Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN TUTORIAL MODUL I

MODUL PENGHIDU

PEMBIMBING:

Dr. dr. Azmi Mir’ah Zakiah, M.Kes, Sp. T.H.T.K.L(K)

OLEH:

KELOMPOK 3

Nelci Kayame (4517111036)

Astuti Yunus (4517111039)

Andidian Ameliana (4517111040)

Destri Neli Aris (4517111041)

Anisa Lumalin (4517111043)

Jelita Arung Palobo (4517111044)

Zakiah Rahma Tahrim (4517111047)

Muh. Riza Arif Vitaria (4517111048)

Calvin Wijaya(4517111049)
Skenario
Seorang laki-laki, 23 tahun datang ke Poli THT dengan nyeri kepala 1 tahun
hilang timbul disertai ingus kental kuning kehijauan dan sering jatuh di tenggorokan, dan
akhirakhir ini penghidu rasa berkurang

Kata kunci:

- Laki-laki
- 23 tahun
- Nyeri kepala 1 tahun hilang timbul
- Ingus kental kuning kehijauan
- Ingus sering jatuh ditenggorokan
- Penghidu rasa berkurang

Pertanyaan

1. Bagaimna gambaran anatomi, histologi dan fisiologi?


2. Bagaimna etiologi gangguan penghidu?
3. Bagaimna patomekanisme kurangnya rasa penghidu?
4. Bagaimna mekanisme nyeri kepala hilang timbul?
5. Bagaimna patomekanisme ingus kental dan jatuh ke tenggorokan?
6. Bagaimna langkah2 menegakkan diagnosis dari gangguan penghidu?
7. Apa saja differential diagnosis dari gangguan penghidu?
8. Bagaimna penatalaksanaan, komplikasi, dan pencegahan dari kasus diatas?

Jawaban :

1. Bagaimana gambaran anatomi, dan fisiologi penghidu?

a. Anatomi

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebutnares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengandasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Dinding
inferior merupakan dasarrongga hidung dan dibentuk olehos rnaksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. 12Bagian depan dan atas rongga hidung
mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.
nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).Nervus olfaktorius turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
b. Fisiologi

Reseptor-reseptor olfaktorius merupakan sel-sel khusus, berupa sel-sel saraf


bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga hidung. Akson-akson sel
tersebut bergabung menjadi bungkusan-bungkusan kecil yang banyak jumlahnya (nervus
olfaktorius sebenarnya) yang memasuki rongga tengkorak melalui foramina lamina
kribiformis dari tulang etmoidalis dan kemudian menempel ke bulbus olfaktorius pada
permukaan inferior lobus frontalis. Proses awal informasi olfaktorius terjadi di dalam
bulbus olfaktorius, yang berisi sel-sel interneuron dan mitral besar; akson-akson dari sel-
sel mitral besar meninggalkan bulbus melewati traktus olfaktorius.7Traktus
olfaktoriuslewat ke belakang pada permukaaan basalis lobus frontalis dan, tepat sebelum
mencapai level kiasma optikum, sebagian besar serabut-serabut traktus olfaktorius
berbelok ke lateral, membentuk stria olfaktorius lateralis. Serabut-serabut ini lewat
menuju ke kedalaman fissura lateralis, di mana serabut-serabut tersebut menyilang untuk
mencapai lobus temporalis. Serabut-serabut tersebut berakhir utamanya di korteks
olfaktorius primer pada unkus, pada aspek inferomedial lobus temporalis, dan di
amigdala yang berdekatan dengan struktur tersebut. Bersebelahan dengan unkus, bagian
anterior dari girus parahipokampalis, atau area entorkinal, terdapat korteks olfaktorius
asosiasi. Korteks primer dan asosiasi disebut juga sebagai korteks piriformis dan
bertanggung jawabuntuk mengaresiasi rangsangan olfaktorius. Proyeksi olfaktorius
adalah unik di antara system sensorik di mana proyeksi ini terdiri atas urutan dua neuron
saja di antara reseptor-reseptor sensorik dan korteks serebri dan tidak berproyeksi
melewati thalamus.7Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan
1000 tipe berbeda. Selama deteksi bau, bau “diuraikan” menjadi berbagai komponen.
Setiap reseptor berespons hanya terhadap satu komponen suatu bau dan bukan terhadap
molekul odoran keseluruhan. Karena itu, tiap-tiap bagian suatu bau dideteksi oleh satu
dari ribuan reseptor berbeda, dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap komponen
bau tertentu yang terdapat di berbagai aroma.8Bagian reseptor sel reseptor olfaktorius
terdiri dari sebuah tonjolan yang membesar dan mengandung beberapa silia panjang yang
berjalan seperti hiasan rumbai-rumbai ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung
tempat untuk mengikat odoran, molekul yang dapat dihidu. Selama bernafas tenang,
odoran biasanya mencapai reseptor sensitif hanya dengan difusi karena mukosa
olfaktorius berada di atas jalur normal aliran udara. Tindakan mengendus meningkatkan
proses ini dengan menarik arus udara ke arah atas di dalam rongga hidung sehingga lebih
banyak molekul odoriferosa di udara yang berkontak dengan mukosa olfaktorius. Odoran
juga mencapai mukosa olfaktorius sewaktu makan dengan naik ke hidung dari mulut
melalui faring (belakang tenggorokan). Agar dapat dihirup, suatu bahan harus (1) cukup
mudah menguap sehingga sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui udara
inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mucus yang menutupi
mukosa olfaktorius. Molekul harus larut agar dapat dideteksi oleh reseptor olfaktorius.

