Anda di halaman 1dari 20

1

Judul Penelitian          = Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Kadar kortisol pada Pasien
HIV/AIDS           

Tujuan penelitian        = Untuk membuktikan pengaruh perawatan paliatif terhadap kadar


hormone kortisol pada pasien HIV/AIDS

METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian menggunakan quasi
eksperimental.

Penelitian ini merupakan eksperimen karena peneliti melakukan intervensi pada variabel sebab
yang akan diteliti, dengan jenis quasi eksperimen tanpa kelompok kontrol, karena penelitian ini ;
1. Tidak memiliki kelompok kontrol
2. Treatment yang diberikan tidak memiliki level / perlakuan yang berbeda nyata, hanya
kelompok berupa pre-test maupun post-test
Quasi eksperimen merupakan satu eksperimen yang penempatan unit terkecil eksperimen ke
dalam kelompok eksperimen dan kontrol tidak dilakukan dengan acak (nonrandom
assignment) pasien yang datang dan sesuai dengan kriteria, otomatis akan menjadi sampel
untuk penelitian ini
Design penelitian adalah one-group pretest-posttest design karena pada penelitian ini kelompok
dibedakan menjadi kelompok pre-test maupun post-test.

Rancangan Penelitian Eksperimental (Nursalam, 2015)


Penelitian eksperimental adalah suatu rancangan penelitian yang digunakan untuk mencari
hubungan sebab-akibat dengan adanya keterlibatan penelitian dalam melakukan manipulasi
terhadap variabel bebas. Eksperimen merupakan rancangan penelitian yang memberikan
pengujian hipotesis yang paling tertata dan cermat, sedangkan pada penelitian kohort atau kasus
kontrol hanya sampai pada tingkat dugaan kuat dengan landasan teori atau telaah logis yang
dilakukan peneliti. Akan tetapi studi ini pada umumnya mahal dan pelaksanaanya rumit,
sehingga penggunaannya terbatas. Dilihat dari kemampuannya dalam mengontrol variabel-
variabel penelitian, rancangan penelitian eksperimental dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1)
pra-eksperimental; (2) eksperimental semu; dan (3) eksperimental sungguhan.
2

Rancangan penelitian eksperimen semu (quasy-experiment)


Rancangan ini berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan
kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan kedua kelompok ini tidak
menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah
terbentuk secara wajar (teknik rumpun), sehingga sejak awal bisa saja kedua kelompok subjek
telah memiliki karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok itu
berbeda, mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakukan tetapi karena sejak awal
kelompok awal sudah berbeda.
Dalam rancangan ini, kelompok eksperimental diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol
tidak. Pada kedua kelompok perlakuan diawali dengan pra-tes, dan setelah pemberian perlakuan
diadakan pengukuran kembali (pasca-tes).
2. Desain Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan one-group pretest-posttest design.

Ciri tipe penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan
intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2015).

Subjek Pre-test Perlakuan Post-test


K O I O1
Waktu 1 Waktu 2 Waktu 3

Keterangan :
K : subjek
O : observasi sebelum diberikan intervensi
I : intervensi (perawatan paliatif)
O1 : observasi setelah diberikan perawatan paliatif

3. Populasi dan Sampel


3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien HIV/AIDS dengan masalah
psikologis di poli IHAN Rumah Sakit Universitas Airlangga dalam 1 minggu.

3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien di poli IHAN RS Universitas
Airlangga yang memenuhi kriteria berikut:
Kriteria inklusi:
1) Pasien positif HIV/ AIDS, yang dibuktikan dengan test serologi positif ELISA atau
rapid test, Western Blot yang tercatat pada rekam medis
3

