Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH TERBENTUKNYA MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA

SEBAGAI PENGAWAL KONSTITUSI

OLEH

AGUNG NADHI NURCAHYANTO, SH. MH.

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Gagasan mengenai pelembagaan/ institusionalisasi sebuah lembaga peradilan tata
negara (constitutional court), tidak lepas dari upaya serius untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, yang acapkali terancam
oleh kesewenang-wenangan pemerintah berkuasa. Upaya inilah yang selanjutnya
melahirkan konsepsi “constitutional review” atau pengujian konstitusional. Konsepsi
ini lahir sebagai buah perkembangan pemikiran dari gagasan tentang negara hukum –
dalam pengertian rule of law–, prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), dan
upaya perlindungan serta pemajuan hak asasi manusia. Kolaborasi ketiga Ide dasar
kemudian dikembangkan dalam sebuah konsep constitutional review, sebagai jawaban
atas kebutuhan adanya suatu pemerintahan modern yang demokratis. Terdapat
sedikitnya dua tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari pengembangan model
constitutional review. Pertama, adalah untuk menjamin adanya sebuah perimbangan
atau hubungan yang sinergis yang menjadi refleksi dari berjalannya system demokrasi
antara tiga cabang kekuasaan yang ada, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mekanisme
ini dimaksudkan agar ketiga cabang kekuasaan yang ada tidak berjalan secara timpang,
atau ada dominasi oleh satu cabang kekusaan yang satu terhadap cabang kekuasaan
yang lain, semisal praktek-praktek executive heavy atau legislative heavy yang kerap
melanda Indonesia. Kedua, adalah sebagai sebuah upaya untuk melindungi hak-hak
konstitusional warga negara, yang telah dijamin konstitusionalitasnya oleh konstitusi
(UUD), dari perilaku absolute pemegang kekuasaan, yang dapat berakibat pada
dikebirinya/dilanggarnya hak-hak fundamental warga negara.1

Ide constitutional review pada kelanjutannya tumbuh dengan massif seiring


dengan menguatnya semangat penegakkan konstitusi sebagai grondnorm/higest norm
atau hukum dasar tertinggi, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang
berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam
konstitusi, semua norma hukum negara haruslah konsonan dengan norma-norma

1 www.Gogele.com-gagasan pembentukan mk.htm

2
konstitusi. Konstitusi menjadi perwujudan dari konsepsi negara hukum baik rechtsstaat
maupun the rule of law, dimana negara tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan semata
(absolutisme/machtstaat), tetapi didasarkan atas hukum, yang diejawantahkan sekaligus
disimbolkan dalam suatu konstitusi, sebagai bentuk kontrak sosial warga negara dengan
negara. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignty of
the people) kepada negara, melalui konstitusilah rakyat merelakan pemberian sebagian
hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus senantiasa dikawal dan
dijaga, sebab semua bentuk penyimpangan kekuasaan, baik oleh pemegang kekuasaan
maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. 2

Pascameletusnya Revolusi Perancis, yang melahirkan gagasan pemisahan


kekuasaan negara secara ketat (strict separation of governmental power), sebagaimana
dicetuskan oleh Montesquieu 1748, pemisahan secara absolut ini merupakan
manifestasi perlawanan terhadap tradisi absolutisme. Berakar dari gagasan pemisahan
kuasa inilah kemudian berkembang ide yang dikenal dengan judicial review, doktrin ini
mengajarkan bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menilai dan menentukan
berlaku tidaknya suatu aturan hukum yang dianggap sesuai atau bertentangan dengan
aturan-aturan yang lebih tinggi. Meski Perancis pada waktu itu menolak pandangan ini,
karena berpegang teguh pada supremasi parlemen, sebagai lembaga perwakilan rakyat,
setidaknya ide tentang mekanisme judicial review telah terlontar semenjak pecahnya
Revolusi Perancis. 3

Upaya penegakkan konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara


menjadi karakteristik dari cita-cita tentang negara hukum, meskipun karakteristik ini
kemudian diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda, namun esensi keduanya tetaplah
sama. Konsep rechtsstaat mengehendaki perlindungan hak-hak konstitusional warga
negara melalui mekanisme paradilan adiministrasi, yang artinya warga negara dapat
mengajukan gugatan administrasi terhadap tindakan pemegang kekuasaan atau aturan
yang dianggap melanggar hak-hak konstitusionalnya, pada sebuah lembaga peradilan
administrasi, sedangkan konsep the rule of law menitikberatkan pada metode judicial,
atau melalui mekanisme judicial review. Karena tulisan ini akan mencoba untuk
melakukan penelusuran terhadap pelembagaan pengadilan tata negara (constitutional

2 Ibid
3 Ibid

3
court), maka tulisan ini selanjutnya akan lebih banyak mengelupas term judicial review,
dan mengenai upaya administrasi akan dikupas pada bagian tulisan yang lain.4