2. Bagaimna etiologi gangguan penghidu?

Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan


konduktif, gangguan sensoris dan gangguan neural. Gangguan konduktif disebabkan
gangguan transpor odoran atau pengurangan odoran yang sampai ke neuroepitel olfaktorius,
dan gangguan ikatan odoran dengan protein G (golf). Gangguan sensoris disebabkan
kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas
atas, atau polusi udara toksik, sedangkan gangguan neural atau saraf disebabkan kerusakan
pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit
neurodegeneratif, atau tumor intrakranial. Penyakit yang sering menyebabkan gangguan
penghidu adalah penyakit rinosinusitis kronik, rinitis alergi, infeksi saluran nafas atas dan
trauma kepala. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia.
Kemampuan menghidu akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Ada banyak teori
yang menerangkan penyebab gangguan penghidu pada orang tua, diantaranya terjadi
perubahan anatomi pengurangan area olfaktorius, pengurangan jumlah sel mitral pada bulbus
olfaktorius, penurunan aktivasi dari korteks olfaktorius. Gangguan penghidu pada usia lebih
dari 80 tahun sebesar 65%.23 Penelitian lain mendapatkan gangguan penghidu pada usia
lebih dari 50 tahun sebesar 24%.22Doty2 menyatakan terdapatnya penurunan penghidu yang
signifikan pada usia lebih dari 65 tahun. Ganguan penghidu lebih sering ditemukan pada
jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki. Ditemukan gangguan penghidu hiposmia
ditemukan pada 61% wanita dan 39% laki-laki. Gangguan penghidu juga ditemukan pada
perokok, dimana ditemukan kerusakan neuroepitel olfaktorius. Pada analisis
imunohistokimia ditemukan adanya apoptosis proteolisis pada neuroepitel olfaktorius. Obat-
obatan juga berpengaruh terhadapterjadinya gangguan penghidu seperti obat golongan
makrolide, anti jamur, protein kinase inhibitor, ACE inhibitor, dan proton pump inhibitor.
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan gangguan penghidu seperti gangguan potensial
aksi dari sel membran, gangguan pada neurotransmitter dan perubahan pada permukaan
mukus. Polusi udara yang berpengaruh terhadap gangguan penghidu misalnya pada udara
yang mengandung aseton, gas nitrogen, silikon dioksida dan nikel dioksida.

3. Bagaimna patomekanisme kurangnya rasa penghidu?

Gangguan penghidu terjadi: Bila ada hambatan antara partikel bau dengan reseptor saraf atau
kelainan pada N. Olfaktorius (dari reseptor pusat olfaktorius). Bila molekul udara masuk, maka
sel – sel ini mengirimkan impuls saraf. Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari
sel – sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju susunan saraf
pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls
reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat
menterjemahkan informasi impuls yang masuk

4. Bagaimana mekanisme nyeri kepala hilang timbul?

GANGGUAN

Udema organ OBSTRUKSI AERASE DAN


OSTIUM SINUS DRAINASE
Membentuk KOM
SINUS

TERJADI TEKANAN
PERUBAHAN
NEGATIF DIDALAM
TEKANAN O2
RONGGA SINUS
bila terinfeksi, organ yang membentuk KOM mengalami oedem > mukosa yang berhadapan
akan saling bertemu > silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan > gangguan
drainase dan ventilasi didalam sinus > silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen, sehingga trjadi tekanan negative ke otak karna vakum akan timbulkan sakit kepala,
maka rongga sinus tidak ada O2 yang terdapat pada wajah dan kepala.
1. Rangsangan yang mengganggu diterima oleh nosireseptor (receptor nyeri) polimodal dan
mekanoreseptor di meninges dan neuron ganglion trigeminal
2. Pada innervasi sensoris pembuluh darah intracranial (sebagian besar berasal dari ganglion
trigeminal) didalamnya mengandung neuropeptide seperti CGRP/ Calcitonin Gene Relatef
Peptide, Substance P, Nitric oxide, Bradikinin, Serotonin yang semakin mengaktivasi/
mensensitisasi nosiseptor
3. Rangsangan dibawa menuju cornu dorsalis cervical atas
4. Transmisi dan modulasi nyeri terletak pada batang otak (periaqueductal grey matter, nucleus
raphe magnus, formasio retikularis)
5. Hipotalamus dan sistem limbikmemberikan respon perilaku dan emosional terhadap nyeri
6. Pada thalamus hanya terjadi persepsi nyeri.
7. Pada korteks somatosensorik dapat mengetahui lokasi dan derajat intensitas nyeri

5. Bagaimna patomekanisme ingus kental dan jatuh ke tenggorokan?

Secret kuning Post Nasal


Turun tenggorokan
kehijauan Drips

Polusi bahan kimia, alergi bisa menyebabkan silia rusak sehingga terjadi perubahn
mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Jika silia sudah rusak maka
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, kemudian sislia juga menjadi kurang
aktif dan lendir dproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan turun ke tenggorokkan (post
nasal drift).

6. Bagaimna langkah-langkah menegakkan diagnosis dari gangguan penghidu?


ANAMNESIS
- sejak kapan gangguan penghidu dirasakan?
- apakah ada riwayat demam sebelumnya? Untuk mengarahkan apakah pernah ada
riwayat infeksi tau tdk
- bagaimna konsentrasi ingusnya apakah kental/ encer?
- riwayat trauma?
- apakah ada riwaya keluarga yang menderita seperti ini?
- apakah ada keluhan lainnya?
- apakah ada alergi yang di alami, seperti bersin-bersin saat terpapar debu, atau alegi
terhadap hewan peliharaan.?

PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG :

- Inspeksi: dilihat apakah ada deformitas pada hidung, hidung apakah ada tampak
mekar, dilihat jga apakah terjadi hipertropi atau atrofi, ada secret purulent
berwarna kuning kehijauan.
- Palpasi : polip nasal,sinusitis
- Rhinoskopi anterior dan posterior
- Pemeriksaan penunjang berupa :
 Pemeriksaan Radiologi ( CT Scan ) dan foto polos
 Pemeriksaan Histopatologi,
 Pemeriksaan Nasoendoskopi

Diagnosis banding

 Rhinitis Alergi
 Rinosinositis
 Polip nasi
 Rhinitis atrofi

7. Apa saja differential diagnosis dari gangguan penghidu?


1. Rhinitis Alergi
a. Definisi
Rinitis alergi merupakan suatu proses inflamasi dari mukosa hidung yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E(IgE) setelah terpapar alergen.Gejala utama
rinitis alergi adalah cairan hidung yang jernih, hidung tersumbat,bersin berulang dan
hidung gatal. Penatalaksanaan rinitis alergi tergantung dari klasifikasi dan derajat
penyakit, yang meliputi penghindaran diri terhadap alergen, farmakoterapi dan
imunoterapi. Rinitis alergi sering dijumpai bersamaan dengan asma bronkial. Rinitis
alergi adalah kelainan pada saluran nafas atas, sedangkan asmabronkial adalah
kelainan pada saluran nafas bawah
b. Etiologi

Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah
pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan,
bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa
iritan non spesifik.Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh
alergen makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih
besar. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan
tenggorok anak sebelum usia 4 tahun jarang ditemukan

c. Patofisiologi
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan
organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirupan,
untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung
akan dibersihkan oleh sistem mukosilia.Pada permukaan mukosa hidung dan lamina
propria terdapat sel mast dan basofil, yang merupakan unsur terpenting pada
patofisiologi rinitis alergi. Orang yang tersensitisasi alergen inhalan seperti tungau
debu rumah, kecoa, kucing, anjing atau pollen, sel mast dan basofilnya akan
diselaputi oleh IgE terhadap alergen spesifik tersebut.Paparan ulang terhadap alergen
tersebut memicu suatu rangkaian kejadian yang meliputi respons fase cepat dan fase
lambat yang menimbulkan gejala rinitis alergi. Respons fase cepat timbul dalam
beberapa menit setelah paparan. Paparan terhadap alergen menyebabkan migrasi sel
mast dan basofil yang sudah diselaputi IgE spesifik dari lamina propria ke permukaan
epitel. Bagian Fc dari molekul IgE berikatan dengan permukaan sel sementara bagian
Fab bebas untuk menerima molekul alergen. Jika alergen berikatan dengan dua
molekul IgE yang terikat pada permukaan sel, maka preformed mediatorseperti
histamin dilepaskan dari sel. Mediator lain kemudian dibentuk dari metabolism
fosfolipid membran menjadi asam arakhidonat dan selanjutnya menjadi suatu
rangkaian newly generated mediatorseperti leukotrien, prostaglandin, prostasiklin,
dan tromboksan. Respons fase cepat pada rinitis alergi ini menyebabkan timbulnya
secara mendadak bersin, gatal hidung, tersumbatnya hidung dan rinore.Histamin
merupakan mediator utama dan telah diteliti dengan baik pada rinitis alergi. Histamin
menimbulkan gejala melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Efek langsung
meliputi peningkatan permeabilitas epitel, sehingga memudahkan kontak antigen
dengan basofil dan sel mast pada lamina propria, dan meningkatkan dilatasi dan
permeabilitas vaskular. Hal ini memerlukan interaksi histamin dengan reseptor H1
dan H2 pada pembuluh darah. Secara tidak langsung, histamin merangsang reseptor
H1 pada saraf sensorik, mengawali jalur refleks parasimpatetik yang menyebabkan
bersin, gatal dan hipersekresi kelenjar.Terdapat bukti yang menduga bahwa penderita
rinitis alergi hiperaktif terhadap faktor lingkungan nonspesifik meliputi perubahan
temperature dan kelembaban serta polutan. Peningkatan sensitivitas ini dapat
disebabkan akibat ketidakseimbangan primer di samping perubahan sekunder yang
disebabkan oleh mediator yang dilepaskan oleh reaksi alergi. Respons fase lambat
terjadi dalam waktu 4-8 jam setelah paparan alergen dan merupakan suatu proses
cellular-drivendengan adanya infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit T dan
makrofag, yang melepaskan mediator inflamasi dan sitokin tambahan dan
memperpanjang respons proinflamasi. Respons fase lambat ini diperkirakan sebagai
penyebab gejala kronis dan persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan hidung,
anosmia, hipersekresi mukus dan hiperresponsif nasal terhadap alergen yang sama
atau alergen lainnya dan iritan. Paparan alergen yang terus-menerus seringkali
menyebabkan keadaan inflamasi kronis.
d. Gejala klinis
1) ≤4 hari per minggu
2) Atau ≤4 minggu

Ringan

1) Tidur normal
2) Tidak ada gangguan pada aktivitas harian, olahraga, santai
3) Bekerja dan sekolah normal
4) Tidak ada keluhan yang mengganggu