Seseorang yang terinfeksi HIV-1 dapat dideteksi dengan cara tes langsung pada virus
HIV-1 atau secara tidak langsung dengan cara penentuan antibodi. Pemeriksaan
terhadap antibodi HIV-1 adalah pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan,
apabila pada individu didapatkan adanya antibodi terhadap HIV-1, artinya individu
tersebut pernah atau sedang terpajan HIV-1. Metode yang biasanya digunakan di
Indonesia adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). ELISA
mempunyai sensitifitas 93-98% dengan spesifisitas 98-99%. Pemeriksaan serologi
HIV-1 sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda (ELISA atau rapid test (paper
and gelatin particle agglutination), Western Blot, Tes Antibodi dengan ELISA p24
HIV-1 atau PCR (Polymerase chain reaction)) (Chinese Medical Association and
Chinese Center for Disease Control and Prevention, 2006; Nasronudin, 2014;
Djoerban dan Djauzi, 2014; Fauci dan Lane, 2015).

2) telah terdiagnosa gangguan psikologis yaitu anxiety ditegakkan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan kuesioner

HARS (HAMILTON ANXIETY RATING SCALE)


Penilaian :
0: Tidak ada (tidak ada gejala sama sekali)
1: Ringan (satu gejala dari pilihan yang ada)
2: Sedang (separuh dari gejala yang ada)
3: Berat (lebih dari separuh dari gejala yang ada)
4: Sangat berat (semua gejala ada)

Berilah tanda (√) jika terdapat gejala yang terjadi selama menderita ……
1) Perasaan cemas
1 2 3 4

o Firasat buruk
o Takut akan pikiran sendiri
o Mudah tersinggung

2) Ketegangan
4

1 2 3 4

o Merasa tegang
o Lesu
o Mudah terkejut
o Tidak dapat istirahat dengan nyenyak
o Mudah menangis
o Gemetar
o Gelisah

3) Ketakutan
1 2 3 4

o Pada gelap
o Ditinggal sendiri
o Pada orang asing
o Pada binatang besar
o Pada keramaian lalu lintas
o Pada kerumunan banyak orang
4) Gangguan tidur
1 2 3 4

o Sukar memulai tidur


o Terbangun malam hari
o Tidak pulas
o Mimpi buruk
o Mimpi yang menakutkan
5) Gangguan kecerdasan
1 2 3 4
5

o Daya ingat buruk


o Sulit berkonsentrasi
o Sering bingung
6) Perasaan Depresi
1 2 3 4

o Kehilangan minat
o Sedih
o Bangun dini hari
o Berkurangnya kesukaan pada hobi
o Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7) Gejala somatik (otot-otot)
1 2 3 4

o Nyeri otot
o Kaku
o Kedutan otot
o Gigi gemeretak
o Suara tak stabil
8) Gejala sensorik
1 2 3 4

o Telinga berdengung
o Penglihatan kabur
o Muka merah dan pucat
o Merasa lemah
o Perasaan ditusuk-tusuk
9) Gejala kardiovaskular
1 2 3 4
6

o Denyut nadi cepat


o Berdebar-debar
o Nyeri dada
o Denyut nadi mengeras
o Rasa lemah seperti mau pingsan
o Detak jantung hilang sekejap
10) Gejala pernapasan
1 2 3 4

o Rasa tertekan di dada


o Perasaan tercekik
o Merasa napas pendek/sesak
o Sering menarik napas panjang
11) Gejala gastrointestinal
1 2 3 4

o Sulit menelan
o Mual muntah
o Berat badan menurun
o Konstipasi/sulit buang air besar
o Perut melilit
o Gangguan pencernaan
o Nyeri lambung sebelum/sesudah makan
o Rasa panas di perut
o Perut terasa penuh/kembung
12) Gejala urogenitalia
1 2 3 4

o Sering kencing
o Tidak dapat menahan kencing
7

o Amenor/menstruasi yang tidak teratur


o Frigiditas
13) Gejala vegetatif/otonom
1 2 3 4

o Mulut kering
o Muka kering
o Mudah berkeringat
o Pusing/sakit kepala
o Bulu roma berdiri
14) Apakah anda merasakan
1 2 3 4

o Gelisah
o Tidak terang
o Mengerutkan dahi muka tegang
o Tonus/ketegangan otot meningkat
o Napas pendek dan cepat
o Muka merah
Jumlah skor: …………………
Kesimpulan : Tidak ada kecemasan
Kecemasan ringan
Kecemasan sedang
Kecemasan berat

Penilaian Derajat Kecemasan


Skor < 6 (tidak ada kecemasan)
6−14 (kecemasan ringan)
15−27 (kecemasan sedang)
> 27 (kecemasan berat)
8
9

3) berusia lebih dari 19 tahun.

