Anda di halaman 1dari 32

Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 1

13
DIVISI
PENYAKIT TROPIK
DAN INFEKSI

Dr. Renny Bagus, SpA, Dr. Abdul Rohim,SpA,


Dr. Retno HMA, SpA, Dr. Marito Logor, SpA

1. Malaria
2. Demam Berdarah Dengue
3. Demam Tifoid
4. Campak
5. Tetanus
6. Infeksi HIV pada anak

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 2

1. MALARIA
I. BATASAN

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa genus plasmodium. yang
ditandai oleh demam tinggi intermiten, hepatosplenomegali dan anemia.

II. ETIOLOGI

Terdapat 4 spesies dari genus Plasmodium yang dapat menyerang manusia, yaitu :
1. Plasmodium vivax, menyebabkan malaria tertiana
2. Plasmodium Falciparum, menyebabkan malaria tropika
3. Plasmodium malariae, menyebabkan malaria malariae/ kuartana
4. Plasmodium ovale, menyababkan malaria ovale
Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu alamiah dan bukan alamiah. Penularan secara
alamiah adalah melalui gigitan nyamuk anofeles, sedangkan bukan alamiah adalah melalui
plasenta dan tali pusat (pada malaria kongenital) serta melalui transfusi darah atau jarum
suntik. Sumber infeksi adalah orang yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa
dengan gejala.

III. GEJALA KLINIS

 Serangan demam , terdiri dari 3 stadium yaitu :


1. Stadium frigoris (menggigil)
2. Stadium acme (puncak demam)
3. Stadium sudoris (berkeringat banyak disertai penurunan suhu badan).
Gejala awal yang mendahului demam tidak spesifik, diantaranya adalah nyeri kepala,
nyeri otot, rasa tidak enak di perut, anoreksia, mual, muntah, diare, badan terasa lesu
dan lemah, nyeri otot, nyeri punggung, mialgia serta atralgia. Serangan demam dapat
terus menerus terjadi pada infeksi campuran (lebih dari satu jenis plasmodium, atau
oleh satu jenis plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda)
 Splenomegali (pembesaran limpa), akibat terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang
terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit
terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis.
 Anemia akibat pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem retikuloendotelial.
 Makin muda usia anak gejala semakin tidak jelas, yang menonjol adalah demam,
anemia, muntah dan mencret serta batuk kering tanpa kelainan saluran nafas pada
pemeriksaan fisik.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/ PENUNJANG DIAGNOSIS

 Pemeriksaan hapusan darah tepi, berupa tetes tebal untuk identifikasi adanya
plasmodium, atau tipis (DDR) untuk identifikasi spesies plasmodium dan tingkat
parasitemia.
 Pemeriksaan hemoglobin

V. DIAGNOSIS

Dugaan diagnosis malaria dibuat berdasarkan temuan gejala klinis. Sedangkan diagnosis pasti
ditegakkan bila ditemukan parasit malaria didalam sel darah merah (eritrosit), baik tetes tebal
maupun hapusan.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 3

Kesalahan diagnosis klinis malaria (tanpa komplikasi) yang sering terjadi biasanya disebabkan
antara lain :
1. Keyakinan bahwa demam pada malaria selalu mengikuti pola yang khas. Pada
kenyataannya pola demikian jarang tampak pada beberapa hari awal sakit dan demam
dapat berlangsung terus menerus, ireguler atau terjadi setiap hari.
2. Adanya gejala-gejala lain yang mengikuti demam sehingga diduga sebagai diagnosis
untuk penyakit lain. Batuk umum didapati pada anak, sedangkan muntah, diare, nyeri
perut dan ikterus ringan merupakan gejala klinis malaria yang dapat menjurus kepada
dugaan penyakit lain.
3. Diabaikannya masa inkubasi malaria yang kadang-kadang bisa memanjang khususnya
bila digunakan obat profilaksis.
4. Ditolaknya diagnosis malaria karena hasil negatif dari pemeriksaan hapusan darah atau
tidak didapati demam, padahal gejala dapat muncul saat densitas parasit terlalu rendah
untuk dapat dideteksi secara mikroskopis.

VI. KOMPLIKASI

Kematian yang disebabkan infeksi akut oleh P. vivax, P. ovale atau P. malariae sangat jarang
terjadi, sebaliknya infeksi P. falciparum sangat potensial untuk menjadi kasus yang
mematikan.
Malaria berat menurut WHO (1990) adalah malaria yang disebabkan oleh plasmodium
falciparum stadium aseksual disertai salah satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :

1. Malaria serebral (malaria otak)


 Adalah malaria dengan penurunan kesadaran. Penilaian derajat penurunan kesadaran
dilakukan berdasarkan Blantyre Coma Scale ( tabel 1.1) yaitu ≤ 3 atau koma lebih dari
30 menit setelah serangan kejang yang tidak disebabkan oleh penyakit lain.
 Delirium, halusinasi atau mengamuk jarang dijumpai pada anak.
 Gejala yang paling dini pada anak adalah demam (37,5 - 41' C) diikuti dengan rasa
mual serta tidak bisa makan atau minum.
 Tanda neurologis yang penting adalah terjadinya gangguan upper motor neuron yang
simetris.
 Pemeriksaan EEG didapatkan kelainan yang tidak spesifik.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya dalam batas normal.
 Sering dijumpai hiperparasitemia dan anemia berat.
 Selama periode penyembuhan, gejala sisa dapat berbentuk hemiparesis, ataksia
serebelar, kebutaan kortikal, hipotonia berat, ratardasi mental, kekakuan yang
menyeluruh atau afasia.

Tabel 1.1. Blantyre Coma Scale

Jenis Respons Derajat Respons Nilai


Gerakan bola mata Mata terarah (mengikuti gerak/ senter) 1
Tidak terarah 0
Menangis normal 2
Respon Verbal Merintih 1
Tidak ada suara 0
Respon lokal terhadap rangsang nyeri 2
Respon terhadap gerakan Menarik tungkai karena rangsang sakit 1
Non spesifik atau tidak ada reaksi 0

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 4

2. Anemia berat
Anemia normositik dengan hematokrit < 15% atau kadar HB < 5 g/dl, dan sering
berhubungan dengan hiperparasitemia (hitung parasit >10.000/uL), ditandai dengan
takikardia dan dispnea. Anemia ikut berperan dalam (1) gejala serebral yaitu bingung,
gelisah, koma dan perdarahan retina (2) gejala kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal
jantung, hepatomegali dan edema paru.
3. Gagal ginjal
Kadar kreatinin serum > 3 mg/dl, produksi urine < 1 ml/kgBB/ jam yang tidak membaik
setelah dilakukan rehidrasi. Gagal ginjal jarang terdapat pada anak kecil dengan malaria.
Pada umumnya reversibel.
4. Edema paru akut
Ditandai peningkatan frekuensi nafas, dijumpai krepitasi dan ronki. Akibat edema paru
akan terjadi hipoksia yang mengakibatkan kejang, penurunan kesadaran bahkan
kematian.
5. Kecenderungan perdarahan
Perdarahan yang sering dijumpai adalah perdarahan spontan gusi, epistaksis, petekia dan
perdarahan subkonjungtiva. Apabial terjadi DIC (koagulasi intravascular diseminata) akan
terjadi perdarahan lebih berat yaitu hematemesis dan melena.
6. Hipoglikemia berat
Dapat terjadi pada malaria berat, terutama terjadi pada anak kecil (dibawah 3 tahun)
dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala yang
lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab serta nafas yang tidak
teratur. Kadar glukosa turun menjadi < 40 mg/d (sebelum terapi kina). Hipoglikemia ini
berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina. Gejala klasik
hipoglikemia pada penderita yang sadar diantaranya adalah rasa cemas, berkeringat,
dilatasi pupil, sesak nafas, oliguria, rasa kedinginan, takikardi dan pusing.
7. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa
Pada anak yang mengalami oliguria dan dehidrasi memperlihatkan peningkatan berat jenis
urin, penurunan natrium, sedangkan sedimen normal pada pemeriksaan urin. Pernafasan
cepat dan dalam (asidosis) dapat terjadi dengan PH darah arteri < 7,25 atau kadar
bikarbonat plasma < 15 mmol/L.

