BLOK 4.3
SKENARIO IV
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
STEP I
Seorang perempuan berusia 39 tahun dibawa ke IGD RS dengan keluhan keputihan disertai nyeri
saat BAK
STEP II
1. vulvalitis 1. sistitis
ISK (gonore)
2. nefrolitiasis
Vaginitis :
-vagibosis bakterialis
-vaginosis trikomoniasis
-vulvovaginitis candida
STEP III
Vaginosis Bakterial
Definisi
Vaginosis bakterial merupakan salah satu keadaan yang berkaitan dengan adanya
keputihan yang tidak normal pada wanita usia reproduksi. VB merupakan sindrom polimikroba ,
yang mana laktobasilus vagina normal, khususnya yang menghasilkan hidrogen peroksidase
digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma. Bakteri yang sering ada pada VB
adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp, Bacteroides sp dan M. hominis
Faktor – faktor resiko
Beberapa faktor diketahui merupakan faktor resiko terjadinya VB, yaitu :
1. Aktivitas seksual
Dikatakan VB lebih jarang pada wanita paskapubertas tanpa pengalaman seksual
dibandingkan yang mempunyai pengalaman seksual. Amsel dan kawan- kawan menemukan
pada wanita tanpa pengalaman seksual tidak menderita VB dari 18 orang yang diperiksa,
sedangkan pada wanita yang mempunyai pengalaman seksual didapatkan sebanyak 69 (24%)
menderita VB. Studi kohort longitudinal memberikan bukti bahwa wanita yang memiliki banyak
pasangan seksual pria pasangan seksual pria dalam bulan terakhir berkaitan dengan terjadinya
vaginosis bakterial. VB juga meningkat pada wanita yang melakukan hubungan seksual dengan
wanita (women sex women/WSW ) dan berkaitan dengan wanita yang memiliki satu atau lebih
pasangan seksual wanita dalam 12 bulan terakhir Studi pada lesbian memberikan bukti lebih jauh
tentang peranan hubungan seksual dalam penularan VB. Sekitar 101 lesbian yang mengunjungi
klinik ginekologi sebesar 29 % menderita VB begitu juga pasangan seksualnya. Kemungkinan
wanita menderita VB hampir 20 kali, jika pasangannya juga menderita VB.
Patogenesis terjadinya VB pada WSW ini masih belum jelas. Salah satu penjelasan yang
mungkin adalah adanya persamaan antara bakteri anaerob yang berkaitan dengan gingivitis dan
VB. Kebiasaan seksual melalui anus dikatakan juga memegang peranan dalam terjadinya VB,
transfer perineal atau bakteri pada rektum ke vagina, telah diketahui menjadi konsekuensi pada
hubungan seksual melalui anal. Bakteri yang sering, yaitu Echerria coli dan Streptococcus , dan
hal ini memungkinkan bahwa VB dapat ditimbulkan atau dicetuskan oleh hubungan seksual yang
tidak terlindungi , sehingga terjadi translokasi bakteri dari rektum ke vagina.
2. Douching
Faktor epidemiologi lain juga penting dalam terjadinya VB. Studi kohort terbaru dari 182
wanita menunjukkan terjadinya VB tidak hanya berhubungan dengan pasangan seksual baru,
tetapi juga berhubungan dengan penggunaan douching vagina. Pemakaian douching vagina yang
merupakan produk untuk menjaga hiegene wanita bisa menyebabkan VB. Kebiasaan douching
dikatakan dapat merubah ekologi vagina, penelitian yang dilakukan oleh Onderdonk dan kawan
– kawan menyatakan douches yang mengandung povidon iodine lebih mepunyai efek
penghambatan terhadap laktobasilus vagina dibandingkan yang mengandung air garam atau
asam asetat.
3. Merokok
Merokok dikatakan berkaitan dengan VB dan penyakit IMS lainnya, dari penelitian yang
dilakukan di Inggris dan Swedia, dikatakan merokok dapat menekan sistem imun, sehingga
memudahkan terjadinya infeksi serta dapat menekan pertumbuhan laktobasilus yang
menghasilkan hydrogen peroksidase. Mekanisme lain yang menghubungkan antara merokok dan
VB adalah, dikatakan rokok mengandung berbagai zat kimia, nikotin, kotinin, dan
benzopirenediolepoxide, yang mana zat – zat kimia ini ada pada cairan mukosa servik perokok
dan secara langsung dapat merubah mikroflora vagina atau merusak sel langerhan pada epitel
servik yang menyebabkan terjadinya imunosupresi lokal. Penelitian yang dilakukan oleh Smart
dan kawan – kawan (2003) menyatakan resiko terjadinya VB sebanding dengan jumlah rokok
yang dihisap tiap hari, yang mana jika jumlah rokok yang dihisap makin banyak (> 20
batang/perhari) maka resiko terkena VB juga makin besar.
4. Pengunaan AKDR
Amsel dkk, dan Holst dkk menemukan VB lebih sering ditemukan pada wanita yang
menggunakan AKDR dibandingkan yang tidak menggunakannya (18,8 % vs 5,4% dengan p
<0,0001 dan 35 % vs 16 % dengan p <0,03).11,12 Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh
Avonts dan kawan –kawan melaporkan BV meningkat diantara pengguna AKDR dibandingkan
kontrasepsi oral hal ini mungkin disebabkan oleh bagian ekor dari AKDR yang ada pada
endoservik atau vagina menyebabkan lingkungan untuk berkembangnya bakteri anaerob dan
G.vaginalis , yang mungkinmemegang peranan dalam terjadinya VB pada wanita yang
menggunakan AKDR.
Etiologi
Ekosistem vagina normal sangat komplek, laktobasilus merupakan spesies bakteri yang
dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi ada juga bakteri lain yaitu bakteri
aerob dan anaerob. Pada saat VB muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari beberapa
spesies bakteri, dimana dalam keadaan normal ditemukan dalam konsentrasi rendah. Oleh karena
itu VB dikategorikan sebagai salah satu infeksi endogen saluran reproduksi wanita. Diketahui
ada 4 kategori dari bakteri vagina yang berkaitan dengan VB, yaitu : G.vaginalis, bakteri
anaerob, M. hominis dan mikroorganisme lainnya.
1. G. vaginalis
G. vaginalis merupakan bakteri berbentuk batang gram negatif, tidak berkapsul dan
nonmotile. Selama 30 tahun terakhir, berbagai literature menyatakan G. vaginalis berkaitan
dengan VB. Dengan media kultur yang lebih sensitif G. vaginalis dapat diisolasi pada wanita
tanpa tanda- tanda infeksi vagina. G.vaginalis diisolasi sekitar >90 % pada wanita dengan VB.
Saat ini dipercaya G.vaginalis berinteraksi dengan bakteri anaerob dan M.hominis menyebabkan
VB. Gardner dan Duke juga mengisolasi organisme lain dan berkesimpulan bahwa G.vaginalis
bukan merupakan penyebab satu – satunya VB.
2. Bakteri anaerob
Kuman batang dan kokus anaerob pertama kali diisolasi dari vagina pada tahun 1897 dan
dianggap berkaitan dengan sekret vagina oleh Curtis. Pada tahun 1980, Spiegel menganalisis
cairan vagina dari 53 wanita dengan VB menggunakan kultur kuantitatif anaerob dan gas liquid
chromatografi untuk mendeteksi metabolisme asam organik rantai pendek dari flora vagina.
Ditemukan bacteroides sp (sekarang disebut provotella dan prophyromonas) sebesar 75% dan
peptococcus (sekarang peptostreptococcus) sebesar 36% dari wanita dengan VB. Penemuan
spesies anaerob berkaitan langsung dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat
pada cairan vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa mikroorganisme anaerob berinteraksi dengan
G.vaginalis dalam menyebabkan VB. Mikroorganisme anaerob lain yang dikatakan juga
memiliki peranan dalam VB adalah Mobiluncus. Mobiluncus selalu terdapat bersamaan dengan
mikroorganisme lain yang berhubungan dengan VB.
3. Mycoplasma genital
Tylor – Robinson dan McCormack (1980) yang pertama kali berpendapat bahwa
M.hominis berperan pada VB, bersimbiosis dengan G.vaginalis maupun organisme patogen
lainnya. Pheifer dan dan kawan – kawan mendukung hipotesis ini dengan penemuan M. hominis
pada 63 % wanita dengan VB dan 10 % pada wanita normal. Paavonen (1982) juga melaporkan
hubungan dari VB dengan M.hominis dan G.vaginalis pada cairan vagina.