Persisten

1) >4 hari per minggu


2) Dan >4 minggu

Sedang-BeratSatu atau lebih hal berikut:

1) Tidur terganggu
2) Gangguan pada aktivitas harian, olahraga dan santai
3) Gangguan pada kegiatan pekerjaan dan sekolah
4) Keluhan yang mengganggu

e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
peningkatan hitung jenis eosinofil, hitung total eosinofil, dan kadar IgE total
serum. Pada pemeriksaan sitologi mukosa menunjukkan hitung persentase
eosinofil meningkat. Bila memungkinkan dilakukan uji kulit alergen untuk
menentukan status atopi serta menentukan kemungkinan alergen penyebab. Bila
disertai kelainan mata, dapat dilakukan pemeriksaan eosinofil pada sekret mata.
Pada pasien yang berusia 4 tahun atau lebih dapat dilakukan foto atau CT scan
sinus paranasalis bila dicurigai komplikasi sinusitis atau adanya deviasi septum
nasi.
2. Rhinosinusitis

a. Definisi
Rinosinusitis (RS) adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan
sinus paranasal. Secara klinik RS adalah keadaan yang terjadi sebagai manifestasi adanya
peradangan yang mengenai mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dengan terjadinya
pembentukan cairan atau adanya kerusakan pada tulang di bawahnya. Penyakit ini dapat
mengenai semua kelompok umur baik anak maupun dewasa. RS adalah salah satu
keluhan yang paling sering dialami oleh penderita yang datang berobat ke dokter umum
maupun spesialis THT. Penyakit ini cukup sering ditemukan sekitar 20% dari penderita
yang datang berobat ke praktek dokter. Di Amerika Serikat hampir 15% penduduk
pernah menderita paling sedikit sekali episode RS dalam hidupnya. Di Indonesia dimana
penyakit infeksi saluran nafas akut masih merupakan penyakit utama kiranya kasus RS
juga banyak dijumpai meskipun belum terdiagnosis,sehingga angka kejadiannya belum
jelas dan belum banyak dilaporkan.
b. Etiologi

Penyebab utama dan terpenting dari RS adalah obstruksi ostium sinus.


Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau
kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor tersebut meliputi
infeksi saluran nafas atas, alergi, paparan bahan iritan,kelainan anatomi,defisiensi
imun dan lain-lain. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan iritan dapat
menyebabkan
inflamasi mukosa hidung. Infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus
merupakan faktor penyebab terbanyak dari RS viral. Udem mukosa hidung dan sinus
maksila yang berakibat penyempitan ostium sinus maksila ditemukan pada 80%
pasien common cold. Adanya cairan dapat diikuti pertumbuhan bakteri sekunder
sehingga timbul gejala peradangan akut (RS akut bakterial).Berbagai variasi atau
kelainan anatomi seperti sel agger nasi yang menonjol ke arah insersi antero-superior
dari konka media,bula etmoidalis yang kontak di bagian medial, deformitas prosesus
unsinatus, deformitas konka bulosa (pneumatisasi konka media) dan septum deviasi
dapat menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik

c. Patofisiologi
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor
utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi RS digambarkan sebagai lingkaran
tertutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal
(KOM). Secara skematik patofisiologi RS sebagai berikut: Inflamasi mukosa hidung
pembengkakan (udem) dan eksudasi obstruksi (blokade) ostium sinus gangguan
ventilasi dan drainase,resorpsi oksigen dalam rongga sinus hipoksia (oksigen
menurun, pH menurun,tekanan negatif) permeabilitas kapiler meningkat
transudasi,peningkatan eksudasi serous,penurunan fungsi silia retensi sekresi di
sinus atau pertumbuhan kuman.Sebagaian besar kasus RS disebabkan karena
inflamasi akibat dari infeksi virus dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang
hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan
yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus,virus
influenza A dan respiratory syncytial virus(RSV). Infeksi virus influenza A dan RSV
biasanya menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi
ostium sinus sehingga sekresi sinus normal akan terjebak (sinus stasis). Pada keadaan
ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara
spontan atau efek dari obat-obatan yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan.
Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat
terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal.
Bakteri yang paling sering ditemukan pada RSA dewasa adalah Streptococcus
pneumoniaedan Haemophilus influenzaesedangkan nafas atas , umumnya tidak
menjadi patogen kecuali bila lingkungan di sekitarnya menjadi kondusif untuk
pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan respons bakteri
mengambil alih maka lingkungan sinus berubah menjadi lebih anaerobik. Flora
bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob,
Streptococcus pyogenesdan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini
dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektifitas
antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus.Pada pasien rinitis
alergi,alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian peristiwa
yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-
helper2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktifasi
sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons
inflamasi dengan melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem
mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada
infeksi virus.Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.
Inflamasi yang berlangsung lama (kronis) sering berakibat penebalan mukosa disertai
kerusakan silia sehingga ostium sinus semakin buntu. Mukosa yang tidak dapat
kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten dan
mengarah pada rinosinusitis kronis. Bakteri yang sering dijumpai pada RSK adalah
Staphylococcus coagulase negative, Staphylococcus aureus, anaerob (Bacteroides
spp,Fusobacteria)dan bakteri yang sering dijumpai pada RSA bak.

d. Gejala Klinis Rinosinusitis

Menurut Task Forceyang dibentuk oleh the American Academy of


Otolaryngologic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS), gejala
klinis RS pada dewasa dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan gejala minor.
Gejala mayor yaitu gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi
yang tinggi.