Doktrin judicial review menyeruak kembali dan dipertegas oleh Mahkamah


Agung Amerika Serikat (The Supreme Court United States of America) ketika memutus
perkara Marbury versus Madison tahun 1803. Dalam putusannya John Marshall sebagai
Ketua Mahkamah Agung (chief justice) menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang
dijadikan dasar gugatan William Marbury terhadap James Madison adalah bertentangan
dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat, sehingga dalam memeriksa
perkara tersebut Mahkamah Agung menggunakan pintu kewenangan yang ditafsirkan
dari konstitusi, bukan melalui Judiciary Act 1789. Peristiwa monumental yang tidak
pernah terjadi dalam dunia peradilan sebelumnya inilah yang kemudian
melatarbelakangi lahirnya gelar sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of
constitution), yang melekat pada Mahkamah Agung. Konstitusi menjadi “the supreme
law of the land,” oleh karenanya segala peraturan perundang-undangan yang berada di
bawahnya harus tunduk dan konsonan terhadapnya, apabila terjadi pertentangan, maka
aturan yang lebih rendah dinyatakan tidaklah berlaku mengikat. Jadi, di sini
Mahkamah Agung berfungsi sebagai negative legislature, dan hakim-hakimnya
berkedudukan sebagai judge made law, karena mereka berwenang menemukan dan
menginterpretasikan suatu aturan hukum dengan sandaran konstitusi.5

Jika di Amerika Serikat yang menganut system hukum anglo saxon fungsi
sebagai the guardian and the interpreter of constitution melekat pada Mahkamah
Agung, maka lain lagi yang berlaku di Austria yang menganut system hukum Eropa
Kontinental. Austria yang menganut model Kelsenian (the Kelsenian model) 1920,
mempunyai sebuah institusi peradilan tersendiri di luar Mahkamah Agung, yang
melaksanakan fungsi constitutional review. Institusi ini disebut sebagai Mahkamah
Konstitusi (Constitutional Court/Verfassungsgerichtshoft). Usulan pembentukan
Mahmkamah Konstitusi disampaikan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga
pembaharau Konstitusi Austria (Chancelery), pada tahun 1919-1920. Mahkamah
Konstitusi Austria menjadi Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model pemisahan
ini terkait dengan hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the
supremacy of the constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the

4 Ibid
5 Ibid

4
supremacy of the parliament). Terhadap konsepsi ini Hans Kelsen mengatakan:
“Penerapan peraturan-peraturan konstitusi mengenai pembuatan undang-undang
hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu organ selain organ legislative diberi
mandat untuk menguji apakah suatu undang-undang (hukum) sesuai atau tidak dengan
konstitusi, dan untuk membatalkannya jika –menurut pendapat organ ini– hukum
tersebut “tidak konstitusional.” Mungkin ada organ khusus yang dibentuk untuk tujuan
ini, misalnya, pengadilan khusus yang disebut “pengadilan konstitusi;” atau
pengawasan “kekonstitusionalitasan” suatu undang-undang yang disebut judicial
review, dapat dilakukan oleh pengadilan-pengadilan biasa, dan terutama oleh
pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung).6

Model pembagian dua lembaga (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)


yang dikemukakan Hans Kelsen ini, kemudian banyak ditiru oleh negara-negara di
dunia, termasuk Indonesia, dengan maksud untuk memaksimalkan fungsi dari
mekanisme constitutional review dan judicial review. Walaupaun begitu, sampai saat
ini, baru sekitar 78 negara yang memiliki organ Mahkamah Konstitusi, karena
kemunculan organ ini merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan.
Yang menarik dicermati, kemunculan organ Mahkamah Konstitusi yang terlepas dari
lembaga Mahkamah Agung, umumnya terjadi pada negara-negara yang mengalami
perubahan dari otoritarian menjadi negara demokrasi konstitusional.7

Sebagai gambaran, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah hampir dibentuk oleh


para founding fathers kita di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Pada rapat-rapat BPUPKI yang mempersiapkan UUD Indonesia,
sempat pula diperdebatkan perlu tidaknya pembentukan pengadilan spesial di luar
Mahkamah Agung.8

Dalam salah satu rapat BPUPKI, Prof. M. Yamin pernah menggagas lembaga
yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pelaksanaan konstitusi,
lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Prof.
Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsengrecht
(uji materil) terhadap UU.9

6 Ibid
7 Ibid
8 www.Hukumonline.com
9 Ibid

5
Namun, gagasan itu disanggah oleh anggota BPUPKI yang lain Prof. Soepomo.
Dalam rapat besar BPUPKI pada 15 Juli 1945 ia mengatakan bahwa pembentukan
sebuah pengadilan spesial yang khusus menangani konstitusi belumlah diperlukan.
Alasannya, menurut Prof. Soepomo, Indonesia belum memiliki banyak ahli yang dapat
mengisi jabatan itu.10