4. Mikroorganisme lainnya
Wanita dengan VB tidak mempunyai peningkatan streptokokus grup B, stafilokokus
koagulase negatif, tetapi mempunyai peningkatan yang bermakna dari bakteri yang merupakan
karier vagina yaitu kelompok spesies streptococcus viridians, streptococcus asidominimus, dan
stresptocccus morbilorum. Suatu analisis multivariat menemukan hubungan antara VB dengan
empat kategori bakteri vagina yaitu ; Mobiluncus spesies, kuman batang gram negatif anaerob,
G.vaginalis dan M.hominis. Prevalensi masing – masing mikroorganisme meningkat pada wanita
dengan VB. Selain itu organisme – organisme tersebut ditemukan pada konsentrasi 100 – 1000
lebih besar pada wanita dengan VB dibandingkan pada wanita normal, sedangkan konsentrasi
laktobasilus menurun pada wanita pasien VB.
Patogenesis
Pada lingkungan mikrobiologi vagina, secara alami terdapat bakteri yang berperan
sebagai penjaga ekosistem vagina dan mencegah gangguan dari lingkungan luar yang dapat
mempengaruhi lingkungan vagina. Flora normal vagina ini didominasi oleh laktobasilus yang
menghasilkan hydrogen peroksidase, yaitu Lactobaciluss crispatus, Lactobasilus acidofilus serta
Lactobasilus rhamnosus. Laktobasilus penghasil hidrogen dapat ditemukan sebesar 96% pada
vagina normal dan hanya 6% pada wanita dengan VB. Laktobasilus penghasil hidrogen ini juga
memiliki kemampuan untuk menghasilkan asam organik (asam laktat) sehingga menjaga ph
vagina <4,7 dengan menggunakan glikogen pada epitel vagina sebagai substrat, selain itu
laktobasilus juga menghasilkan bakteriosin, suatu protein yang dapat menghambat spesies
bakteri lainnya. Laktobasilus yang tidak menghasilkan hidogen ditemukan sebesar 4% pada
wanita normal dan sebesar 36% pada wanita dengan VB. VB ditandai dengan hilangnyanya
laktobasilus penghasil hydrogen peroksidase dan pertumbuhan pesat spesies anaerob. Tidak
diketahui secara pasti mana peristiwa yang mendahului, apakah terdapat faktor yang dapat
menyebabkan kematian laktobasilus sehingga bakteri anaerob ini berkembang secara pesat atau
bakteri anaerob yang sangat banyak jumlahnya menyebabkan laktobasilus menghilang.
Pertanyaan dasar yang merupakan patogenesis VB ini masih belum dapat terjawab sampai
sekarang. Sejumlah perubahan biokimia juga telah dijelaskan, epitel vagina normal dilapisi oleh
lapisan musin tipis.21-23 Pada VB lapisan pelindung ini digantikan oleh biofilm yang dihasilkan
G.vaginalis.21 β defensin -1 dan konsentrasi secretory leukosit protease inhibitor juga berkurang
pada VB. Interleukin (IL) 1 α, 1β dan reseptor 1 agonis meningkat, IL8 ( sitokin leukotaktik
primer ) berkurang.22 Terjadi peningkatan pada protein 70 kD heat shock, enzim lytic sialidase,
matriks metaloproteinase 8 dan fosfolidase A2, nitrit oksida dan endotoksin juga ditemukan pada
vagina dengan VB. Kesemuanya ini dapat menghilangkan mekanisme proteksi normal dan
meningkatkan terjadinya proses inflamasi.
Gambaran klinik
Gejala klasik dari VB adalah bau yang biasanya dideskripsikan sebagai fishy odor yang
disebabkan oleh produksi amin (trimetalamin, putresin dan kadaverin ) oleh bakteri anaerob.
Volatilasi amin ini meningkat dengan peningkatan pH , sehingga pasien sering merasa keluhan
ini makin memburuk jika terjadi peningkatan alkanin, misalnya setelah berhubungan seksual
( karena adanya cairan sperma) atau selama menstruasi. Hampir semua wanita dengan VB
memiliki ph vagina >4,5 jika diukur menggunakan kertas indikator pH. Meskipun pemeriksaan
pH ini membantu dalam pemeriksaan klinis tetapi tidak spesifik untuk VB. Peningkatan sekret
vagina sering tetapi bukan merupakan gejala yang spesifik pada VB. Keluhan ini
ditemukan sekitar 73 – 92% pada pasien VB. Pemeriksaan mikroskopis cairan vagina ( dengan
pembesaran 400 x) memperlihatkan Clue cells pada 81% pasien VB dibandingkan bukan pasien
VB sebesar 6%. Clue cells merupakan sel epitel yang ditempeli oleh bakteri sehingga tepinya
tidak rata. Pada pasien VB tidak tampak inflamasi vulva atau vagina.
Diagnosis
Diagnosis VB ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan didukung oleh
pemeriksaan laboratorium.
1. Kriteria Amsel
Amsel dan kawan –kawan menganjurkan dasar diagnosis VB berdasarkan adanya paling tidak
tiga tanda – tanda berikut : sekret vagina berwarna putih yang homogen, pH cairan vagina > 4,5.
adanya fishy odor dari cairan vagina yang ditetesi KOH 10% ( whiff test ), serta pada
pemeriksaan mikroskop ditemukan Clue cells,
a. Sekret vagina
Sekret vagina pada VB berwarna putih , melekat pada dinding vagina, jumlahnya meningkat
sedikit sampai sedang dibandingkan wanita normal.
b. pH cairan vagina
pH normal vagina berkisar antara 3,8- 4,1, sedangkan pH pada pasien VB biasanya 4,7 – 5,5.19
Pemeriksaan pH vagina memerlukan kertas indikator pH rentang yang sesuai yaitu antara 4,0
sampai dengan 6,0. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan pH vagina paling baik dilakukan
pada bagian lateral atau posterior fornik vagina dan langsung diperiksa/ditempatkan pada kertas
pH.12 pH vagina mempunyai sensitifitas yang paling tinggi pada VB tetapi mempunyai
spesifisitas yang paling rendah.
c. Malodor vagina ( whiff test )
Malodor pada vagina merupakan gejala yang paling sering terjadi pada wanita dengan VB, untuk
dapat membantu membantu deteksi malodor bagi klinisi dapat dilakukan tes Whiff, hasilnya
positif jika tercium aroma yang khas berupa fishy odor setelah ditetesi KOH 10%.
d. Pemeriksaan Clue Cells
Clue cells merupakan sel epitel skuamous vagina yang tertutup banyak bakteri sehingga
memberikan gambaran tepi yang tidak rata. Tepi yang tidak rata ini akibat melekatnya bakteri
termasuk Gardnerella dan Mobiluncus. Clue Cells merupakan kriteria terbaik
untuk diagnosis VB.
2. Kultur
Kultur G. vaginalis hanya memberikan sedikit keuntungan untuk mendiagnosis VB karena
G.vaginalis merupakan flora vagina sehingga didapatkan juga pada cairan vagina normal ,
meskipun dalam konsentrasi rendah.
