13
DIVISI
PENYAKIT TROPIK
DAN INFEKSI
1. Malaria
2. Demam Berdarah Dengue
3. Demam Tifoid
4. Campak
5. Tetanus
6. Infeksi HIV pada anak
1. MALARIA
I. BATASAN
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa genus plasmodium. yang
ditandai oleh demam tinggi intermiten, hepatosplenomegali dan anemia.
II. ETIOLOGI
Terdapat 4 spesies dari genus Plasmodium yang dapat menyerang manusia, yaitu :
1. Plasmodium vivax, menyebabkan malaria tertiana
2. Plasmodium Falciparum, menyebabkan malaria tropika
3. Plasmodium malariae, menyebabkan malaria malariae/ kuartana
4. Plasmodium ovale, menyababkan malaria ovale
Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu alamiah dan bukan alamiah. Penularan secara
alamiah adalah melalui gigitan nyamuk anofeles, sedangkan bukan alamiah adalah melalui
plasenta dan tali pusat (pada malaria kongenital) serta melalui transfusi darah atau jarum
suntik. Sumber infeksi adalah orang yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa
dengan gejala.
Pemeriksaan hapusan darah tepi, berupa tetes tebal untuk identifikasi adanya
plasmodium, atau tipis (DDR) untuk identifikasi spesies plasmodium dan tingkat
parasitemia.
Pemeriksaan hemoglobin
V. DIAGNOSIS
Dugaan diagnosis malaria dibuat berdasarkan temuan gejala klinis. Sedangkan diagnosis pasti
ditegakkan bila ditemukan parasit malaria didalam sel darah merah (eritrosit), baik tetes tebal
maupun hapusan.
Kesalahan diagnosis klinis malaria (tanpa komplikasi) yang sering terjadi biasanya disebabkan
antara lain :
1. Keyakinan bahwa demam pada malaria selalu mengikuti pola yang khas. Pada
kenyataannya pola demikian jarang tampak pada beberapa hari awal sakit dan demam
dapat berlangsung terus menerus, ireguler atau terjadi setiap hari.
2. Adanya gejala-gejala lain yang mengikuti demam sehingga diduga sebagai diagnosis
untuk penyakit lain. Batuk umum didapati pada anak, sedangkan muntah, diare, nyeri
perut dan ikterus ringan merupakan gejala klinis malaria yang dapat menjurus kepada
dugaan penyakit lain.
3. Diabaikannya masa inkubasi malaria yang kadang-kadang bisa memanjang khususnya
bila digunakan obat profilaksis.
4. Ditolaknya diagnosis malaria karena hasil negatif dari pemeriksaan hapusan darah atau
tidak didapati demam, padahal gejala dapat muncul saat densitas parasit terlalu rendah
untuk dapat dideteksi secara mikroskopis.
VI. KOMPLIKASI
Kematian yang disebabkan infeksi akut oleh P. vivax, P. ovale atau P. malariae sangat jarang
terjadi, sebaliknya infeksi P. falciparum sangat potensial untuk menjadi kasus yang
mematikan.
Malaria berat menurut WHO (1990) adalah malaria yang disebabkan oleh plasmodium
falciparum stadium aseksual disertai salah satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :
2. Anemia berat
Anemia normositik dengan hematokrit < 15% atau kadar HB < 5 g/dl, dan sering
berhubungan dengan hiperparasitemia (hitung parasit >10.000/uL), ditandai dengan
takikardia dan dispnea. Anemia ikut berperan dalam (1) gejala serebral yaitu bingung,
gelisah, koma dan perdarahan retina (2) gejala kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal
jantung, hepatomegali dan edema paru.
3. Gagal ginjal
Kadar kreatinin serum > 3 mg/dl, produksi urine < 1 ml/kgBB/ jam yang tidak membaik
setelah dilakukan rehidrasi. Gagal ginjal jarang terdapat pada anak kecil dengan malaria.
Pada umumnya reversibel.
4. Edema paru akut
Ditandai peningkatan frekuensi nafas, dijumpai krepitasi dan ronki. Akibat edema paru
akan terjadi hipoksia yang mengakibatkan kejang, penurunan kesadaran bahkan
kematian.
