MODUL PENGHIDU
PEMBIMBING:
OLEH:
KELOMPOK 3
Calvin Wijaya(4517111049)
Skenario
Seorang laki-laki, 23 tahun datang ke Poli THT dengan nyeri kepala 1 tahun
hilang timbul disertai ingus kental kuning kehijauan dan sering jatuh di tenggorokan, dan
akhirakhir ini penghidu rasa berkurang
Kata kunci:
- Laki-laki
- 23 tahun
- Nyeri kepala 1 tahun hilang timbul
- Ingus kental kuning kehijauan
- Ingus sering jatuh ditenggorokan
- Penghidu rasa berkurang
Pertanyaan
Jawaban :
a. Anatomi
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebutnares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengandasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Dinding
inferior merupakan dasarrongga hidung dan dibentuk olehos rnaksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. 12Bagian depan dan atas rongga hidung
mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.
nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).Nervus olfaktorius turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
b. Fisiologi
Gangguan penghidu terjadi: Bila ada hambatan antara partikel bau dengan reseptor saraf atau
kelainan pada N. Olfaktorius (dari reseptor pusat olfaktorius). Bila molekul udara masuk, maka
sel – sel ini mengirimkan impuls saraf. Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari
sel – sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju susunan saraf
pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls
reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat
menterjemahkan informasi impuls yang masuk
GANGGUAN
TERJADI TEKANAN
PERUBAHAN
NEGATIF DIDALAM
TEKANAN O2
RONGGA SINUS
bila terinfeksi, organ yang membentuk KOM mengalami oedem > mukosa yang berhadapan
akan saling bertemu > silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan > gangguan
drainase dan ventilasi didalam sinus > silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen, sehingga trjadi tekanan negative ke otak karna vakum akan timbulkan sakit kepala,
maka rongga sinus tidak ada O2 yang terdapat pada wajah dan kepala.
1. Rangsangan yang mengganggu diterima oleh nosireseptor (receptor nyeri) polimodal dan
mekanoreseptor di meninges dan neuron ganglion trigeminal
2. Pada innervasi sensoris pembuluh darah intracranial (sebagian besar berasal dari ganglion
trigeminal) didalamnya mengandung neuropeptide seperti CGRP/ Calcitonin Gene Relatef
Peptide, Substance P, Nitric oxide, Bradikinin, Serotonin yang semakin mengaktivasi/
mensensitisasi nosiseptor
3. Rangsangan dibawa menuju cornu dorsalis cervical atas
4. Transmisi dan modulasi nyeri terletak pada batang otak (periaqueductal grey matter, nucleus
raphe magnus, formasio retikularis)
5. Hipotalamus dan sistem limbikmemberikan respon perilaku dan emosional terhadap nyeri
6. Pada thalamus hanya terjadi persepsi nyeri.
7. Pada korteks somatosensorik dapat mengetahui lokasi dan derajat intensitas nyeri
Polusi bahan kimia, alergi bisa menyebabkan silia rusak sehingga terjadi perubahn
mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Jika silia sudah rusak maka
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, kemudian sislia juga menjadi kurang
aktif dan lendir dproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan turun ke tenggorokkan (post
nasal drift).
- Inspeksi: dilihat apakah ada deformitas pada hidung, hidung apakah ada tampak
mekar, dilihat jga apakah terjadi hipertropi atau atrofi, ada secret purulent
berwarna kuning kehijauan.