Gejala mayor adalah :

1) Sakit pada daerah muka (pipi,dahi ,hidung)


2) Buntu hidung
3) Ingus purulens/pos-nasal/berwarna
4) Gangguan penciuman
5) Sekret purulen di rongga hidung
6) Demam (untuk RS akut saja

Gejala minor :
1) Batuk
2) Demam (untuk RS non akut)
3) Tenggorok berlendir
4) Nyeri kepala
5) Nyeri geraham
6) Halitosis
e. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan yang penting adalah rinoskopi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
dapat dijumpai adanya kelainan-kelainan di rongga hidung yang berkaitan denganRS
seperti hiperemi,sekret,udem,krusta,septum deviasi,polip atau tumor. Sedangkan
rinoskopi posterior adalah pemeriksaan untuk melihat rongga hidung bagian belakang
dan nasofaring. Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan yang terdapat di
belakangrongga hidung dan nasofaring seperti post nasal dribdan lain-lain.
f. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal
(Water’s,Caldwel dan lateral),CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal cukup
informatifpada RSA akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan radilogis yang
mempunyai nilai objektif yang tinggi.Indikasi pemeriksaan CT scan adalah untuk
evaluasi penyakit lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi
respon seperti yang diharapkan. Kelainan pada sinus maupun kompleks
ostiomeatal dapat terlihat dengan jelas melalui pemeriksaan ini.
2. Endoskopi Nasal
Pemeriksaan endoskopi nasal merupakan pemeriksaan tambahan yang
sangat berguna dalam memberikan informasi tentang penyebab RSK. Dengan
endoskopi nasal dapat diketahui lebih jelas kelainan di dalam rongga
hidung,termasuk memeriksa ostium sinus dan kelainan pada kompleks
ostiomeatal.
Rhinosinusitis atrofi

a. Definisi
Rinitis atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang ditandai dengan
mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya
krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rinitis atrofi memiliki
banyak istilah lain seperti Rinitis sika, Rinitis kering, sindrom hidung terbuka dan
ozaena.

b. etiologi
Penyebab dari rinitis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi infeksi
bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebabnya. Dari hasil
pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan Klebsiella Ozaenae (paling banyak),
Pseudomonas Aeruginosa,dll.Defisiensi Fe,defisiensi vitamin A, kelainan hormonal,
penyakit kolagen dan kelainan autoimun juga sering dikaitkan dengan terjadinya kasus
Rinitis atrofi. Rinitis atrofi sekunder merupakan Rinitis atrofi yang terjadi setelah ada
kondisi fisik yang terjadi sebelumnya, seperti trauma, infeksi, post operation, dalam
terapi radiasi dan lain

c. Patolofisiologi

Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau


atrofik dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar
baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada
arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi
menjadi dua:
1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat
infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui
infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel
berreaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang
yang aktif.

d. Gejala klinis
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara
berlahanmemperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya
epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang sementara fibrosis jaringan subepitel
berlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa juga ikut terlibat termasuk
kartilago, otot dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan
krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring dan laring
Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba eustachius, berakibat efusi telinga
kronik, dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apparatus
lakrimalis, termasuk keratitis sikka.
Pada perubahan lanjut rhinitis atrofi, dikenal sebagai ozaena atau krusta yang
banyak dapat disertai bau busuk mamualkan. Sementara orang disekeliling penderita
tidak tahan terhadap bau busuk tersebut, pasien sendiri tidak merasakannya karena
anosmia. Ia mengeluh kehilangan indera pengecap dan tidak bisa tidur nyenyaan
ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan menjadi semakin lebar, pasien
merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernafas lewat hidung, terutama
karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung, dan menghantarkan
impuls sensoris dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin
jauh. Keluhan yang lain pada rhinitis atrofi adalah nyeri kepala dan epistaksis.
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,
krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring,
terdapat anosmia yang jelas.
e. Pemeriksaan fisik
• Rongga hidung. Rongga hidung sangat lapang.
• Konka hidung. Konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi.
• Sekret. Sekret purulen dan berwarna hijau.
• Krusta. Berwarna hijau

f. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakan diagnosis adalah
pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsy konka media, pemeriksaaan
mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi computer (CT scan ) sinus
paranasal.

Polip Nasi

a. Definisi
Polip nasi adalah lesi jinak yang berasal dari mukosa rongga hidung atau
sinus paranasal. Polip nasi terlihat sebagai massa yang halus, lonjong, semi
tanslusen, yang lebih banyak ditemukan di meatus medius dan sinus etmoid. lesi
mukosa hidung atau sinus paranasal yang dapat terjadi karena respons terhadap
inflamasi atau stimulus infeksi. Sekalipun etiologi pasti belum jelas, polip nasi
dapat terjadi bersama astma, alergi, intoleransi aspirin, fungal rhinosinusitis, kista
fibrosis, dan dyskinesia siliaris. Gejala utama adalah sumbatan hidung dan sekret
hidung. Dengan adanya endoskopi, diagnosis dan penatalaksanaan polip nasi dapat
dilakukan dengan lebih baik.Penataksanaan pertama adalah dengan obat. Operasi
dilakukan bila tidak ada respons dengan obat.