Berdasarkan WHO (2016) dan PermenKes No.87 Tahun 2019, pasien yang direkomendasikan
untuk memulai ARV pada orang dewasa, remaja dan anak-anak adalah berdasarkan kriteria
berikut: kriteria dewasa (berumur >19 tahun), remaja (10-19 tahun), anak-anak (≥5 tahun dan 1-5
tahun), bayi (<1 tahun).
Kriteria Eksklusi:
1) Adanya faktor yang menyebabkan kesulitan untuk menilai kondisi psikologis pasien

3.3 Besar Sampel


Penelitian ini bisa dianalisis menggunakan uji paired t test jika jumlah datanya minimal
adalah 30
Sebagaimana dikemukakan oleh Baley dalam Mahmud (2011) yang menyatakan bahwa untuk
penelitian yang menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel paling minimum adalah 30.
Senada dengan pendapat tersebut, Roscoe dalam Sugiyono (2012) menyarankan tentang ukuran
sampel untuk penelitian yaitu ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30
sampai dengan 500.
3.4 Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling dengan purposive
sampling.

Non Probabilty Sampling karena frame untuk jumlah populasi juga tidak diketahui secara jelas.
Jenisnya adalah purposive sampling karena sampel dalam penelitian akan dipilih sesuai dengan
karakteristik tertentu, selain itu tidak banyak.
Purposive Sampling (Sampel Pertimbangan)
Purposive Sampling merupakan satuan sampling yang dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu
dengan tujuan untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik yang
dikehendaki. Teknik ini digunakan terutama apabila hanya ada sedikit orang yang mempunyai
keahlian (expertise) di bidang yang sedang diteliti.

4. Lokasi dan Waktu Penelitian


4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poli IHAN Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya
4.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Desember 2020 – Agustus 2021, jadwal penelitian
terlampir pada lampiran 1.
10

5. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel


5.1 Variabel Penelitian
1) Variabel bebas (independen)
Perawatan Paliatif
2) Variabel terikat (dependen)
Hormon kortisol
5.2 Definisi Operasional dan Cara Pengukuran
No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Parameter Skala

1. Variabel bebas
(Independen)
a. Perawatan Perawatan paliatif merupakan perawatan yang observasi/penga 1= diberikan nomi
Paliatif berfokus pada 5 dimensi manusia, yaitu biologis, matan peneliti perawatan nal
psikologis, sosial, spiritual, dan kultural. berdasarkan paliatif
pemberian 2= tidak
terapi paliatif diberikan
perawatan
paliatif
2. Variabel
terikat
(dependen)
a. Hormon Kortisol adalah hormod kortikosteroid yang Kadar hormon berupa rasio
Kortisol dikeluarkan akibat respon adanya stress. kortisol satuan µg/ml
Hormon kortisol berperan penting dalam diperiksa
menjaga fungsi tubuh, salah satunya yaitu dengan metode
respon untuk melawan infeksi (Thau L, Gandhi ELISA kit di
J, Sharma S., 2020). Pemeriksaan kortisol laboratorium
dilakukan melalui darah plasma yang diambil ITD UNAIR
antara pukul 07.00 – 11.00, pucak hormon
kortisol pada pukul 08.00 dan paling rendah
pada malam hari menjelang tengah malam
(Yonas, 2011).

