Paru
Paru
12
DIVISI
RESPIROLOGI
Dr. Renny Bagus, SpA, Dr. Abdul Rohim,SpA,
Dr. Retno HMA, SpA, Dr. Marito Logor, SpA
1. Pneumonia
2. Tuberkulosis Paru
3. Asma Bronkial
4. Bronkiolitis
5. Bronkitis
6. Sindroma Croup
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 2
1. PNEUMONIA
I. BATASAN.
Pneumonia adalah radang parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstitiil.
Menurut anatominya, pneumonia dapat dibagi menjadi 4 macam yaitu pneumonia lobaris,
pneumonia lobularis, bronkopneumonia dan pneumonia interstitialis.
II. ETIOLOGI.
Biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas selama beberapa hari,
kemudian mendadak panas tinggi, rewel, kadang-kadang disertai kejang. Pada anak
besar kadang mengeluh nyeri kepala dan nyeri abdomen.
Batuk menghebat, sesak, napas cepat dan dangkal, gelisah, tangis merintih, kadang-
kadang disertai muntah.
Tampak pernapasan cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi
interkostal.
Pada auskultasi dapat terdengar suara pernapasan yang menurun. Terdengar suara
ronki basah halus (stadium permulaan) atau ronki basah kasar (stadium resolusi) pada
auskultasi paru.
Pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan lekositosis dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis terutama bila disebabkan oleh bakteri.
Pemeriksaan radiologis paru didapatkan bercak-bercak infiltrat yang tersebar (pada
bronkopneumonia) atau bercak yang meliputi satu atau sebagian lobus (pada
pneumonia lobaris). Pada bayi dan anak kecil gambaran radiologis sering tidak sesuai
dengan gambaran klinis. Gambaran radiologis yang klasik dapat dibedakan 3 macam :
- Konsolidasi lobar/ segmental disertai air bronchogram
- Corakan bronchovaskular bertambah, peribronchial cuffing, overaeriation . Bila berat
tampak patchy consolidation karena atelektasis.
- Infiltrat halus bilateral sampai ke perifer.
V. DIAGNOSIS.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 3
VI. KOMPLIKASI.
VII. PENATALAKSANAAN.
Bila dengan terapi diatas tidak terjadi perbaikan klinis, kondisi pasien berat atau
terdapat empiema, maka antibiotika diganti dengan golongan Sefalosporin (misalnya
Cefotaxim) yang dukombinasikan dengan Ampisilin..
2. Dosis antibiotika :
Antibiotika Dosis/kgBB/hari frekuensi/hari Cara pemberian
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 4
2. TUBERKULOSIS PARU
I. BATASAN
Tuberkulosis Paru adalah infeksi paru oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada anak terbanyak
merupakan tuberkulosis primer dan kompleks primer. Kompleks primer merupakan bentukan
dari fokus primer, limfangitis dan kelenjar getah bening regional yang membesar. Disini
infeksi terjadi sebelum mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil m. tuberculosis.
Tuberkulosis primer kurang membahayakan masyarakat, karena tidak begitu menular, tetapi
bagi anak itu sendiri cukup berbahaya dengan timbulnya tuberkulosis ekstratorakal yang
seringkali menyebabkan kematian dan kecacatan.
II. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan
kering, tetapi didalam cairan mati pada suhu 60’ C selama 15-20 menit. Fraksi protein bakteri
ini menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan
merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis serta sel epiteloid dan tuberkel.
Pada umumnya asimtomatik dan sukar diketahui secara klinis karena penyakit mulai
secara perlahan-lahan. Adanya sumber panularan (anamnesis kontak tuberkulosis)
penting sekali.
Keluhan dapat berupa : nafsu makan menurun (anoreksia), berat badan sulit naik,
menetap atau bahkan menurun (seringkali dijumpai malnutrisi), demam subfebris lama,
batuk kronis berulang atau nyeri dada. Sedangkan hemoptoe pada anak jarang sekali.
Pada pemeriksaan fisik paru pada umumnya tidak ditemukan kelainan. Semua kelainan
fisik paru yang ditemukan dapat disebabkan oleh tuberkulosis, tidak ada yang khas.
Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila tuberkulosis mengenai organ ekstrapulmonal,
misalnya benjolan di punggung (gibbus), sulit membungkuk, paraparesis atau paraplegia
(tuberkulosis vertebra), nyeri pangkal paha atau lutut, pincang atau pembengkakan sendi
yang sering pada tuberkulosis tulang dan sendi (spondilitis, koksitis, gonitis). Bila
mengenai susunan saraf pusat (meningitis tuberkulosa) dapat terjadi gejala iritabel, leher
kaku, muntah dan kesadaran menurun. Ulkus kulit dengan skinbridge (ciri khas
skrofuloderma) biasanya terjadi di daerah leher, aksila atau inguinal. Pembesaran kelenjar
getah bening pada tuberkulosis kelenjar (limfadenitis tuberkulosa) bersifat multipel, tidak
nyeri dan saling menyatu. Nyeri perut, diare persisten yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare, adanya benjolan atau cairan pada tuberkulosis abdomen, sedangkan
tuberkulosis mata (konjungtivitis fliktenularis) ditandai adanya bintik putih di limbus
kornea yang sangat nyeri.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 5
V. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti TBC pada anak bila ditemukan basil TBC dari sputum, kumbah lambung atau
biopsi, tetapi hal ini sulit dan jarang didapat sehingga diagnosis TBC pada anak dibuat
berdasarkan Sistem Skoring Diagnosis TBC pada anak berdasarkan Pedoman nasional tahun
2005 sebagai berikut :
CATATAN :
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 6
• Didiagnosis Tuberkulosis jika jumlah skor > 6 (skor maks 14). Cut of point ini masih
bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang
dilaksanakan.
Skor >6
Beri OAT
2 bln terapi, dievaluasi
Terapi TB diteruskan
Terapi diteruskan Rujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut
34
VI. PENATALAKSANAAN
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 7
Pemberian kortikosteroid :
Pada keadaan khusus taitu TBC millier, meningitis, endobronchial, pleuritis, perikarditis serta
TBC peritonitis, diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 1-3 bulan.
Evaluasi Pengobatan :
Bila dalam 2 bulan pengobatan terlihat perbaikan nyata atau membaik, maka diagnosis
TBC lebih pasti sehingga obat diteruskan
Bila dalam 2 bulan pengobatan tidak ada perbaikan nyata atau memburuk, mungkin
bukan TBC atau ada resistensi obat. Dalam hal ini perlu diperiksa lebih lanjut dengan
penelitian yang lebih lengkap.
VII. PENCEGAHAN
1. Imunisasi BCG
Diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi 0,05 ml dan untuk anak 0,1 ml,
intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila dilakukan pada usia lebih dari 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu.
2. Kemoprofilaksis
Profilaksis primer : anak yang kontak dengan penderita TBC menular (BTA positif)
tetapi belum terinfeksi.
Profilaksis sekunder : anak dengan infeksi TBC yaitu tes tuberkulin positif dan klinis
baik dengan faktor resiko yang memungkinkan menjadi TBC aktif :
Umur di bawah 5 tahun
Menderita penyakit infeksi
Mendapat obat imunosupresif (Sitostatika, steroid, dll)
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 8
3. ASMA
I. BATASAN
Asma secara klinis praktis adalah adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang, terutama
pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan)
dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.Yang dimaksud serangan
asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk, sesak nafas,
mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakitnya (aspek kronik) dan derajat
serangannya (aspek akut). Berdasar derajat penyakitnya, asma dibagi menjadi (1) asma
episodik jarang, (2) asma episodik sering dan (3) asma persisten.
Berdasarkan derajat serangannya, asma dikelompokkan menjadi (1) serangan asma ringan,
(2) sedang dan (3) berat.
Penyakit asma (hiperreaktivitas bronkus) diturunkan secara poligenik. Alergi (atopi) sebagai
salah satu pencetus asma juga diturunkan secara genetik.
Proses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus, udema mukosa
dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil, basofil, makrofag) dan deskuamasi
sel-sel epitel. Dilepaskannya berbagai mediator inflamasi seperti histamin, lekotriene C 4, D4
dan E4, P.A.F yang mengakibatkan adanya konstriksi bronkus, edema mukosa dan
penumpukan mukus yang kental dalam lumen saluran nafas. Sumbatan yang terjadi tidak
seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi.
Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata di
seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan
kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui
saluran nafas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan
dini saluran nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan
tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung
yang bermanisfestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas
menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi
hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO 2 yang akan turun dan dijumpai alkalosis
respiratorik.
Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan
hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena
itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang
normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas. Selain itu
dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot
nafas.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 9
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi
komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga
produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan resiko terjadinya
atelektasis.
Gejala awal adalah batuk, bersin, hidung buntu yang kemudian menghebat diikuti
dengan sesak dan suara mengi (wheezing).
Bila serangan sangat hebat, penderita tampak gelisah, berkeringat dan sianosis.