b. Etiologi
Etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori
mengatakan polip nasi merupakan akibat kondisi inflamasi kronik hidung dan
sinus paranasal, dengan karakteristik adanya edema stroma dan variasi sel infitrat.
Sementara berbagai aspek telah didokumentasikan untuk menunjang teori ini,
penyebab awalnya tetap tidak diketahui dan mungkin berbeda dalam banyak
kasus.Secara historis polipnasi diduga memunyai predisposisi adanya alergi,oleh
karena ditemukannya gejala sekret hidung yang cair, edema mukosa, dan
banyaknya eosinofil dalam sekret hidung, tetapipenelitian epidemiologi
memerlihatkan sedikit kejadian untuk menunjang hubungan polip nasi ditemukan
hanya 1-2 % pasien dengan positif skin prick test. Ditambahkan, penelitian
memerlihatkan polip nasi tidak ditemukan pada individu yang atopik, penelitian
menunjukkan bahwa total dan Ig E spesifik dan tipe histologikpolip nasi alergik
tidak berhubungan dengan skin prick testyang positif, tetapi berkorelasi dengan
jumlah eosinofil. Jadi memungkinkan bahwa mekanisme alergi lokal di
dalamabsennya gejala umum dapat memunyai peranan dalam patogenesis polip
nasi,di sekitarpolip nasi ditemukan peningkatan histamin dan Ig E, sel mast dan
eosinofil didapatkan didalam polip, sehinggainflamasi diduga sebagaifaktor utama
pembentukan polip

c. Pathogenesis

Beberapa mekanisme memerkirakan terbentuknya polip nasi, termasuk


alergi, infeksi, ketidakseimbangan otonom, kelainan transpor ion transepitel,
kelainan mukopolisakrid, enzim, obstruksi, dan ruptur epitel.Polip nasi tumbuh
dari mukosa hidung, dapatberasal dari setiap bagian mukosa hidung dan sinus
paranasal, bentuknya licin, semitranslusen, pucat. Berasal dari membran mukosa
dari osteomeatal kompleks, kemungkinan karena terbentuknya proinflamasi
sitokin dari sel epitel sebagai hasil kontak antara dua mukosa di tempat yang
sempit ini. Turbulensi udara dan perbedaan tekanan mungkin dapat juga
memengaruhi terjadinya hal tersebut. Faktor penting lain yang bervariasi seperti
jamur, pembentukan biofilm, inflamasi kronik, dan predisposisi genetik.10Cystic
fibrosismerupakan salah satu penyakit yang banyak ditemukan, yangmerupakan
autosomal recessivepada populasiCaucasian. Penyakit ini morbiditas dan
mortalitasnya tinggi karena infeksi endobronchial yang kronik dan obstruksi
pulmoner,malabsorbsi intestinalyang disebabkan oleh insufisiensi pankreas.
Hampir 70 –100% terbentuk rhinosinusitis dan polip nasi pada 40 % kasus.
Banyak pengarang mengatakan bahwa saluran pernapasan atas dan bawah
merupakansambungan dari jaringan dimanaepitel kolumner bersilia. Selanjutnya,
konsep satu aliran udara, satu penyakit sudah berkembang di seluruhdunia. Asma
dan polip nasi memunyai karakter yang sama yaitu infiltrasi eosinofil
predominan, hiperplasia sel goblet dan Th2-sel imun respons. Terdapat beberapa
perbedaan penting antara mukosa saluran pernapasan atas dan bawah, disrupsi
epitel mukosa hidung, membran basal menebal, dan elastase sel positif, lebih
sedikit di mukosa hidung dibandingkan di mukosa paru.

d. Gejala klinis

Umumnya gejala klinik polip nasi adalah obstruksi hidung yang menetap,
hidung yang berair terus menerus, penciuman berkurang, sakit kepala, post nasal
dripbersin, epistaksis, mendengkur, tetapi dapat tanpa gejala.9Keluhan anosmia
dan hiposmia menyusul berkurangnya rasa juga ditemukan. Polip nasi dapat
menutup ostia dari sinus sehingga menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi
pada sinus.Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan massa tunggal atau
multipel keabuan, paling sering berasal dari meatus medius dan prolaps ke kavum
nasi. Polip nasi tampak licin, semitranslusen. Massa ini terdiri atas jaringan ikat
jarang, pembengkakan sel inflamasi dan beberapa kapiler dan kelenjar. Ditutupi
oleh beberapa macam tipe epitel, paling banyak adalah epitel respirasi
pseduostratified dengan sel goblet dan silia. Paling sering ditemukan bilateral, bila
unilateral dibutuhkan pemeriksaan histologikuntukmenyingkirkan malignansi dan
keadaan patologik lain seperti inverted papilloma, polip nasi ini tidak sensitif dan
jarang berdarah. Karakteristik polip nasi adalah epitel kolumnar bersilia, penebalan
membran basal, stroma edem, tidak ada pembuluh darah, infiltrasi sel plasma dan
eosinophil ditemukan dalam 85% polip nasi, dengan sel neutrophil tetap
predominan.