8. Gagal sirkulasi (syok)


Malaria falsiparum yang disertai syok karena adanya septicemia kuman gram negatif
dikenal sebagai malaria algid. Penderita malaria berat pada anak dapat mengalami syok
dengan tekanan darah sistolik <50 mmHg pada anak usia 1-5 tahun atau < 70 mmHg
pada anak lebih besar pada posisi berbaring, kulit teraba dingin dan lembab, sianotik,
konstriksi vena perifer, denyut nadi lemah dan cepat. Tempat yang mungkin berkaitan
dengan infeksi misalnya paru, saluran kemih, tanda-tanda meningitis, tempat suntikan
intra vena, dan lain-lain harus diperiksa.
9. Hemoglobinuria (Black water fever)
Jarang terjadi pada anak, pada umumnya berkaitan dengan defisiensi G6PD pada pasien
dengan infeksi malaria.
10. Hiperpireksia
Suhu tubuh meningkat diatas 40’ C, lebih sering dijumpai pada anak daripada dewasa dan
seringkali berhubungan dengan kejang, delirium dan koma.
11. Ikterus
Dideteksi secara klinis atau kadar bilirubin serum > 3 mg/dl.
12. Severe Prostration
Kelemahan yang sangat. Penderita tidak dapat duduk dan berjalan, tanpa alasan
neurologis yang nyata.
13. Hiperparasitemia
Dijumpai > 50 parasit per 1000 eritrosit (kepadatan parasit > 5 %)
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 5

VII. PENATALAKSANAAN

1. PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI

Pengobatan malaria tanpa komplikasi dibagi dalam pengobatan malaria klinis dan
pengobatan malaria dengan diagnosis mikroskopis.

a. Pengobatan malaria klinis (tanpa pemeriksaan parasit malaria)


Pengobatan malaria klinis terdiri dari 2 regimen pengobatan yaitu pengobatan lini
pertama yang menggunakan kombinasi klorokuin dan primakuin serta pengobatan lini
kedua yang menggunakan kombinasi kina dan primakuin.

 Pengobatan lini pertama


- Diberikan klorokuin total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai
berikut : Hari I dan II 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), Hari III 5 mg/ kgBB
(maksimal 300 mg basa)
- Primakuin pada hari I dosis tunggal 0,75 mg/kgBB (maksimal 26,3 mg/hari)

 Pengobatan lini kedua


- Bila pada hari ke-4 setetal pengobatan lini pertama penderita masih demam, tetapi
tidak memburuk (tidak berkembang menjadi malaria berat)
- Diberikan kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, selama 7 hari dan primakuin
1 hari (pada hari I) dosis tunggal 0,75 mg/kgBB

b. Pengobatan malaria dengan diagnosis mikroskopis.

 Malaria falciparum (malaria tropika)


- Pengobatan lini pertama sama dengan malaria klinis (kombinasi klorokuin dan
primakuin)
- Pengobatan lini kedua diberikan obat sulfadoksin-pirimetamin 20-30 mg/kg BB
sulfadoksin atau 1-1,5 mg/ kgBB pirimetamin dosis tunggal dikombinasi dengan
primakuin dosis tunggal 0,75 mg/kgBB bila pada hari ke-3 diperiksa kembali
sediaan darahnya dan dinyatakan gagal pengobatan lini pertama (catatan :
Sulfadoksin-pirimetamin dan primakuin hanya diberikan untuk usia >1 tahun).
- Pengobatan lini ketiga diberikan obat kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis,
selama 7 hari dan primakuin 1 hari (pada hari I) dosis tunggal 0,75 mg/kgBB bila
pada hari ke-7 diperiksa kembali sediaan darahnya dan dinyatakan gagal
pengobatan lini kedua.
- Dikatakan gagal pengobatan lini pertama/ kedua adalah bila ditemukan salah satu
kriteria berikut :
1. Jumlah parasit meningkat
2. Jumlah parasit sama dengan suhu axilla > 37,5 ‘C
3. Bila jumlah parasit sama atau meningkat dan disertai gejala malaria berat
(penderita harus dirawat dan diobati sebagai malaria berat).
Bila sediaan darah negatif tapi masih ada gejala maka diberi pengobatan
simtomatik.

 Malaria non falciparum (vivax/ ovale)


- Untuk daerah endemis tinggi, pengobatan dengan klorokuin 3 hari dan primakuin
0,25 mg/kgBB/ hari selama 5 hari
- Untuk daerah endemis rendah, pengobatan dengan klorokuin 3 hari dan primakuin
0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 6

2. PEDOMAN PENATALAKSANAAN KASUS MALARIA DI INDONESIA (DEPKES 2006)

1. Pengobatan malaria falsiparum

 Pengobatan lini pertama Artesunat + Amodiakuin + Primakuin

Obat kombinasi diberikan peroral selama 3 hari denosis tunggal harian sebagai
berikut : Artesunat 4 mg/kgBB dan Amodiakuin basa 10 mg/kgBB
Primakuin pada hari I dosis tunggal 0,75 mg/kgBB (tidak boleh diberikan pada bayi
< 1 tahun dan penderita defisiensi G6PD)

Pengobatan dikatakan efektif bila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian
obat ditemukan klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium
aseksual sejak hari ke-7.
Pengobatan tidak efektif bila dalam 28 hari setelah pemberian obat gejala klinis
memburuk dan parasit aseksual positif atau gejala klinis tidak memburuk tetapi
parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Dalam hal ini diperlukan pengobatan lini kedua.

 Pengobatan lini kedua Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin

Bila pengobatan lini pertama tidak efektif dimana ditemukan gejala klinis tidak
memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali
(rekrudesensi).
Kina peroral 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, selama 7 hari, Doksisiklin 2
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, selama 7 hari, tetrasiklin 16-20 mg/kgBB/hari dibagi 4
dosis, selama 7 hari (keduanya tidak diberikan untuk anak < 8 tahun. Primakuin 1
hari (pada hari I) dosis tunggal 0,75 mg/kgBB

 Pengobatan malaria falsiparum di sarana kesehatan tanpa tersedia obat artesunat


dan amodiakuin
Diberikan obat sulfadoksin-pirimetamin (SP) 25 mg/kg BB sulfadoksin atau 1-1,25
mg/ kgBB pirimetamin dosis tunggal dikombinasi dengan primakuin dosis tunggal
0,75 mg/kgBB
Bila gagal atau alergi SP maka diberikan regimen kina + doksisiklin/ tetrasiklin +
primakuin (seperti pedoman pengobatan lini kedua)

2. Pengobatan malaria vivaks, ovale, malariae.

 Malaria vivaks dan ovale Klorokuin + Primakuin

Pengobatan lini pertama


Diberikan klorokuin total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai
berikut : Hari I dan II 10 mg/kgBB, Hari III 5 mg/kgBB. Primakuin 0,25 mg/kgBB
per hari selama 14 hari.
Pengobatan efektif bila sampai hari ke-28 setelah pemberian obat, ditemukan klinis
sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari
ke-7. Pengobatan tidak efektif bila dalam 28 hari setelah pemberian obat gejala
klinis memburuk dan parasit aseksual positif atau gejala klinis tidak memburuk tetapi
parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali sebelum hari ke-14
(kemungkinan resisten) atau gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul
kembali antara hari ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau
infeksi baru)
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 7

 Pengobatan malaria vivaks resisten klorokuin

Pengobatan lini kedua Kina + Primakuin

Kina peroral 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, selama 7 hari, sedangkan Primakuin


0,25 mg/kgBB per hari selama 14 hari

 Pengobatan malaria vivaks relaps


Diberikan klorokuin total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai
berikut : Hari I dan II 10 mg/kgBB, Hari III 5 mg/kgBB
Primakuin 0,5 mg/kgBB per hari selama 14 hari.

 Pengobatan malaria malariae

Cukup diberikan klorokuin total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai
berikut : Hari I dan II 10 mg/kgBB, Hari III 5 mg/kgBB

3. Pengobatan malaria di fasilitas pelayanan kesehatan tanpa sarana diagnostik


malaria

Diberikan klorokuin total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai berikut :
Hari I dan II 10 mg/kgBB, Hari III 5 mg/kgBB
Primakuin 0,75 mg/kgBB pada hari pertamai.

