Bab 3 Metode Penelitian 26 Januari
Bab 3 Metode Penelitian 26 Januari
Judul Penelitian = Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Kadar kortisol pada Pasien
HIV/AIDS
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian menggunakan quasi
eksperimental.
Penelitian ini merupakan eksperimen karena peneliti melakukan intervensi pada variabel sebab
yang akan diteliti, dengan jenis quasi eksperimen tanpa kelompok kontrol, karena penelitian ini ;
1. Tidak memiliki kelompok kontrol
2. Treatment yang diberikan tidak memiliki level / perlakuan yang berbeda nyata, hanya
kelompok berupa pre-test maupun post-test
Quasi eksperimen merupakan satu eksperimen yang penempatan unit terkecil eksperimen ke
dalam kelompok eksperimen dan kontrol tidak dilakukan dengan acak (nonrandom
assignment) pasien yang datang dan sesuai dengan kriteria, otomatis akan menjadi sampel
untuk penelitian ini
Design penelitian adalah one-group pretest-posttest design karena pada penelitian ini kelompok
dibedakan menjadi kelompok pre-test maupun post-test.
Ciri tipe penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan
intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2015).
Keterangan :
K : subjek
O : observasi sebelum diberikan intervensi
I : intervensi (perawatan paliatif)
O1 : observasi setelah diberikan perawatan paliatif
3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien di poli IHAN RS Universitas
Airlangga yang memenuhi kriteria berikut:
Kriteria inklusi:
1) Pasien positif HIV/ AIDS, yang dibuktikan dengan test serologi positif ELISA atau
rapid test, Western Blot yang tercatat pada rekam medis
3
Seseorang yang terinfeksi HIV-1 dapat dideteksi dengan cara tes langsung pada virus
HIV-1 atau secara tidak langsung dengan cara penentuan antibodi. Pemeriksaan
terhadap antibodi HIV-1 adalah pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan,
apabila pada individu didapatkan adanya antibodi terhadap HIV-1, artinya individu
tersebut pernah atau sedang terpajan HIV-1. Metode yang biasanya digunakan di
Indonesia adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). ELISA
mempunyai sensitifitas 93-98% dengan spesifisitas 98-99%. Pemeriksaan serologi
HIV-1 sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda (ELISA atau rapid test (paper
and gelatin particle agglutination), Western Blot, Tes Antibodi dengan ELISA p24
HIV-1 atau PCR (Polymerase chain reaction)) (Chinese Medical Association and
Chinese Center for Disease Control and Prevention, 2006; Nasronudin, 2014;
Djoerban dan Djauzi, 2014; Fauci dan Lane, 2015).
Berilah tanda (√) jika terdapat gejala yang terjadi selama menderita ……
1) Perasaan cemas
1 2 3 4
o Firasat buruk
o Takut akan pikiran sendiri
o Mudah tersinggung
2) Ketegangan
4
1 2 3 4
o Merasa tegang
o Lesu
o Mudah terkejut
o Tidak dapat istirahat dengan nyenyak
o Mudah menangis
o Gemetar
o Gelisah
3) Ketakutan
1 2 3 4
o Pada gelap
o Ditinggal sendiri
o Pada orang asing
o Pada binatang besar
o Pada keramaian lalu lintas
o Pada kerumunan banyak orang
4) Gangguan tidur
1 2 3 4
o Kehilangan minat
o Sedih
o Bangun dini hari
o Berkurangnya kesukaan pada hobi
o Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7) Gejala somatik (otot-otot)
1 2 3 4
o Nyeri otot
o Kaku
o Kedutan otot
o Gigi gemeretak
o Suara tak stabil
8) Gejala sensorik
1 2 3 4
o Telinga berdengung
o Penglihatan kabur
o Muka merah dan pucat
o Merasa lemah
o Perasaan ditusuk-tusuk
9) Gejala kardiovaskular
1 2 3 4
6
o Sulit menelan
o Mual muntah
o Berat badan menurun
o Konstipasi/sulit buang air besar
o Perut melilit
o Gangguan pencernaan
o Nyeri lambung sebelum/sesudah makan
o Rasa panas di perut
o Perut terasa penuh/kembung
12) Gejala urogenitalia
1 2 3 4
o Sering kencing
o Tidak dapat menahan kencing
7
o Mulut kering
o Muka kering
o Mudah berkeringat
o Pusing/sakit kepala
o Bulu roma berdiri
14) Apakah anda merasakan
1 2 3 4
o Gelisah
o Tidak terang
o Mengerutkan dahi muka tegang
o Tonus/ketegangan otot meningkat
o Napas pendek dan cepat
o Muka merah
Jumlah skor: …………………
Kesimpulan : Tidak ada kecemasan
Kecemasan ringan
Kecemasan sedang
Kecemasan berat
Berdasarkan WHO (2016) dan PermenKes No.87 Tahun 2019, pasien yang direkomendasikan
untuk memulai ARV pada orang dewasa, remaja dan anak-anak adalah berdasarkan kriteria
berikut: kriteria dewasa (berumur >19 tahun), remaja (10-19 tahun), anak-anak (≥5 tahun dan 1-5
tahun), bayi (<1 tahun).
