflik tapi
malah semakin memperkeruh keadaan. Pasalnya Khadafi yang pada saat itu syah sebagai
presiden Libya sangat terganggu dengan datangya NATO. Sebagai pemimpin Libya (yang punya
rumah) tentunya Khadafi melakukan perlawanan terhadap NATO yang merasa urusan dalam
negerinya menjadi santapan makan siang bagi para orang asing. Harga diri sebagai seorang
pemimpin pun menjadi taruhan utama. Pasukan NATO yang digawai oleh AS, Inggris dan
Prancis ini tentunya punya kapasitas dan kapabiltas militer yang kuat untuk melawan serangan
dari Khadafi. Sebesar apapunkekuatan militer khadafi bagi penulis akan sangat tidak seimbang
dengan kekuatan militer dari NATO, maka dengan hitung-hitungan singkat akan sangat mungkin
bahwa NATO akan memenangin pertarungan kecil ini.

Ada beberapa justifikasi yang digunakan NATO khususnya Prancis dalam melancarkan serangan
ke Libya. Pertama, pertama upaya pemusnahan senjata kimia yang digunakan olehLibya.Dugaan
kepemilikan senjata kimia oleh Amerika Serikat dan sekutunya termasuk Prancis telah
diungkapkan sebelum invasi ini berlangsung. Menurut The Organization for the Prohibition of
Chemical Weapons, mereka telah menemukan senjata kimia rahasia milik mantan rezim
Khadafi berupa gas mustard yang mampu merusak kulit dan organ dalam manusia. Alasan yang
hampir serupa dengan yang dituduhkan AS terhadap Irak (Saddam Husain) pada saat invasi
pada tahun 2003. Penulis menganggap terkadang alasan yang dipakai oleh negara maju
(khususnya) yang akan melakukan invasi atas nama kemanusiaan terkadang mengaada-ada.

Alasan kedua yakni penghilangan penggunaan kekuatan udara terhadap warga sipil. Seperti
yang kita ketahui bahwa Libya menggunakan serangan udara yang dimiliki oleh militernya tanpa
pandang bulu,.dari menghentikan serangan pemberontak hingga demonstrasi besar-besaran
oleh kaum oposisi. Kemudian alasan ketiga adalah untuk menjamin rakyat Libya mendapatkan
hak-haknya seperti hak hidup, kebebasan, berserikat dan bekerja. Jaminan terhadap HAM
seluruh warga negara seharusnya menjadi tanggung jawab negara itu sendiri. Namun apabila
pelanggaran justru dilakukan oleh suatu rezim pemerintahan yang otoriter maka negara lain
mampu melakukan intervensi atas dasar humanitarian.

Keterlibatan NATO atas nama kemanusiaan ini memang cukup riskan untuk difahami, alih-alih
menyelamatkan rakyat Libya dari kediktaktoran Khadafi semua urusan menjadi serba wajar dan
diamini oleh sebagian negara eropa bahkan AS sendiri. Tentunya dalam hal ini persoalan
kedaulatan negara (Libya) menjadi kabur adanya. Mengingat kalo sudah persoalan
kemanusiaan yang menjadi motif maka semua batas maupun makna dari negara berdaulat
itupun akan hilang sebagai kosenkuensi dari intervensi tersebut. Hak Asasi Manusia rakyat Libya
sebagai bagian dari masyarakat Internasional (cosmopolitanism) menjadi suatu perkara serius
bagi negara-negara besar yang berkepentingan atas kemanusiaan. Namun bagi penulis “there is
no free lunch”, maksudnya bahwa mereka (NATO dkk) tidak akan mau mengeluarkan biaya
besar dengan menerjunkan pasukan militernya hanya untuk persoalan rakyat Libya yang
menginginkan demokrasi. Setalah berbagai macam serangan militer yang dilakukan oleh
kelompok pemberontak dan NATO akhirnya Khadafi harus tumbang dan harus meregang nyawa
oleh rakyatnya sendiri pada tanggal 20 Oktober 2011.

2) Motif Ekonomi dalam Humanitarian Intervention

Persoalan ekonomi politik menjadi latar belakang yang palingmasuk akal atas tindakan NATO
kepada Libya. Cadangan minyak mentah Libya yang cukup besar, tentunya menjadi magnet
tersendiri bagi NATO untuk melancarkan serangan-serangan tersebut. Karena apabila dilihat
dari persoalan lain yang bersifat kemanuasiaan seperti di Rwanda, Somalia, Myanmar, kamboja
dan israel-palestina misalkan yang lebih membutuhkan intervesi asing untuk menyelesaikan
persoalan dalam negerinya, para negara adidaya serupa Amerik Serikat seolah bungkam dan
menutup mata atas kasus-kasus tersebut. Bukan memberikan bantuan kemanusian adalah hal
yang wajib bagi negara maju?, dengan kapasitas dan kapabilitas militer yang mumpuni tentunya
negara-negara besar tersebut diharapkan mampu membantu menyelesaikan kasus-kasus yang
terjadi di negara yang disebutkan diatas.

Nyatanya mereka (AS dan sekutu) seolah hanya akan ikut andil dalam suatu penyelesaian
konflik tertentu yang bagi mereka ada suatu timbal balik yang pantas mereka dapatkan setelah
mereka melakukan humanitarian intervention pada kasus tersebut( sebut Irak, mesir,Tunisia
dan Libya). Will of economi bagi penulis menjadi factor penting dalam keterlibatan negara-
negara besar untuk ikut campur dalam permasalahan dalam negeri orang yang katanya bersifat
kemanusiaan. Kemanusiaan dalam model apa yang menjadi tolak ukur negara besar merasa
harus ikut campur. Kemanusiaan yang bagaimana yang harus diatasi? Apakah persoalan
pembataian muslim palestina oleh israel bukan persoalan kemanusiaan, apakah pembantaian
muslim rohingnya oleh pemerintah Myanmar bukan persoalan kemanusiaan?, aksi tebang pilih
yang dilakukan negara besar khsusnya Amerika Serikat menunjukkan bahwa mereka tidak
serius dalam menegakkan HAM dan menciptakan perdamaian.

PBB sebagai organisasi yang mereprentasikan penduduk dunia malah seolah main mata dengan
kejadian-kejadian tersebut. Walaupun dalam piagam PBB termuat bait-bait yang sungguh
humanis dan meaning peace, nyata PBB tidak berani menindak tegas negara besar yang
melakukan intervensi kemanusiaan yang malah tindakan mereka tidak mencerminkan
kemanusiaan itu sendiri. Maka bagi penulis dengan kasus Libya ini intervensi kemanusiaan
disalah gunakan oleh negara besar yang berkepentingan didalamnya sebagai kedok untuk
melancarkan misi misi politik ekonomi untuk negara mereka sendiri. PBB pun seolah diam tidak
berdaya atas kasus Libya, tentunya hal ini sudah pernah terjadi ketika AS menginvasi Irak. Yang
dalam beberapa sudut pandang invasi AS ke Irak bukan malah semakin menjernihkan keadaan
namun malah semakin memperkeruh kedaan dan mempecah belah rakyat Irak.

Anda mungkin juga menyukai