3.Pewarnaan gram
Dengan tujuan untuk mendiagnosis VB secara objektif , Spiegel dan kawan – kawan
memperkenalkan pewarnaan gram untuk diagnosis VB. Sistem skoring pewarnaan gram dipakai
untuk metode standar untuk diagnosis VB berdasarkan tiga morfotipe , yaitu kuman batang gram
positif besar (laktobasilus), kuman batang gram negative kecil atau bervariasi (Gardnerella) dan
kuman batang anaerob (Mobiluncus). Selanjutnya, Nugent dan kawan – kawan
memformulasikan system skoring untuk pewarnaan gram, yang mana jika terdapat banyak
laktobasilus nilai skor akan kecil, sedangkan jika terdapat banyak morfotipe Gardnerella
dan bakteroides nilai skor akan tinggi, dan akan ditambahkan satu atau dua poin jika terdapat
Mobiluncus. Skor 0-3 dianggap normal, skor 4- 6 dianggap intermediat dan skor 7 – 10
didiagnosis dengan VB
Pengobatan
Pengobatan direkomendasikan pada wanita yang memiliki gejala VB. Tujuan pengobatan pada
wanita tidak hamil ialah untuk menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, dan mengurangi
resiko untuk terkena penyakit , yaitu Chlamidia trachomatis, Neissseria gonorhoea, HIV dan
penyakit IMS lainnya. Berdasarkan Centre for Disease Control and Prevention (CDC) tahun
2010 regimen pengobatan yang direkomendasikan untuk VB pada wanita tidak hamil ialah
metronidazol 500 mg yang diberikan dua kali sehari selama 7 hari, atau metronidazol 0,75%
intravagina yang diberikan satu kali sehari selama 5 hari, atau klindamisin krim 2% intravagina
yang diberikan pada malam hari selama 7 hari. Atau regimen alternatif , yaitu tinidazol 2 gram,
yang diberikan satu kali sehari selama dua hari, atau tinidazol 1 gram yang diberikan satu kali
sehari selama 5 hari atau klindamisin 300 mg, yang diberikan dua kali sehari selama lima hari
atau klindamisin ovula 100 mg satu kali sehari pada malam hari selama tiga hari. sedangkan pada
wanita hamil , berdasarkan CDC tahun 2010 pengobatan yang direkomendasikan ialah ;
metronidazol 500 mg yang diberikan dua kali sehari selama 7 hari, atau metronidazol 250 mg
yang diberikan tiga kali sehari selama 7 hari atau klindamisin 300 mg yang diberikan dua kali
sehari selama 7 hari. Dari beberapa penelitian dan metaanalisis dikatakan pemberian
metronidazol pada wanita hamil tidak berkaitan dengan efek teratogenik dan mutagenik pada
bayi. Dokter harus mempertimbangkan pilihan pasien, efek samping yang mungkin terjadi , serta
interaksi obat. Pasien harus diberitahukan untuk tidak berhubungan seksual atau selalu memakai
kondom dengan tepat selama masa pengobatan.
GONORE
Etiologi
Penyebab gonore adalah bakteri gonokok yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879
dan baru diumumkan pada tahun 1882. Bakteri tersebut termasuk dalam grup Neisseria dan
dikenal ada 4 spesies, yaitu N. gonorrhoeae dan N. meningitidis yang bersifat patogen serta N.
catarrhalis dan N. pharyngis ini sukar dibeadakan kecuali dengan tes fermentasi.
Bakteri Neisseria gonorrhoeae termasuk golongan diplokok berbentuk seperti biji kopi
berukuran lebar 0,8 μm dan panjang 0,6 μm, bersifat tahan asam. Pada sediaan langsung dengan
pewarnaan gram yang bersifat gram-negatif akan terlihat di luar dan di dalam leukosit yang tidak
tahan lama di udara bebas dan cepat mati dalam keadaan kering, selain itu tidak tahan suhu di
atas 39°C serta tidak tahan cat desinfektan.
Secara morfologik bakteri gonokok terdiri atas 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai
pili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai pili dan bersifat non virulen.
Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang.
Penyebab UNG paling sering adalah Chlamydia trachomatis bakteri yang secara rutin
diuji dan terisolasi dari 20–50 % kasus. Mycoplasma genitalium adalah bakteri penyebab
terbaknyak kedua, yang menyebabkan 10–30 % dari (total) kasus, dengan infeksi ganda pada C.
trachomatis sebanyak 5 – 1 5 %.
Di bagian barat Eropa, Trichomonas vaginalis jarang menyebabkan uretritis pada pria. Di
Amerika, T. vaginalis di dikaitkan dengan ras Afro-American, sebanyak 2.5–17%. Respon imun
tubuh bisa mempengaruhi perkembangan dari NGU seperti dalam suatu penelitian dikaitkan
dengan U. urealyticum. U. urealyticum dapat menjadi penyebab dari 5–10 % kasus ringan NGU,
tetapi biasa terdeteksi tanpa urethritis, dan karenanya screening dan tes pengobatan dari mikro-
organisme ini bisa dipertanyakan.
Adenovirus dapat bettanggung jawab atas 2–4 % dari pasien yg menunjukkan gejala dan
umumnya diaitkan dengan konjuntivitis. Virus Herpes tunggal tipe 1 and 2 adalah penyebab
yang tidak biasa dari NGU (2–3 %). Jika etiologi dari urethritis menyebar, monocytes terlihat
dalam ukuran mikroskopis N. meningitidis, Haemophilus sp, Candida sp. Dengan teknik modern,
bermacam-macam microorganisme bisa dideteksi pada uretra laki-laki, dan bisa saja masih ada
bakteria yg tidak diketahui yg menyebabkan uretritis.
.
Patogenesis
1 Uretritis gonore
Gonore diperoleh melalui kontak seksual. Gonore juga bisa ditularkan secara vertikal dari ibu ke
anak selama kelahiran pervaginam, Manusia adalah satu-satunya host alami Neisseria
gonorrhoeae. Neisseria gonorrhoeae menginfeksi mukosa uretra, endoserviks dan anus. Bakteri
kemudian ke microvillus sel epitel kolumnar untuk berkolonisasi dengan bantuan pili atau
fimbriae. Paling sering pada mukosa saluran urogenital. Fimbriae terdiri dari protein pilin
oligomer yang digunakan untuk melekatkan bakteri ke sel-sel dari permukaan selaput lendir.
Protein membran luar PII 9 Oppacity protein associated (OPA) membantu bakteri mengikat dan
menyerang sel inang. Invasi juga dimediasi oleh adhesins dan sphingomyelinase yang
berkontribusi pada proses endositosis. Gonokokkus menghasilkan imunoglobulin Protease yang
membelah rantai berat imunoglobin dan memblok respon imun manusia, Begitu berada di dalam
sel, organisme mengalami replikasi dan dapat tumbuh di lingkungan aerobik dan anaerobik.
Setelah invasi sel, organisme bereplikasi dan berproliferasi secara lokal, menurunkan respons
peradangan. Di luar sel, bakteri rentan terhadap perubahan suhu, sinar ultraviolet, pengeringan,
dan pergeseran lingkungan lainnya. Membran luar mengandung lipooligosaccharide endotoksin,
yang dilepaskan oleh bakteri selama periode pertumbuhan dan kerkontribusi. pengobatan
antibiotik yang kurang tepat dan daya tahan tubuh menurun dapat memudahkan penyebaran
melalui hematogen dan penyebaran infeksi yang luas.
2 Uretritis non Gonore
2.1 Chlamidia
Chlamidia memiliki dua bentuk Elementary Body (EB) dan Reticulate Body (RB) yang
menginfeksi sel epitel sehingga terjadi endositosis terhadap EB oleh sel epitel host. EB
berkembang menjadi RB, RB bertumbuh dan membentuk inklusi intraseluler , RB berubah
menjadi EB kembali dan mengalami eksositosis lalu menginfeksi sel lain.
Respon tubuh terhadap infeksi memicu inflamasi secara umum ada 2 fase :
-Fase I: fase non-infeksiosa, terjadi keadaan laten yang dapat ditemukan pada genitalia maupun
konjungtiva. Pada saat ini kuman sifatnya intraselular dan berada di dalam vakuol yang letaknya
melekat pada inti sel hospes, disebut badan inklusi.
-Fase II: fase penularan, bila vakuol pecah kuman keluar dalam bentuk badan elementer yang
dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru.
Mycoplasma genital cenderung mereplikasi diri di ekstrasel, traktus respiratori dan traktus
urogenital. Infeksi ini jarang terjadi dan cenderung terjadi pada inang yang memiliki sistem
imum yang tidak kuat atau saat trauma oleh instrumentasi. M. gillitalium dan Ureaplasma sp. di
saluran urogenital pria menyebabkan uretritis dan pada wanita dengan cervicitis dan PID juga
kadang asimptomatik.
Trichomonas vagillalis menginfeksi epitel vagina dan uretra, menyebabkan mikroulserasi. Pada
wanita, organisme dapat ditemukan di vagina, uretra, leher rahim, Bartholin dan kelenjar dan
kandung kemih. Pada pria, organisme dapat ditemukan di daerah genital eksternal, uretra
anterior, epididimis, prostat, dan air mani. Masa inkubasi biasanya antara 4 dan 28 hari.