Kriteria Eksklusi:
1) Adanya faktor yang menyebabkan kesulitan untuk menilai kondisi psikologis pasien
Non Probabilty Sampling karena frame untuk jumlah populasi juga tidak diketahui secara jelas.
Jenisnya adalah purposive sampling karena sampel dalam penelitian akan dipilih sesuai dengan
karakteristik tertentu, selain itu tidak banyak.
Purposive Sampling (Sampel Pertimbangan)
Purposive Sampling merupakan satuan sampling yang dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu
dengan tujuan untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik yang
dikehendaki. Teknik ini digunakan terutama apabila hanya ada sedikit orang yang mempunyai
keahlian (expertise) di bidang yang sedang diteliti.
1. Variabel bebas
(Independen)
a. Perawatan Perawatan paliatif merupakan perawatan yang observasi/penga 1= diberikan nomi
Paliatif berfokus pada 5 dimensi manusia, yaitu biologis, matan peneliti perawatan nal
psikologis, sosial, spiritual, dan kultural. berdasarkan paliatif
pemberian 2= tidak
terapi paliatif diberikan
perawatan
paliatif
2. Variabel
terikat
(dependen)
a. Hormon Kortisol adalah hormod kortikosteroid yang Kadar hormon berupa rasio
Kortisol dikeluarkan akibat respon adanya stress. kortisol satuan µg/ml
Hormon kortisol berperan penting dalam diperiksa
menjaga fungsi tubuh, salah satunya yaitu dengan metode
respon untuk melawan infeksi (Thau L, Gandhi ELISA kit di
J, Sharma S., 2020). Pemeriksaan kortisol laboratorium
dilakukan melalui darah plasma yang diambil ITD UNAIR
antara pukul 07.00 – 11.00, pucak hormon
kortisol pada pukul 08.00 dan paling rendah
pada malam hari menjelang tengah malam
(Yonas, 2011).
Karena lebih dari 90% kortisol yang bersirkulasi dalam serum manusia terikat
dengan protein, perubahan pada protein pengikat dapat mengubah kadar total kortisol
serum tanpa memengaruhi konsentrasi bebas kortisol.
Secara umum, kadar kortisol dalam darah meningkat pada pagi hari (tertinggi sekitar
jam 8 pagi) dan sedikit menurun pada malam hari dan selama fase awal tidur (8).
Oleh karena itu, waktu pengambilan sampel darah sangat penting.
ACTH secretion is pulsatile and follows a circadian pattern in line with CRH. An
unstressed adult produces 18–25 pulses in a 24-h period, starting with high-
amplitude pulses released at roughly 90-min intervals between 3 and 9 a.m., which
peak between 7 and 11 a.m. and reduce in frequency between 6 p.m. and midnight.
Rapid blood sampling is, therefore, required to fully appreciate the dynamic nature of
ACTH concentrations in blood. Its rhythm is further affected by multiple factors,
including sleep deprivation/shift-working, ethnicity, gender, age, BMI and menstrual
cycle phase (El-Farhan N, Rees DA, Evans C., 2017).