2. PENGOBATAN MALARIA DENGAN KOMPLIKASI (MALARIA BERAT)

1. Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif:


 Pertahankan fungsi vital: sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
 Hindarkan trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
 Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap ½ jam. Awasi ikterus dan perdarahan
 Posisi tidur sesuai kebutuhan
 Perhatikan warna dan suhu kulit
 Cegah hiperpireksi
 Pemberian cairan: oral, sonde, infus
 Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam bila memungkinkan.
 Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptik kateterisasi
 Kebersihan kulit: mandikan tiap hari dan keringkan
 Perawatan mata: hindarkan trauma, tutup dengan kain kasa lembab
 Perawatan: hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin, letakkan kepala sedikit
rendah, posisi diubah cukup sering, pemberian cairan dan obat harus hati-hati

2. Penatalaksanaan kejang :
a) Diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB atau 0,5-1 mg/kgbb rektal 5 mg dengan dosis
optimal 10 mg/kali dan dapat diulangi tiap 5-15 menit.
b) Bila kejang tidak teratasi setelah 2 kali pemberian diazepam, berikan fenitoin dosis
inisial 10-15 mg/kgBB i.v dalam NaCl 0,9 % selama 20 menit/ perlahan, selanjutnya
5 mg/kgBB, 2 kali sehari.
c) Fenobarbital (bila tidak ada pilihan lain) i.m. 30-75 mg dilanjutkan oral 8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis rumat 4
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 8

3. Pemberian obat anti malaria :


a. Kina dihidroklorida. Cara pemberian kina dihidroklorida melalui infus, dosis 10
mg/kgbb/kali dilarutkan dalam 5-10 ml/kgBB infus garam fisiologis atau Dextrose
5% dan diberikan selama 4 jam, 3 kali sehari (tiap 8 jam) selama pasien belum
sadar (maksimal 3 hari). Apabila setelah 3 hari penderita masih belum sadar dan
pemasangan NGT memungkinkan maka berikan kina per oral hingga total IV + oral
selama 7 hari, tetapi apabila pasien telah sadar (walaupun belum 3 hari) kina segera
dilanjutkan per oral hingga total IV + oral selama 7 hari. Kalau tak dapat diberikan
i.v, maka dapat diberikan secara i.m. berupa kina HCl atau kina antipirin dengan
pengenceran 4x lipat menggunakan cairan garam faali (NaCl 0,9 %) pada paha kiri
dan kanan (jangan diberikan pada bokong). Untuk mencegah terjadinya hipotensi
postural, hindari sikap posisi tegak.
b. Artesunat loading dose 2,4 mg/kgBB bolus iv + menit, diulang setelah 12 jam
dengan dosis sama. Selanjutnya diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB iv, sekali
sehari sampai penderita mampu minum obat. Bisa juga diberikan secara intra
muskuler dengan dosis yang sama. Bila penderita sudah dapat minum obat, maka
dilanjutkan dengan regimen artesunat + amodiakuin + primakuin.
c. Artemeter loading dose 3,2 mg/kgBB intramuskuler. Selanjutnya diberikan dengan
dosis 1,6 mg/kgBB im, sekali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila
penderita sudah dapat minum obat, maka dilanjutkan dengan regimen artesunat +
amodiakuin + primakuin. Bila penderita sudah dapat minum obat, maka dilanjutkan
dengan regimen artesunat + amodiakuin + primakuin.

4. Mengatasi Anemia berat (Hb < 5)


WHO menganjurkan kadar hematokrit sebagai patokan anemia; kadar hematokrit <
15% merupakan indikasi pemberian transfusi darah (10 ml/kgbb packed red cells atau
20 ml/kgbb whole blood), disertai pemberian furosemid 1-2 mg/kgbb sampai maksimal
20 mg, dapat diberikan secara i.v. untuk mengurangi beban jantung. Jika tidak tersedia
pemeriksaan darah untuk HIV, lebih baik digunakan darah segar dari keluarga karena ini
dapat menurunkan risiko infeksi HIV. Kebutuhan total transfusi darah dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut : PRC ( packed red cells) : ∆ Hb X BB X 4
cc, WB (whole blood) : ∆ Hb X BB X 8 cc (∆ Hb = Selisih antara Hb yang diinginkan
setelah transfusi dan Hb sebelum transfusi)
5. Mengatasi Gagal ginjal
Pada semua penderita malaria berat sebaiknya kadar ureum dan kreatinin diperiksa 2-3
kali/minggu. Apabila pemeriksaan ureum dan kreatinin serum tidak memungkinkan,
maka dapat dipakai cara sederhana dengan mengukur produksi urin. Bila terjadi oliguria
(produksi urin < 1 ml/kgbb/jam) yang disertai dengan tanda klinik dehidrasi, maka
diberi cairan untuk rehidrasi dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah overload.
Observasi tanda-tanda vital, balans cairan, pemeriksaan auskultasi paru, central venous
pressure (CVP) dipertahankan pada tekanan 0-5 cm H2O. Bila terjadi anuria, yaitu tidak
ada produksi urin dalam 8 jam, diberi Furosemid 1 mg/kgbb/kali. Bila tidak ada respon
dapat diulang setelah 8 jam dengan dosis 3 mg/kgbb. Periksa kadar kreatinin dan
ureum serum karena mungkin telah terjadi GGA. Bila terjadi GGA maka dilakukan dialisis
peritoneal. Bila GGA disertai overload maka pemberian cairan harus dihentikan.

6. Mengatasi Edema paru akut


Anak ditidurkan setengah duduk, O2 konsentrasi tinggi, Furosemid 1 mg/kgBB/kali
intravena. Pemberian ventilator mekanik dapat dipertimbangkan bila terjadi gagal napas
dan fasilitas memungkinkan. Apabila edema paru disebabkan oleh pemberian cairan
intravena yang berlebihan, segera hentikan pemberian cairan intravena, berikan
furosemid 1 mg/kgBB/kali dan diulangi bila perlu.
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 9

7. Mengatasi Perdarahan
Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat dengan manifestasi perdarahan pada kulit
berupa petekia, purpura, hematom atau perdarahan hidung, gusi dan saluran
pencernaan. Pasien dapat diberi darah segar, fresh frozen plasma (berisi faktor
pembekuan), dan suspensi trombosit. Bila terdapat perpanjangan waktu protrombin dan
partial thromboplastin, dianjurkan pemberian vitamin K 10 mg perlahan-lahan

8. Mengatasi Hipoglikemia
Dalam menghadapi malaria berat, terutama pada anak yang mengalami penurunan
kesadaran perlu diberikan glukosa rumatan untuk mencegah hipoglikemia yang
disebabkan karena anak tidak bisa makan. Diberikan larutan rumatan Glukosa 5% atau
glukosa konsentrasi tinggi secara intermiten. Apabila terjadi hipoglikemia berikan
Glukosa 40% (2-4 ml/kgbb, dengan pengenceran 1:1) dilanjutkan dengan cairan
rumatan Glukosa 10% sambil dilakukan pemeriksaan kadar gula darah berkala atau
mempergunakan dextrostick. Pemantauan glukosa darah harus terus menerus dilakukan
bahkan setelah nampak perbaikan, sebab hipoglikemia dapat berulang.
9. Mengatasi Dehidrasi, gangguan asam basa dan elektrolit
Rehidrasi dengan garam fisiologis isotonis atau glukosa 5%, pasang CVP, bila sudah
terehidrasi tetapi jumlah urin tetap < 1 ml/kg/BB/jam maka diberikan furosemid 2
mg/kgBB, bersihkan jalan nafas,berikan oksigen 2-4 liter/menit. Kalau perlu koreksi
asidosis dan gangguan elektrolit. Untuk memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan napas,
beri Oksigen 2-4 liter/menit, dan apabila diperlukan dapat dipasang ventilator mekanik
sebagai penunjang

10. Mengatasi Gangguan sirkulasi (syok)


Hipovolemia dikoreksi dengan pemberian cairan yang tepat. Rehidrasi dengan cairan
Ringer Laktat sebanyak 10-20 mg/kgbb secepatnya sampai nadi teraba. Bila nadi belum
teraba dalam 20 menit, ulangi loading dose. Bila sesudah 2 kali loading dose nadi belum
teraba, berikan loading dose dengan plasma expander 20 ml/kgbb secepatnya. Bila syok
belum teratasi, berikan Dopamin 3-5 mcg/kgbb/menit. Bila nadi sudah teraba,
dilanjutkan dengan pemberian rehidrasi dengan cairan Ringer Laktat sesuai dengan
keadaan pasien. Periksa nadi, tekanan darah dan pernapasan setiap 20 menit. Bila
memungkinkan monitor dengan CVP, tekanan dipertahankan antara 5-8 cm H2O. Kadar
gula darah diperiksa periodik. Bila ada kecurigaan septikemia, lakukan biakan darah dan
uji sensitivitas dan segera berikan antibiotika spektrum luas

11.Penanganan Hiperpireksia
Segera beri kompres hangat dan antipiretik Paracetamol dosis inisial 20 mg/kgBB, diikuti
15 mg/kgBB tiap 4-6 jam sampai panas turun < 40o C, selanjutnya dosis 10 mg/kgBB.

3. PENCEGAHAN

 Pemakaian obat anti malaria :


Semua anak dari daerah non endemis malaria bila masuk ke daerah endemis malaria,
maka 2 minggu sebelumnya sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah tersebut tiap
minggu diberikan obat anti malaria salah satu diantara yang tersebut dibawah ini :
a. Doksisiklin 2 mg/kgBB setiap hari selama tidak lebih dari 4-6 minggu
b. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (maksimal 300mg basa) sekali seminggu

 Menghindari gigitan nyamuk


a. Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk
b. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 10

 Vaksin malaria :
Adanya bermacam stadium pada perjalanan penyakit malaria menyulitkan
pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin,
yaitu :
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit (sporozoit, merozoit, gametosit).
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan.