- Palpasi : polip nasal,sinusitis
- Rhinoskopi anterior dan posterior
- Pemeriksaan penunjang berupa :
Pemeriksaan Radiologi ( CT Scan ) dan foto polos
Pemeriksaan Histopatologi,
Pemeriksaan Nasoendoskopi
Diagnosis banding
Rhinitis Alergi
Rinosinositis
Polip nasi
Rhinitis atrofi
Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah
pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan,
bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa
iritan non spesifik.Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh
alergen makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih
besar. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan
tenggorok anak sebelum usia 4 tahun jarang ditemukan
c. Patofisiologi
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan
organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirupan,
untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung
akan dibersihkan oleh sistem mukosilia.Pada permukaan mukosa hidung dan lamina
propria terdapat sel mast dan basofil, yang merupakan unsur terpenting pada
patofisiologi rinitis alergi. Orang yang tersensitisasi alergen inhalan seperti tungau
debu rumah, kecoa, kucing, anjing atau pollen, sel mast dan basofilnya akan
diselaputi oleh IgE terhadap alergen spesifik tersebut.Paparan ulang terhadap alergen
tersebut memicu suatu rangkaian kejadian yang meliputi respons fase cepat dan fase
lambat yang menimbulkan gejala rinitis alergi. Respons fase cepat timbul dalam
beberapa menit setelah paparan. Paparan terhadap alergen menyebabkan migrasi sel
mast dan basofil yang sudah diselaputi IgE spesifik dari lamina propria ke permukaan
epitel. Bagian Fc dari molekul IgE berikatan dengan permukaan sel sementara bagian
Fab bebas untuk menerima molekul alergen. Jika alergen berikatan dengan dua
molekul IgE yang terikat pada permukaan sel, maka preformed mediatorseperti
histamin dilepaskan dari sel. Mediator lain kemudian dibentuk dari metabolism
fosfolipid membran menjadi asam arakhidonat dan selanjutnya menjadi suatu
rangkaian newly generated mediatorseperti leukotrien, prostaglandin, prostasiklin,
dan tromboksan. Respons fase cepat pada rinitis alergi ini menyebabkan timbulnya
secara mendadak bersin, gatal hidung, tersumbatnya hidung dan rinore.Histamin
merupakan mediator utama dan telah diteliti dengan baik pada rinitis alergi. Histamin
menimbulkan gejala melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Efek langsung
meliputi peningkatan permeabilitas epitel, sehingga memudahkan kontak antigen
dengan basofil dan sel mast pada lamina propria, dan meningkatkan dilatasi dan
permeabilitas vaskular. Hal ini memerlukan interaksi histamin dengan reseptor H1
dan H2 pada pembuluh darah. Secara tidak langsung, histamin merangsang reseptor
H1 pada saraf sensorik, mengawali jalur refleks parasimpatetik yang menyebabkan
bersin, gatal dan hipersekresi kelenjar.Terdapat bukti yang menduga bahwa penderita
rinitis alergi hiperaktif terhadap faktor lingkungan nonspesifik meliputi perubahan
temperature dan kelembaban serta polutan. Peningkatan sensitivitas ini dapat
disebabkan akibat ketidakseimbangan primer di samping perubahan sekunder yang
disebabkan oleh mediator yang dilepaskan oleh reaksi alergi. Respons fase lambat
terjadi dalam waktu 4-8 jam setelah paparan alergen dan merupakan suatu proses
cellular-drivendengan adanya infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit T dan
makrofag, yang melepaskan mediator inflamasi dan sitokin tambahan dan
memperpanjang respons proinflamasi. Respons fase lambat ini diperkirakan sebagai
penyebab gejala kronis dan persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan hidung,
anosmia, hipersekresi mukus dan hiperresponsif nasal terhadap alergen yang sama
atau alergen lainnya dan iritan. Paparan alergen yang terus-menerus seringkali
menyebabkan keadaan inflamasi kronis.
d. Gejala klinis
1) ≤4 hari per minggu
2) Atau ≤4 minggu
Ringan
1) Tidur normal
2) Tidak ada gangguan pada aktivitas harian, olahraga, santai
3) Bekerja dan sekolah normal
4) Tidak ada keluhan yang mengganggu
Persisten
1) Tidur terganggu
2) Gangguan pada aktivitas harian, olahraga dan santai
3) Gangguan pada kegiatan pekerjaan dan sekolah
4) Keluhan yang mengganggu
e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
peningkatan hitung jenis eosinofil, hitung total eosinofil, dan kadar IgE total
serum. Pada pemeriksaan sitologi mukosa menunjukkan hitung persentase
eosinofil meningkat. Bila memungkinkan dilakukan uji kulit alergen untuk
menentukan status atopi serta menentukan kemungkinan alergen penyebab. Bila
disertai kelainan mata, dapat dilakukan pemeriksaan eosinofil pada sekret mata.