Pada pemeriksaan secara inspeksi didapatkan dada yang mengembang (hiperinflasi)
dengan ekspirasi yang memanjang disertai retraksi (penarikan) otot interkostal,
supraklavikuler dan sternokleidomastoideus.
Perkusi dada didapatkan suara yang hipersonor.
Pada auskultasi dada terdengar suara mengi terutama pada waktu ekspirasi (wheezing
ekspiratoar), ronki kering dan ronki basah sedang.
Parameter klinis,
Asma episodik Asma episodik Asma persisten
kebutuhan obat dan
jarang sering
faal paru
Frekuensi serangan < 1x/bulan > 1x/bulan Sering
Hampir sepanjang tahun,
Lama serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu
tidak ada remisi
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis diluar Normal (tidak Mungkin terganggu
Tidak pernah normal
serangan ditemukan kelainan) (ditemukan kelainan)
Obat pengendali (anti
Tidak perlu Perlu Perlu
inflamasi)
Uji faal paru (di luar PEF/FEV1 <
PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 60-80%
serangan) 60%Variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru (bila Variabilitas > 50%
Variabilitas > 15% Variabilitas > 30%
ada serangan)
Parameter
Ringan Sedang Berat Ancaman
klinis,
henti nafas
Fungsi paru,
laboratorium
Sesak timbul- Berjalan Berbicara Istirahat
pada saat Bayi: menangis Bayi : Bayi :
(breathless) keras - Tangis pendek Tidak mau
dan lemah makan/minum
- Kesulitan
makan/minum
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Duduk bertopang
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk
lengan
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 10
0 1 2
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 11
Skor :
0-4 : tidak ada bahaya
5-6 : akan terjadi gagal nafas, siapkan UGD
≥7 : gagal nafas
1. Menentukan faktor pencetus (misalnya dingin, aktivitas fisik, emosi) dan alergen baik
berupa makanan, hirupan, obat (peroral/ suntikan) atau sengatan, dengan melakukan
pemeriksaan :
Uji kulit (scratch test, prick test, intradermal test)
Eliminasi-provokasi alergen
Pemeriksaan darah (hitung eosinofil, IgE)
Uji fungsi paru, khususnya PEFR (peak expiratory flow rate)
Makanan yang sering menjadi pencetus serangan asma diantaranya adalah buah, susu
sapi, telur dan daging ayam, ikan (termasuk kepiting, cumi-cumi dan udang), serta
kacang (sering disingkat ‘BSTIK’). Untuk alergen hirupan yang sering adalah debu
rumah, kapuk, bulu binatang, asap rokok dan bunga rumput.
Adapun pencetus serangan asma pada berbagai golongan umur dapat diringkaskan
pada tabel yang berikut :
2. Pemeriksaan radiologi (X-foto dada) untuk melihat adanya gambaran emfisematous atau
adanya komplikasi pada saat serangan. Foto sinus para nasal perlu dipertimbangkan
pada anak > 5 tahun dengan asma persisten atau sulit diatasi.
V. DIAGNOSIS.
Diagnosis asma dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan laboratorium/
penunjang diagnosis.
Penyakit asma perlu dibedakan dengan penyakit sesak yang disebabkan oleh infeksi
(misalnya bronkiolitis dan bronkopneumonia) atau sesak akibat adanya benda asing
dalam saluran napas.
VI. KOMPLIKASI
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 12
Atelektasis
Pneumothoraks
Emfisema mediastinalis dan emfisema kutis
Kejang karena anoksia
Gagal napas
VII. PENATALAKSANAAN
1. Berikan oksigen
2. Nebulasi dengan -agonis ± antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali
pemberian.
3. Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada
4. Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam
5. Berikan aminofilin intra vena :
- Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis
awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
- Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
separuhnya.
- Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml
- Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam
6. Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral
7. Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat -agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam
24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 13
Kalau perlu diberikan obat mukolitik, diantaranya obat batuk hitam atau obat batuk
putih, gliseril guaiakolat, ambroxol, bromhexin dan banyak minum air.
Antibiotika dan antihistamin hanya diberikan bila ada indikasi karena tidak ada perannya
dalam penanggulangan asma.