5. Kecenderungan perdarahan
Perdarahan yang sering dijumpai adalah perdarahan spontan gusi, epistaksis, petekia dan
perdarahan subkonjungtiva. Apabial terjadi DIC (koagulasi intravascular diseminata) akan
terjadi perdarahan lebih berat yaitu hematemesis dan melena.
6. Hipoglikemia berat
Dapat terjadi pada malaria berat, terutama terjadi pada anak kecil (dibawah 3 tahun)
dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala yang
lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab serta nafas yang tidak
teratur. Kadar glukosa turun menjadi < 40 mg/d (sebelum terapi kina). Hipoglikemia ini
berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina. Gejala klasik
hipoglikemia pada penderita yang sadar diantaranya adalah rasa cemas, berkeringat,
dilatasi pupil, sesak nafas, oliguria, rasa kedinginan, takikardi dan pusing.
7. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa
Pada anak yang mengalami oliguria dan dehidrasi memperlihatkan peningkatan berat jenis
urin, penurunan natrium, sedangkan sedimen normal pada pemeriksaan urin. Pernafasan
cepat dan dalam (asidosis) dapat terjadi dengan PH darah arteri < 7,25 atau kadar
bikarbonat plasma < 15 mmol/L.
VII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan malaria tanpa komplikasi dibagi dalam pengobatan malaria klinis dan
pengobatan malaria dengan diagnosis mikroskopis.
Obat kombinasi diberikan peroral selama 3 hari denosis tunggal harian sebagai
berikut : Artesunat 4 mg/kgBB dan Amodiakuin basa 10 mg/kgBB
Primakuin pada hari I dosis tunggal 0,75 mg/kgBB (tidak boleh diberikan pada bayi
< 1 tahun dan penderita defisiensi G6PD)
Pengobatan dikatakan efektif bila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian
obat ditemukan klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium
aseksual sejak hari ke-7.
Pengobatan tidak efektif bila dalam 28 hari setelah pemberian obat gejala klinis
memburuk dan parasit aseksual positif atau gejala klinis tidak memburuk tetapi
parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Dalam hal ini diperlukan pengobatan lini kedua.
Bila pengobatan lini pertama tidak efektif dimana ditemukan gejala klinis tidak
memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali
(rekrudesensi).
Kina peroral 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, selama 7 hari, Doksisiklin 2
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, selama 7 hari, tetrasiklin 16-20 mg/kgBB/hari dibagi 4
dosis, selama 7 hari (keduanya tidak diberikan untuk anak < 8 tahun. Primakuin 1
hari (pada hari I) dosis tunggal 0,75 mg/kgBB
Cukup diberikan klorokuin total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai
berikut : Hari I dan II 10 mg/kgBB, Hari III 5 mg/kgBB
Diberikan klorokuin total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai berikut :
Hari I dan II 10 mg/kgBB, Hari III 5 mg/kgBB
Primakuin 0,75 mg/kgBB pada hari pertamai.
2. Penatalaksanaan kejang :
a) Diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB atau 0,5-1 mg/kgbb rektal 5 mg dengan dosis
optimal 10 mg/kali dan dapat diulangi tiap 5-15 menit.
b) Bila kejang tidak teratasi setelah 2 kali pemberian diazepam, berikan fenitoin dosis
inisial 10-15 mg/kgBB i.v dalam NaCl 0,9 % selama 20 menit/ perlahan, selanjutnya
5 mg/kgBB, 2 kali sehari.
c) Fenobarbital (bila tidak ada pilihan lain) i.m. 30-75 mg dilanjutkan oral 8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis rumat 4
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
7. Mengatasi Perdarahan
Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat dengan manifestasi perdarahan pada kulit
berupa petekia, purpura, hematom atau perdarahan hidung, gusi dan saluran
pencernaan. Pasien dapat diberi darah segar, fresh frozen plasma (berisi faktor
pembekuan), dan suspensi trombosit. Bila terdapat perpanjangan waktu protrombin dan
partial thromboplastin, dianjurkan pemberian vitamin K 10 mg perlahan-lahan
8. Mengatasi Hipoglikemia
Dalam menghadapi malaria berat, terutama pada anak yang mengalami penurunan
kesadaran perlu diberikan glukosa rumatan untuk mencegah hipoglikemia yang
disebabkan karena anak tidak bisa makan. Diberikan larutan rumatan Glukosa 5% atau
glukosa konsentrasi tinggi secara intermiten. Apabila terjadi hipoglikemia berikan
Glukosa 40% (2-4 ml/kgbb, dengan pengenceran 1:1) dilanjutkan dengan cairan
rumatan Glukosa 10% sambil dilakukan pemeriksaan kadar gula darah berkala atau
mempergunakan dextrostick. Pemantauan glukosa darah harus terus menerus dilakukan
bahkan setelah nampak perbaikan, sebab hipoglikemia dapat berulang.