Untuk mengetahui apa dan bagaimana argumen Prof. Soepomo menanggapi


gagasan dibentuknya pengadilan spesial yang diusulkan Prof. Yamin, berikut kami
kutipkan pernyataan selengkapnya sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Laica
Marzuki:"Kecuali itu Paduka Tuan Ketua. Kita dengan terus terang akan mengatakan,
bahwa para akhli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman
dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat pula bahwa di Austria, di Ceko
Slowakia, dan Jerman waktu Weimar bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan
spesial, Constitutioneel Hof, yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus
mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah
tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda, saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu".11

Menurut Pendapat Laica, pernyataan dari Prof. Soepomo ditafsirkan sebagai


penangguhan pembentukan pengadilan konstitusi, dan bukan penolakan. Demikian
disampaikan Laica dalam buku "Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia" yang diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).12

Argumen dari Prof. Soepomo tersebut tampaknya mengakhiri perdebatan


mengenai pembentukan pengadilan konstitusi. Sejarah mencatat bahwa tanggal 15 Juli
1945 merupakan sidang terakhir yang diselenggarakan BPUPKI. Hasil sembilan hari
sidang BPUPKI kemudian disahkan sebagai UUD Sementara (UUDS) oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.13

Bagaimanapun, mengingat luasnya wawasan dan tingginya intelektualitas Prof.


Yamin, yang disebut Laica sebagai the great lawyer, gagasan pembentukan pengadilan
spesial tentu tidak ia lontarkan secara spontan. Malah, dilihat dari risalah persidangan

10 Ibid
11 Ibid
12 Ibid
13 Ibid

6
BPUPKI, menurut sejarawan Taufik Abdullah, Prof. Yamin memperlihatkan dirinya
sebagai orang yang paling siap tampil sebagai salah seorang perancang UUD.14

Menurut Taufik Abdullah di dalam buku "1000 Tahun Nusantara", Prof. Yamin
merupakan seorang ahli hukum yang mempelajari perbandingan konstitusi dan
sejarawan yang romantik visioner. Sementara, Prof. Soepomo oleh Taufik disebut
sebagai "arsitek" rancangan UUD.15

Sejarah juga mencatat bahwa gagasan Prof. Yamin soal pengadilan spesial di
Indonesia merupakan sebagian dari ide-idenya yang kandas lantaran dirinya tidak
masuk menjadi anggota panitia khusus BPUPKI yang merancang UUD. Masih menurut
Taufik, ide-ide Prof. Soepomo yang anggota panitia perancang UUD, soal MPR, DPR,
DPA, dan negara kesatuan telah diusulkan Prof. Yamin sebelumnya.16

Mengenai luasnya penguasaan para founding fathers tentang konstitusi dikuatkan


oleh pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Jimly
Asshiddiqie. Menurut Jimly, para anggota BPUPKI lebih hebat dibandingkan dengan
para penyusun konstitusi sekarang. "Karena mereka rata-rata vested intelektual
kelompok yang mempunyai konstitusi negara lain di mejanya," kata Jimly dalam
"Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia".17

Selain itu, ada usah keras para founding fathers untuk meramu konstitusi negara-
negara lain itu secara baik, sehingga UUD kita kental dengan pengaruh Eropa Timur,
Amerika, Perancis, dan RRC. Jimly mencontohkan, sistem presidensil diambil dari
Amerika, yang aslinya ada kepala negara dan ada kepala pemerintahan. Sedangkan,
MPR diambil dari RRC.18

Mahkamah Konstitusi merupakan sesuatu fenomena baru, bukan saja bagi


Indonesia, namun juga bagi dunia ketatanegaraan di banyak negara. Dari seluruh negara
di dunia, Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 negara.19

Dari ke-45 negara tersebut, rata-rata memang pernah mengalami krisis


konstitusional dan berubah dari otoritaan menjadi demokrasi. Dalam proses perubahan

14 Ibid
15 Ibid
16 Ibid
17 Ibid
18 Ibid
19 Ibid

7
itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Jimly mencatat, hanya Filipina lah negara yang
baru berubah menjadi negara demokrasi namun tidak memiliki Mahkamah Konstitusi.20

Beberapa dari ke-45 negara tersebut dapat disebutkan di sini antara lain Afrika
Selatan, Equador, Indonesia, Venezuela, Lithuania, Korea Selatan, Mesir, Croatia,
Czech, Jerman, Italia, Thailand, Austria, dan juga Spanyol. Khusus untuk Jerman,
Italia, Austria dan Spanyol merupakan pengecualian sebagaimana disebut sebelumnya,
yakni dibentuknya Mahkamah Konstitusi di masing-masing negara tersebut tidak
terkait dengan krisis konstitusional.21

Ke-45 negara tersebut tidak sepenuhnya mengenal satu istilah Mahkamah


Konstitusi atau Constitutional Court (Indonesia, Korsel, Lithuania) untuk lembaga yang
memiliki fungsi 'judicial review'. Istilah lain untuk Mahkamah Konstitusi atau lembaga
yang agak mirip pengertiannya antara lain Counsel Constitutionel (Perancis), Privy
Council (Inggris), dan Dewan Konstitusi atau Constitutional Council (Alzajair) yang
merupakan pengaruh dari model Counsel Constitutionel-nya Perancis.22