Manifestasi Klinis
1 Urethritis Gonore
Pada Urethritis Gonore masa inkubasi sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi
antara 2-5 hari, kadang-kadang lebih lama dan hal ini disebabkan karena penderita telah
mengobati diri sendiri, tetapi dosis yang tidak cukup atau gejala sangat samar sehingga tidak
diperhatikan oleh penderita. Pada wanita biasanya masa inkubasinya lebih dari 14 hari, namun
pada 75 % kasus sulit di tentukan karena pada umumnya asimtomatik
Pada pemeriksaan klinis muara uretra tampak tanda peradangan berupa edema dan eritem, dapat
ringan sampai berat. Sekret uretra bisa banyak atau sedikit sekali atau kadang-kadang hanya
terlihat pada celana dalam penderita. Sekret umumnya serosa, seromukous, mukous, dan kadang
bercampur dengan pus. Kalau tidak ditemukan sekret bisa dilakukan pengurutan saluran uretra
yang dimulai dari daerah proksimal sampai distal sehingga mulai nampak keluar sekret. Kelainan
yang nampak pada UNG umumnya tidak sehebat pada urethritis gonore.11
Diagnosis
2.6.2 Urethritis Gonore
a. Kultur (biakan)
Untuk identifikasi perlu dilakukan kultur (pembiakan). Dua macam media yang dapat
digunakan ialah media transpor dan media pertumbuhan.
Berikut adalah contoh media transport.
1. Media Stuart : hanya untuk transpor saja, sehingga perlu ditanam kembali pada media
pertumbuhan.
2. Media Transgrow : selektif dan nutritif untuk N. gonorrhoeaee dan merupakan gabungan
media transpor dan media pertumbuhan, sehingga tidak perlu ditanam pada media pertumbuhan.
Media ini merupakan modifikasi media Thayer-Martin dengan menambahkan trimetoprim untuk
mematikan proteus spp.
2. Tes fermentasi
Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai glukosa, maltosa, dan sukrosa.
Kuman gonokok hanya meragikan glukosa.
3. Tes Beta-Laktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc. BBL 96192 yang mengandung chromogenic
cephalosporin. Apabila kuman mengandung enzim beta laktamase, akan menyebabkan
perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah.
4. Tes Thompson
Tes Thompson ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi sudah berlangsung. Pafa tes
ini ada syarat yang perlu diperhatikan yaitu
1) Sebamnya dilakukan setelah bangun pagi
2) Urin dibagi dalam dua gelas
Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore
Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis karena klamidia sebagai penyebab, perlu
pemeriksaan khusus untuk menemukan adanya C. trachomatis
Pemeriksaan laboratorium sederhana dan relatif mudah, serta cepat adalah dengan pemeriksaan
pewarnaan Gram, kriteria yang dipakai adalah:
C.Jumlah lekosit PMN> 5/LPB, pada spesimen duh uretra atau PMN>30/LPB pada spesimen
duh serviks
Pemeriksaan sitologi langsung ini dengan pewamaan Giemsa memiliki sensitivitas tinggi untuk
konjungtivitis (95 %) , sedangkan untuk infeksi genital rendah (laki - laki 15 % , perempuan 41
%) Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga rendah , yaitu 62 % .
Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih dianggap sebagai baku emas pemeriksaan klamidia .
Spesifisitasnya mencapai 100 % , tetapi sensitivitasnya bervariasi bergantung pada labora-
torium yang digunakan ( berkisar antara 75-85 % )
Pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada kasus asimtomatik dan infeksi subakut. Prosedur
tehnik, dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3-7 hari. Sampai saat ini
pemeriksaan dengan biakan bahkan PCR belum dapat dilakukan secara rutin di Indonesia.
Tes tersebut menggunakan antibodi mono- klonal atau poliklonal dengan mikroskop
imuno- fluoresen (1.F.). Tampak badan elementer (BE) atau retikulat (BR) , hasil dinyatakan
positif bila ditemukan BE > 10. Waktu pemeriksaan diperlukan kurang lebih 30 menit, perlu
tenaga terlatih dan biaya lebih murah. Sensitivitasnya berkisar antara 80-90 % dan
spesifisitasnya 98-99 % .
Pemeriksaan tersebut mulai dikembangkan pada akhir tahun 1980-an, menggunakan antibodi
monoklonal atau poliklonal dan alat spektrofotometri, lama tes 3 sampai 4 jam. Metode Elisa
Chlamydiazyme sensitivitasnya 92,3 % dan spesifisitasnya 99,8 % terhadap biakan. Di samping
itu dikenal juga metode ELISA yang membutuhkan waktu 30 menit atau kurang, yang dikenal
dengan istilah rapid test, dan dapat dikerjakan di tempat praktik. Beberapa rapid test yang
dikenal adalah "Clearview", "Genix" "One step CT test strip (AmeriTek)" dan "QuickStripe"
Chlamydia Ag. Sensitivitas pemeriksaan ini lebih rendah dibandingkan dengan ELISA
Chlamydiazyme.
Metode yang terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C. trachomatis.
Hibridisasi DNA Probe Dikenal dengan istilah Gen Probe. Metode tersebut
mendeteksi DNA CT, lebih sensitif dibandingkan dengan cara ELISA, karena dapat mendeteksi
DNA dalam jumlah kecil melalui proses hibridisasi. Sensitivitasnya tinggi ( 85 % ) dan juga
spesifisitasnya ( 98-99 % )
Amplifikasi asam nukleat Termasuk dalam katagori tersebut tes Polimerase Chain
Reaction (PCR) dan Ligase Chain Reaction (LCR). PCR mempunyai sensitifitas 90% dan
spesvisitas 99-100 % , sedangkan LCR sensitifitas 94 % dan spesifisitas 99-100%. Uretritis yang
persisten paska terapi doksisiklin dipikirkan tentang kemungkinan infeksi oleh U. Urealiticum
atau M. Genitalium yang resisten doksisiklin, T vaginalis dapat juga sebagai penyebab infeksi
uretra pada laki- laki. Dalam hal ini, dindikasikan pemeriksaan kultur atau NAAT dari bahan duh
genital, swab uretra, first void urine, atau semen.
A. Diagnosis Banding
1 Urethritis Gonore
a. Trichomoniasis
b. Bacterial Vaginosis
c. Herpes Simpleks
Herpes simpleks merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe 1
dan 2 dimana manifestasi utamanya adalah infeksi mukokutan. HSV tipe 1 lebih sering
menyerang daerah oral serta facial. sedangkan HSV tipe 2 berhubungan dengan infeksi
perigenital. Manifestasi klinis yang disebabkan oleh HSV khususnya pada tipe 2 adalah vesikel,
pustul, ulkus eritematous yang membutuhkan waktu 2-3 minggu proses penyembuhan. Terdapat
juga nyeri, gatal, disuria, sekret vaginal dan sekret uretral dan limfadenopati inguinal. Sering
juga ditemukan gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, malaise dan mialgia.
Gambar 2. 7 Herpes Genital A. Infeksi Rekuren pada penis B. Infeksi Rekuren pada Vulva
(FitzPatrick Dermatology in General Medicin 8th Ed)
a. Gonore
Gonore merupakan penyakit menular seksual yang umum terjadi dan disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae, menyebabkan perubahan padamukosa dan epitel transisional. Pada pria,
gejala awal biasanya timbul dalamwaktu 2-8 hari setelah terinfeksi. Manifestasi umum dari
infeksi gonokokkus pada pria adalah urethritis. Karakteristiknya berupa sekret yang purulen
atauberawan keluar dari uretra yang membedakannya dari urethritisnon gonore. Inflamasi
membran mukosa pada uretra anterior menyebabkan rasa nyeri saat berkemih dan terjadi
kemerahan serta pembengkakan. Nyeri dan bengkak pada testis mengindikasikan terjadinya
epididimitis atau orkitis dan mungkin akan menjadi satu-satunya gejala yang muncul. Pada
wanita, 50% infeksi N. gonorrhoeae bersifat asimtomatis. Skrining yang sesuai, diagnosis dini,
dan perawatan adalah krusial karena dapat menyebabkan komplikasi serius berupa sterilitas.