Pada pasien yang berusia 4 tahun atau lebih dapat dilakukan foto atau CT scan
sinus paranasalis bila dicurigai komplikasi sinusitis atau adanya deviasi septum
nasi.
2. Rhinosinusitis
a. Definisi
Rinosinusitis (RS) adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan
sinus paranasal. Secara klinik RS adalah keadaan yang terjadi sebagai manifestasi adanya
peradangan yang mengenai mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dengan terjadinya
pembentukan cairan atau adanya kerusakan pada tulang di bawahnya. Penyakit ini dapat
mengenai semua kelompok umur baik anak maupun dewasa. RS adalah salah satu
keluhan yang paling sering dialami oleh penderita yang datang berobat ke dokter umum
maupun spesialis THT. Penyakit ini cukup sering ditemukan sekitar 20% dari penderita
yang datang berobat ke praktek dokter. Di Amerika Serikat hampir 15% penduduk
pernah menderita paling sedikit sekali episode RS dalam hidupnya. Di Indonesia dimana
penyakit infeksi saluran nafas akut masih merupakan penyakit utama kiranya kasus RS
juga banyak dijumpai meskipun belum terdiagnosis,sehingga angka kejadiannya belum
jelas dan belum banyak dilaporkan.
b. Etiologi
c. Patofisiologi
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor
utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi RS digambarkan sebagai lingkaran
tertutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal
(KOM). Secara skematik patofisiologi RS sebagai berikut: Inflamasi mukosa hidung
pembengkakan (udem) dan eksudasi obstruksi (blokade) ostium sinus gangguan
ventilasi dan drainase,resorpsi oksigen dalam rongga sinus hipoksia (oksigen
menurun, pH menurun,tekanan negatif) permeabilitas kapiler meningkat
transudasi,peningkatan eksudasi serous,penurunan fungsi silia retensi sekresi di
sinus atau pertumbuhan kuman.Sebagaian besar kasus RS disebabkan karena
inflamasi akibat dari infeksi virus dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang
hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan
yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus,virus
influenza A dan respiratory syncytial virus(RSV). Infeksi virus influenza A dan RSV
biasanya menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi
ostium sinus sehingga sekresi sinus normal akan terjebak (sinus stasis). Pada keadaan
ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara
spontan atau efek dari obat-obatan yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan.
Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat
terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal.
Bakteri yang paling sering ditemukan pada RSA dewasa adalah Streptococcus
pneumoniaedan Haemophilus influenzaesedangkan nafas atas , umumnya tidak
menjadi patogen kecuali bila lingkungan di sekitarnya menjadi kondusif untuk
pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan respons bakteri
mengambil alih maka lingkungan sinus berubah menjadi lebih anaerobik. Flora
bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob,
Streptococcus pyogenesdan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini
dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektifitas
antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus.Pada pasien rinitis
alergi,alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian peristiwa
yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-
helper2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktifasi
sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons
inflamasi dengan melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem
mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada
infeksi virus.Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.
Inflamasi yang berlangsung lama (kronis) sering berakibat penebalan mukosa disertai
kerusakan silia sehingga ostium sinus semakin buntu. Mukosa yang tidak dapat
kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten dan
mengarah pada rinosinusitis kronis. Bakteri yang sering dijumpai pada RSK adalah
Staphylococcus coagulase negative, Staphylococcus aureus, anaerob (Bacteroides
spp,Fusobacteria)dan bakteri yang sering dijumpai pada RSA bak.