Ketentuan dalam ayat selanjutnya memberikan larangan kepada para hakim


konstitusi untuk terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis atau
menjadi anggota dan apalagi pengurus partai politik tertentu. Ayat berikutnya mengatur
bahwa hakim konstitusi hanya dapat diberhentikan karena alasan yang bersifat hukum,
yaitu karena 'impeachment' atau karena dikenakan pidana penjara atau hukuman yang
lebih berat dari pidana penjara.23

Lain di Korea Selatan lain pula di Afrika Selatan. Mahkamah Konstitusi dibentuk
pertama kali pada 1994 berdasarkan 'Interim Constitution' Tahun 1993. setelah
Konstitusi 1996 disahkan, Mahkamah Konstitusi tersebut terus bekerja yaitu mulai
persidangannya yang pertama pada Februari 1995. Anggotanya 11 orang, dengan masa
tugas 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan penggantian
karena pensiun yaitu ketika mencapai usia 70 tahun.24

Semua anggota Mahkamah bersifat independen, dengan tugas memegang teguh


atau menjalankan hukum dan konstitusi secara adil (impartial) dan tanpa rasa takut,

20 Ibid
21 Ibid
22 Ibid
23 Ibid
24 Ibid

8
memihak, atau prasangka buruk. 'Modifikasi' berbagai model Mahkamah Konstitusi
terjadi bukan hanya karena adanya perbedaan istilah, namun juga disebabkan
keragaman sistem hukum yang dianut negara yang bersangkutan. Mahkamah Konstitusi
di lingkungan negara-negara yang menganut 'civil law', berlainan dengan konsep di
lingkungan 'common law' sepeti di Amerika Serikat.25

Titik berat dalam membedakan kedua sistem hukum ini, terkait dengan
Mahkamah Konstitusi, adalah pada upaya untuk tidak mencampur-adukan antara fungsi
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Atau lebih khusus lagi, menyangkut
eksistensi peradilan tata usaha negara yang hanya dikenal dalam sistem 'civil law'
seperti di Indonesia.26

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan
disini adalah bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia
sebagai pengawal konstitusi?

BAB II

PEMBAHASAN

Sejarah terbentukya Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai pengawal


konstitusi

25 Ibid
26 Ibid

9
Konstitusi sebenarnya membawa pesan tentang bagaimana kekuasaan pemerintah
distrukturkan. Isi dari konstitusi memang berbeda-beda antar negara, namun pada
intinya sering memuat empat fungsi sebagai berikut. Pertama, konstitusi memberikan
rancangan bagi terbentuknya struktur pemerintahan. Kedua, konstitusi memberikan
kekuasaan bagi unit-unit pemerintahan. Ketiga, konstitusi menyatakan konsensus
tentang tujuan apa yang akan dicapai oleh suatu pemerintahan. Asumsi dasarnya adalah
bahwa tidak ada masyarakat yang tidak majemuk, baik secara kultural, profesi maupun
etnik. Mengingat hukum berisi kemajemukan semacam ini, kepentingan yang sangat
beragam selalu hadir dalam masyarakat. Kehadiran konstitusi dalam konteks
kemajemukan semacam ini dapat juga disebutkan sebagai refleks adanya konsensus
tersebut. Keempat, konstitusi menciptakan suatu pemerintahan yang stabil untuk
perubahan pemerintah. Biasanya ada 2 (dua) rumusan dasar yang implisit terkandung di
dalam konstitusi yaitu formula untuk mewujudkan “stabilitas” dan formula untuk
mengizinkan adanya perubahan.27
Konstitusi merupakan buatan manusia dan dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin
negara dan para sarjana serta praktisi politik untuk dipatuhi rakyat. Ini merupakan
fenomena sosial dan mencerminkan adanya nilai-nilai,ide-ide, kepentingan-kepentingan
golongan, dan juga kepentingan perumusnya. Suatu konstitusi dengan demikian
dipahami sebagai produk dari suatu proses politik yang seharusnya secara demokratis
menampung dan menyalurkan aspirasi-aspirasi politik yang utama, yang sebenarnya
mencerminkan pandangan rakyat tentang tata norma etis sosial, ketertiban umum,
keadilan, tata nilai sosial, dan budaya, peranan serta hubungan antar lembaga-lembaga
sosial.28
Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses
sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu
kerangka kehidupan politik yang telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak
zaman sejarah yunani, dimana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum
(semacam kitab hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404S.M.) Athena
pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil
terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.29

27 Adi Sulistiyono, Kekuasaan Negara hukum dan paradigma nasional, Sebelas Maret University Perss,
Surakarta, 2005, Hal 16
28 Ibid, Hal 17
29 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2008, Hal 2