Regulasi kortisol dalam tubuh memiliki pengaruh yang signifikan pada


imunomodulasi via HPA aksis, di mana dalam konteks HIV/AIDS, kortisol dapat
memfasilitasi infektivitas HIV terhadap sel imun. Perawatan paliatif menggunakan
model psikoneuroimunologi dapat mempengaruhi fungsi endokrin pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di mana terjadi perubahan atau peningkatan mood, skill
relaksasi, dan strategi koping, yang kemudian berefek pada berkurangnya depresi
dan ansietas ODHA. Selain itu, psikoterapi juga memiliki implikasi positif terhadap
sistem imun, yakni meningkatkan fungsi sistem imun yang ditandai dengan
meningkatnya sitokin anti-inflamasi, aktivitas NK sel atau sitotoksisitas, dan
meningkatnya limfosit pada ODHA (Shields et al, 2020)
11

Alasan pengambilan spesimen melalui darah, karena hormon kortisol berikatan


dengan protein pada darah, lebih dari 90% sirkulasi kortisol pada manusia berikatan
dengan protein, sehingga pemeriksaan hormon kortisol pada darah dapat
mempresentasikan 75-90% kortikosteroid plasma (Nadia, 2017; Medline Plus, 2020;
Patterson, 2013).

Because more than 90% of circulating cortisol in human serum is protein-bound,


changes in the binding proteins can alter the levels of serum total cortisol without
influencing the free concentrations of cortisol (Lee, D. Y., Kim, E., & Choi, M. H.,
2015).

Karena lebih dari 90% kortisol yang bersirkulasi dalam serum manusia terikat
dengan protein, perubahan pada protein pengikat dapat mengubah kadar total kortisol
serum tanpa memengaruhi konsentrasi bebas kortisol.

Jam nya alasan bahasa inggris


In general, cortisol levels in blood increase during the early morning (highest at
about 8 a.m.) and decrease slightly in the evening and during the early phase of sleep
(8). The timing of blood sampling is therefore very important (Lee, D. Y., Kim, E.,
& Choi, M. H., 2015).

Secara umum, kadar kortisol dalam darah meningkat pada pagi hari (tertinggi sekitar
jam 8 pagi) dan sedikit menurun pada malam hari dan selama fase awal tidur (8).
Oleh karena itu, waktu pengambilan sampel darah sangat penting.

ACTH secretion is pulsatile and follows a circadian pattern in line with CRH. An
unstressed adult produces 18–25 pulses in a 24-h period, starting with high-
amplitude pulses released at roughly 90-min intervals between 3 and 9 a.m., which
peak between 7 and 11 a.m. and reduce in frequency between 6 p.m. and midnight.
Rapid blood sampling is, therefore, required to fully appreciate the dynamic nature of
ACTH concentrations in blood. Its rhythm is further affected by multiple factors,
including sleep deprivation/shift-working, ethnicity, gender, age, BMI and menstrual
cycle phase (El-Farhan N, Rees DA, Evans C., 2017).

Sekresi ACTH berdenyut dan mengikuti pola sirkadian sejalan dengan CRH. Orang
dewasa yang tidak stres menghasilkan pulsa 18-25 dalam periode 24 jam, dimulai
dengan pulsa amplitudo tinggi yang dilepaskan pada interval sekitar 90 menit antara
pukul 3 dan 9 pagi, yang mencapai puncaknya antara pukul 7 dan 11 pagi dan
berkurang frekuensi antara pukul 6 sore. dan tengah malam. Oleh karena itu,
pengambilan sampel darah cepat diperlukan untuk sepenuhnya memahami sifat
dinamis dari konsentrasi ACTH dalam darah.1 Kortisol mencerminkan ritme
sirkadian dan pola pulsatil ACTH, dengan puncak tertinggi pada pagi hari dan titik
nadir antara tengah malam dan 3 pagi. selanjutnya dipengaruhi oleh berbagai faktor,
12

termasuk kurang tidur/kerja shift, etnis, jenis kelamin, usia, BMI dan fase siklus
menstruasi.