Endoserviks adalah lokasi umum terjadinya infeksi dan invasi organisme ini. Gejala urethritis
mencakup sekret mukopurulen, pruritus vagina, dan disuria. Vaginitis tidak terjadi kecuali pada
wanita prapuber atau post menopause karena epitel vagina wanita yang sudah dewasa secara
seksual tidak mendukung pertumbuhan N. gonorrhoeae. Lokasi infeksi lainnya adalah kelenjar
Bartolin dan Skene. Organisme juga dapat menginvasi traktus genitalia atas seperti uterus, tuba
fallopi, dan ovarium menyebabkan terjadinya Pelvic Inflammatory Disease (PID)
B. Tatalaksana
Non Medikamentosa
3. Kunjungan ulang untuk tindak lanjut di hari ke-3 dan hari ke-7
5. Lakukan provider Initiated Testing and Counseling terhadap infeksi HIV dan
kemungkinan mendapat infeksi menular seksual lain.
Medikamentosa
Gejala ureteritis yang menetap (setelah pengobatan satu periode selesai) atau rekuren
(setelah dinyatakan sembuh, dan muncul lagi dalam waktu 1 minggu tanpa hubungan seksual),
kemungkinan disebabkan oleh resistensi obat, atau sebagai akibat kekurang- patuhan minum
obat, atau reinfeksi. Namun pada beberapa kasus hal ini mungkin akibat infeksi oleh
Trichomonas vaginalis (Tv). Sebagai protozoa diperkirakan bahwa Tv memakan kuman
gonokok tersebut (fagositosis), sehingga kuman gonokok tersebut terhindar dari pengaruh
pengobatan. Setelah Tv mati maka kuman gonokok tersebut kembali melepaskan diri dan
berkembang biak.Ada temuan baru yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu bisa dijumpai
prevalensi Tv yang tinggi pada laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra. Bilamana gejala duh
tubuh tetap ada atau timbul gejala kambuhan setelah pemberian pengobatan secara benar
terhadap gonore maupun klamidiosis pada kasus indeks dan pasangan seksualnya, maka pasien
tersebut harus diobati untuk infeksi Tv. Hal ini hanya dilakukan bila ditunjang oleh data
epidemiologis setempat. Bilamana simtom tersebut masih ada sesudah pengobatan Tv, maka
pasien tersebut harus dirujuk. Sampai saat ini data epidemiologi trikomoniasis pada pria di
Indonesia sangat sedikit, oleh karena itu bila gejala duh tubuh uretra masih ada setelah
pemberian terapi awal sebaiknya penderita dirujuk pada tempat dengan fasilitas laboratorium
yang lengkap.
Tabel 2.2 Terapi urethritis gonokokkus dan urethritis Non-Gonokokkus (Pedoman Nasional
penanganan IMS Depkes Tahun 2016.)
C. Pencegahan
Praktek pencegahan penyakit menular seksual, antara lain: pencegahan primer, sekunder
dan tertier.
Pencegahan primer, meliputi :
1) Tidak melakukan hubungan seksual baik vaginal, anal dan oral dengan orang yang terinfeksi.
2) Selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan penyakit menular seksual.
3) Selalu menjaga kebersihan alat kelamin.
4) Segera memeriksakan diri serta melakukan konseling ke dokter atau petugas kesehatan apabila
mengalami tanda dan gejala penyakit menular seksual, meliputi : rasa sakit atau nyeri pada saat
kencing atauberhubungan seksual, rasa nyeri pada perut bagian bawah, pengeluaran lendir pada
vagina/ alat kelamin, keputihan berwarna putih susu, bergumpal dan disertai rasa gatal dan
kemerahan pada alat kelamin atausekitarnya, keputihan yang berbusa, kehijauan, berbau busuk,
dan gatal, timbul bercak-bercak darah setelah berhubungan seks, bintil-bintil berisi cairan , lecet
atau borok pada alat kelamin.
Pencegahan sekunder, meliputi :
1) Adanya pemahaman tentang agama dilakukan di lokalisasi.
2) Peningkatan pengetahuan tentang Penyakit Menular Seksual melalui penyuluhan dari dinas
kesehatan.
Pencegahan Tersier, meliputi :
1) Adanya peraturan dari pemerintah tentang larangan prostitusi.
2) Adanya usaha rehabilitasi dengan pelatihan ketrampilan pada wanita pekerja seksual yang
meninggalkan pekerjaan sebagai pekerja seksual.
2.10. Komplikasi
- Arthritis
Arthritis merupakan komplikasi dari urethritis pada dewasa muda, tetapi penyakit ini adalah
komplikasi yang sangat jarang terjadi.
- Konjunktivitis Akut.
Transmisi dari ibu ke bayi dapat terjadi melalui penularan vertikal pada saat persalinan
berlangsung.
Prognosis
Pemberian terapi yang adekuat dan cepat akan menghasilkan penyembuhan dan
pengembalian fungsi seperti semula. Penanganan yang lambat, tertunda atau tidak sesuai dapat
mengakibatkan morbiditas signifikan atau pada kejadian yang sangat jarang yaitu kematian.
Lemahnya pertahanan tubuh telah menyebabkan bakteri dari vagina, perineum (daerah
sekitar vagina), rektum (dubur) atau dari pasangan (akibat hubungan seksual), masuk ke dalam
saluran kemih. Bakteri itu kemudian berkembang biak di saluran kemih sampai ke kandung
kemih, bahkan bisa sampai ke ginjal. Bakteri infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh
bakteri-bakteri di bawah ini :
Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan terhadap infeksi E.coli karena
itu jarang terjadi infeksi hematogen E.coli. Ada beberapa tindakan yang mempengaruhi
struktur dan fungsi ginjal yang dapat meningkatkan kepekaan ginjal sehingga mempermudah
penyebaran hematogen. Hal ini dapat terjadi pada keadaan sebagai berikut :
1) Faktor anatomi
Kenyataan bahwa infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-
laki disebabkan karena :
Eradikasi bakteri dari kandung kemih menjadi terhambat jika terdapat hal sebagai
berikut : adanya urin sisa, miksi yang tidak kuat, benda asing atau batu dalam kandung
kemih, tekanan kandung kemih yang tinggi atau inflamasi sebelumya pada kandung kemih.
C. Gambaran Klinis
Gejala – gejala dari cystitis sering meliputi:
Tidak setiap orang dengan infeksi saluran kemih dapat dilihat tanda – tanda dan
gejalanya, namun umumnya terlihat beberapa gejala, meliputi:
Setiap tipe dari infeksi saluran kemih memilki tanda – tanda dan gejala yang spesifik,
tergantung bagian saluran kemih yang terkena infeksi:
1. Pyelonephritis akut. Pada tipe ini, infeksi pada ginjal mungkin terjadi setelah meluasnya
infeksi yang terjadi pada kandung kemih. Infeksi pada ginjal dapat menyebabkan rasa
salit pada punggung atas dan panggul, demam tinggi, gemetar akibat kedinginan, serta
mual atau muntah.
2. Cystitis. Inflamasi atau infeksi pada kandung kemih dapat dapat menyebabkan rasa
tertekan pada pelvis, ketidaknyamanan pada perut bagian bawah, rasa sakit pada saat
urinasi, dan bau yang mnyengat dari urin.
3. Uretritis. Inflamasi atau infeksi pada uretra menimbulkan rasa terbakar pada saat urinasi.
Pada pria, uretritis dapat menyebabkan gangguan pada penis.
Gejala pada infeksi saluran kemih ringan (misalnya: cystitis, uretritis) meliputi:
a. kedinginan
b. demam tinggi dan gemetar
c. mual
d. muntah (emesis)
e. rasa sakit di bawah rusuk
f. rasa sakit pada daerah sekitar abdome
Merokok, ansietas, minum kopi terlalu banyak, alergi makanan atau sindrom pramenstruasi
bisa menyebabkan gejala mirip infeksi saluran kemih. Gejala infeksi saluran kemih pada bayi
dan anak kecil. Infeksi saluran kemih pada bayi dan anak usia belum sekolah memilki
kecendrungan lebih serius dibandingkan apabila terjadi pada wanita muda, hal ini disebabkan
karena memiliki ginjal dan saluran kemih yang lebih rentan terhadap infeksi.