10
Pemahaman awal tentang “konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan suatu
kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa
kekaisaran Roma, pengertian constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu
kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator.
Termasuk didalamnya pernyatan-pernyataan pendapat dari para ahli hukum/negarawan,
serta adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai
pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Dimana konsep tentang kekuasaan
tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar Roma, telah menjelma dalam bentuk L’Etat
General di Perancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah
memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham: “Demokrasi perwakilan” dan
“Nasionalisme”. Dua paham inilah merupakan cita bakal munculnya paham
konstitusionalisme modern.30
Konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti
penting atau sering disebut dengan “Konstitusi Modern”, baru muncul bersamaan
dengan semakin berkmbangnya “sistem demokrasi perwakilan dan konsep
nasionalisme”. Demokrasi Perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat
akan kehadiran lembaga legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat membuat undang-
undang mengurangi serta membatasi dominasi hak-hak raja. Alasan inilah yang
mndudukan konstitusi (yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih tinggi
daripada raja, sekaligus terkandung maksud memperkokoh Lembaga Perwakilan
Rakyat.31
Menurut Sri Soemantri dalam disertasinya, tidak ada satu negarapun di dunia
yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Negara dan konstitusi
merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.32
Konstitusi menjadi perwujudan dari konsepsi negara hukum baik rechtsstaat
maupun the rule of law, dimana negara tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan semata
(absolutisme/machtstaat), tetapi didasarkan atas hukum, yang diejawantahkan sekaligus
disimbolkan dalam suatu konstitusi, sebagai bentuk kontrak sosial warga negara dengan
negara. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignty of
the people) kepada negara, melalui konstitusilah rakyat merelakan pemberian sebagian
hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus senantiasa dikawal dan

30 Ibid, Hal 3
31 Ibid, Hal 5
32 Sri Soemantri M., Susunan Ketatangaraan Menurut UUD 1945 dalam ketatanegaraan Indonesia Dalam
Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, Hal 1-2

11
dijaga, sebab semua bentuk penyimpangan kekuasaan, baik oleh pemegang kekuasaan
maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. 33
Gagasan mengenai pelembagaan/ institusionalisasi sebuah lembaga peradilan tata
negara (constitutional court), tidak lepas dari upaya serius untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, yang acapkali terancam
oleh kesewenang-wenangan pemerintah berkuasa. Upaya inilah yang selanjutnya
melahirkan konsepsi “constitutional review” atau pengujian konstitusional. Konsepsi
ini lahir sebagai buah perkembangan pemikiran dari gagasan tentang negara hukum –
dalam pengertian rule of law–, prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), dan
upaya perlindungan serta pemajuan hak asasi manusia. Kolaborasi ketiga Ide dasar
kemudian dikembangkan dalam sebuah konsep constitutional review, sebagai jawaban
atas kebutuhan adanya suatu pemerintahan modern yang demokratis.34
Terdapat sedikitnya dua tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari pengembangan
model constitutional review. Pertama, adalah untuk menjamin adanya sebuah
perimbangan atau hubungan yang sinergis yang menjadi refleksi dari berjalannya
system demokrasi antara tiga cabang kekuasaan yang ada, eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Mekanisme ini dimaksudkan agar ketiga cabang kekuasaan yang ada tidak
berjalan secara timpang, atau ada dominasi oleh satu cabang kekusaan yang satu
terhadap cabang kekuasaan yang lain, semisal praktek-praktek executive heavy atau
legislative heavy yang kerap melanda Indonesia. Kedua, adalah sebagai sebuah upaya
untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara, yang telah dijamin
konstitusionalitasnya oleh konstitusi (UUD), dari perilaku absolute pemegang
kekuasaan, yang dapat berakibat pada dikebirinya/dilanggarnya hak-hak fundamental
warga negara.35
Upaya penegakkan konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara
menjadi karakteristik dari cita-cita tentang negara hukum, meskipun karakteristik ini
kemudian diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda, namun esensi keduanya tetaplah
sama. Konsep rechtsstaat mengehendaki perlindungan hak-hak konstitusional warga
negara melalui mekanisme paradilan adiministrasi, yang artinya warga negara dapat
mengajukan gugatan administrasi terhadap tindakan pemegang kekuasaan atau aturan