9. Mengatasi Dehidrasi, gangguan asam basa dan elektrolit
Rehidrasi dengan garam fisiologis isotonis atau glukosa 5%, pasang CVP, bila sudah
terehidrasi tetapi jumlah urin tetap < 1 ml/kg/BB/jam maka diberikan furosemid 2
mg/kgBB, bersihkan jalan nafas,berikan oksigen 2-4 liter/menit. Kalau perlu koreksi
asidosis dan gangguan elektrolit. Untuk memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan napas,
beri Oksigen 2-4 liter/menit, dan apabila diperlukan dapat dipasang ventilator mekanik
sebagai penunjang
11.Penanganan Hiperpireksia
Segera beri kompres hangat dan antipiretik Paracetamol dosis inisial 20 mg/kgBB, diikuti
15 mg/kgBB tiap 4-6 jam sampai panas turun < 40o C, selanjutnya dosis 10 mg/kgBB.
3. PENCEGAHAN
Vaksin malaria :
Adanya bermacam stadium pada perjalanan penyakit malaria menyulitkan
pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin,
yaitu :
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit (sporozoit, merozoit, gametosit).
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan.
VIII. PROGNOSIS
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan
oleh nfeksi virus dengue. Infeksi virus ini pada manusia mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah dengue
disertai shok (dengue shock syndrome = DSS).
II. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk grup B Arthropod Borne Virus (arboviruses), genus vlavivirus,
famili flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4,
melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan anti bodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain.Serotipe den-3
merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti
serotipe den-2.
Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologous
infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang
setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus
dengue serotipe lain dan dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar dan perdarahan pada
tempat pengambilan darah vena. Petekie halus yang tersebar dianggota gerak, muka
dan aksila, seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa
perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang
dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan
biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti
perdarahan subkonjungvital kadang-kadang ditemukan. Pada masa konfalesen seringkali
ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki
Syok harus segera diobati karena apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat,
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang
tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan
gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang
tepat ( termasuk kasus syok berat ) segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.
Pemeriksaan darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, trombosit,
hematokrit.
Pada pemeriksaan darah perifer juga dapat dinilai kadar limfosit biru. Peningkatan 15 %
menunjang diagnosis DBD
Pemeriksaan X- photo dada dilakukan atas indikasi : (1) dalam keadaan ragu-ragu,
namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40
%, (2) pemantauan klinis sebagai sebagai pedoman pemberian cairan.
Kelainan radiologi dapat berupa dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan dan efusi pleura.
3 HEMATOLOGI :
Hemoglobin (Hb) - Hemoglobin meningkat
Hematokrit (Ht) - Hemokonsentrasi (peningkatan Ht 20% dari asal)
Ht/Hb ≥ 3,5 dipertimbangkan DBD*
Hitung Lekosit - Leukopenia
- Limfositosis relatif ( > 45 % dari total leko)
- Limfosit plasma biru
(>15% dari total leuko / >4% dari total limfosit)
Hitung Trombosit Trombositopeni(< 100.000/L)/ penurunan serial
Trombosit < 2/100 eri/LPB
(min dilihat 10 lapang pandang)
4-7 HEMATOLOGI
Hb Waspadai DIC
Ht (PT>,APTT>,D-Dimer +, atau Fibrin Monomer +,
Hitung leukosit Fibrinogen <)
Hitung trombosit Indikasi pemberian darah :
Hapus darah tepi -FFP : perdarahan masif, APTT>1,5 x N
-Trombosit : bila perdarahan masif
KIMIA SGOT/SGPT ↑ , allbumin ↓,
AGD (syok> : asidosis metabolik)
Ureum , kreatinin (acute tubular necrosis)
8-10 HEMATOLOGI : Normal fase penyembuhan
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Hitung Lekosit
Hitung Trombosit
V. DIAGNOSIS
Patokan diagnosis DBD ( WHO, 1975 ) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
Klinis
Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari.