Gejala minor :
1) Batuk
2) Demam (untuk RS non akut)
3) Tenggorok berlendir
4) Nyeri kepala
5) Nyeri geraham
6) Halitosis
e. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan yang penting adalah rinoskopi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
dapat dijumpai adanya kelainan-kelainan di rongga hidung yang berkaitan denganRS
seperti hiperemi,sekret,udem,krusta,septum deviasi,polip atau tumor. Sedangkan
rinoskopi posterior adalah pemeriksaan untuk melihat rongga hidung bagian belakang
dan nasofaring. Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan yang terdapat di
belakangrongga hidung dan nasofaring seperti post nasal dribdan lain-lain.
f. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal
(Water’s,Caldwel dan lateral),CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal cukup
informatifpada RSA akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan radilogis yang
mempunyai nilai objektif yang tinggi.Indikasi pemeriksaan CT scan adalah untuk
evaluasi penyakit lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi
respon seperti yang diharapkan. Kelainan pada sinus maupun kompleks
ostiomeatal dapat terlihat dengan jelas melalui pemeriksaan ini.
2. Endoskopi Nasal
Pemeriksaan endoskopi nasal merupakan pemeriksaan tambahan yang
sangat berguna dalam memberikan informasi tentang penyebab RSK. Dengan
endoskopi nasal dapat diketahui lebih jelas kelainan di dalam rongga
hidung,termasuk memeriksa ostium sinus dan kelainan pada kompleks
ostiomeatal.
Rhinosinusitis atrofi
a. Definisi
Rinitis atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang ditandai dengan
mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya
krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rinitis atrofi memiliki
banyak istilah lain seperti Rinitis sika, Rinitis kering, sindrom hidung terbuka dan
ozaena.
b. etiologi
Penyebab dari rinitis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi infeksi
bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebabnya. Dari hasil
pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan Klebsiella Ozaenae (paling banyak),
Pseudomonas Aeruginosa,dll.Defisiensi Fe,defisiensi vitamin A, kelainan hormonal,
penyakit kolagen dan kelainan autoimun juga sering dikaitkan dengan terjadinya kasus
Rinitis atrofi. Rinitis atrofi sekunder merupakan Rinitis atrofi yang terjadi setelah ada
kondisi fisik yang terjadi sebelumnya, seperti trauma, infeksi, post operation, dalam
terapi radiasi dan lain
c. Patolofisiologi
d. Gejala klinis
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara
berlahanmemperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya
epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang sementara fibrosis jaringan subepitel
berlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa juga ikut terlibat termasuk
kartilago, otot dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan
krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring dan laring
Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba eustachius, berakibat efusi telinga
kronik, dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apparatus
lakrimalis, termasuk keratitis sikka.
Pada perubahan lanjut rhinitis atrofi, dikenal sebagai ozaena atau krusta yang
banyak dapat disertai bau busuk mamualkan. Sementara orang disekeliling penderita
tidak tahan terhadap bau busuk tersebut, pasien sendiri tidak merasakannya karena
anosmia. Ia mengeluh kehilangan indera pengecap dan tidak bisa tidur nyenyaan
ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan menjadi semakin lebar, pasien
merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernafas lewat hidung, terutama
karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung, dan menghantarkan
impuls sensoris dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin
jauh. Keluhan yang lain pada rhinitis atrofi adalah nyeri kepala dan epistaksis.
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,
krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring,
terdapat anosmia yang jelas.
e. Pemeriksaan fisik
• Rongga hidung. Rongga hidung sangat lapang.
• Konka hidung. Konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi.
• Sekret. Sekret purulen dan berwarna hijau.
• Krusta. Berwarna hijau
f. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakan diagnosis adalah
pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsy konka media, pemeriksaaan
mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi computer (CT scan ) sinus
paranasal.
Polip Nasi
a. Definisi
Polip nasi adalah lesi jinak yang berasal dari mukosa rongga hidung atau
sinus paranasal. Polip nasi terlihat sebagai massa yang halus, lonjong, semi
tanslusen, yang lebih banyak ditemukan di meatus medius dan sinus etmoid. lesi
mukosa hidung atau sinus paranasal yang dapat terjadi karena respons terhadap
inflamasi atau stimulus infeksi. Sekalipun etiologi pasti belum jelas, polip nasi
dapat terjadi bersama astma, alergi, intoleransi aspirin, fungal rhinosinusitis, kista
fibrosis, dan dyskinesia siliaris. Gejala utama adalah sumbatan hidung dan sekret
hidung. Dengan adanya endoskopi, diagnosis dan penatalaksanaan polip nasi dapat
dilakukan dengan lebih baik.Penataksanaan pertama adalah dengan obat. Operasi
dilakukan bila tidak ada respons dengan obat.
b. Etiologi
Etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori
mengatakan polip nasi merupakan akibat kondisi inflamasi kronik hidung dan
sinus paranasal, dengan karakteristik adanya edema stroma dan variasi sel infitrat.