33 www.Gogele.com-gagasan pembentukan mk.htm


34 Ibid
35 Ibid

12
yang dianggap melanggar hak-hak konstitusionalnya, pada sebuah lembaga peradilan
administrasi, sedangkan konsep the rule of law menitikberatkan pada metode judicial,
atau melalui mekanisme judicial review.36
Mahkamah Konstitusi, berikut tugas dan wewenangnya, pertama kali
diperkenalkan pada Perubahan Ketiga UUD 45. Pasal III Aturan Peralihan Perubahan
Keempat UUD 45 seperti dikutip di awal tulisan, yang disahkan pada Sidang Tahunan
MPR 9 November 2001. Sebetulnya, pasal ini hadir sebagai jalan keluar untuk mengisi
kekosongan hukum sementara Mahkamah Konstitusi belum terbentuk. 37
Keadaan saat itu, Indonesia benar-benar berada di tengah krisis konstitusi yang
parah. Khususnya pasca impeachment Abdurahman Wahid dari kursi presiden pada
Sidang Istimewa MPR akhir 2001. Mungkin tak perlu ulasan panjang lebar mengenai
sengketa (penafsiran) isi konstitusi antara Presiden Wahid di satu sisi, dan parlemen
(MPR/DPR) di sisi yang lain yang berujung pada impeachment. 38
Sejumlah pakar yang menjadi staf ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR
kemudian mengatakan bahwa perlu ada masa peralihan sementara Mahkamah
Konstitusi belum terbentuk. Terdapat dua pemikiran yang berkembang saat itu yaitu
mereka yang menginginkan pelaksana sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi
dipegang oleh Mahkamah Agung (MA), sedang yang lain menghendaki oleh MPR. Hal
demikian wajar saja mengingat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sangat luas
dan strategis.39
Sesuai Pasal 24C UUD 45, Mahkamah Konstitusi memiliki lima kewenangan
yaitu menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review/materieele
toetsengrecht), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil pemilu,
dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
presiden/wakil presiden. Akhirnya, pada Sidang Tahunan MPR 10 Agustus 2002
disahkan Amandemen Keempat UUD 1945 yang dalam Pasal III Aturan Peralihan
diatur bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus
2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.40

36 Ibid
37 Ibid
38 Ibid
39 Ibid
40 Ibid

13
Kemudian, pada 16 Oktober 2002 Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan
menandatangani Peraturan MA (Perma) No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Dalam
Perma tersebut, MA sudah mulai menyusun hukum acara Mahkamah Konstitusi.41

Di saat yang sama, DPR tengah menyusun RUU tentang Mahkamah Konstitusi
yang dimotori oleh Ketua Badan Legislasi DPR Zain Badjeber. Zain mengatakan
proses penyusunan RUU Mahkamah Konstitusi sudah mulai dirintis Baleg sejak
Perubahan Ketiga UUD 45 disahkan. Namun, ia mengakui penyusunan RUU sempat
terhenti menjelang dikeluarkannya Perma No.2/2002. RUU Mahkamah Konstitusi
kemudian diajukan ke pimpinan DPR pada 15 November 2002 sebagai usul inisiatif
Baleg. Pada tanggal 23 Januari 2003 rapat paripurna DPR menerima usul inisiatif ini
menjadi usul DPR. Namun, usul DPR ini terpendam di DPR sampai 13 Mei 2003 dan
kemudian baru dibentuk Pansus DPR. ternyata, meski sudah terbentuk pansus RUU-
nya sendiri belum dikirim ke pemerintah.42

Akhirnya, tanggal 18 Mei Presiden mengirim surat amanat presiden (Ampres)


menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung untuk membahas RUU
Mahkamah Konstitusi bersama pansus. Hal yang menarik, menurut Zain, isi Ampres
tersebut tidak lazim. Pasalnya, di dalam surat itu presiden memberikan catatan panjang
lebar mengenai RUU yang akan dibahas.43

Kesembilan hakim konstitusi itu adalah Prof. Jimly Asshiddiqie, Achmad


Rustandi, I Dewa Gede Palguna, Prof. H.A.S. Natabaya, Prof. Muktie Fadjar, Dr.
Haryono, Prof. Laica Marzuki, Sudarsono, dan Muarar Siahaan. Tiga nama pertama
diusulkan DPR, tiga nama berikutnya diusulkan Presiden, dan tiga yang terakhir oleh
MA.44

Jimly Asshidiqie, dikenal sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia. Namun Jimly, yang diusulkan oleh banyak fraksi ini juga dikenal aktif di

41 Ibid
42 Ibid
43 Ibid
44 Ibid

14
The Habibie Center. Saat ini ia menjabat sebagai Chairman of The Affiliate Center.
Sejak dulu, Jimly memang dikenal dekat dengan mantan presiden RI itu. 45

Sedangkan Achmad Roestandi, purnawirawan Letjen ini merupakan anggota


Majelis Pakar Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Roestandi
pernah pula menjabat sebagai anggota MPR. Adapun I Dewa Gede Palguna merupakan
Wakil Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di MPR dan diusulkan oleh Fraksi PDIP.
Sedangkan Achmad Roestandi, purnawirawan Letjen ini merupakan anggota Majelis
Pakar Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Roestandi pernah
pula menjabat sebagai anggota MPR. Adapun I Dewa Gede Palguna merupakan Wakil
Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di MPR dan diusulkan oleh Fraksi PDIP.46