1. Manifestasi perdarahan, termasuk sekurangnya uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain ( petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi ),
hematenesis dan atau melena.
2. Pembesaran hati.
3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun
(menjadi 20 mmHg atau kurang ), tekanan daran menurun (tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau kurang ), disertai kulit yang teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki pasien menjadi gelisah, dan
timbul sianosis disekitar mulut.
Laboratorium
- Trombositopenia (100.000/ul atau kurang)
- Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hematokrit 20% atau
lebih dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa
konvaselen.
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD.
VI. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan demam berdarah dengue bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai
akibat perdarahan
Pasien demam dengue dapat berobat jalan sedangkan pasien demam berdarah dengue
(DBD) dirawat diruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif.
Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang
terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank
darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di puskesmas rumah sakit tipe
D, C dan ruang rawat sehari dirumah sakit B dan A.
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak
Ada kedaruratan Terus menerus < 7 hr Tidak ada kedaruratan
Tdk disertai ISPA
badan lemah & lesu
Tanda syok Periksa uji bendung
Muntah terus menerus
Kejang RL (+) RL (-)
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah/hitam RAWAT JALAN
Periksa
trombosit
-Parasetamol
-Kontrol tiap
hari sampai
Trombosit Trombosit demam turun
RAWAT INAP < 100.000/µl > 100.000/µl
(Lihat bagan 2)
RAWAT JALAN Nilai tanda klinis,periksa
Minum banyak 1,5 – 2 L/hr trombosit & Ht bl demam
Parasetamol menetap stsd hr skt ke-3
Kontrol tiap hari sampai demam
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap hari Perhatian untuk orang tua
Pesan bila timbul tanda syok:
Anak segera bawa ke RS gelisah, lemah, kaki/tangan dingin,
nyeri perut, berak hitam, BAK ,
Hb & Ht trombosit
Ht
Monitor gejala klinis dan laboratorium
- Perhatikan tanda syok
- Palpasi hati setiap hari
- Ukur diuresis setiap hari Infus ganti Ringer laktat
(lihat Bagan 3)
- Periksa Hb, Ht, tiap 6 j, trombosit tiap 12 jam
Catatan :
Kriteria memulangkan pasien :
Tidak terjadi demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan klinis
Hematokrit stabil
3 hari setelah syok teratasi
Trombosit > 50.000/µl dan cenderung meningkat
Tidak terdapat distres pernafasan
Perbaikan
Sesuaikan tetesan
3 ml/kgBB/jam
VIII. PROGNOSIS
Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada keterampilan para dokter untuk
mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu ( fase Kritis, fase
syok ) dengan baik.
Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini fase
kritis, yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi,
dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang
dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit.
Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.
2. DEMAM TIFOID
I. BATASAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi.
II. ETIOLOGI
90 % kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh S.
paratyphi. Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai antigen somatik (O),
flagelar antigen (H) dan envelope antigen (K). Kuman masuk tubuh melalui mulut bersama
dengan makanan atau minuman yang tercemar.
Gejala klinis demam typhoid pada anak bervariasi, dari ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai yang berat sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Masa inkubasi antara 5 hingga 40 hari (rata-rata 10-14 hari).
Demam selalu ditemukan pada awal penyakit dan pada kasus yang khas diistilahkan
sebagai ‘step ladder temperature chart’ yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam harinya. Demam mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, bertahan tinggi hingga minggu ke 3-4, baru kemudian
berangsur-angsur turun. Gejala sistemik lain yang menyertai demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan.
Gejala sistem saraf pusat biasanya timbul pada saat demam sudah tinggi, diantaranya
adalah kesadaran yang berkabut, mengigau (delirium) atau terjadi penurunan kesadaran
dari apatis sampai koma.