D. Diagnosis
Pemeriksaan infeksi saluran kemih, digunakan urin segar (urin pagi). Urin pagi adalah
urin yang pertama – tama diambil pada pagi hari setelah bangun tidur. Digunakan urin pagi
karena yang diperlukan adalah pemeriksaan pada sedimen dan protein dalam urin. Sampel urin
yang sudah diambil, harus segera diperiksa dalam waktu maksimal 2 jam. Apabila tidak segera
diperiksa, maka sampel harus disimpan dalam lemari es atau diberi pengawet seperti asam
format.
Bahan untuk sampel urin dapat diambil dari:
Urin porsi tengah, sebelumnya genitalia eksterna dicuci dulu dengan air sabun dan NaCl
0,9%.
Urin yang diambil dengan kateterisasi 1 kali.
Urin hasil aspirasi supra pubik.
Bahan yang dianjurkan adalah dari urin porsi tengah dan aspirasi supra pubik.
Mikroskopis.
Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan).
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.
Biakan bakteri.
Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan kimia
Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin. Contoh, tes reduksi griess
nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram negatif. Batasan: ditemukan lebih 100.000 bakteri.
Tingkat kepekaannya mencapai 90 % dengan spesifisitas 99%.
Pada biakan urin dinilai jenis mikroorganisme, kuantitas koloni (dalam satuan CFU),
serta tes sensitivitas terhadap antimikroba (dalam satuan millimeter luas zona hambatan).
Pada uretra bagian distal, daerah perianal, rambut kemaluan, dan sekitar vagina adalah
habitat sejumlah flora normal seperti laktobasilus, dan streptokokus epidermis. Untuk
membedakan infeksi saluran kemih yang sebenarnya dengan mikroorganisme kontaminan
tersebut, maka hal yang sangat penting adalah jumlah CFU. Sering terdapat kesulitan dalam
mengumpulkan sampel urin yang murni tanpa kontaminasi dan kerap kali terdapat
bakteriuria bermakna tanpa gejala, yang menyulitkan penegakkan diagnosis infeksi saluran
kemih. Berdasarkan jumlah CFU, maka interpretasi dari biakan urin adalah sebagai berikut:
a. Pada hitung koloni dari bahan porsi tengah urin dan dari urin kateterisasi.
Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah disebut dengan bakteriuria bermakna
Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah tanpa gejala klinis disebut bakteriuria
asimtomatik
Bila terdapat mikroba 102 – 103 CFU/ml urin kateter pada wanita muda asimtomatik
yang disertai dengan piuria disebut infeksi saluran kemih.
b. Hitung koloni dari bahan aspirasi supra pubik.
Berapapun jumlah CFU pada pembiakan urin hasil aspirasi supra pubik adalah infeksi
saluran kemih.
Interpretasi praktis biakan urin oleh Marsh tahun 1976, ialah sebagai berikut:
> 100.000 CFU/ml urin dari 2 biakan urin porsi tengah yang dilakukan seara berturut
– turut.
> 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah dengan leukosit > 10/ml urin
segar.
> 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah disertai gejala klinis infeksi
saluran kemih.
> 10.000 CFU/ml urin kateter.
Berapapun CFU dari urin aspirasi suprapubik.
Berbagai faktor yang mengakibatkan penurunan jumlah bakteri biakan urin pada infeksi
saluran kemih:
1) Faktor fisiologis
Diuresis yang berlebihan
Biakan yang diambil pada waktu yang tidak tepat
Biakan yang diambil pada infeksi saluran kemih dini (early state)
Infeksi disebabkan bakteri bermultiplikasi lambat
Terdapat bakteriofag dalam urin
2) Faktor iatrogenic
Penggunaan antiseptic pada waktu membersihkan genitalia
Penderita yang telah mendapatkan antimikroba sebelumnya
Cara biakan yang tidak tepat:
3. Tes Biokimia
Bakteri tertentu golongan enterobacteriae dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit
(Griess test), dan memakai glukosa (oksidasi). Nilai positif palsu prediktif tes ini hanya <5%.
Kegunaan tes ini terutama untuk infeksi saluran kemih rekurens yang simtomatik. Pada
infeksi saluran kemih juga sering terdapat proteinuria yang biasanya < 1 gram/24 jam.
Membedakan bakteriuria dan infeksi saluran kemih yaitu, jika hanya terdapat piuria berarti
inflamasi, bila hanya terdapat bakteriuria berarti kolonisasi, sedangkan piuria dengan
bakteriuria disertai tes nitrit yang positif adalah infeksi saluran kemih.
4. Lokalisasi infeksi
Tes ini dilakukan dengan indikasi:
Setiap infeksi saluran kemih akut (pria atau wanita) dengan tanda – tanda sepsis.
Setiap episode infeksi saluran kemih (I kali) pada penderita pria.
Wanita dengan infeksi rekurens yang disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal.
Biakan urin menunjukkan bakteriuria pathogen polimikrobal.
Penentuan lokasi infeksi merupakan pendekatan empiris untuk mengetahui etiologi
infeksi saluran kemih berdasarkan pola bakteriuria, sekaligus memperkirakan prognosis, dan
untuk panduan terapi. Secara umum dapat dikatakan bahwa infeksi saluran kemih atas lebih
mudah menjadi infeksi saluran kemih terkomplikasi. Suatu tes noninvasif pembeda infeksi
saluran kemih atas dan bawah adalah dengan ACB (Antibody-Coated Bacteria). Pemeriksaan
ini berdasarkan data bahwa bakteri yang berasal dari saluran kemih atas umumnya
diselubungi antibody, sementara bakteri dari infeksi saluran kemih bawah tidak. Pemeriksaan
ini lebih dianjurkan untuk studi epidemiologi, karena kurang spesifik dan sensitif.
a. Non invasif
Imunologik
ACB (Antibody-Coated Bacteria)
Autoantibodi terhadap protein saluran Tam-Horsfall
Serum antibodi terhadap antigen polisakarida
Komplemen C
Nonimunologik
Kemampuan maksimal konsentrasi urin
Enzim urin
Protein Creaktif
Foto polos abdomen
Ultrasonografi
CT Scan
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Bakteriuria polimikrobial / relaps setelah terapi (termasuk pada terapi tunggal)
b. Invasif
Pielografi IV / Retrograde / MCU
Kultur dari bahan urin kateterisasi ureteroan bilasan kandung kemih
Biopsi ginjal (kultur pemeriksaan imunofluoresens)
E. Pengobatan
Prinsip pengobatan infeksi saluran kemih adalah memberantas (eradikasi) bakteri dengan
antibiotika.
Tujuan pengobatan :
Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih terbagi dua, yaitu
antibiotika oral dan parenteral.
1. Antibiotika Oral
a. Sulfonamida
Antibiotika ini digunakan untuk mengobati infeksi pertama kali. Sulfonamida
umumnya diganti dengan antibiotika yang lebih aktif karena sifat resistensinya.
Keuntungan dari sulfonamide adalah obat ini harganya murah.
b. Trimetoprim-sulfametoksazol
Kombinasi dari obat ini memiliki efektivitas tinggi dalam melawan bakteri aerob,
kecuali Pseudomonas aeruginosa. Obat ini penting untuk mengobati infeksi dengan
komplikasi, juga efektif sebagai profilaksis pada infeksi berulang. Dosis obat ini adalah
160 mg dan interval pemberiannya tiap 12 jam.
c. Penicillin
Ampicillin adalah penicillin standar yang memiliki aktivitas spektrum luas,
termasuk terhadap bakteri penyebab infeksi saluran urin. Dosis ampicillin 1000
mg dan interval pemberiannya tiap 6 jam.
Amoxsicillin terabsorbsi lebih baik, tetapi memiliki sedikit efek samping.