Mahkamah Konstitusi pada dasarnya juga adalah lembaga politik. Bahkan, kelak
jika terbentuk akan menjadi lembaga kekuasaan terbesar di negeri kita. Ia bisa
melakukan "pengadilan politik" dan menjatuhkan vonis atau sanksi terhadap lembaga-
lembaga politik yang ada, seperti terhadap lembaga legislatif (judicial review), lembaga
eksekutif (impeachment), partai politik (pembubaran partai politik), dan lembaga
pemilu (pembatasan hasil pemilu). Karena itu, ia berpeluang turut serta dalam arena
permainan kekuasaan, dan jika hal itu dilakukan, adanya ramalan orang bahwa MK
akan menjadi monster politik pasti akan terwujud.47

Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul


dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan
rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat
bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-
Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama,
UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak
menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum
banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.48

45 Ibid
46 Ibid
47 www.KCM.com
48 Paparan Mahkamah Konstitusi dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H.

15
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) adalah salah satu kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan
kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.49

Sejarah berdirinya MK diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal
24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah
disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu
pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung
menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.50

Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa
jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU
24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun,
sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim
Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).51

Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar
hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat
internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly
terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan
disumpah pada 22 Agustus 2006. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru
diangkat melakukan voting tertutup untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa
bakti 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul
Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua.52

Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat
mengenai pentingnya suatu MK muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi
dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi
konstitusi.53 Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah
mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang
mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi
49 www.Wikipedia.com
50 Ibid.
51 Ibid
52 Ibid
53 Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”.

16
sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-
undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-
undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan
pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar
Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya MK yang berdiri sendiri di
samping MA menjadi sebuah keniscayaan. 54

Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK mendapat respon positif dan


menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui
proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide MK menjadi
kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang
menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November
2001. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78
yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk
lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.55

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh


sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Pasal 24C UUD 1945 menyatakan:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.

(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

54 Jimly Asshiddigie, Op.Cit.


55 Ibid.

17
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.

(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara.

(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Sesuai ketentuan UUD 1945 tersebut, MK mempunyai wewenang sebagai


berikut.56

a. Menguji undang-undang terhadap UUD;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya


diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

c. Memutus pembubaran partai politik;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

e. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan


pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945 yang menjadi bagian dalam Perubahan
Keempat (tahun 2002), dinyatakan bahwa MK paling lambat sudah harus terbentuk
pada tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum MK terbentuk, segala kewenangannya
dilakukan oleh MA. Terkait dengan ini, sejak disahkannya Perubahan Keempat UUD
1945 yang mengesahkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 (11 Agustus 2002),
sampai terbentuknya MK pada tanggal 13 Agustus 2003, MA telah menerima 14
perkara yang menjadi wewenang MK. Namun sampai berlangsungnya pengalihan
perkara dari MA ke MK pada tanggal 15 Oktober 2003, tidak ada satu pun perkara
yang masuk tersebut telah diputus oleh MA. 57

Sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan


DPR membahas pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan
pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
56 Ibid.
57 Jimly Asshiddigie, Op.Cit.

18
Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu
dibentuknya MK dan setiap tanggal 13 Agustus ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun
(HUT) MK.58

Sembilan hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Indonesia ditetapkan
pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003.
Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan di Istana Negara pada tanggal
16 Agustus 2003 disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sesuai ketentuan
UUD, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR, tiga hakim konstitusi berasal dari
usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal dari usul Presiden. Konfigurasi sumber
rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut mencerminkan
keseimbangan dan keterwakilan tiga cabang kekuasaan negara tersebut di dalam tubuh
MK sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang memperkuat sistem checks
and balances antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).59

Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilh kembali untuk
satu (1) kali masa jabatan berikutnya. Adapun Hakim Konstitusi periode 2003-2008
dan Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:

Hakim Konstitusi periode 2003-2008 adalah:60

1. Jimly Asshiddiqie
2. Mohammad Laica Marzuki
3. Abdul Mukthie Fadjar
4. Achmad Roestandi
5. H. A. S. Natabaya
6. Harjono
7. I Dewa Gede Palguna
8. Maruarar Siahaan
9. Soedarsono

Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:61

1. Jimly Asshiddiqie
2. Maria Farida Indrati
3. Maruarar Siahaan

58 Ibid
59 Ibid
60 www.Wikipedia.com

19
4. Abdul Mukthie Fajar
5. Mohammad Mahfud MD
6. Muhammad Alim
7. Achmad Sodiki
8. Arsyad Sanusi
9. Akil Mochtar

Seiring dengan perubahan UUD 1945 yang menggantikan paham Supremasi


MPR dengan Supremasi Konstitusi, maka kedudukan tertinggi dalam negara Indonesia
tidak lagi lembaga MPR tetapi UUD 1945. Dalam temu ilmiah Mahkamah Konstitusi di
Universitas Sebelas Maret Surakarta tanggal 27 Oktober 2008 yang langsung
dijelaskan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H. beliau mengatakan bahwa saat ini
“MPR tidak boleh mengeluarkan TAPMPR lagi dalam Undang-Undang baru sehingga
lembaga tertinggi dan tinggi negara sudah tidak ada lagi dan DPA saat ini tidak ada lagi
berdasarkan hasil amandemen.62