Cortisol is lipophilic and requires a protein carrier for transport around the body.
Approximately 80% is bound to cortisol-binding globulin (CBG), 10% is albumin-
bound and 10% is free (unbound) and biologically active. Cortisol is involved in
energy metabolism through direct effects on the synthesis and breakdown of
carbohydrates, protein and lipids. It increases gluconeogenesis by activating key
enzymes, e.g. phosphoenolpyruvate carboxykinase and glucose-6-phosphatase and
by increasing muscle breakdown and inhibiting amino acid uptake and protein
synthesis to provide additional substrate. It reduces peripheral glucose uptake into
cells, activates glycogen synthase and inhibits glycogen phosphorylase leading to
increased glycogen stores. It activates lipolysis, resulting in increased circulating free
fatty acids and enhances adipogenesis through activation of lipoprotein lipase and
increased leptin concentration.8,9 The net result is increased blood glucose
concentrations mediated by the breakdown of protein and lipids; and cortisol, along
with glucagon, adrenaline and growth hormone, is released in response to
hypoglycaemia (El-Farhan N, Rees DA, Evans C., 2017).

Kortisol bersifat lipofilik dan membutuhkan pembawa protein untuk transportasi ke


seluruh tubuh. Kira-kira 80% terikat pada globulin pengikat kortisol (CBG), 10%
terikat albumin dan 10% bebas (tidak terikat) dan aktif secara biologis. Kortisol
terlibat dalam metabolisme energi melalui efek langsung pada sintesis dan
pemecahan karbohidrat, protein, dan lipid. Ini meningkatkan glukoneogenesis
dengan mengaktifkan enzim kunci, mis. fosfoenolpiruvat karboksiginase dan
glukosa-6-fosfatase dan dengan meningkatkan kerusakan otot serta menghambat
penyerapan asam amino dan sintesis protein untuk menyediakan substrat tambahan.
Ini mengurangi pengambilan glukosa perifer ke dalam sel, mengaktifkan sintase
glikogen dan menghambat fosforilase glikogen yang mengarah ke peningkatan
penyimpanan glikogen. Ini mengaktifkan lipolisis, menghasilkan peningkatan asam
lemak bebas yang bersirkulasi dan meningkatkan adipogenesis melalui aktivasi
lipoprotein lipase dan peningkatan konsentrasi leptin.8,9 Hasil bersihnya adalah
peningkatan konsentrasi glukosa darah yang dimediasi oleh pemecahan protein dan
lipid; dan kortisol, bersama dengan glukagon, adrenalin dan hormon pertumbuhan,
dilepaskan sebagai respons terhadap hipoglikemia.

Because more than 90% of circulating cortisol in human serum is protein-bound,


changes in the binding proteins can alter the levels of serum total cortisol without
influencing the free concentrations of cortisol. Total cortisol could be misleadingly
lower than anticipated, resulting in the incorrect interpretation that adrenal function
is impaired. This is important because the current standards for defining normal
adrenal functions are based on healthy people who have normal levels of binding
13

proteins. Measuring serum free cortisol levels in critical illnesses may help to
prevent the unnecessary use of glucocorticoid therapy (21). Although the free
cortisol hypothesis has been widely used, it has also been suggested that cortisol
binding globulin (CBG)-bound cortisol may have physiological effects on target
tissues (22).

Karena lebih dari 90% kortisol yang bersirkulasi dalam serum manusia terikat
dengan protein, perubahan pada protein pengikat dapat mengubah kadar total kortisol
serum tanpa memengaruhi konsentrasi bebas kortisol. Total kortisol bisa
menyesatkan lebih rendah dari yang diantisipasi, mengakibatkan interpretasi yang
salah bahwa fungsi adrenal terganggu. Ini penting karena standar saat ini untuk
mendefinisikan fungsi adrenal normal didasarkan pada orang sehat yang memiliki
tingkat protein pengikat normal. Mengukur kadar kortisol bebas serum pada penyakit
kritis dapat membantu mencegah penggunaan terapi glukokortikoid yang tidak perlu
(21). Meskipun hipotesis kortisol bebas telah banyak digunakan, juga telah
disarankan bahwa kortisol yang terikat globulin pengikat kortisol (CBG) mungkin
memiliki efek fisiologis pada jaringan target (22).

6. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data


1. Peneliti mengajukan uji etik di RS UNAIR
2. Peneliti mengajukan permohonan izin penelitian kepada Direktur RS UNAIR.
3. Setelah mendapatkan izin dari Direktur RS UNAIR, peneliti melakukan pengambilan
sampel pada responden
4. Responden menyetujui dengan mengisi inform consent kemudian peneliti melakukan
pengambilan sampel darah vena untuk pemeriksaan hormon kortisol. Tahap ini
dilakukan di Rumah Sakit Universitas Airlangga dan kemudian dikirim ke
Laboratorium HIV/AIDS di Institute of Tropical Disease, Universitas Airlangga.
Analisis sampel darah dilakukan oleh peneliti yaitu Ria. Kemudian dilakukan
pemisahan plasma dari sampel darah EDTA, tahap pemisahan ini dilakukan dengan
cara mensentrifugasi sampel darah dengan kondisi 1500 rpm selama lima menit.
Setelah proses pemisahan, plasma yang didapat disimpan di Freezer minus 80oC.
Pemeriksaan Serologis dengan metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay). Pengukuran titer hormon kortisol dilakukan berdasarkan nilai optical density
(OD). Hasil pengukuran titer hormon kortisol dilakukan berdasarkan nilai optical
density (OD) dikonversi ke kurva standart.
14

5. Pada kelompok intervensi terdiri dari responden rawat jalan. Pemberian intervensi
dilakukan oleh peneliti yaitu dr. Wiwiek dan dr. Brian. Intervensi terhadap pasien
rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali dengan durasi pemberian perawatan paliatif 2
jam dan tempat perawatan paliatif di poli IHAN RS UNAIR. Perlakuan kepada
kelompok intervensi diberikan dalam jangka waktu 3 bulan.
6. Peneliti melakukan pengambilan sampel darah vena setelah 3 bulan intervensi.
7. Setelah semua data yang dibutuhkan terpenuhi kemudian peneliti melakukan
pengolahan data.
8. Pengumpulan dan Analisis data
Penelitian ini akan dianalisis menggunakan statistika deskriptif berupa pembuatan pie chart, bar
chart maupun tabel frekuensi. Kemudian dianalisis menggunakan uji paired t test untuk
mengetahui pengaruh intervensi terhadap hormone kortisol.

9. Prosedur Pengolahan Data


Setelah data dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data. Ada empat tahapan dalam
pengolahan data yang harus dilalui (Hastono, 2006):
1. Editing
Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan hasil uji ELISA kit, apakah
hasil uji ELISA kit sudah: a) lengkap: semua subjek terdapat hasil yang sesuai b) jelas:
pembacaan hasil tertulis dengan jelas, c) relevan: nilai hasil uji yang didapatkan sesuai
dengan parameter
2. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/ bilangan. Kegunaan dari coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis
data dan juga mempercepat pada saar entry data. Pada penelitian ini, peneliti
memberikan kode 1 untuk kelompok intervensi dan kode 2 untuk kelompok kontrol.
kode A untuk nilai pretest dan kode B untuk nilai postest
3. Processing
Setelah semua hasil keluar dan benar, serta sudah melewati pengkodean, maka langkah
selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah di-entry dapat dianalisis.
Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry data dari kuesioner ke paket
program komputer. Salah satu paket program yang sudah umum untuk digunakan untuk
entry data adalah paket program SPSS for windows versi 21.
4. Cleaning
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
di-entry untuk melihat apakah ada kesalahan atau tidak, jika ada maka kemudian
dilakukan pembetulan atau koreksi.
15

10. Kerangka Operasional

Sampel

Observasi dan pengambilan darah melalui vena

Terapi sesuai protokol di Poli


IHAN RS unair + Terapi perawatan
paliatif 1x/minggu selama 3 bulan

3 bulan
Pengambilan darah melalui vena

Pemisahan plasma dari sampel darah

Pemeriksaan serologis dengan metode ELISA

Pengukuran titer hormon kortisol berdasarkan nilai optical density (OD)