Amoxsicillin dikombinasikan dengan clavulanat lebih disukai untuk mengatasi
masalah resistensi bakteri. Dosis amoxsicillin 500 mg dan interval pemberiannya
tiap 8 jam.
d. Cephaloporin
Cephalosporin tidak memiliki keuntungan utama dibanding dengan antibiotika
lain yang digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih, selain itu obat ini juga lebih
mahal. Cephalosporin umumnya digunakan pada kasus resisten terhadap amoxsicillin dan
trimetoprim-sulfametoksazol.
e. Tetrasiklin
Antibiotika ini efektif untuk mengobati infeksi saluran kemih tahap awal. Sifat
resistensi tetap ada dan penggunannya perlu dipantau dengan tes sensitivitas. Antibotika
ini umumnya digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh chlamydial.
f. Quinolon
Asam nalidixic, asam oxalinic, dan cinoxacin efektif digunakan untuk mengobati
infeksi tahap awal yang disebabkan oleh bakteri E. coli dan Enterobacteriaceae lain,
tetapi tidak terhadap Pseudomonas aeruginosa. Ciprofloxacin ddan ofloxacin
diindikasikan untuk terapi sistemik. Dosis untuk ciprofloxacin sebesar 50 mg dan interval
pemberiannya tiap 12 jam. Dosis ofloxacin sebesar 200-300 mg dan interval
pemberiannya tiap 12 jam.
g. Nitrofurantoin
Antibiotika ini efektif sebagai agen terapi dan profilaksis pada pasien infeksi
saluran kemih berulang. Keuntungan utamanya adalah hilangnya resistensi walaupun
dalam terapi jangka panjang.
h. Azithromycin
Berguna pada terapi dosis tunggal yang disebabkan oleh infeksi chlamydial.
2. Antibiotika Parenteral.
a. Amynoglycosida
Gentamicin dan Tobramicin mempunyai efektivitas yang sama, tetapi gentamicin
sedikit lebih mahal. Tobramicin mempunyai aktivitas lebih besar terhadap pseudomonas
memilki peranan penting dalam pengobatan onfeksi sistemik yang serius. Amikasin
umumnya digunakan untuk bakteri yang multiresisten. Dosis gentamicin sebesar 3-5
mg/kg berat badan dengan interval pemberian tiap 24 jam dan 1 mg/kg berat badan
dengan interval pemberian tiap 8 jam.
b. Penicillin
Penicillin memilki spectrum luas dan lebih efektif untuk menobati infeksi akibat
Pseudomonas aeruginosa dan enterococci. Penicillin sering digunakan pada pasien yang
ginjalnya tidak sepasang atau ketika penggunaan amynoglycosida harus dihindari.
c. Cephalosporin
Cephalosporin generasi kedua dan ketiga memiliki aktivitas melawan bakteri
gram negative, tetapi tidak efektif melawan Pseudomonas aeruginosa. Cephalosporin
digunakan untuk mengobati infeksi nosokomial dan uropsesis karena infeksi pathogen.
d. Imipenem/silastatin
Obat ini memiliki spectrum yang sangat luas terhadap bakteri gram positif,
negative, dan bakteri anaerob. Obat ini aktif melawan infeksi yang disebabkan
enterococci dan Pseudomonas aeruginosa, tetapi banyak dihubungkan dengan infeksi
lanjutan kandida. Dosis obat ini sebesar 250-500 mg ddengan interval pemberian tiap 6-8
jam.
e. Aztreonam
Obat ini aktif melawan bakteri gram negative, termasuk Pseudomonas
aeruginosa. Umumnya digunakan pada infeksi nosokomial, ketika aminoglikosida
dihindari, serta pada pasien yang sensitive terhadap penicillin. Dosis aztreonam sebesar
1000 mg dengan interval pemberian tiap 8-12 jam.
1. Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kemih.
2. Bagi perempuan, membersihkan organ intim dengan sabun khusus yang memiliki pH
balanced (seimbang) sebab membersihkan dengan air saja tidak cukup bersih.
3. Pilih toilet umum dengan toilet jongkok. Sebab toilet jongkok tidak menyentuh langsung
permukaan toilet dan lebih higienis. Jika terpaksa menggunakan toilet duduk, sebelum
menggunakannya sebaiknya bersihkan dahulu pinggiran atau dudukan toilet. Toilet-toilet
umum yang baik biasanya sudah menyediakan tisu dan cairan pembersih dudukan toilet.
4. Jangan membersihkan organ intim di toilet umum dari air yang ditampung di bak mandi
atau ember. Pakailah shower atau keran.
5. Gunakan pakaian dalam dari bahan katun yang menyerap keringat agar tidak lembab.
HERPES SIMPLEK
Infeksi Herpes Simpleks ditandai dengan episode berulang dari lepuhan-lepuhan kecil di
kulit atau selaput lendir, yang berisi cairan dan terasa nyeri. Herpes simpleks menyebabkan
timbulnya erupsi pada kulit atau selaput lendir. Erupsi ini akan menghilang meskipun virusnya
tetap ada dalam keadaan tidak aktif di dalam ganglia (badan sel saraf), yang mempersarafi rasa
pada daerah yang terinfeksi. Secara periodik, virus ini akan kembali aktif dan mulai
berkembangbiak,seringkali menyebabkan erupsi kulit berupa lepuhan pada lokasi yang sama
dengan infeksi sebelumnya. Virus juga bisa ditemukan di dalam kulit tanpa menyebabkan
lepuhan yang nyata, dalam keadaan ini virus merupakan sumber infeksi bagi orang lain.
Jenis-jenis Virus Herpes Simplek
1. HSV tipe 1, menyebabkan demam seperti pilek dengan menimbulkan luka di bibir
semacam sariawan. HSV jenis ini ditularkan melalui ciuman mulut atau bertukar alat makan
seperti sendok – garpu (misalnya suap-suapan dengan teman). Virus tipe 1 ini juga bisa
menimbulkan luka di sekitar alat kelamin.
2. HSV tipe 2; dapat menyebabkan luka di daerah alat vital sehingga suka disebut genital
herpes, yang muncul luka-luka di seputar penis atau vagina. HSV 2 ini juga bisa menginfeksi
bayi yang baru lahir jika dia dilahirkan secara normal dari ibu penderita herpes. HSV-2 ini
umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. Virus ini juga sesekali muncul di mulut. Dalam
kasus yang langka, HSV dapat menimbulkan infeksi di bagian tubuh lainnya seperti di mata dan
otak.
2. Demam
3. Stres fisik/emosional
1. HSV-1
Suatu infeksi awal HSV-1 yang menyerang kornea mata dan dapat mengakibatkan
kebutaan.
c. Herpes Labialis
Terjadi pengelompokan vesikel-vesikel lokal, biasanya pada perbatasan mukokutan bibir.
Vesikel pecah, meninggalkan tukak yang rasanya sakit dan menyembuh tanpa jaringan parut.
Lesi-lesi dapat kambuh kembali secara berulang pada berbagai interval waktu.
2. HSV-2
a. Herpes Genetalis
Herpes genetalis ditandai oleh lesi-lesi vesikuloulseratif pada penis pria atau serviks,
vulva, vagina, dan perineum wanita. Lesi terasa sangat nyeri dan diikuti dengan demam, malaise,
disuria, dan limfadenopati inguinal. Infeksi herpes genetalis dapat mengalami kekambuhan dan
beberapa kasus kekambuhan bersifat asimtomatik. Bersifat simtomatik ataupun asimtomatik,
virus yang dikeluarkan dapat menularkan infeksi pada pasangan seksual seseorang yang telah
terinfeksi.
b. Herpes neonatal
Herpes neonatal merupakan infeksi HSV-2 pada bayi yang baru lahir. Virus HSV-2 ini
ditularkan ke bayi baru lahir pada waktu kelahiran melalui kontak dengan lesi-lesi herpetik pada
jalan lahir. Untuk menghindari infeksi, dilakukan persalinan melalui bedah caesar terhadap
wanita hamil dengan lesi-lesi herpes genetalis. Infeksi herpes neonatal hampir selalu simtomatik.
Dari kasus yang tidak diobati, angka kematian seluruhnya sebesar 50%.
Gejala Herpes Simplek
Gejala umum Herpes simplek adalah bentol berisi cairan yang terasa perih dan panas.
Bentolan ini akan berlangsung beberapa hari. Bintil kecil ini bisa meluas tidak hanya di wajah
tapi bisa di seluruh tubuh. Bisa juga terlihat seperti jerawat, dan pada wanita timbul keputihan.
Rasa sakit dan panas di seluruh tubuh yang membuat tidak nyaman ini bisa berlangsung sampai
beberapa hari disertai sakit saat menelan makanan, karena kelenjar getah bening sudah
terganggu. Gejala ini datang dan pergi untuk beberapa waktu. Bisa saja setelah sembuh, gejala
ini “tidur” untuk sementara waktu sampai satu tahun lamanya. Namun akan tiba-tiba kambuh
dalam beberapa minggu. Sering terasa gatal yang tidak jelas di sebelah mana, kulit seperti
terbakar di bagian tubuh tertentu disertai nyeri di daerah selangkangan atau sampai menjalar ke
kaki bagian bawah.Gejala herpes dapat melukai daerah penis, buah pelir, anus, paha, pantat-
vagina, dan saluran kandung kemih.