Steroid Oral :
Nama Generik
Nama Dagang Sediaan Dosis
Prednisolon Medrol, Medixon Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Lameson, Urbason 4 mg
Prednison Hostacortin, Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Pehacort, 5 mg
Dellacorta
Triamsinolon Kenacort Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
4 mg
Steroid Injeksi :
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 14
18
VIII. PROGNOSIS
Prognosos jangka panjang penyakit asma pada anak pada umumnya baik, karena sebagian
besar akan hilang atau berkurang frekuensi serangannya dengan bertambahnya umur.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 15
4. BRONKIOLITIS
I. BATASAN
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi paru akut dan merupakan suatu sindrom obstruksi
saluran napas kecil (bronkiolus) akibat proses radang yang sering menyerang bayi dan anak
kecil yang berumur kurang dari 2 tahun (terbanyak pada bayi berusia < 6 bulan).
Pada bronkiolitis ditemukan obstruksi parsial atau total karena edema dan akumulasi mukus
dan eksudat yang kental. Obstruksi parsial bronkiolus menimbulkan emfisema, sedangkan
obstruksi total menimbulkan atelektasis.
o Sebagian besar (> 50%) penyakit ini disebabkan oleh virus respiratori sinsisial (RSV).
Penyebab lainnya adalah virus parainfluenza, virus adeno, mikoplasma pneumonia serta
beberapa virus lain.
o Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan replikasi di
mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga akan terjadi
kerusakan/nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli.
o Respon imun tubuh yang terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma dan
makrofag. Akibat dari proses tersebut akan terjadi edema sub mukosa, kongesti serta
penumpukan debris dan mukus (plugging), sehingga akan terjadi penyempitan lumen
bronkioli. Penyempitan ini mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi
(total/sebagian).
o Gambaran yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang berlebihan
(hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas serius, gangguan
ventilasi/perfusi dengan akibat akan terjadi hipoksemia (PaO2 turun) dan hiperkapnea
(Pa CO2 meningkat). Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas.
Gejala dimulai dengan bersin, batuk, pilek dengan sekret encer dan biasanya tidak
disertai kenaikan suhu atau hanya demam ringan (subfebril).
Setelah beberapa hari batuk menghebat, tidak dapat tidur dan minum, kadang-kadang
muntah dan demam yang tidak terlalu tinggi. Anak menjadi gelisah, takikardia, takipnea
dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan dada yang mengembang disertai retraksi interkostal
dan subkostal. Hati dan limpa mungkin terdorong kebawah. Perkusi hipersonor dan pada
auskultasi suara napas melemah, didapatkan rales halus pada akhir inspirasi, wheezing
ekspiratoar dengan ekspirasi yang memanjang. Bila obstruksi menghebat, pernapasan
menjadi lebih cepat dan dangkal, suara napas melemah dan wheezing yang semula jelas
dapat menghilang.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 16
V. DIAGNOSIS
Diagnosis bronkiolitis dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan disokong
oleh hasil pemeriksaan X-foto dada.
Penyakit yang perlu dibedakan dengan bronkiolitis diantaranya adalah :
1. Asma bronkial : jarang didapatkan pada usia kurang dari 1 tahun, didapatkan riwayat
alergi pada keluarga, serangan sesak berulang, sesak timbul mendadak mungkin
tanpa didahului ISPA, eosinofilia dan membaik dengan injeksi adrenalin.
2. Bronkopneumonia : panas tinggi, leukositosis, didapatkan infiltrat pada X-foto dada.
3. Payah jantung : cari adanya bising jantung, kardiomegali, periksa EKG.
VI. KOMPLIKASI
Dehidrasi (terutama pada anak kecil) karena tidak dapat minum, penguapan karena
respirasi dan muntah.
Infeksi sekunder oleh bakteri (sering disertai bronkopneumonia)
Pneumotoraks dan emfisema mediastinalis
Gagal napas
VII. PENATALAKSANAAN
Cairan infus, jangan dipaksa minum bila masih sesak (bahaya aspirasi)
Oksigenasi, khususnya bila anak gelisah karena hampir selalu terjadi hipoksia berat atau
ringan.
Jangan diberikan sedativa karena dapat menyebabkan depresi pernapasan, sedangkan
kegelisahan yang terjadi disebabkan oleh hipoksia.
Antibiotika diberikan bila ada indikasi :
- Penyakit yang berat atau keadaan umum yang kurang baik.
- Kecurigaan akan adanya infeksi sekunder (bakteri) atau bronkopneumonia (biasanya
panas tinggi, leukositosis).
Antibiotika yang diberikan adalah seperti antibiotika untuk bronkopneumonia
Bila dicurigai penyebabnya Mycoplasma pneumoniae obat yang terpilih adalah
eritromisin.