Gejala gastrointestinal juga bervariasi, sebagian mengalami obstipasi kemudian disusul
episode diare, disertai meteorismus dan hepatomegali. Pada sebagian penderita lidah
tampak kotor dengan warna putih di tengah sedangkan tepi dan ujungnya kemerahan.
Bradikardia relatif jarang dijumpai pada anak.
Pada kasus yang berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.
Pada pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan lekopenia atau lekositosis, anemia,
aneosinofilia, trombositopenia ringan atau limfositosis relatif.
Uji serologi Widal untuk memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O) dan
flagela (H).
Pemeriksaan biakan darah, urin, feses dan sumsum tulang dengan media empedu ( gall
culture) untuk menemukan adanya bakteri Salmonella typhi.
V. DIAGNOSIS.
Diagnosis tersangka demam tifoid dapat dibuat bila dijumpai adanya gejala klinis berupa
demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan
kesadaran.
Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam
darah, urin, feses atau sumsum tulang.
Gabungan gejala klinis dan uji serologi Widal yang bermakna membantu diagnosis. Hasil
uji Widal dianggap positif bila didapatkan titer O aglutinin sekali periksa > 1/200, atau
pada pemeriksaan titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali.
Diagnosis banding : Influenza, gastroenteritis, bronkitis, bronkopneumonia, tuberkulosis,
infeksi jamur sistemik, malaria, campak, meningitis, demam berdarah dengue. Demam
tifoid berat : sepsis, leukemia, limfoma.
VI. KOMPLIKASI
Intraintestinal : Perforasi usus halus (0,5-3%) dan perdarahan usus (1-10%) biasanya
terjadi pada minggu ketiga sakit, ditandai dengan penurunan suhu, nyeri abdomen,
nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang, defance musculaire
dan pekak hati menghilang.
Ekstraintestinal :
1. Tifoid ensefalopati yang disertai kelainan neuropsikiatri, misalnya disorientasi,
delirium, stupor bahkan koma yang sering dikaitkan dengan prognosis buruk.
2. Penyakit neurologi lain adalah trombosis serebral, afasia, neuritis, meningitis,
ensefalomielitis.
3. Miokarditis dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada
pemeriksaan EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.
4. Hepatitis tifosa asimtomatis dengan peningkatan transaminase tidak terlalu tinggi.
5. Pneumonia, baik oleh bakteri Salmonella typhi maupun akibat bakteri lain.
6. Komplikasi lainnya : Sistitis, pielonefritis, glomerulonefritis.
VII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan suportif
- Perawatan dengan tirah baring. Bila sudah 3 hari bebas demam, penderita bisa duduk,
hari besoknya berdiri, kemudian mobilisasi bertahap.
- Isolasi yang memadai.
- Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi. Makanan lunak, mudah dicerna,
tinggi kalori dan protein, sebaiknya tidak mengandung banyak serat dan bahan-bahan
yang merangsang usus serta menimbulkan banyak gas.
Farmakologis
- Drug of choice : Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari, iv/ peroral, 3 kali sehari selama
10-14 hari
- Alternatif lain :
1. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, 3 kali sehari selama 10 hari
2. Kotrimoksasol 8-10 mg (TMP)/kgBB/hari, 2-3 kali sehari selama 10 hari
3. Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, intravena/intramuskular,1x sehari selama 5 hari.
4. Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, 2 kali sehari selama 10 hari.
Pencegahan
1. Kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan.
Memutus rantai penularan oro-fekal, misalnya dengan membiasakan mencuci tangan
sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.
2. Imunisasi
- Imunisasi aktif terutama diberikan apabila terjadi kontak dengan pasien demam
tifoid, terjadi kejadia luar biasa (KLB) dan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik
- Vaksin polisakarida (misalnya Typhim Vi) diberikan pada usia 2 tahun atau lebih,
intramuskuler dan diulang setiap 3 tahun.
- Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia > 6 tahun dengan interval selang
sehari (hari 1,3,5) diulang setiap 3-5 tahun.
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 22
3. CAMPAK
I. BATASAN.
Campak adalah penyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh infeksi virus, ditandai
adanya 3 stadium gejala klinis yaitu stadium prodromal, stadium erupsi dan stadium
konvalesensi (penyembuhan).