e. Pemeriksaan penunjang
1. Endoskopi
Endoskopi nasal memberi visualisasi yang sangat baik, terutama polip ukuran
kecil di meatus medius (Gambar 1). Juga memerlihatkan asal dari polipdan
abnormalitas anatomi. Endoskopi memakai endoskop dengan sudut 0 dan 30
derajat, untuk melihat variasi anatomi dan polip di daerah kompleks osteometal.
2. Radiologi
Pemeriksan plain X-rayssinus paranasal tidak sensitif dan tidak dapt menegakkan
diagnosis polip nasi, tetapi dapat memerlihatkan adanya opifikasi dari sinus yang
terkena. Foto sinus paranasal posisi Water’s,lateral termasuk nasofaring.
CTscan(Gambar 2) dapat memerlihatkan luasnya polip nasi dan variasi anatomi
yang diperlukan untuk operasi. Hal ini tidak dianjurkan untuk langkah primer
untuk menegakkan diagnosis, kecuali ada tanda unilateral dan gejala dari sinus
lain, tetapi lebih ke riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan endoskopiksetelah
pengobatan medikal gagal. CT Scanperlu pada kasus yang unilateral, kegagalan
dengan pengobatan medikal atau diduga adanya komplikasi. Dilakukan CT
Scanpotongan axial dan koronal, merupakan petunjuk jalan untuk operator dalam
merencanakan prosedur operasi, dan menilai prognosis serta suksesnya operasi.
3. Histopatologi
Analisis polip nasi ditemukan peningkatan infiltrasi sel inflamasi, produksi
sitokin, dan kemokin, peningkatan level IL-8 dapat menginduksi infiltrasi
neutrofil. Telah diobservasi juga bahwa serum IgA dan IgE juga meningkat pada
polip nasi. Pada sinonasal poliposis analisis mukosa hidung ditemukan eosinofil,
sel mast, dan sel plasma juga meningkat dibandingkan normal. Pada
kepustakaan, pada sinonasal poliposis dikatakan bahwa total serum IgE
meningkat.Berdasarkan histopatologi, polip nasi dibagi dalam dua grup alergi
dan non –alergi. Pada grup yang alergi, nasal polip ditemukan inflamasi eosinofil
dominan, mucin alergi, hiperplasia sel goblet, hipertrofi kelenjar. Polip nasi
mengandung banyak sel inflamasi dan mediator, hal ini memunyai peran yang
krusial dalam etiologi polip nasi.Dalam penelitiannya, Chaitanya
menyatakan,sino nasal polyp dibagi dalam grup yang eosinofilik atau alergi dan
tipe inflamasi, tergantung predominan eosinofil pada pemeriksaan
histopatologi.12polip nasi yang grup eosinofilik, didominasi inflamasi eosinofil,
allergic mucin,hiperplasia sel goblet, hipertrofi kelenjar.
Polip nasi terdiriatas jaringan ikat jarang, sel infamasi dan beberapa
kapiler, dan kelenjar. Polip nasi diliputi oleh epitel berbeda, paling banyak
epitel pseudostratified respiratory ,sel goblet, dan silia.

8. Bagaimana penatalaksanaan, komplikasi, dan pencegahan dari kasus diatas?

a. Rhinitis alergi
Tatalaksana
Tatalaksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan pengobatan
medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan
medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1
generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator sel
mast. Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori berat.
Tindakan bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis dengan air-
fluid levelatau deviasi septum nasi.Rinitis alergi intermiten1. RinganAntihistamin H1
generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Bila terdapat gejala hidung
tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis,
diberikan 3 kali sehari.2. Sedang/BeratAntihistamin H1 generasi II misalnya setirizin
0,25mg/kg/kali diberikan sekali sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2
tahun, atau generasi ketiga seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2
tahun. Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid
misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.Rinitis alergi
persisten1. Ringan Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama. Bila gejala tidak
membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal misalnya mometason furoat atau
flutikason propionat.2. Sedang/beratDiberikan kortikosteroid intranasal jangka lama
dengan evaluasi setelah 2-4 minggu. Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat
simtomatik lain seperti rinitis alergi intermiten sedang/berat.Terapi ko-
morbiditasTerapi untuk konjungtivitis, sinusitis maupun asma yang menyertai gejala
rinitis alergi sebaiknya dilakukan dengan mengatasi penyebabnya terlebih dahulu,
dalam hal ini adalah proses alergi.
b. Rhinosinusitis
1. Terapi Medikamentosa
- Kortikosteroid.
Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada
pengobatan RSA maupun RSK baik dengan atau tanpa latar belakang alergi.
Kortikosteroid topikal dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi sensitifitas
reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga mengurangi sekresi. Beberapa
kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah :
beklometason,flutikason,mometason.Kortikosteroid sistemik banyak bermanfaat pada
RSK dengan pembentukan polip atau pada allergic fungal rhinosinusitis. Pada RSA
mungkin bermanfaat untuk menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada
mukosa hidung dan sinus. Pengobatan jangka pendek cukup efektif dan aman,namun
untuk jangka panjang penghentian pengobatan harus dilakukan secara bertahap
(tappering off).
- Antihistamin.
Pemberian antihistamin pada rinosinusitis akut masih kontroversial.
Antihistamin memang merupakan obat yang sangat efektif untuk mencegah serangan
alergi sehingga penggunaannya pada RS hanya bermanfaat pada RSK dengan latar
belakang alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti kolinergik yang
mengurangi sekresi kelenjar Dampak efek ini menyebabkan mengentalnya mukus
sehingga mengganggu drainase. Untuk menghindari efek kolinergik dapat digunakan
antihistamin generasi II (loratadin,setirizin,terfenadin) atau turunannya seperti
desloratadin,levosetirizin maupun feksofenadin.