Sementara berbagai aspek telah didokumentasikan untuk menunjang teori ini,
penyebab awalnya tetap tidak diketahui dan mungkin berbeda dalam banyak
kasus.Secara historis polipnasi diduga memunyai predisposisi adanya alergi,oleh
karena ditemukannya gejala sekret hidung yang cair, edema mukosa, dan
banyaknya eosinofil dalam sekret hidung, tetapipenelitian epidemiologi
memerlihatkan sedikit kejadian untuk menunjang hubungan polip nasi ditemukan
hanya 1-2 % pasien dengan positif skin prick test. Ditambahkan, penelitian
memerlihatkan polip nasi tidak ditemukan pada individu yang atopik, penelitian
menunjukkan bahwa total dan Ig E spesifik dan tipe histologikpolip nasi alergik
tidak berhubungan dengan skin prick testyang positif, tetapi berkorelasi dengan
jumlah eosinofil. Jadi memungkinkan bahwa mekanisme alergi lokal di
dalamabsennya gejala umum dapat memunyai peranan dalam patogenesis polip
nasi,di sekitarpolip nasi ditemukan peningkatan histamin dan Ig E, sel mast dan
eosinofil didapatkan didalam polip, sehinggainflamasi diduga sebagaifaktor utama
pembentukan polip
c. Pathogenesis
d. Gejala klinis
Umumnya gejala klinik polip nasi adalah obstruksi hidung yang menetap,
hidung yang berair terus menerus, penciuman berkurang, sakit kepala, post nasal
dripbersin, epistaksis, mendengkur, tetapi dapat tanpa gejala.9Keluhan anosmia
dan hiposmia menyusul berkurangnya rasa juga ditemukan. Polip nasi dapat
menutup ostia dari sinus sehingga menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi
pada sinus.Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan massa tunggal atau
multipel keabuan, paling sering berasal dari meatus medius dan prolaps ke kavum
nasi. Polip nasi tampak licin, semitranslusen. Massa ini terdiri atas jaringan ikat
jarang, pembengkakan sel inflamasi dan beberapa kapiler dan kelenjar. Ditutupi
oleh beberapa macam tipe epitel, paling banyak adalah epitel respirasi
pseduostratified dengan sel goblet dan silia. Paling sering ditemukan bilateral, bila
unilateral dibutuhkan pemeriksaan histologikuntukmenyingkirkan malignansi dan
keadaan patologik lain seperti inverted papilloma, polip nasi ini tidak sensitif dan
jarang berdarah. Karakteristik polip nasi adalah epitel kolumnar bersilia, penebalan
membran basal, stroma edem, tidak ada pembuluh darah, infiltrasi sel plasma dan
eosinophil ditemukan dalam 85% polip nasi, dengan sel neutrophil tetap
predominan.
e. Pemeriksaan penunjang
1. Endoskopi
Endoskopi nasal memberi visualisasi yang sangat baik, terutama polip ukuran
kecil di meatus medius (Gambar 1). Juga memerlihatkan asal dari polipdan
abnormalitas anatomi. Endoskopi memakai endoskop dengan sudut 0 dan 30
derajat, untuk melihat variasi anatomi dan polip di daerah kompleks osteometal.
2. Radiologi
Pemeriksan plain X-rayssinus paranasal tidak sensitif dan tidak dapt menegakkan
diagnosis polip nasi, tetapi dapat memerlihatkan adanya opifikasi dari sinus yang
terkena. Foto sinus paranasal posisi Water’s,lateral termasuk nasofaring.