VIII. PROGNOSIS

 Malaria tersiana (P.vivax) prognosis umumnya baik, tidak menyebabkan kematian,


walaupun bila tidak diobati infeksi dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama
karena mempunyai sifat relaps.
 Malaria tropika (P. falciparum) tanpa penyulit dapat berlangsung sampai 1 tahun.
 Malaria tropika (P.falciparum) prognosis buruk bila disertai komplikasi dan tidak
ditanggulangi secara cepat, terutama pada penderita dengan gizi buruk.
 Indikator prognosis buruk secara klinis dan laboratorium menurut WHO :

o Umur < 3 tahun


o Koma berat
o Kejang berulang
o Refleks kornea negatif
o Deserebrasi
o Dijumpai disfungsi organ( gagal ginjal,edema paru)
o Perdarahan retina
o Hiperparasitemia (> 250.000/ml atau > 5%)
o Skizontemia dalam darah perifer
o Leukositosis
o PCV < 20 %
o Hb < 7,1 gr/dl
o Glukosa darah < 40 mg/dl
o Ureum > 60 mg/dl
o Kretainin > 3,0 mg/dl
o Glukosa liquor serebrospinal rendah
o Laktat liquor serebrospinal meningkat
o SGOT meningkat > 3 kali batas normal
o Antitrombin rendah

Tabel 1.1. Daftar obat malaria

No Nama Obat Kandungan /sediaan obat


1. Artesunat 1 tablet mengandung 50 mg sodium artesunat,
60 mg sod.artesunat dalam 1 ml larutan injeksi.
2. Amodiakuin 1 tablet mengandung 153,1 mg basa klorohidrat.
3. Klorokuin 1 tablet mengandung 250 mg klorokuin garam = 150 mg basa
4. Kina 1 tablet mengandung 200 mg kina garam,
1 ml kina HCl 25% mengandung 250 mg basa.
5. Primakuin 1 tablet mengandung 15 mg primakuin basa
6. Sulfadoksin- 1 tablet mengandung 500 mg Sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin.
Pirimetamin.
7. Artemeter 1 ml mengandung 80 mg artemeter

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 11

2. DEMAM BERDARAH DENGUE


I. BATASAN

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan
oleh nfeksi virus dengue. Infeksi virus ini pada manusia mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah dengue
disertai shok (dengue shock syndrome = DSS).

II. ETIOLOGI

 Virus dengue termasuk grup B Arthropod Borne Virus (arboviruses), genus vlavivirus,
famili flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4,
melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan anti bodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain.Serotipe den-3
merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti
serotipe den-2.
 Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologous
infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang
setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus
dengue serotipe lain dan dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.

III. GEJALA KLINIS

 Demam dengue ( dengue fever )


 Masa tunas berkisar antara 3 – 5 hari ( pada umumnya 5 – 8 hari ).
 Awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri
berbagai bagian tubuh, anoreksi, rasa menggigil, dan malaise.
 Dijumpai sindrom trias, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya
ruam ( rash ).
 Ruam timbul pada 6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3
– 5 berlangsung 3 – 4 hari. Ruam bersifat mokulopapular yang menghilang pada
tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar keanggota gerak dan
muka.
 Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman didaerah
epigastrium disertai nyeri kolik sering ditemukan.
 Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indera pengecap.
 Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobi, keringat yang bercucuran, suara
serak, batuk, epistaksis dan disuria.
 Demam menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat.
 Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67 – 77 % kasus.

2. Demam berdarah dengue


 Ditandai oleh 4 manifestasi klinis yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan
kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah ( circulatory failure ).
 Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
demam berdarah dengue dari demam dengue ialah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 12

 Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar dan perdarahan pada
tempat pengambilan darah vena. Petekie halus yang tersebar dianggota gerak, muka
dan aksila, seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa
perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang
dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan
biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti
perdarahan subkonjungvital kadang-kadang ditemukan. Pada masa konfalesen seringkali
ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki

Demam Dengue Demam Berdarah Dengue


Gejala Klinis
(DD) (DBD)
++ Nyeri kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri otot +
++ Ruam kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji tourniquet positif ++
++++ Petekie +++
0 Perdarahan saluran cerna +
++ +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++
Keterangan : + : 25% ++ : 50% +++ : 75% ++++ : 100%
Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue

3. Dengue Shock Syndrome (DDS)


 Pada demam berdarah dengue disertai syok, setelah demam berlangsung selama
beberapa hari, keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat
atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3 – 7. Hal ini dapat
diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis ( the immonological
enhancement hypothesis).
 Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba
lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah. Anak tampak
lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri
didaerah perut sesaat sebelum syok.
 Nyeri daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya
perdarahan gastrointestinal yang hebat.
 Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
 Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lemah, cepat, kecil sampai tidak
dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan
sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 13

 Syok harus segera diobati karena apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat,
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang
tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan
gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan yang
tepat ( termasuk kasus syok berat ) segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/ PENUNJANG DIAGNOSIS

 Pemeriksaan darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, trombosit,
hematokrit.
 Pada pemeriksaan darah perifer juga dapat dinilai kadar limfosit biru. Peningkatan 15 %
menunjang diagnosis DBD
 Pemeriksaan X- photo dada dilakukan atas indikasi : (1) dalam keadaan ragu-ragu,
namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40
%, (2) pemantauan klinis sebagai sebagai pedoman pemberian cairan.
 Kelainan radiologi dapat berupa dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan dan efusi pleura.

Hari Jenis Pemeriksaan Catatan/ Interpretasi


demam
1-2 HEMATOLOGI :  Biasanya Normal
 Hemoglobin (Hb)
 Hematokrit (Ht)
 Hitung Lekosit
 Hitung Trombosit

3 HEMATOLOGI :
 Hemoglobin (Hb) - Hemoglobin meningkat
 Hematokrit (Ht) - Hemokonsentrasi (peningkatan Ht 20% dari asal)
Ht/Hb ≥ 3,5 dipertimbangkan DBD*
 Hitung Lekosit - Leukopenia
- Limfositosis relatif ( > 45 % dari total leko)
- Limfosit plasma biru
(>15% dari total leuko / >4% dari total limfosit)
 Hitung Trombosit Trombositopeni(< 100.000/L)/ penurunan serial
Trombosit < 2/100 eri/LPB
(min dilihat 10 lapang pandang)

4-7 HEMATOLOGI
 Hb  Waspadai DIC
 Ht (PT>,APTT>,D-Dimer +, atau Fibrin Monomer +,
 Hitung leukosit Fibrinogen <)
 Hitung trombosit  Indikasi pemberian darah :
 Hapus darah tepi -FFP : perdarahan masif, APTT>1,5 x N
-Trombosit : bila perdarahan masif

KIMIA  SGOT/SGPT ↑ , allbumin ↓,
 AGD (syok> : asidosis metabolik)
 Ureum  , kreatinin  (acute tubular necrosis)
8-10 HEMATOLOGI :  Normal fase penyembuhan
 Hemoglobin (Hb)
 Hematokrit (Ht)
 Hitung Lekosit
 Hitung Trombosit

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 14

V. DIAGNOSIS
Patokan diagnosis DBD ( WHO, 1975 ) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
 Klinis
Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari.
1. Manifestasi perdarahan, termasuk sekurangnya uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain ( petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi ),
hematenesis dan atau melena.
2. Pembesaran hati.
3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun
(menjadi 20 mmHg atau kurang ), tekanan daran menurun (tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau kurang ), disertai kulit yang teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki pasien menjadi gelisah, dan
timbul sianosis disekitar mulut.

 Laboratorium
- Trombositopenia (100.000/ul atau kurang)
- Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hematokrit 20% atau
lebih dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa
konvaselen.
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD.

WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat :


 Derajat I : Demam disertai dengan gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet positif.
 Derajat II : Derajat I disertai pendarahan spontan dikulit dan atau perdarahan lain.
 Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,tekanan
nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab,dan pasien
menjadi gelisah.
 Derajat IV Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak dapat
diukur.
DBD derajat III dan IV disebut Dengue Shock Syndrome (DSS)

Indikasi rawat inap :


1. DBD derajat II, III dan IV
2. DBD derajat I dengan muntah hebat, dehidrasi, hiperpireksia, kejang dan kesadaran
menurun

VI. PENATALAKSANAAN

 Pada dasarnya pengobatan demam berdarah dengue bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai
akibat perdarahan
 Pasien demam dengue dapat berobat jalan sedangkan pasien demam berdarah dengue
(DBD) dirawat diruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif.
 Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang
terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank
darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
 Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di puskesmas rumah sakit tipe
D, C dan ruang rawat sehari dirumah sakit B dan A.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 15

 Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian Parasetamol bukan Aspirin.


 Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid,
antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
 Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila didapatkan perdarahan saluran
cerna kortikosteroid tidak diberikan.
 Antibiotika dapat diberikan pada DBD dengan ensefalopati.

1. Tatalaksana kasus tersangka DBD

Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak
Ada kedaruratan Terus menerus < 7 hr Tidak ada kedaruratan
Tdk disertai ISPA
badan lemah & lesu
Tanda syok Periksa uji bendung
Muntah terus menerus
Kejang RL (+) RL (-)
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah/hitam RAWAT JALAN
Periksa
trombosit
-Parasetamol
-Kontrol tiap
hari sampai
Trombosit Trombosit demam turun
RAWAT INAP < 100.000/µl > 100.000/µl
(Lihat bagan 2)
RAWAT JALAN Nilai tanda klinis,periksa
Minum banyak 1,5 – 2 L/hr trombosit & Ht bl demam
Parasetamol menetap stsd hr skt ke-3
Kontrol tiap hari sampai demam 
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap hari Perhatian untuk orang tua
Pesan bila timbul tanda syok:
Anak segera bawa ke RS gelisah, lemah, kaki/tangan dingin,
nyeri perut, berak hitam, BAK ,
Hb & Ht  trombosit 

Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 16

2. Tatalaksana kasus DBD derajat I

DBD I/II tanpa peningkatan Ht


Gejala klinis : demam 2-7 hr
RL (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium : hematokrit tidak 
trombositopenia ringan

Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minum


- Beri minum banyak 1-2 L/hr Pasien muntah terus menerus
atau 1 sd mkn tiap 5 mnt
- Jenis minuman: air putih, teh
manis sirup, jus buah, susu,
Pasang infus NS:DSW 1:3 tetesan rumatan ~ BB
oralit
Periksa Hb, Ht,trombosit tiap 6-12 jam
- Bila suhu > 38,5oC beri Parasetamol
- Bila kejang beri obat anti konvulsif

Ht 
Monitor gejala klinis dan laboratorium
- Perhatikan tanda syok
- Palpasi hati setiap hari
- Ukur diuresis setiap hari Infus ganti Ringer laktat
(lihat Bagan 3)
- Periksa Hb, Ht, tiap 6 j, trombosit tiap 12 jam

Perbaikan klinis dan laboratoris PULANG


(lihat : Kriteria memulangkan pasien)

Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan derajat II

Catatan :
Kriteria memulangkan pasien :
 Tidak terjadi demam selama 24 jam tanpa antipiretik
 Nafsu makan membaik
 Tampak perbaikan klinis
 Hematokrit stabil
 3 hari setelah syok teratasi
 Trombosit > 50.000/µl dan cenderung meningkat
 Tidak terdapat distres pernafasan

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 17

3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi ≥ 20%

DBD derajat I dg Ht  > 20%


Cairan awal RL/RA/NS :
BB < 15 kg : 6-7 ml/kg BB/jam
BB 15-40 kg: 5 ml/kg BB/jam
BB > 40 kg : 3-4 ml/kg BB/jam
Pantau tanda vital/nilai Ht & trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan

Tidak gelisah Gelisah


Nadi kuat, Tekanan darah stabil Distres pernafasan
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Frekuensi nadi 
Ht turun 2 x pemeriksaan Ht tetap tinggi /
Diuresis kurang/tidak ada
Tetesan dikurangi Tanda vital memburuk
Ht  Masuk ke protokol Syok
5 ml/kgBB/jam

Perbaikan

Sesuaikan tetesan

3 ml/kgBB/jam

IVFD stop setelah 24-48 j


Bila tanda vital/Ht stabil
diuresis cukup

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi ≥ 20%

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 18

4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV

Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 19

VII. PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN


 Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada :
1. Upaya preventif,yaitu melaksanakan penyemprotan massal sebelum musim penularan
penyakit di desa/ kelurahan endemis DBD, yang merupakan pusat-pusat penyebaran
penyakit ke wilayah lainnya,
2. Strategi ini diperkuat dengan menggalakkan pembinaan peran serta masyarakat
dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN),
3. Melaksanakan penanggulangan fokus di rumah pasien dan disekitar tempat
tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB), dan
4. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media untuk
membasmi nyamuk dan sarangnya dengan melakukan 3 M yaitu menguras
penampungan air secara teratur, menutup rapat-rapat tempat penampungan air dan
mengubur/ menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air. Kewajiban
pelaporan kasus/tersangka dalam tempo 24 jam ke Dinkes Dati II/ Puskesmas
tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih
lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulani sedini mungkin.
 Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/Dinkes Dati II yang bersangkutan, dapat
dengan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan sekitar tempat tinggal kasus
untuk melihat kemungkinan resiko penularan.
 Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan
DBD, maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-langkah upaya
penaggulangan berupa
1. Foging fokus,
2. Abatisasi selektif. Tujuan abatisasi ialah membunuh larva dengan butir-butir abate
sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per
million), yaitu 10 gram meter 100 liter air,
 Menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN.

VIII. PROGNOSIS

 Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada keterampilan para dokter untuk
mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu ( fase Kritis, fase
syok ) dengan baik.
 Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini fase
kritis, yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi,
dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis.
 Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang
dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit.
Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 20

2. DEMAM TIFOID
I. BATASAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi.

II. ETIOLOGI

90 % kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh S.
paratyphi. Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai antigen somatik (O),
flagelar antigen (H) dan envelope antigen (K). Kuman masuk tubuh melalui mulut bersama
dengan makanan atau minuman yang tercemar.

III. GEJALA KLINIS.

 Gejala klinis demam typhoid pada anak bervariasi, dari ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai yang berat sehingga harus dirawat di rumah sakit.
 Masa inkubasi antara 5 hingga 40 hari (rata-rata 10-14 hari).
 Demam selalu ditemukan pada awal penyakit dan pada kasus yang khas diistilahkan
sebagai ‘step ladder temperature chart’ yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam harinya. Demam mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, bertahan tinggi hingga minggu ke 3-4, baru kemudian
berangsur-angsur turun. Gejala sistemik lain yang menyertai demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan.
 Gejala sistem saraf pusat biasanya timbul pada saat demam sudah tinggi, diantaranya
adalah kesadaran yang berkabut, mengigau (delirium) atau terjadi penurunan kesadaran
dari apatis sampai koma.
 Gejala gastrointestinal juga bervariasi, sebagian mengalami obstipasi kemudian disusul
episode diare, disertai meteorismus dan hepatomegali. Pada sebagian penderita lidah
tampak kotor dengan warna putih di tengah sedangkan tepi dan ujungnya kemerahan.
 Bradikardia relatif jarang dijumpai pada anak.
 Pada kasus yang berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/ PENUNJANG DIAGNOSIS.

 Pada pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan lekopenia atau lekositosis, anemia,
aneosinofilia, trombositopenia ringan atau limfositosis relatif.
 Uji serologi Widal untuk memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O) dan
flagela (H).
 Pemeriksaan biakan darah, urin, feses dan sumsum tulang dengan media empedu ( gall
culture) untuk menemukan adanya bakteri Salmonella typhi.

V. DIAGNOSIS.

 Diagnosis tersangka demam tifoid dapat dibuat bila dijumpai adanya gejala klinis berupa
demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan
kesadaran.
 Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam
darah, urin, feses atau sumsum tulang.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 21

 Gabungan gejala klinis dan uji serologi Widal yang bermakna membantu diagnosis. Hasil
uji Widal dianggap positif bila didapatkan titer O aglutinin sekali periksa > 1/200, atau
pada pemeriksaan titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali.
 Diagnosis banding : Influenza, gastroenteritis, bronkitis, bronkopneumonia, tuberkulosis,
infeksi jamur sistemik, malaria, campak, meningitis, demam berdarah dengue. Demam
tifoid berat : sepsis, leukemia, limfoma.

VI. KOMPLIKASI

 Intraintestinal : Perforasi usus halus (0,5-3%) dan perdarahan usus (1-10%) biasanya
terjadi pada minggu ketiga sakit, ditandai dengan penurunan suhu, nyeri abdomen,
nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang, defance musculaire
dan pekak hati menghilang.
 Ekstraintestinal :
1. Tifoid ensefalopati yang disertai kelainan neuropsikiatri, misalnya disorientasi,
delirium, stupor bahkan koma yang sering dikaitkan dengan prognosis buruk.
2. Penyakit neurologi lain adalah trombosis serebral, afasia, neuritis, meningitis,
ensefalomielitis.
3. Miokarditis dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada
pemeriksaan EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.
4. Hepatitis tifosa asimtomatis dengan peningkatan transaminase tidak terlalu tinggi.
5. Pneumonia, baik oleh bakteri Salmonella typhi maupun akibat bakteri lain.
6. Komplikasi lainnya : Sistitis, pielonefritis, glomerulonefritis.