II. ETIOLOGI.
Pada pemeriksaan darah tepi bisa didapatkan limfositosis dan leukopenia. Dapat terjadi
lekositosis bila ada komplikasi infeksi bakteri.
Pemeriksaan untuk komplikasi : cairan serebrospinalis, elektrolit darah (ensefalopati),
feses lengkap (enteritis) dan x- foto dada (bronkopneumonia).
V. DIAGNOSIS.
Campak dapat menjadi berat pada penderita dengan gizi buruk dan anak berumur lebih
kecil.
Bronkopneumonia.
Dapat disebabkan oleh virus campak maupun oleh invasi bakteri. Pada saat suhu
menurun, gejala pneumonia karena virus akan menghilang, kecuali batuk yang masih
berlanjut sampai beberapa hari lagi.Bila suhu tidak menurun pada saat yang diharapkan
dan sesak masih berlangsung terus, dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri
yang telah mengadakan invasi sel epitel yang telah dirusak oleh virus.
Laringitis akut.
Dapat timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran napas termasuk daerah
laring dan membaik ketika suhu tubuh sudah menurun.
Kejang demam.
Bila terjadi umumnya pada puncak demam saat ruam keluar.
Ensefalitis.
Dapat terjadi melalui mekanisme imunologis maupun melalui invasi langsung virus
campak kedalam otak.
Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)
Proses degenerasi susunan saraf pusat disebabkan infeksi virus yang menetap, dengan
gejala karakteristik berupa deteriorasi tingkah lakudan intelektual, diikuti kejang.
Otitis media akuta.
Terjadi akibat invasi virus kedalam telinga tengah. Bila terjadi invasi bakteri pada lapisan
sel mukosa yang rusak karena invasi virus, maka akan terjadi otitis media purulenta.
Diare dapat diikuti dengan dehidrasi.
VII. PENATALAKSANAAN
Bila tanpa disertai komplikasi/ penyulit, penderita campak dapat berobat jalan dan harus
diberikan cukup cairan dan kalori. Pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian
antipiretik, antitusif, ekspektoran dan anti konvulsan bila diperlukan.
Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu diatas 39o C), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit, atau adanya komplikasi.
Pada campak yang disertai komplikasi/ penyulit :
- Penderita perlu dirawat di bangsal isolasi.
- Tirah baring di tempat tidur
- Perbaiki keadaan umum penderita dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan
memberikan diit yang memadai, kalori yang cukup, kalau perlu infus.
- Pada penderita malnutrisi perlu diberikan vitamin A 100.000 IU intramuskuler,
dilanjutkan dengan vitamin A per oral 1500 IU setiap hari.
- Mengatasi komplikasi/ penyulit yang timbul.
1. Ensefalopati :
- Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dan Ampisilin 100 mg/kgBB/hari selama 7- 10
hari
- Kortikosteroid : deksametason 1 mg/kgBB/hari (dosis awal) dilanjutkan dengan
0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis sampai kesadaran membaik. Dilakukan
tappering off bila pemberian lebih dari 5 hari)
- Kebutuhan cairan hanya ¾ kebutuhan cairan yang seharusnya serta dilakukan
koreksi elektrolit.
2. Bronkopneumonia :
- Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dan Ampisilin 100 mg/kgBB/hari selama 7- 10
hari
- Oksigen 2 liter/ menit
Pencegahan
Dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berusia 9 bulan.
4. TETANUS
I. BATASAN
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) dan kejang tanpa
disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin (tetanospasmin) kuman Clostridium
tetani.
Secara praktis tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi :
Tetanus berat, bila kekakuan otot dan kejang sering terjadi secara spontan.
Tetanus sedang, bila terjadi kekakuan otot tanpa disertai kejang spontan tapi masih
dijumpai kejang bila dirangsang.
Tetanus ringan, bila kekakuan yang tampak jelas hanya pada otot mengunyah tanpa
disertai kejang.
II. ETIOLOGI
Clostridium tetani merupakan basil gram positif, obigat anaerob, menghasilkan eksotoksin
yang kuat dan membentuk spora yang mampu bertahan pada suhu tinggi, kekeringan dan
desinfektan.