Cara penularan Herpes
Transmisi HSV kepada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya terjadi ketika
virus mengalami multiplikasi di dalam tubuh host (viral shedding). Lama waktu viral shedding
pada tiap episode serangan HSV berbeda-beda. Pada infeksi primer dimana dalam tubuh host
belum terdapat antibodi terhadap HSV, maka viral shedding cenderung lebih lama yaitu sekitar
12 hari dengan puncaknya ketika muncul gejala prodormal (demam,lemah, penurunan nafsu
makan, dan nyeri sendi) dan pada saat separuh serangan awal infeksi primer, walaupun > 75 %
penderita dengan infeksi primer tersebut tanpa gejala. Viral shedding pada episode I non primer
lebih singkat yaitu sekitar 7 hari dan karena pada tahap ini telah terbentuk antibodi terhadap
HSV maka gejala yang ditimbulkan lebih ringan dan kadang hanya berupa demam maupun
gejala sistemik singkat. Pada tahap infeksi rekuren yang biasa terjadi dalam waktu 3 bulan
setelah infeksi primer, viral shedding berlangsung selama 4 hari dengan puncaknya pada saat
timbul gejala prodormal dan pada tahap awal serangan. Viral shedding pada tahap asimptomatik
berlangsung episodik dan singkat yaitu sekitar 24-48 jam dan sekitar 1-2 % wanita hamil dengan
riwayat HSV rekuren akan mengalami periode ini selama proses persalinan.
Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya transmisi dari seorang
individu yang seropositif, dimana transmisi tersebut dapat berlangsung secara horisontal dan
vertikal. Perbedaan dari ke-dua metode transmisi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Horisontal
Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang seronegatif
berkontak dengan individu yang seropositif melalui vesikel yang berisi virus aktif
(81-88%), ulkus atau lesi HSV yang telah mengering (36%) dan dari sekresi
cairan tubuh yang lain seperti salivi, semen, dan cairan genital (3,6-25%). Adanya
kontak bahan-bahan tersebut dengan kulit atau mukosa yang luka atau pada
beberapa kasus kulit atau mukosa tersebut maka virus dapat masuk ke dalam
tubuh host yang baru dan mengadakan multiplikasi pada inti sel yang baru saja
dimasukinya untuk selanjutnya menetap seumur hidup dan sewaktu-waktu dapat
menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya vesikel kecil berkelompok dengan
dasar eritem.
2. Vertikal
Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada periode
antenatal, intrapartum dan postnatal. Periode antenatal bertanggung jawab
terhadap 5 % dari kasus HSV pada neonatal. Transmisi ini terutama terjadi pada
saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada dalam fase viremia (virus
berada dalam darah) sehingga secara hematogen virus tersebut dalam masuk ke
dalam plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenter akhirnya menginfeksi fetus.
Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap prognosis si bayi, apabila
infeksi terjadi pada trimester I biasanya akan terjadi abortus dan pada trimester II
akan terjadi kelahiran prematur. Bayi dengan infeksi HSV antenatal mempunyai
angka mortalitas ± 60 % dan separuh dari yang hidup tersebut akan mengalami
gangguan syaraf pusat dan mata. Infeksi primer yang terjadi pada masa-masa
akhir kehamilan akan memberikan prognosis yang lebih buruk karena tubuh ibu
belum sempat membentuk antibodi (terbentuk 3-4 minggu setelah virus masuk
tubuh host) untuk selanjutnya disalurkan kepada fetus sebagai suatu antibodi
neutralisasi transplasental dan hal ini akan mengakibatkan 30-57% bayi yang
dilahirkan terinfeksi HSV dengan berbagai komplikasinya (mikrosefali,
hidrosefalus, calsifikasi intracranial, chorioretinitis dan ensefalitis).3 Sembilan
puluh persen infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum yaitu ketika bayi
melalui jalan lahir dan berkontak dengan lesi maupun cairan genital ibu. Ibu
dengan infeksi primer mampu menularkan HSV pada neonatus 50 %, episode I
non primer 35% , infeksi rekuren dan asimptomatik 0-4%.
Pencegahan
a) Higiene Personal
- Sering membersihkan diri dengan mandi menggunakan air yang bersih. Idealnya
saat musim panas mandi 2 kali pagi dan sore.
- Ganti pakaian satu hari minimal 2 kali sehabis mandi agar tubuh tetap terjaga
kebersihannya.
- Cucilah seprai, handuk dan pakaian yang dipakai dengan air yang bersih dan
menggunakan deterjen .
b) Sanitasi lingkungan
2. Pencegahan transmisi HSV secara vertikal dapat dilakukan dengan deteksi ibu hamil
dengan screning awal di usia kehamilan 14-18 minggu, selanjutnya dilakukan kultur servik
setiap minggu mulai dari minggu ke-34 kehamilan pada ibu hamil dengan riwayat infeksi HSV
serta pemberian terapi antivirus supresif (diberikan setiap hari mulai dari usia kehamilan 36
minggu dengan acyclovir 400mg 3×/hari atau 200mg 5×/hari) yang secara signifikan dapat
mengurangi periode rekurensi selama proses persalinan (36% VS 0%). Namun apabila sampai
menjelang persalinan, hasil kultur terakhir tetap positif dan terdapat lesi aktif di daerah genital
maka kelahiran secara sesar menjadi pilihan utama.
Periode postnatal bertanggungjawab terhadap 5-10% kasus infeksi HSV pada neonatal.
Infeksi ini terjadi karena adanya kontak antara neonatus dengan ibu yang terinfeksi HSV (infeksi
primer HSV-I 100%, infeksi primer HSV-II 17%, HSV-I rekuren 18%, HSV-II rekuren 0%) dan
juga karena kontak neonatus dengan tenaga kesehatan yang terinfeksi HSV.
Pemilihan metode pencegahan yang tepat sesuai dengan model transmisinya dapat
menurunkan angka kejadian dan penularan infeksi HSV.
Pengobatan
Beberapa obat antivirus telah terbukti efektif melawan infeksi HSV. Semua obat tersebut
menghambat sintesis DNA virus. Obat ini dapat menghambat perkembangbiakan virus herpes.
Walaupun demikian, HSV tetap bersifat laten di ganglia sensorik, dan angka kekambuhannya
tidak jauh berbeda pada orang yang diobati dengan yang tidak diobati. Salah satu obat yang
efektif untuk infeksi Herpes Simpleks Virus adalah: Siklofir dalam bentuk topikal, intravena, dan
oral yang kesemuanya berguna untuk mengatasi infeksi primer.
Higiene Perorangan
1. Pengertian Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena
pengaruh lingkungan kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga
terjamin pemeliharaan kesehatannya.
Penggunaan handuk merupakan salah salah satu bagian dari PHBS karena handuk di
gunakan untuk mengeringkan badan setelah kita mandi dari sisa-sisa air yang masih menepel di
kulit. Akan tetapi handuk juga dapat menjadi media transmisi penularan penyakit serta tempat
kuman dan bakteri jika handuk tidak sering diganti, Atau sering menjemurnya di tempat yang
lembab. Beberapa cara yang dapat di gunakan untuk menjaga kebersihan handuk sebagai
berikut :
- Jemurlah handuk di tempat yang kering dan terkena matahari, agar tidak lembab
dan tidak mudah ditumbuhi jamur
- Gantilah handuk setiap pemakaian 2-3 hari untuk mencegah handuk berbau dan
mencegah tumbuhnya bakteri
- Cuci handuk dengan air biasa, atau air hangat hingga suhu 60 derajat Celcius
- Setrika handuk dengan temperatur sedang dan simpan pada
e. Menciptakan keindahan
1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: FK UI. 2017.
2. James W, et al. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. Twelfth
Edition. Philadelphia: Elsevier; 2016.
3. Katzung B.G, Masters S. B. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 13. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2015
4. Siregar R. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2015.
5. Wofll K, et al. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology
Eighth Edition. Unites states: McGraw-Hill. 2017.