16

11. Ethical Clearance


Dalam melakukan penelitian sebaiknya peneliti melindungi responden dengan
memperhatikan aspek etika dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip penelitian (Polit &
Beck, 2004). Adapun prinsip-prinsip etika yang diterapkan dalam penelitian ini adalah:
a. Self determination
Setelah diberi penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan, pasien diberi
kebebasan untuk menentukan turut serta atau tidak dalam penelitian tanpa diberi sanksi
apapun. Selain itu, peneliti menjamin bahwa keputusan yang diambil tidak berdampak
pada kualitas pelayanan kesehatan yang akan diterima. Kesediaan pasien menjadi
responden dibuktikan dengan penandatanganan lembar persetujuan responden
b. Anonymity and confidentiality
Prinsip anonimyty dilakukan peneliti dengan tidak mencantumkan nama lengkap
responden namun hanya nama inisial dalam kuesioner yang dijadikan kode, dan prinsip
confidentiality dilakukan peneliti dengan tidak mempublikasikan keterikatan informasi
yang diberikan dengan identitas responden, sehingga dalam analisis dan penyajian data
hanya mendiskripsikan karakteristik responden. Selain itu, berkas penelitian yang sudah
tidak terpakai akan dihanguskan sehingga informasi tetap terjaga kerahasiaannya.
c. Privacy
Peneliti menjamin privacy responden dan menjunjung tinggi harga diri responden.
Peneliti dalam berkomunikasi dengan responden tidak menanyakan hal-hal yang
dianggap sebagai privacy bagi responden, kecuali yang berkaitan dengan penelitian,
namun tetap mengedepankan rasa penghormatan dan melalui persetujuan responden.
d. Protection from discomfort and harm
Penelitian yang dilakukan sebaiknya tidak mengakibatkan penderitaan kepada
responden, baik fisik maupun psikis. Peneliti memberikan kesempatan kepada responden
untuk menyampaikan ketidaknyamanan dan tidak melanjutkan pengisian kuesioner bila
mengalami ketidaknyamanan atau penurunan kesehatan.
e. Informed Consent (IC)
Sebelum penelitian dilakukan peneliti memberikan informasi secara lengkap tentang
penelitian yang akan dilakukan dan memberikan kebebasan untuk berpartisipasi atau
menolak menjadi responden. Jika responden bersedia maka responden diminta untuk
menandatangani lembar persetujuan responden.
17

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENGAMBILAN DARAH


DALAM MENUNJANG PENELITIAN

(Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Kadar Hormon Kortisol Pada Pasien HIV AIDS)
Oleh : dr. Wiwiek Indriyani Maskoep, Sp.PD., FINASIM

Tata laksana pengambilan sampel darah pasien HIV:


Sebelum dilakukan pengambilan darah, pasien HIV akan dijelaskan mengenai informasi
tentang penelitian dan pasien akan mengisi serta menandatangani informed consent. Darah yang
diambil sebanyak 8 ml (untuk uji hormon kortisol) dimasukan ke tube berisi EDTA. Kemudian
sampel darah ini akan di proses di ITD (Institute of Tropical Disease). Berikut tahapan
penatalaksanaan pengambilan darah pada pasien HIV di ruang poli.
Pasien poli
Pelaksanaan pengambilan darah dilakukan selama hari kerja pada pukul 08:00, dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Pengambilan darah dilakukan oleh perawat RSUA berkoordinasi dengan petugas dari
ITD (Ria 081331843627).
b. Sampel darah yang terambil dimasukkan ke dalam tube yang berisi EDTA, kemudian
langsung dibawa oleh petugas ITD untuk diproses di ITD.
18

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENELITIAN


PROFILAKSIS PASCA PAJANAN

(Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Kadar Hormon Kortisol Pada Pasien HIV AIDS)