VII. PENATALAKSANAAN

 Pengobatan suportif
- Perawatan dengan tirah baring. Bila sudah 3 hari bebas demam, penderita bisa duduk,
hari besoknya berdiri, kemudian mobilisasi bertahap.
- Isolasi yang memadai.
- Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi. Makanan lunak, mudah dicerna,
tinggi kalori dan protein, sebaiknya tidak mengandung banyak serat dan bahan-bahan
yang merangsang usus serta menimbulkan banyak gas.
 Farmakologis
- Drug of choice : Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari, iv/ peroral, 3 kali sehari selama
10-14 hari
- Alternatif lain :
1. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, 3 kali sehari selama 10 hari
2. Kotrimoksasol 8-10 mg (TMP)/kgBB/hari, 2-3 kali sehari selama 10 hari
3. Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, intravena/intramuskular,1x sehari selama 5 hari.
4. Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, 2 kali sehari selama 10 hari.
 Pencegahan
1. Kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan.
Memutus rantai penularan oro-fekal, misalnya dengan membiasakan mencuci tangan
sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.
2. Imunisasi
- Imunisasi aktif terutama diberikan apabila terjadi kontak dengan pasien demam
tifoid, terjadi kejadia luar biasa (KLB) dan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik
- Vaksin polisakarida (misalnya Typhim Vi) diberikan pada usia 2 tahun atau lebih,
intramuskuler dan diulang setiap 3 tahun.
- Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia > 6 tahun dengan interval selang
sehari (hari 1,3,5) diulang setiap 3-5 tahun.
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 22

3. CAMPAK
I. BATASAN.

Campak adalah penyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh infeksi virus, ditandai
adanya 3 stadium gejala klinis yaitu stadium prodromal, stadium erupsi dan stadium
konvalesensi (penyembuhan).

II. ETIOLOGI.

Virus campak termasuk golongan paramyxovirus. Penularannya sangat efektif (secara


droplet melalui udara), dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi
pada seseorang.

III. GEJALA KLINIS.

 Masa inkubasi berkisar antara 12-14 hari.


 Pada stadium prodromal (berlangsung 3-5 hari) terjadi keradangan selaput lendir
hidung, mata, mulut, tenggorokan dan saluran pencernaan sehingga terjadi gejala
panas, malaise, batuk, pilek, mata merah dan diare. Menjelang akhir stadium prodromal
timbul bercak koplik yang patognomonik untuk penyakit campak tapi sangat jarang
dijumpai.
 Pada stadium erupsi (berlangsung 2-3 hari) bersamaan dengan meningkatnya suhu
tubuh, timbul ruam makulopapular mulai di perbatasan rambut dan kulit di bagian
belakang telinga kemudian menyebar ke dahi, muka, leher, dada, tubuh dan
ekstremitas. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di
daerah leher bagian belakang.
 Pada stadium konvalesensi (penyembuhan) gejala klinis berkurang, suhu tubuh
menurun sampai menjadi normal kecuali bila terjadi komplikasi. Ruam menghitam
(hiperpigmentasi) dan mengelupas yang menghilang setelah 1-2 minggu.
Hiperpigmentasi ini juga merupakan gejala patognomonik untuk penyakit campak.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/ PENUNJANG DIAGNOSIS.

 Pada pemeriksaan darah tepi bisa didapatkan limfositosis dan leukopenia. Dapat terjadi
lekositosis bila ada komplikasi infeksi bakteri.
 Pemeriksaan untuk komplikasi : cairan serebrospinalis, elektrolit darah (ensefalopati),
feses lengkap (enteritis) dan x- foto dada (bronkopneumonia).

V. DIAGNOSIS.

 Diagnosis campak ditegakkan secara klinis.


 Campak dapat bermanifestasi tidak khas (disebut campak atipikal). Campak juga harus
dibedakan dengan semua penyakit yang disertai ruam kulit, seperti rubela, demam
skarlatina, ruam akibat obat-obatan, infeksi virus entero, eksantema subitum dan infeksi
stafilokokus.

VI. KOMPLIKASI/ PENYULIT

Campak dapat menjadi berat pada penderita dengan gizi buruk dan anak berumur lebih
kecil.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 23

 Bronkopneumonia.
Dapat disebabkan oleh virus campak maupun oleh invasi bakteri. Pada saat suhu
menurun, gejala pneumonia karena virus akan menghilang, kecuali batuk yang masih
berlanjut sampai beberapa hari lagi.Bila suhu tidak menurun pada saat yang diharapkan
dan sesak masih berlangsung terus, dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri
yang telah mengadakan invasi sel epitel yang telah dirusak oleh virus.
 Laringitis akut.
Dapat timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran napas termasuk daerah
laring dan membaik ketika suhu tubuh sudah menurun.
 Kejang demam.
Bila terjadi umumnya pada puncak demam saat ruam keluar.
 Ensefalitis.
Dapat terjadi melalui mekanisme imunologis maupun melalui invasi langsung virus
campak kedalam otak.
 Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)
Proses degenerasi susunan saraf pusat disebabkan infeksi virus yang menetap, dengan
gejala karakteristik berupa deteriorasi tingkah lakudan intelektual, diikuti kejang.
 Otitis media akuta.
Terjadi akibat invasi virus kedalam telinga tengah. Bila terjadi invasi bakteri pada lapisan
sel mukosa yang rusak karena invasi virus, maka akan terjadi otitis media purulenta.
 Diare dapat diikuti dengan dehidrasi.

VII. PENATALAKSANAAN

 Bila tanpa disertai komplikasi/ penyulit, penderita campak dapat berobat jalan dan harus
diberikan cukup cairan dan kalori. Pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian
antipiretik, antitusif, ekspektoran dan anti konvulsan bila diperlukan.
 Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu diatas 39o C), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit, atau adanya komplikasi.
 Pada campak yang disertai komplikasi/ penyulit :
- Penderita perlu dirawat di bangsal isolasi.
- Tirah baring di tempat tidur
- Perbaiki keadaan umum penderita dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan
memberikan diit yang memadai, kalori yang cukup, kalau perlu infus.
- Pada penderita malnutrisi perlu diberikan vitamin A 100.000 IU intramuskuler,
dilanjutkan dengan vitamin A per oral 1500 IU setiap hari.
- Mengatasi komplikasi/ penyulit yang timbul.
1. Ensefalopati :
- Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dan Ampisilin 100 mg/kgBB/hari selama 7- 10
hari
- Kortikosteroid : deksametason 1 mg/kgBB/hari (dosis awal) dilanjutkan dengan
0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis sampai kesadaran membaik. Dilakukan
tappering off bila pemberian lebih dari 5 hari)
- Kebutuhan cairan hanya ¾ kebutuhan cairan yang seharusnya serta dilakukan
koreksi elektrolit.
2. Bronkopneumonia :
- Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dan Ampisilin 100 mg/kgBB/hari selama 7- 10
hari
- Oksigen 2 liter/ menit

 Pencegahan
Dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berusia 9 bulan.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 24

4. TETANUS

I. BATASAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) dan kejang tanpa
disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin (tetanospasmin) kuman Clostridium
tetani.
Secara praktis tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi :
 Tetanus berat, bila kekakuan otot dan kejang sering terjadi secara spontan.
 Tetanus sedang, bila terjadi kekakuan otot tanpa disertai kejang spontan tapi masih
dijumpai kejang bila dirangsang.
 Tetanus ringan, bila kekakuan yang tampak jelas hanya pada otot mengunyah tanpa
disertai kejang.

II. ETIOLOGI

Clostridium tetani merupakan basil gram positif, obigat anaerob, menghasilkan eksotoksin
yang kuat dan membentuk spora yang mampu bertahan pada suhu tinggi, kekeringan dan
desinfektan.

III. GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

 Adanya luka terutama yang kotor (luka tusuk/ iris/ bakar, otitis media purulenta, dll).
 Masa inkubasi berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa inkubasi gejala yang timbul
makin ringan.
 Kekakuan dimulai dari otot setempat terutama otot mengunyah kemudian menjalar ke
seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.
 Kekakuan tetanus sangat khas yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki,
fleksi telapak kaki, tubuh kaku melengkung seperti busur.
 Pada pemeriksaan didapatkan trismus (sukar membuka mulut), risus sardonikus (dahi
mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah), opistotonus
(kekakuan otot yang menunjang tubuh), dinding perut keras seperti papan akibat
kekakuan otot dinding perut. Pada neonatus kekakuan otot mengunyah menyebabkan
mulut ‘mecucu’ seperti mulut ikan sehingga tidak dapat menetek.
 Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang umum baik akibat rangsangan (misalnya
dicubit, digerakkan secara kasar, terkena sinar yang kuat) ataupun timbul secara
spontan. Pada akhirnya penderita bisa jatuh dalam status konvulsivus.
 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang yang terus
menerus atau karena spasme otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan
kematian.
 Pengaruh toksin pada saraf otonom dapat menyebabkan gangguan sirkulasi, suhu
badan meningkat tinggi atau berkeringat banyak, kekakuan otot sfingter dan otot polos
lain sehingga terjadi retentio alvi, retentio urinae atau spasme laring, patah tulang
panjang dan kompresi tulang belakang.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/ PENUNJANG DIAGNOSIS.

 Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, cairan serebrospinal normal.


 Jumlah leukosit biasanya normal atau meningkat sedikit
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk menemukan kuman anaerob yang selain
mahal, hasil biakan positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 25

V. DIAGNOSIS.

 Diagnosis tetanus dibuat atas dasar anamnesis dan gejala klinis.


 Pada kasus yang tidak jelas perlu dipikirkan diagnosis banding, diantaranya :
- Meningingitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiganya tidak dijumpai
trismus dan risus sardonikus serta didapatkan gangguan kesadaran dan kelainan
cairan serebrospinal.
- Tetani. Disebabkan oleh karena hipokalsemia, secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
- Keracunan strichnin. Akibat minum tonikum yang terlalu banyak (pada anak).
- Rabies. Dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis diketahui pernah digigit binatang pada waktu epidemi.
- Mastoiditis, otitis media supuratif kronika, abses tonsilar. Trismus terjadi
karena proses lokal dan biasanya asimetris.
- Sepsis, meningitis, dehidrasi, trauma persalinan perlu dipikirkan sebagai
diagnosis banding tetanus neonatorum.

VI. KOMPLIKASI/ PENYULIT

 Sepsis
 Bronkopneumonia
 Spasme otot laring dan otot jalan napas
 Aspirasi lendir/ makanan/ minuman
 Fraktur kompresi tulang belakang

VI. PENATALAKSANAAN

 Mengatasi Kejang

Diazepam
 
Neonatus Anak
• Bolus diazepam 5 mg Bolus diazepam 10 mg
• Dilanjutkan dosis • Dilanjutkan dosis
90-120 mg/hari 120-240 mg/hari,
selalu dianggap tergantung tingkat
tetanus berat berat penyakit
• Bila dng dosis 40 mg/kg/hari • Bila perlu dpt
msh kejang, sebaiknya diberikan lbh tinggi
dirawat secara intensif atau dilakukan
pernafasan mekanik pelumpuhan/kurari-
sasi, pernaf dng ven-
tilasi mekanik
• Dipertahankan selama
5 hari, sblm dikan
20% setiap 3 hari 
oral

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi



Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 26

 Perawatan suportif.
1. Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional :
- Perawatan isolasi ditempat yang tenang
- Minimal handling untuk mengurangi rangsangan kejang
- Jumlah dan jenis cairan intravena disesuaikan dengan keadaan penderita
2. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, bila trismus berat bisa dipasang sonde
nasogastrik.
3. Menjaga agar pernapasan tetap efisien :
- Pembersihan saluran napas dari lendir secara berkala secara hati-hati untuk
menghindari aspirasi
- Kalau perlu dilakukan trakeostomi (pada tetanus berat)
4. Memberikan tambahan oksigen.

 Eliminasi kuman :
1. Debridement luka : untuk menghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang
jaringan yang rusak, membuang benda asing dan memberikan H2O2, merawat luka/
infeksi umbilikus, membersihkan liang telinga serta mengobati otitis media (kalau
perlu konsultasi dengan bagian THT)
2. Antibiotika : Penisilin prokain 50.000 IU/kg BB/ kali intramuskuler, tiap 12 jam
selama 7-10 hari. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromsin atau
linkomisin. Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.

 Netralisasi toksin :
- Toksin yang dapat dinetralisasi adalah toksin yang bwelum melekat di jaringan.
- Dapat diberikan ATS 5.000 – 10.000 IU intramuskular atau HTIG (Human Tetanus
Imune Globulin) 500 - 3000 IU. Pada penderita anak dapat disertai imunisasi aktif DT
setelah anak pulang dari rumah sakit.

 Pencegahan :
1. Perawatan luka segera dilakukan untuk mencegah timbulnya jaringan anaerob
2. ATS profilaksis (hanya efektif untuk luka yang terjadi kurang dari 6 jam) dilanjutkan
dengan imunisasi aktif.
3. Imunisasi aktif dengan DPT, DT atau TT
4. Kebersihan pada waktu persalinan

VII. PROGNOSIS

• Makin pendek masa inkubasi, makin jelek prognosanya


• Makin pendek period of onset, makin jelek prognosanya
• Letak, macam luka dan luasnya kerusakan jaringan mempengaruhi prognosis
• Tetanus neonatorum mempunyai prognosa jelek dan harus dianggap tetanus berat
• Prognosis juga ditentukan oleh tingkat kekebalan penderita

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 27

5. INFEKSI HIV/ AIDS

I. DEFINISI

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut mempunyai reseptor
spesifik CD 4, merusak system kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau
hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.

II. ETIOLOGI

 Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA, memiliki sifat khas
karena memiliki enzyme reverse transcriptase.

 Perjalanan penyakit : Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan
sebagai berikut : Infeksi virus (2-3 minggu)  sindrom retroviral akut (2-3 minggu) 
gejala menghilang + serokonversi  infeksi kronis  HIV- asimtomatik (3 – 10 tahun,
rata-rata 8 tahun)  infeksi HIV/AIDS simtomatik (rata-rata 1,3 tahun)  kematian.

III. GEJALA KLINIS

Gejala klinis infeksi virus HIV terbagi atas 4 kategori klinis, yaitu :

1. Kategori N : Tidak ada gejala. Termasuk dalam kategori ini adalah anak yang tidak
mempunyai gejala dan tanda sebagai akibat infeksi HIV atau hanya mempunyai satu
keadaan yang terdapat pada kategori A

2. Kategori A : Gejala ringan. Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan 2 atau
lebih kriteria dibawah ini tetapi tidak menunjukkan adanya kondisi yang tertera pada
kategori B dan C:
- Limfadenopati (> 0,5 cm) atau lebih pada 2 lokasi (bilateral = satu lokasi)
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Dermatitis
- Parotitis
- Infeksi pernafasan bagian atas menetap atau berulang, sinusitis, atau otitis media

3. Kategori B : Gejala sedang.Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan gejala
selain daripada yang tertera pada kategori A dan C yang menunjukkan adanya infeksi
HIV.Contoh kondisi kategori B adalah sebagai berikut :
- Anemia (Hb < 8 g/dl), neutropenia (< 1000/mm3), atau trombositopenia (,<
100.000/mm3) menetap > 30 hari
- Meningitis bakterial, pneumonia atau sepsis (episode tunggal)
- Kandidiasis orofaringeal yang menetap (> 2 bulan ) pada anak > 6 bulan
- Kardiomiopati
- Infeksi virus sitomegalo yang muncul sebelum usia 1 bulan
- Diare kronik atau berulang
- Hepatitis
- Stomatitis virus herpes simpleks berulang (lebih dari 2 episod dalam 1 tahun)
- Bronkitis,pneumonitis atau esofagitis HSV yang timbul sebelum umur 1 bulan
- Terserang herpes zoster sampai 2 kali atau menyerang lebih dari 1 dermatom
- Leiomiosarkoma
Divisi PenyakitTropik dan Infeksi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 28

- Pneumonia interstitial limfoid atau pulmonary lymphoid hyperplasia complex


- Nefropati
- Nokardiosis
- Demam lebih dari 1 bulan
- Toksoplasmosis yang muncul sebelum umur 1 bulan
- Varisela berat

 Kategori C : Gejala berat.