- Antibiotik.
Antibiotik merupakan terapi penting pada RSAB disamping terapi medikamentosa
lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu pengetahuan tentang kuman
penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang tersedia.Berdasarkan kuman
penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada RSA adalah amoksisilin (first line
drugs),karena obat ini efektif terhadap Streptococcus pneumoniaedan Haemophilus
influenzaeyangmerupakan dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB.
Di Amerika kuman gram negatif penghasil enzim beta-laktamase sudah banyak
ditemukan sehingga antibiotik pilihan beralih pada kombinasi amoksisilin dan
klavulanat. Antibiotik harus diberikan 10-14 hari agar dapat dicapai hasil pengobatan
yang maksimal.
2. Operasi
- Rigasi Sinus (Antral lavage).
Kegagalan sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk infeksi
dengan terapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya mucociliary blanketatau
obstruksi pada ostium sinus. Hal ini mengakibatkan retensi mukopus dan produk
infeksi lain di dalam antrum Pada kondisi ini irigasi sinus maksilaris akan membuang
produk-produk infeksi seperti jaringan nekrotik,kuman-kuman penyakit dan debris
yang terjadi. Juga dapat dilakukan pemeriksaan kultur dan sitologi. Tindakan irigasi
ini akan membantu ventilasi dn oksigenasi sinus. Tindakan irigasi sinus dapat
dilakukan melalui meatus inferior dengan menggunakan trokar bengkok atau lurus.
- Nasal Antrostomy
Indikasi tindakan ini adalah infeksi kronis,infeksi yang rekuren dan adanya
oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang cukup lapang pada antrostomy
memungkinkan drainase secara gravitasi,sehingga akan mengurangi infeksi,adanya
akses untuk antral lavage,serta dapat melakukan visualisasi ke dalam sinus yang
memungkinkan mengeluarkan jaringan nekrotik atau benda asing. Tindakan ini
biasanya dilakukan melalui meatus inferior,prosedur ini juga dikenal dengan naso
antral windowdan dapat dilakukan secara lokal maupun general anestesi.

c. Polip nasi
 Pengobatan (Medikamentosa)
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/ kgbb/hari) yang merupakan
first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan
amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari. hidung
sehingga dapat memperbaiki drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan
pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul.

 Pembedahan (Operasi) 

Untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa yang


maksimal, tindakan bedah perlu dilakukan. Indikasi bedah apabila ditemukan
perluasan infeksi intrakranial seperti meningitis, nekrosis dinding sinus disertai
pembentukan fistel, pembentukan mukokel, selulitis orbita dengan abses dan
keluarnya sekret terus menerus yang tidak membaik dengan terapi konservatif.
Beberapa tindakan pembedahan pada sinusitis antara lain adenoidektomi, irigasi
dan drainase, septoplasti, andral lavage, caldwell luc dan functional endoscopic
sinus surgery (FESS)

d. Rhinitis atrofi
 Konservatis
Pengobatan  konservatif   ozaena   meliputi   pemberian   antibiotik,   obat   cuci
hidung, dan simptomatik

1) Antibiotik   spektrum   luas   sesuai   uji   resistensi   kuman,   dengan   dosis  


adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil
yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12
minggu.

2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain : 

a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat

b.Campuran : 

 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa 9
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat    

c. Larutan garam dapur

d.Campuran : 

 Na bikarbonat 28,4 g 
 Na diborat 28,4 g 
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat 

Larutan   dihirup   ke   dalam   rongga   hidung   dan   dikeluarkan   lagi  


dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan
melalui mulut,dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis
atrofi (Ozaena)biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung, setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25%
dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000
U /ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml.
Diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 

4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu. 

 Operasi 

Beberapa Teknik Operasi antara lain : 

1). Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan  flap. Sinha melaporkan hasil
yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit
salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 

2) Modified Young's operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm


yang terbuka. 

3) Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari
etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 

4) Implantasi   submukosa  c

5)   Transplantasi   duktus   parotis   ke   dalam   sinus   maksila   (Wittmack's   operation)


dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Beberapa kasus operasi penutupan koana
menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan. 

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya
mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal
kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga
hidung.

Komplikasi
Rinitis Atrofi

1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

Polip Nasi

1. Intranasal, yaitu : sinekia, stenosis ostimu sinus maksilla, kerusakan duktus lakrimalis
2. Periorbital/orbita, yaitu : edema kelopak mata/ekinmosis/emfisema, perdarahan
retrobulbar, kerusakan nervus optikus, gangguan pergerakan otot mata,
3. Intrakranial, yaitu : kebocoran cairan serebrospinal
4. Sistemik, yaitu : infeksi/sepsis

Rhinosinusitis

Komplikasi rinosinusitis yang berat dapat terjadi padarinosinusitis akut atau


rinosinusitis kronik eksaserbasi akut, meliputikomplikasi ekstrakranial dan intrakranial.
Komplikasi intrakranialdapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses
otak,dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ekstrakranial terutamamengenai
orbita, hal ini disebabkan letak sinus paranasal yangberdekatan dengan mata (orbita).
Komplikasi pada orbita yang dapat terjadi yakni edema palpebra, sellulitis orbita, abses
subperiostal, danabses orbita.

Rhinitis alergi
- Sinusitis
- Polip hidung
- Otitis media
DAFTAR PUSTAKA

    Higler, Adams Boies. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
    Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9 Cetakan 1. Jakarta: EGC (p. 233)
    Soepardi, Efiaty A. dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL Edisi Ketujuh Cetakan 2.
Jakarta :  FKUI (p.100)
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh Cetakan 6. Jakarta : FKUI 

Anda mungkin juga menyukai