Adanya luka terutama yang kotor (luka tusuk/ iris/ bakar, otitis media purulenta, dll).
Masa inkubasi berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa inkubasi gejala yang timbul
makin ringan.
Kekakuan dimulai dari otot setempat terutama otot mengunyah kemudian menjalar ke
seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.
Kekakuan tetanus sangat khas yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki,
fleksi telapak kaki, tubuh kaku melengkung seperti busur.
Pada pemeriksaan didapatkan trismus (sukar membuka mulut), risus sardonikus (dahi
mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah), opistotonus
(kekakuan otot yang menunjang tubuh), dinding perut keras seperti papan akibat
kekakuan otot dinding perut. Pada neonatus kekakuan otot mengunyah menyebabkan
mulut ‘mecucu’ seperti mulut ikan sehingga tidak dapat menetek.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang umum baik akibat rangsangan (misalnya
dicubit, digerakkan secara kasar, terkena sinar yang kuat) ataupun timbul secara
spontan. Pada akhirnya penderita bisa jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang yang terus
menerus atau karena spasme otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan
kematian.
Pengaruh toksin pada saraf otonom dapat menyebabkan gangguan sirkulasi, suhu
badan meningkat tinggi atau berkeringat banyak, kekakuan otot sfingter dan otot polos
lain sehingga terjadi retentio alvi, retentio urinae atau spasme laring, patah tulang
panjang dan kompresi tulang belakang.
V. DIAGNOSIS.
Sepsis
Bronkopneumonia
Spasme otot laring dan otot jalan napas
Aspirasi lendir/ makanan/ minuman
Fraktur kompresi tulang belakang
VI. PENATALAKSANAAN
Mengatasi Kejang
Diazepam
Neonatus Anak
• Bolus diazepam 5 mg Bolus diazepam 10 mg
• Dilanjutkan dosis • Dilanjutkan dosis
90-120 mg/hari 120-240 mg/hari,
selalu dianggap tergantung tingkat
tetanus berat berat penyakit
• Bila dng dosis 40 mg/kg/hari • Bila perlu dpt
msh kejang, sebaiknya diberikan lbh tinggi
dirawat secara intensif atau dilakukan
pernafasan mekanik pelumpuhan/kurari-
sasi, pernaf dng ven-
tilasi mekanik
• Dipertahankan selama
5 hari, sblm dikan
20% setiap 3 hari
oral
Perawatan suportif.
1. Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional :
- Perawatan isolasi ditempat yang tenang
- Minimal handling untuk mengurangi rangsangan kejang
- Jumlah dan jenis cairan intravena disesuaikan dengan keadaan penderita
2. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, bila trismus berat bisa dipasang sonde
nasogastrik.
3. Menjaga agar pernapasan tetap efisien :
- Pembersihan saluran napas dari lendir secara berkala secara hati-hati untuk
menghindari aspirasi
- Kalau perlu dilakukan trakeostomi (pada tetanus berat)
4. Memberikan tambahan oksigen.
Eliminasi kuman :
1. Debridement luka : untuk menghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang
jaringan yang rusak, membuang benda asing dan memberikan H2O2, merawat luka/
infeksi umbilikus, membersihkan liang telinga serta mengobati otitis media (kalau
perlu konsultasi dengan bagian THT)
2. Antibiotika : Penisilin prokain 50.000 IU/kg BB/ kali intramuskuler, tiap 12 jam
selama 7-10 hari. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromsin atau
linkomisin. Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.
Netralisasi toksin :
- Toksin yang dapat dinetralisasi adalah toksin yang bwelum melekat di jaringan.
- Dapat diberikan ATS 5.000 – 10.000 IU intramuskular atau HTIG (Human Tetanus
Imune Globulin) 500 - 3000 IU. Pada penderita anak dapat disertai imunisasi aktif DT
setelah anak pulang dari rumah sakit.
Pencegahan :
1. Perawatan luka segera dilakukan untuk mencegah timbulnya jaringan anaerob
2. ATS profilaksis (hanya efektif untuk luka yang terjadi kurang dari 6 jam) dilanjutkan
dengan imunisasi aktif.