CTscan(Gambar 2) dapat memerlihatkan luasnya polip nasi dan variasi anatomi
yang diperlukan untuk operasi. Hal ini tidak dianjurkan untuk langkah primer
untuk menegakkan diagnosis, kecuali ada tanda unilateral dan gejala dari sinus
lain, tetapi lebih ke riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan endoskopiksetelah
pengobatan medikal gagal. CT Scanperlu pada kasus yang unilateral, kegagalan
dengan pengobatan medikal atau diduga adanya komplikasi. Dilakukan CT
Scanpotongan axial dan koronal, merupakan petunjuk jalan untuk operator dalam
merencanakan prosedur operasi, dan menilai prognosis serta suksesnya operasi.
3. Histopatologi
Analisis polip nasi ditemukan peningkatan infiltrasi sel inflamasi, produksi
sitokin, dan kemokin, peningkatan level IL-8 dapat menginduksi infiltrasi
neutrofil. Telah diobservasi juga bahwa serum IgA dan IgE juga meningkat pada
polip nasi. Pada sinonasal poliposis analisis mukosa hidung ditemukan eosinofil,
sel mast, dan sel plasma juga meningkat dibandingkan normal. Pada
kepustakaan, pada sinonasal poliposis dikatakan bahwa total serum IgE
meningkat.Berdasarkan histopatologi, polip nasi dibagi dalam dua grup alergi
dan non –alergi. Pada grup yang alergi, nasal polip ditemukan inflamasi eosinofil
dominan, mucin alergi, hiperplasia sel goblet, hipertrofi kelenjar. Polip nasi
mengandung banyak sel inflamasi dan mediator, hal ini memunyai peran yang
krusial dalam etiologi polip nasi.Dalam penelitiannya, Chaitanya
menyatakan,sino nasal polyp dibagi dalam grup yang eosinofilik atau alergi dan
tipe inflamasi, tergantung predominan eosinofil pada pemeriksaan
histopatologi.12polip nasi yang grup eosinofilik, didominasi inflamasi eosinofil,
allergic mucin,hiperplasia sel goblet, hipertrofi kelenjar.
Polip nasi terdiriatas jaringan ikat jarang, sel infamasi dan beberapa
kapiler, dan kelenjar. Polip nasi diliputi oleh epitel berbeda, paling banyak
epitel pseudostratified respiratory ,sel goblet, dan silia.
a. Rhinitis alergi
Tatalaksana
Tatalaksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan pengobatan
medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan
medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1
generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator sel
mast. Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori berat.
Tindakan bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis dengan air-
fluid levelatau deviasi septum nasi.Rinitis alergi intermiten1. RinganAntihistamin H1
generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Bila terdapat gejala hidung
tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis,
diberikan 3 kali sehari.2. Sedang/BeratAntihistamin H1 generasi II misalnya setirizin
0,25mg/kg/kali diberikan sekali sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2
tahun, atau generasi ketiga seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2
tahun. Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid
misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.Rinitis alergi
persisten1. Ringan Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama. Bila gejala tidak
membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal misalnya mometason furoat atau
flutikason propionat.2. Sedang/beratDiberikan kortikosteroid intranasal jangka lama
dengan evaluasi setelah 2-4 minggu. Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat
simtomatik lain seperti rinitis alergi intermiten sedang/berat.Terapi ko-
morbiditasTerapi untuk konjungtivitis, sinusitis maupun asma yang menyertai gejala
rinitis alergi sebaiknya dilakukan dengan mengatasi penyebabnya terlebih dahulu,
dalam hal ini adalah proses alergi.
b. Rhinosinusitis
1. Terapi Medikamentosa
- Kortikosteroid.
Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada
pengobatan RSA maupun RSK baik dengan atau tanpa latar belakang alergi.
Kortikosteroid topikal dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi sensitifitas
reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga mengurangi sekresi. Beberapa
kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah :
beklometason,flutikason,mometason.Kortikosteroid sistemik banyak bermanfaat pada
RSK dengan pembentukan polip atau pada allergic fungal rhinosinusitis. Pada RSA
mungkin bermanfaat untuk menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada
mukosa hidung dan sinus. Pengobatan jangka pendek cukup efektif dan aman,namun
untuk jangka panjang penghentian pengobatan harus dilakukan secara bertahap
(tappering off).
- Antihistamin.