Prosedur Profilaksis Pasca Pajanan ini ditujukan kepada petugas pengambil darah dan
petugas laboratorium. Prosedur ini harus segera dilakukan apabila terpajan cairan (darah, serum
maupun plasma dari penderita HIV). Berikut langkah yang harus dilakukan berdasarkan
Permenkes 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral dan Standar Operasional
Prosedur Klinik IMS dan VCT dari Family Health International (FHI) tahun 2007 yakni:
1. Cuci segera area terpajan darah HIV yg berpotensi infeksius dengan sabun dan air.
2. Bilas mukosa membran yang terpajan dengan air. Jika tersedia larutan saline, bilaslah
mata dengan saline.
3. Jangan menambah bahan yang mengiritasi, termasuk antiseptik dan desinfektan ke area
yang terpajan.
4. Beritahu petugas medik perihal pajanan akibat pekerjaan fasilitas kesehatan
a. Tanggal dan waktu pajanan
b. Lokasi pajanan
c. Dimana dan bagaimana pajanan terjadi
d. Jika menyangkut objek tajam, jenis dan merk alat tsb
e. Jenis dan jumlah cairan
f. Tingkat keparahan pajanan (misal: kedalaman luka tusuk)
g. Sumber pajanan:
1) Status infeksinya
2) Jika terinfeksi HIV, derajat kesakitannya, viral load jika ada, riwayat terapi anti
retroviral dan resistensi ARV.
h. Konseling dan penanganan pasca pajanan
i. Perincian tentang tenaga kesehatan yang terpajan
1) Status medis yang ada
2) Status vaksinasi hepatitis B
5. Laporkan ke peneliti dan dokter penanggung jawab
19

6. Sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah terpajan diberikan PPP (Profilaksis Pasca
Pajanan) yang didasarkan status HIV sumber paparan. Pilihan obat PPP yang digunakan
didasarkan pada ARV lini pertama yang digunakan serta mempertimbangkan
kemungkinan resistensi ARV pada sumber paparan. PPP HIV ini diberikan 28-30 hari
sejak terpajan. Berikut pilihan obat PPP yang dianjurkan:
Orang yang terpajan Panduan ARV
Remaja dan Dewasa Pilihan TDF + 3TC +LPV/r
Alternatif TDF + 3TC + EFV
AZT + 3TC + LPV/r
Anak (≤ 10 tahun) Pilihan AZT + 3TC + LPV/r
Alternatif TDF + 3TC + LPV/r
Dapat menggunakan EFV/ NVP untuk NNRTI
Sumber : Permenkes 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral
7. Hari ke-12 setelah terpajan sangat dianjurkan untuk melakukan uji tes HIV dengan
metode rapid test. Hal ini dikarenakan virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia dalam
sirkulasi darah ditemukan 4-11 hari setelah terpajan.
8. Pantauan peneliti dan dokter penanggung jawab dalam hal ini sangat dibutuhkan.
20

Sumber:
El-Farhan, N., Rees, D. A., & Evans, C. (2017). Measuring cortisol in serum, urine and saliva –
are our assays good enough? Annals of Clinical Biochemistry, 54(3), 308–
322. https://doi.org/10.1177/0004563216687335
Hastono, S. P. (2006). Analisis Data. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Lee, D. Y., Kim, E., & Choi, M. H. (2015). Technical and clinical aspects of cortisol as a
biochemical marker of chronic stress. BMB reports, 48(4), 209–216.
https://doi.org/10.5483/bmbrep.2015.48.4.275
Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi 3. Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi
Molekuler Klinis dan Sosial. Edisi 1. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.
Nursalam, 2015. Metode Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis. Jakarta : Salemba
Medika
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2004). Nursing Research: Principle and Methods. (7th ed).
Philadhelphia: Lippincott Williams & Wikins.
Sugiyono (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Thau L, Gandhi J, Sharma S. Physiology, Cortisol. [Updated 2020 May 29]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538239/
Shields, G. S., Spahr, C. M., & Slavich, G. M. (2020). Psychosocial Interventions and Immune
System Function. JAMA Psychiatry. doi:10.1001/jamapsychiatry.2020.0431 

Anda mungkin juga menyukai