3. Imunisasi aktif dengan DPT, DT atau TT
4. Kebersihan pada waktu persalinan
VII. PROGNOSIS
I. DEFINISI
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut mempunyai reseptor
spesifik CD 4, merusak system kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau
hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
II. ETIOLOGI
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA, memiliki sifat khas
karena memiliki enzyme reverse transcriptase.
Perjalanan penyakit : Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan
sebagai berikut : Infeksi virus (2-3 minggu) sindrom retroviral akut (2-3 minggu)
gejala menghilang + serokonversi infeksi kronis HIV- asimtomatik (3 – 10 tahun,
rata-rata 8 tahun) infeksi HIV/AIDS simtomatik (rata-rata 1,3 tahun) kematian.
Gejala klinis infeksi virus HIV terbagi atas 4 kategori klinis, yaitu :
1. Kategori N : Tidak ada gejala. Termasuk dalam kategori ini adalah anak yang tidak
mempunyai gejala dan tanda sebagai akibat infeksi HIV atau hanya mempunyai satu
keadaan yang terdapat pada kategori A
2. Kategori A : Gejala ringan. Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan 2 atau
lebih kriteria dibawah ini tetapi tidak menunjukkan adanya kondisi yang tertera pada
kategori B dan C:
- Limfadenopati (> 0,5 cm) atau lebih pada 2 lokasi (bilateral = satu lokasi)
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Dermatitis
- Parotitis
- Infeksi pernafasan bagian atas menetap atau berulang, sinusitis, atau otitis media
3. Kategori B : Gejala sedang.Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan gejala
selain daripada yang tertera pada kategori A dan C yang menunjukkan adanya infeksi
HIV.Contoh kondisi kategori B adalah sebagai berikut :
- Anemia (Hb < 8 g/dl), neutropenia (< 1000/mm3), atau trombositopenia (,<
100.000/mm3) menetap > 30 hari
- Meningitis bakterial, pneumonia atau sepsis (episode tunggal)
- Kandidiasis orofaringeal yang menetap (> 2 bulan ) pada anak > 6 bulan
- Kardiomiopati
- Infeksi virus sitomegalo yang muncul sebelum usia 1 bulan
- Diare kronik atau berulang
- Hepatitis
- Stomatitis virus herpes simpleks berulang (lebih dari 2 episod dalam 1 tahun)
- Bronkitis,pneumonitis atau esofagitis HSV yang timbul sebelum umur 1 bulan
- Terserang herpes zoster sampai 2 kali atau menyerang lebih dari 1 dermatom
- Leiomiosarkoma
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 28
Kategori E :
Anak yang lahir dari ibu HIV (+)
Status infeksi HIV belum diketahui
Kategori 1 : tak ada > 1500 > 25 > 1000 > 25 > 500 > 25
suppresi
Kategori 2 : suppresi 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24
sedang
Kategori 3 : suppresi < 750 < 15 < 500 < 15 < 200 < 15
berat
V. DIAGNOSIS
Dugaan terhadap infeksi HIV dapat didasarkan atas salah satu temuan klinis atau faktor resiko
yang diketahui mempunyai kaitan erat dengan infeksi HIV.Diagnosis infeksi HIV harus
didasarkan atas pemeriksaan laboratorium. Untuk keperluan surveilans epidemiologi AIDS di
Indonesia digunakan definisi kasus sbb :
b. Anak umur 18 bulan atau kurang, ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2
gejala minor dengan ibu yang HIV positif. Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :
- BB menurun atau gagal tumbuh
- Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
- Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
- Infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
- limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
- kandidiasis oral
- infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang
- batuk kronis
- dermatitis yang luas
- ensefalitis
VI. PENATALAKSANAAN
Bila tersedia < 18 Tdk tersedia Stadium II & III, dg CD4 < 20%
sarana bulan pemeriksaan
pemeriksaan virologis HIV ttp Ab
CD4 HIV (+)
- Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau
persentasenya (Contoh : kategori imun 2 atau 3)
- Usia < 12 bulan tidak tergantung kepada gejala klinis, imunologis atau viral load
- Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologis normal, terdapat 2
pilihan :
Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah :
1. Peningkatan viral load
2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau persentasi supresi imun (contoh :
kategori imun 2)
3. Timbulnya gejala klinis