Sekresi ACTH berdenyut dan mengikuti pola sirkadian sejalan dengan CRH. Orang
dewasa yang tidak stres menghasilkan pulsa 18-25 dalam periode 24 jam, dimulai
dengan pulsa amplitudo tinggi yang dilepaskan pada interval sekitar 90 menit antara
pukul 3 dan 9 pagi, yang mencapai puncaknya antara pukul 7 dan 11 pagi dan
berkurang frekuensi antara pukul 6 sore. dan tengah malam. Oleh karena itu,
pengambilan sampel darah cepat diperlukan untuk sepenuhnya memahami sifat
dinamis dari konsentrasi ACTH dalam darah.1 Kortisol mencerminkan ritme
sirkadian dan pola pulsatil ACTH, dengan puncak tertinggi pada pagi hari dan titik
nadir antara tengah malam dan 3 pagi. selanjutnya dipengaruhi oleh berbagai faktor,
12
termasuk kurang tidur/kerja shift, etnis, jenis kelamin, usia, BMI dan fase siklus
menstruasi.
Cortisol is lipophilic and requires a protein carrier for transport around the body.
Approximately 80% is bound to cortisol-binding globulin (CBG), 10% is albumin-
bound and 10% is free (unbound) and biologically active. Cortisol is involved in
energy metabolism through direct effects on the synthesis and breakdown of
carbohydrates, protein and lipids. It increases gluconeogenesis by activating key
enzymes, e.g. phosphoenolpyruvate carboxykinase and glucose-6-phosphatase and
by increasing muscle breakdown and inhibiting amino acid uptake and protein
synthesis to provide additional substrate. It reduces peripheral glucose uptake into
cells, activates glycogen synthase and inhibits glycogen phosphorylase leading to
increased glycogen stores. It activates lipolysis, resulting in increased circulating free
fatty acids and enhances adipogenesis through activation of lipoprotein lipase and
increased leptin concentration.8,9 The net result is increased blood glucose
concentrations mediated by the breakdown of protein and lipids; and cortisol, along
with glucagon, adrenaline and growth hormone, is released in response to
hypoglycaemia (El-Farhan N, Rees DA, Evans C., 2017).
proteins. Measuring serum free cortisol levels in critical illnesses may help to
prevent the unnecessary use of glucocorticoid therapy (21). Although the free
cortisol hypothesis has been widely used, it has also been suggested that cortisol
binding globulin (CBG)-bound cortisol may have physiological effects on target
tissues (22).
Karena lebih dari 90% kortisol yang bersirkulasi dalam serum manusia terikat
dengan protein, perubahan pada protein pengikat dapat mengubah kadar total kortisol
serum tanpa memengaruhi konsentrasi bebas kortisol. Total kortisol bisa
menyesatkan lebih rendah dari yang diantisipasi, mengakibatkan interpretasi yang
salah bahwa fungsi adrenal terganggu. Ini penting karena standar saat ini untuk
mendefinisikan fungsi adrenal normal didasarkan pada orang sehat yang memiliki
tingkat protein pengikat normal. Mengukur kadar kortisol bebas serum pada penyakit
kritis dapat membantu mencegah penggunaan terapi glukokortikoid yang tidak perlu
(21). Meskipun hipotesis kortisol bebas telah banyak digunakan, juga telah
disarankan bahwa kortisol yang terikat globulin pengikat kortisol (CBG) mungkin
memiliki efek fisiologis pada jaringan target (22).
5. Pada kelompok intervensi terdiri dari responden rawat jalan. Pemberian intervensi
dilakukan oleh peneliti yaitu dr. Wiwiek dan dr. Brian. Intervensi terhadap pasien
rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali dengan durasi pemberian perawatan paliatif 2
jam dan tempat perawatan paliatif di poli IHAN RS UNAIR. Perlakuan kepada
kelompok intervensi diberikan dalam jangka waktu 3 bulan.
6. Peneliti melakukan pengambilan sampel darah vena setelah 3 bulan intervensi.
7. Setelah semua data yang dibutuhkan terpenuhi kemudian peneliti melakukan
pengolahan data.
8. Pengumpulan dan Analisis data
Penelitian ini akan dianalisis menggunakan statistika deskriptif berupa pembuatan pie chart, bar
chart maupun tabel frekuensi. Kemudian dianalisis menggunakan uji paired t test untuk
mengetahui pengaruh intervensi terhadap hormone kortisol.