Pemberian antihistamin pada rinosinusitis akut masih kontroversial.
Antihistamin memang merupakan obat yang sangat efektif untuk mencegah serangan
alergi sehingga penggunaannya pada RS hanya bermanfaat pada RSK dengan latar
belakang alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti kolinergik yang
mengurangi sekresi kelenjar Dampak efek ini menyebabkan mengentalnya mukus
sehingga mengganggu drainase. Untuk menghindari efek kolinergik dapat digunakan
antihistamin generasi II (loratadin,setirizin,terfenadin) atau turunannya seperti
desloratadin,levosetirizin maupun feksofenadin.
- Antibiotik.
Antibiotik merupakan terapi penting pada RSAB disamping terapi medikamentosa
lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu pengetahuan tentang kuman
penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang tersedia.Berdasarkan kuman
penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada RSA adalah amoksisilin (first line
drugs),karena obat ini efektif terhadap Streptococcus pneumoniaedan Haemophilus
influenzaeyangmerupakan dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB.
Di Amerika kuman gram negatif penghasil enzim beta-laktamase sudah banyak
ditemukan sehingga antibiotik pilihan beralih pada kombinasi amoksisilin dan
klavulanat. Antibiotik harus diberikan 10-14 hari agar dapat dicapai hasil pengobatan
yang maksimal.
2. Operasi
- Rigasi Sinus (Antral lavage).
Kegagalan sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk infeksi
dengan terapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya mucociliary blanketatau
obstruksi pada ostium sinus. Hal ini mengakibatkan retensi mukopus dan produk
infeksi lain di dalam antrum Pada kondisi ini irigasi sinus maksilaris akan membuang
produk-produk infeksi seperti jaringan nekrotik,kuman-kuman penyakit dan debris
yang terjadi. Juga dapat dilakukan pemeriksaan kultur dan sitologi. Tindakan irigasi
ini akan membantu ventilasi dn oksigenasi sinus. Tindakan irigasi sinus dapat
dilakukan melalui meatus inferior dengan menggunakan trokar bengkok atau lurus.
- Nasal Antrostomy
Indikasi tindakan ini adalah infeksi kronis,infeksi yang rekuren dan adanya
oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang cukup lapang pada antrostomy
memungkinkan drainase secara gravitasi,sehingga akan mengurangi infeksi,adanya
akses untuk antral lavage,serta dapat melakukan visualisasi ke dalam sinus yang
memungkinkan mengeluarkan jaringan nekrotik atau benda asing. Tindakan ini
biasanya dilakukan melalui meatus inferior,prosedur ini juga dikenal dengan naso
antral windowdan dapat dilakukan secara lokal maupun general anestesi.
c. Polip nasi
Pengobatan (Medikamentosa)
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/ kgbb/hari) yang merupakan
first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan
amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari. hidung
sehingga dapat memperbaiki drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan
pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul.
Pembedahan (Operasi)
d. Rhinitis atrofi
Konservatis
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci
hidung, dan simptomatik
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
b.Campuran :
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa 9
Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
d.Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Operasi
1). Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil
yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit
salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
3) Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari
etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa c
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya
mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal
kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga
hidung.
Komplikasi
Rinitis Atrofi
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana
Polip Nasi
1. Intranasal, yaitu : sinekia, stenosis ostimu sinus maksilla, kerusakan duktus lakrimalis
2. Periorbital/orbita, yaitu : edema kelopak mata/ekinmosis/emfisema, perdarahan
retrobulbar, kerusakan nervus optikus, gangguan pergerakan otot mata,
3. Intrakranial, yaitu : kebocoran cairan serebrospinal
4. Sistemik, yaitu : infeksi/sepsis
Rhinosinusitis
Rhinitis alergi
- Sinusitis
- Polip hidung
- Otitis media
DAFTAR PUSTAKA
Higler, Adams Boies. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9 Cetakan 1. Jakarta: EGC (p. 233)
Soepardi, Efiaty A. dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL Edisi Ketujuh Cetakan 2.
Jakarta : FKUI (p.100)
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh Cetakan 6. Jakarta : FKUI