Bronkodilator secara umum tidak bermanfaat. Pada kecurigaan akan asma dapat dicoba
pemberian injeksi adrenalin (larutan 1:1000) 0,01 ml/kgBB subkutan sekali saja dan lihat
perbaikan klinisnya. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-
6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier..
Kortikosteroid pada umunya tidak diperlukan. Pada kondisi yang gawat dapat dicoba
pemberian deksametason 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis intravena.
Adanya asidosis respiratorik perlu diperhatikan dan ditangani.
VIII. PROGNOSIS
Anak biasanya dapat mengatasi serangan sesak tersebut sesudah 2-3 hari. Mortalitas
kurang dari 1%. Anak biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang lama,
asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi akibat takipnea dan
kurangnya makan-minum.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 17
5. BRONKITIS
I. BATASAN
Bronkitis merupakan proses keradangan pada bronkus dengan manifestasi utama berupa
batuk, yang dapat berlangsung secara akut maupun kronis. Proses ini dapat disebabkan
karena perluasan dari proses penyakit yang terjadi dari saluran napas maupun bawah.
II. ETIOLOGI
V. PENATALAKSANAAN
VI. KOMPLIKASI
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 18
Komplikasi bronkitis akut jarang didapatkan. Pada anak dengan status gisi kurang dapat
terjadi komplikasi berupa otitis media, pneumonia,
sinusitis.
Pada bronkitis berulang, harus dipikirkan kemungkinan : uberkulosis, alergi, snusitis,
tonsilitis, adenoid, bronkiektasis, benda asing/corpus alienum, kelainan kongenital, defisiensi
imun, fibrosis kistik.
6. SINDROMA CROUP
I. BATASAN
Sindroma ”croup” merupakan kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan adanya batuk,
suara parau, stridor inspiratoir yang disebabkan obstruksi saluran napas atas/laring.
II. ETIOLOGI
III. PATOFISIOLOGI
Adanya faktor infeksi (virus, bakteri, jamur), mekanis dan/atau alergi dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi, eritema dan edema pada laring dan trakea, sehingga
mengganggu gerakan plica vocalis. Diameter saluran napas atas yang paling sempit
adalah pada bagian trakea dibawah laring (subglottic trachea).
Adanya spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi saluran napas atas.
Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran udara yang lewat.
Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan arytenoepiglottic folds, akan
menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar stridor. Awalnya stridor
bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi
semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi ( high pitched) dan
terdengar juga saat ekspirasi. Edema pada plica vocalis akan mengakibatkan suara
parau. Kelainan dapat berlanjut hingga mencapai brokus dan alveoli, sehingga terjadi
laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis. Pada spasmodic croup
terjadi edema jaringan tanpa proses inflamasi. Reaksi yang terjadi terutama disebabkan
oleh reaksi alergi terhadap antigen virus dan bukan akibat langsung infeksi virus.
Gejala klinis awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor inspiratoir. Bila
terjadi obstruksi stridor akan makin berat tetapi dalam kondisi yang sudah payah stridor
melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala obstruksi saluran napas atas.
Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa
obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 19
Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu,
takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat
ditemukan adanya retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial. Bila anak
mengalami hipoksia, anak akan tampak gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah berat
anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun.
Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses
penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari.
1. EPIGLOTITIS AKUT
Epiglotitis akut merupakan keadaan gawat darurat sehingga diagnosa harus ditegakkan
secepat mungkin. Terapi harus dilakukan secara cepat dan tepat agar dapat
menurunkan kematian.
Definisi : keradangan akut epiglotis, biasa disebabkan oleh bakteri ( bacterial croup,
supraglottic croup)
Etiologi : terbanyak disebabkan Haemophylus Influenza tipe B
Umur : menyerang terbanyak pada kelompok usia 3-7 tahun
Gejala klinis : mendadak panas tinggi, stridor inspiratoir , retraksi cepat timbul, nyeri
epiglotis : suara kecil (pelan), anak tampak sakit keras/toksis, air liur keluar berlebihan
(drooling), gelisah & sianosis, epiglotis bengkak dan merah seperti buah cherry, dapat
cepat : gagal napas
Pemeriksaan penunjang :
foto leher lateral: dapat terlihat obstruksi supraglotis karena pembengkakan epiglotis
(thumb sign)
laboratorium : pemeriksaan darah menunjukkan lekosit meningkat, pada hitung jenis
tampak pergeseran ke kiri. Bila fasilitas tersedia : dari pemeriksaan hapusan
tenggorokan dan biakan darah dapat ditemukan Haemophylus Influenza tipe B.
Divisi Respirologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 20
Divisi Respirologi