Dengan demikian walaupun MK baru dibentuk pada era reformasi, namun


lembaga negara ini mempunyai kedudukan yang sederajat atau sama dengan lembaga
negara yang lain yang telah ada sebelumnya, seperti Presiden, DPR, dan MPR serta
MA. Dengan kedudukan MK yang sederajat atau sama dengan lembaga negara lain dan
adanya kesederajatan atau kesamaan kedudukan antar lembaga negara, maka
pelaksanaan tugas konstitusional MK menjadi jauh lebih mudah dan lancar dalam
memperkuat sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara.63

61 Ibid
62 Bahan Temu Ilmiah Mahkamah Konstitusi dan Pembangunan Demokrasi Indonesia, Mahmud MD, UNS, 27
Oktober 2008
63 Jimly Asshiddigie, Op.Cit.

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perjalanan pembentukan Mahkamah Konstitusi ini diawali pasca impeachment
Abdurahman Wahid dari kursi presiden pada Sidang Istimewa MPR akhir 2001
terutama mengenai sengketa (penafsiran) isi konstitusi antara Presiden Wahid di satu
sisi, dan parlemen (MPR/DPR) di sisi yang lain yang berujung pada impeachment.RUU
Mahkamah Konstitusi diselesaikan pada 6 Agustus setelah melalui masa pembahasan
yang cukup singkat. Sepekan kemudian, tepatnya 13 Agustus, Presiden
menandatangani UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada 16 Agustus,
Presiden mengambil sumpah sembilan orang hakim konstitusi yang telah ditunjuk oleh
DPR, MA dan Presiden. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakahn bahwa Mahkamah
Konstitusi terbentuk pada tanggal 16 Agustus 2003 dengan pengambilan sumpah yang
dilakukan oleh Presiden kepada sembilan orang hakim konstitusi.

21
Melihat kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD 1945 adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusnnya bersifat final untuk (1) menguji UU
terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4)
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah
memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Pada dasarnya MK berdasarkan hasil
amandemen dibuat berdasarkan segala sesuatu yang tidak bisa disentuh. Contohnya
dalam hal ini yaitu UU bisa dibatalkan oleh MK. Dalam hal ini tampaklah jelas bahwa
adanya MK sebagai pengawal konstitusi, karena MK disini fungsinya bisa menguji UU,
artinya apa yang dulu tidak boleh dibatalkan saat ini bisa dibatalkan. Contohnya adalah
UU amroji hukuman mati dan UU kepailitan.

B. SARAN

1. Adanya suatu kepengurusan dari MK terdiri dari beberapa anggota parpol,


seharusnya dalam hal ini untuk pengangkatan anggota MK bisa diluar dari anggota
parpol ataupun dari kalangan praktisi pengadilan yang terpisah dari permainan
parpol,Untuk hal ini bisa dikatakan juga bahwa Mahkamah Konstitusi pada
dasarnya juga adalah lembaga politik. Bahkan, kelak jika terbentuk akan menjadi
lembaga kekuasaan terbesar di negeri kita. Ia bisa melakukan "pengadilan politik"
dan menjatuhkan vonis atau sanksi terhadap lembaga-lembaga politik yang ada,
seperti terhadap lembaga legislatif (judicial review), lembaga eksekutif
(impeachment), partai politik (pembubaran partai politik), dan lembaga pemilu
(pembatasan hasil pemilu). Karena itu, ia berpeluang turut serta dalam arena
permainan kekuasaan, dan jika hal itu dilakukan, adanya ramalan orang bahwa MK
akan menjadi monster politik pasti akan terwujud.

2. MK adalah sebagai pengawal dari konstitusi, sehingga untuk hakim MK dalam


menguji suatu pembuatan UU dapat melihat apakah UU tersebut dapat bermanfaat
dan apakah hanya menguntungkan satu pihak saja. Sehingga dalam hal ini harus
bisa bersifat netral dalam penolakan maupun penerimaan suatu produk UU. Kalau
hal ini tidak terbukti, seperti yang dikatakan oleh Stjipto Rahardjo dalam bukunya

22
membedah hukum progresif64, menjalankan hukum di Indonesia kini terancam
kedangkalan berpikir, karena orang lebih banyak membaca huruf undang-undang
daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Adi Sulistiyono, Kekuasaan Negara hukum dan paradigma nasional, Sebelas Maret University Perss,
Surakarta, 2005.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2008.

Mahmud MD , Mahkamah Konstitusi dan Pembangunan Demokrasi Indonesia, Mahkamah


Konstitusi Republik Indonesia, Surakarta, 2008.

Sri Soemantri M., Susunan Ketatangaraan Menurut UUD 1945 dalam ketatanegaraan
Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

INTERNET

64 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2008, hal 21

23
www.Gogele.com-gagasanpembentukan mk.htm
www.Hukumonline.com
www.KCM.com
www.Gogele.com - Paparan Mahkamah Konstitusi dalam sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
www.Wikipedia.com

24

Anda mungkin juga menyukai