Sampel
3 bulan
Pengambilan darah melalui vena
(Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Kadar Hormon Kortisol Pada Pasien HIV AIDS)
Oleh : dr. Wiwiek Indriyani Maskoep, Sp.PD., FINASIM
(Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Kadar Hormon Kortisol Pada Pasien HIV AIDS)
Prosedur Profilaksis Pasca Pajanan ini ditujukan kepada petugas pengambil darah dan
petugas laboratorium. Prosedur ini harus segera dilakukan apabila terpajan cairan (darah, serum
maupun plasma dari penderita HIV). Berikut langkah yang harus dilakukan berdasarkan
Permenkes 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral dan Standar Operasional
Prosedur Klinik IMS dan VCT dari Family Health International (FHI) tahun 2007 yakni:
1. Cuci segera area terpajan darah HIV yg berpotensi infeksius dengan sabun dan air.
2. Bilas mukosa membran yang terpajan dengan air. Jika tersedia larutan saline, bilaslah
mata dengan saline.
3. Jangan menambah bahan yang mengiritasi, termasuk antiseptik dan desinfektan ke area
yang terpajan.
4. Beritahu petugas medik perihal pajanan akibat pekerjaan fasilitas kesehatan
a. Tanggal dan waktu pajanan
b. Lokasi pajanan
c. Dimana dan bagaimana pajanan terjadi
d. Jika menyangkut objek tajam, jenis dan merk alat tsb
e. Jenis dan jumlah cairan
f. Tingkat keparahan pajanan (misal: kedalaman luka tusuk)
g. Sumber pajanan:
1) Status infeksinya
2) Jika terinfeksi HIV, derajat kesakitannya, viral load jika ada, riwayat terapi anti
retroviral dan resistensi ARV.
h. Konseling dan penanganan pasca pajanan
i. Perincian tentang tenaga kesehatan yang terpajan
1) Status medis yang ada
2) Status vaksinasi hepatitis B
5. Laporkan ke peneliti dan dokter penanggung jawab
19
6. Sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah terpajan diberikan PPP (Profilaksis Pasca
Pajanan) yang didasarkan status HIV sumber paparan. Pilihan obat PPP yang digunakan
didasarkan pada ARV lini pertama yang digunakan serta mempertimbangkan
kemungkinan resistensi ARV pada sumber paparan. PPP HIV ini diberikan 28-30 hari
sejak terpajan. Berikut pilihan obat PPP yang dianjurkan:
Orang yang terpajan Panduan ARV
Remaja dan Dewasa Pilihan TDF + 3TC +LPV/r
Alternatif TDF + 3TC + EFV
AZT + 3TC + LPV/r
Anak (≤ 10 tahun) Pilihan AZT + 3TC + LPV/r
Alternatif TDF + 3TC + LPV/r
Dapat menggunakan EFV/ NVP untuk NNRTI
Sumber : Permenkes 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral
7. Hari ke-12 setelah terpajan sangat dianjurkan untuk melakukan uji tes HIV dengan
metode rapid test. Hal ini dikarenakan virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia dalam
sirkulasi darah ditemukan 4-11 hari setelah terpajan.
8. Pantauan peneliti dan dokter penanggung jawab dalam hal ini sangat dibutuhkan.
20
Sumber:
El-Farhan, N., Rees, D. A., & Evans, C. (2017). Measuring cortisol in serum, urine and saliva –
are our assays good enough? Annals of Clinical Biochemistry, 54(3), 308–
322. https://doi.org/10.1177/0004563216687335
Hastono, S. P. (2006). Analisis Data. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Lee, D. Y., Kim, E., & Choi, M. H. (2015). Technical and clinical aspects of cortisol as a
biochemical marker of chronic stress. BMB reports, 48(4), 209–216.
https://doi.org/10.5483/bmbrep.2015.48.4.275
Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi 3. Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi
Molekuler Klinis dan Sosial. Edisi 1. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.
Nursalam, 2015. Metode Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis. Jakarta : Salemba
Medika
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2004). Nursing Research: Principle and Methods. (7th ed).
Philadhelphia: Lippincott Williams & Wikins.
Sugiyono (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Thau L, Gandhi J, Sharma S. Physiology, Cortisol. [Updated 2020 May 29]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538239/
Shields, G. S., Spahr, C. M., & Slavich, G. M. (2020). Psychosocial Interventions and Immune
System Function. JAMA Psychiatry. doi:10.1001/jamapsychiatry.2020.0431