Anak yang menunjukkan gejala seperti yang tertera pada definisi kasus HIV, dengan
kekecualian pneumonia intertitial limfoid (masuk kategori B)

Kategori E :
 Anak yang lahir dari ibu HIV (+)
 Status infeksi HIV belum diketahui

Kategori imunologi berdasar umur,CD4 dan persentasinya

Kategori Imun < 12 bulan 1 – 5 tahun 6 – 12 tahun


No/Mm3 (%) No/Mm3 (%) No/Mm3 (%)

Kategori 1 : tak ada > 1500 > 25 > 1000 > 25 > 500 > 25
suppresi
Kategori 2 : suppresi 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24
sedang
Kategori 3 : suppresi < 750 < 15 < 500 < 15 < 200 < 15
berat

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM/ PENUNJANG

Bagan alur pemeriksaan laboratorium Infeksi-HIV untuk anak lihat lampiran 1


Pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan dasar, yaitu :
- Darah lengkap
- Urinalisis
- Faeces lengkap
- Tes fungsi hati
- Tes fungsi ginjal

V. DIAGNOSIS

Dugaan terhadap infeksi HIV dapat didasarkan atas salah satu temuan klinis atau faktor resiko
yang diketahui mempunyai kaitan erat dengan infeksi HIV.Diagnosis infeksi HIV harus
didasarkan atas pemeriksaan laboratorium. Untuk keperluan surveilans epidemiologi AIDS di
Indonesia digunakan definisi kasus sbb :

 Definisi Kasus Anak


a. Anak umur lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV yang positif, dan sekurang-
kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV
positif, dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan
dengan infeksi HIV.

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 29

b. Anak umur 18 bulan atau kurang, ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2
gejala minor dengan ibu yang HIV positif. Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.

 Gejala mayor :
- BB menurun atau gagal tumbuh
- Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
- Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
- Infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap

 Gejala minor :
- limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
- kandidiasis oral
- infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang
- batuk kronis
- dermatitis yang luas
- ensefalitis

 Stadium Klinis HIV menurut WHO :


Stadium klinis I :
- Asimtomatik
- Limfadenopati generalisata
Stadium klinis II :
- Diare kronik > 30 hari tanpa etiologi yang jelas
- Kandidiasis persisten atau berulang di luar masa neonatal
- BB berkurang atau gagal tumbuh tanpa etiologi yang jelas
- Demam persisten > 30 hari tanpa etiologi yang jelas
- Infeksi bekterial berulang yang berat selain septikemia atau meningitis (contoh :
osteomielitis, pneumonia bakterial no –TB, abses)
Stadium klinis III :
- Infeksi oportunistik yang termasuk dalam definisi AIDS
- Gagal tumbuh yang berat (wasting) tanpa etiologi yang jelas
- Ensefalopati yang progresif
- Keganasan
- Septisemia atau meningitis berulang

VI. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana infeksi oportunistik

Penyakit infeksi Pengobatan


Tuberkulosis INH,Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol
Septikemia Antibiotik
Pneumonia Lini pertama : Kotrimoksazol (bisa digunakan sebagai
(Pneumocystis profilaksis), selanjutnya : pentamidin, prednisolon, dapson
carinii)
Pneumonia biasa antibiotik
Infeksi jamur Gentian violet, povidone iodine, obat kumur, tablet telan dan

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 30

tablet hisap antijamur


Penyakit kulit lain Kalamin, steroid topikal, antibiotik oral atau topikal
Demam Parasetamol atau aspirin
Diare kronik Loperamid, bila tidak ada perbaikan dengan sesudah terapi
sesuai penyebabnya
Meningitis Antibiotik tergantung penyebab

Saat memulai ART pada bayi dan anak

Pemeriksaan Umur Pemeriksaan Rekomendasi Terapi


CD4 diagnostik HIV

Bila tersedia < 18 Tdk tersedia Stadium II & III, dg CD4 < 20%
sarana bulan pemeriksaan
pemeriksaan virologis HIV ttp Ab
CD4 HIV (+)

Pemeriksaan Stad III, tanpa memendang CD4


virologis HIV (+) Stad II, CD4 < 20%
Stad I, CD4 < 20%
> 18 Pemeriksaan Ab Stad III, tanpa memandang CD4
bulan HIV (+) Stad II, dg CD4 < 15 %
Stad I dg CD4 < 15%
Bila tidak < 18 Tdk tersedia Tdk direkomendasikan terapi
tersedia sarana bulan pemeriksaan
pemeriksaan virologis HIV ttp Ab
CD4 HIV bayi (+)
Pemeriksaan Stad III, tanpa memandang
virologis HIV (+) limfosit total
Stad II, dg limfosit total <
2500/mm3
> 18 Ab HIV (+) Stad III, tanpa memandang
bulan limfosit total
Stad II, dg limfosit total <
1500/mm3

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 31

* bila sudah tersedia pemeriksaan CD4

Rejimen ARV lini pertama untuk bayi dan anak :

Rejimen lini pertama Catatan

d4T atau AZT


+
3TC
+ Pilihan NNRTI :
NVP atau EFV - bila umur < 3 tahun atau BB < 10 kg, NVP
- bila umur > 3 tahun atau BB >10 kg, NVP atau
EFV

Pertimbangan lain pengobatan ARV :

- Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau
persentasenya (Contoh : kategori imun 2 atau 3)
- Usia < 12 bulan tidak tergantung kepada gejala klinis, imunologis atau viral load
- Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologis normal, terdapat 2
pilihan :

 Awali pengobatan tidak tergantung kepada adanya gejala klinis


 Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah
atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan,
keamanan dan kepatuhan

Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah :
1. Peningkatan viral load
2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau persentasi supresi imun (contoh :
kategori imun 2)
3. Timbulnya gejala klinis

Definisi klinis kegagalan terapi :

1. lambatnya tumbuh kembang anak yang awalnya memperlihatkan respon terhadap


pemberian terapi, atau kemunduran dalam pertumbuhan anak yang awalnya
memberikan respon terhadap terapi
2. Tidak adanya perkembangan neurologi anak atau berkembangnya ensefalopati
3. Munculnya infeksi oportunistik baru atau keganasan yang menandakan pmbangan
penyakit yang memburuk
4. Kambuhnya infeksi oportunistik, seperti kandidasis oral, yang tidak mempan terhadap
pengobatan

Rejimen ARV untuk kegagalan terapi pada bayi dan anak :

Rejimen lini pertama Rejimen lini kedua


d4T atau AZT ABC
+ +

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi


Demam Dengue Demam Berdarah Dengue
Pedoman Gejala Klinis
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
(DD) (DBD)Anak RSUD Jayapura 32
++ Nyeri kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual 3TC + Ddl
++ Nyeri otot + + +
++ Ruam kulit +
NNRTI : NVP atau EFV PI : LPV/r atau NFV,
++ Diare +
+ Batuk + Atau SQV/r bila BB > 25 kg
+ Pilek +
++ Profilaksis Bayi
Limfadenopati : +
 Untuk semua bayi lahir dari ibu HIV (+)
+ Kejang +
 ZDV mulai hari pertama (umur 12 jam) selama 6 minggu
0  Kesadaran
NVP 1x/harimenurun ++
dalam masa 48-72 jam pertama
0 Obstipasi +
+ Dosis zidovudinpositif
Uji tourniquet : ++
++++  Bayi cukup bulan:
Petekie 2 mg/kgBB 4x/h +++
 Bayi prematur (<34 mgg): 1,5 mg/kgBB 2x/hari
0 Perdarahan
 selama 2saluranminggu, cerna + 3x/hari, 2 minggu, diikuti 2 mg/kgBB/hari, 2
kemudian 2 mg/kgBB
++ Hematomegali
minggu terakhir +++
+ Nyeri perut +++
++ Dosis nevirapin
Trombositopenia : ++++
 2 mg/kgBB
0 Syok +++
Keterangan : VII.
+ : MONITORING
25% ++ : 50% +++ : 75% ++++ : 100%

Setiap pasien yang terinfeksi HIV dilaksanakan :


a. Pemeriksaan klinis secara lengkap dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dapat
dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan tes HIV
melalui VCT
b. Semua faktor resiko digali dan dikaji secara seksama
c. Konseling dilaksanakan sesuai dengan prosedur
d. Beberapa pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, radiologi, dsb, dapat dilakukan
di RS yang mempunyai sarana sebagai evaluasi dasar setelah tes HIV positif.

Pemantauan Laboratorium dasar untuk rejimen ARV lini-I

Rejimen Penilaian laboratorium dasar Penilaian laboratorium selama


(pra-terapi) terapi
AZT + 3TC + NVP Diharuskan : Hb Hb,Lekosit,SGOT/SGPT
Dianjurkan : DL, CD4 CD4/6-12 bln,bila tersedia
AZT + 3TC + EFV Diharuskan : periksa Hb,Lekosit
kehamilan, Hb
Dianjurkan : CD4/6-12 bln,bila CD4/6-12 bln,bila tersedia
tersedia
d4T + 3TC + NVP Dianjurkan : CD4 SGOT/SGPT,bila ada gejala
T + 3TC + EFV Diharuskan : periksa Pemeriksaan tergantung gejala
kehamilan CD4/6-12 bln,bila tersedia
Dianjurkan : CD4

Divisi PenyakitTropik dan Infeksi

Anda mungkin juga menyukai