Anda di halaman 1dari 2

Hindari Misrepresentasi, Tingkatkan Kepedulian Terhadap

Pengidap Autisme

Hak dari setiap warga negara memang terkadang terdapat ketidakadilan terhadap
beberapa faktor yang menyebabkan seseorang dipandang sebelah mata karena memiliki
sebuah kekurangan yang dimilikinya. Salah satunya ialah pada penderita autism yang kita
dapat ketahui banyak yang menghindari bahkan membully keberadaannya di sekitar kita.
Perlu pengetahuan yang cukup matang dan luas akan apa makna dari autisme agar kita tidak
berprasangka terlalu buruk akan hal tersebut. Berbicara hak tentu juga terdapat beberapa sisi
seperti pada hak bersosial yang sama, berpendidikan, maupun sisi lainnya. Membahas hak
sosial sendiri memang sudah banyak instansi maupun tempat khusus penderita autism, akan
tetapi persepsi pada masyarakat masih perlu adanya sebuah sosialisasi yang membahas
seputar autism itu sendiri.

Setiap tanggal 2 April diperingati sebagai Hari Peduli Autisme sedunia. Peringatan
hari autisme sendiri ditetapkan oleh PBB semenjak tahun 2007 yang bertujuan meningkatkan
kesadaran akan autisme bagi masyarakat. Pada faktor sosial yang biasa menjadi faktor sebuah
masalah pada hal terkait hal ini, itu terjadi karena adanya sebuah kecanggungan, takut,
berdeda bahkan dijadikan bahan ejekan. Hal yang kita dapat dicerna jika seseorang yang
bertanya akan apa itu autism? pasti hal yang pertama kali muncul adalah sebuah kelainan
mental yang dimiliki seseorang. Pada sisi Pendidikan yang sebagai poin utama dalam hal ini
juga telah terdapat beberapa instansi yang mendirikan sekolah khusus pengidap autism
sendiri seperti Partisipasi beberapa organisasi dunia termasuk indonesia turut membantu hal -
hal diagnosis seperti halnya Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dan Yayasan MPATI
(Masyarakat Peduli Autis Indonesia) yang didalamnya tersedia pengobatan, pembinaan dan
kepedulian kepada penderita secara keseluruhan. 

Autisme adalah kondisi seseorang yang mengalami keterlambatan pada


perkembangannya. Mengutip dari alodokter.com, autisme disebut sebagai gangguan
spektrum autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD), karena gejala dan tingkat
keparahannya bervariasi pada tiap penderita. Menurut penjelasan dari salah satu Rumah Sakit
Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat, autisme sekarang disebut sebagai gangguan spektrum
autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD). Hal ini dikarenakan gejala dan tingkat
keparahannya bervariasi pada tiap penderita. Gangguan yang termasuk dalam ASD
diantaranya sindrom asperger, gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS), gangguan
autistik, dan childhood disintegrative disorder.

Pada beberapa penjelasan yang dipaparkan dari hasil penelitian menyatakan bahwa
penyandang autisme sebetulnya memiliki IQ yang sama, bahkan bisa melebihi dari rata-rata
anak pada umumnya atau bisa dikatakan seseorang yang jenius. Hanya saja, kendala dalam
sensorik membuat mereka sensitif terhadap rangsangan dari luar sehingga hal itu
menyebabkan penyandang autisme kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang di
sekitarnya. Mereka lebih suka menyendiri dan sering mengulang gerakan atau ucapan yang
mungkin hal itulah yang membuat orang enggan untuk mendekat atau berinteraksi dengan
pengidap penyakit autisme. Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki sifat dan cara bersosial
tersendiri untuk mengembangkan potensinya, tidak terkecuali para penderita autisme, yang
tentu memiliki perasaan yang sama walaupun terkadang sifat-sifat atau kelakuan yang tidak
diinginkan muncul. Hal itu membentuk pandangan masyarakat terhadap autisme sendiri
negatif, bahkan ada beberapa yang menyebutnya abnormal dan kelainan bawaan. Tidak
sedikit dari mereka yang merasa takut atau geram saat berinteraksi dengan para pengidap
autisme. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, penyandang ASD di Indonesia diperkirakan berjumlah 2,4 juta orang dengan
pertambahan penyandang baru sebanyak 500 orang/tahun, yang mana dari jumlah tersebut
tidak sedikit pengidap autis yang melakukan imigrasi dari keramaian sosial karena perlakuan
yang kurang baik. 

Pada media sosial pun terkadang terjadi misrepresentasi yang disebabkan salah akan
pengiplementasian karakter yang digambarkan, sehingga menyebabkan suatu responsif yang
kurang baik akan realita yang ada. Sebagai contohnya pada kasus pembuatan film “Music”
yang dirilis pada 14 Januari 2021 lalu, banyak menuai polemik karena dalam film tersebut
menceritakan seorang pengidap autisme bernama Music Gamble. Karakter yang digambarkan
oleh Music sendiri tidak merepresentasikan pengidap autis pada umumnya dan malah
menirukan orang autis berdasarkan stereotip yang berkembang pada masyarakat yang
penanganannya digambarkan dengan kasar seperti bullying, pengucilan, dan sebagainya. Dari
kasus tersebut, dapat disimpulkan beberapa alasan seperti misrepresentasi karakter
menyebabkan penderita autisme sendiri banyak mengalami hinaan bahkan dikucilkan dari
masyarakat sekitar yang pada hakikatnya hal itu tidak seharusnya terjadi. Maka setidaknya
kita harus menghilangkan sifat yang cenderung akan sifat buruk mengenai autism dengan
bekal pendidikan yang baik dan juga benar.

Menghadapi pengidap autis pada hakikatnya sama dengan orang pada umumnya,
mitos terkait dengan abnormal ataupun yang lainnya sebenarnya tidak akan terjadi apabila
kita memiliki pandangan yang baik dan tidak berfokus hanya pada sebuah kekurangan yang
dimiliki. Persepsi negatif muncul karena kita mempunyai prinsip yang kurang baik dan akan
menyebabkan hal buruk jika kita berlaku sinis terhadap pengidap autis. Jadi banyak hal yang
dapat kita lakukan yang secara tidak langsung dapat membantu pengidap autisme seperti
menjalin komunikasi secara efektif. Hak setiap warga sama, meskipun terdapat kekurang
yang ada yang pada hakikatnya manusia tidak ada yang sempurna kecuali Nabi Muhammad
SAW. Membangun sikap positif terhadap sesama manusia karena hal itu yang akan terlahir
sebuah rasa sosial yang tinggi berwarga negara yang baik, tentu tidak pada penderita autism
saja, akan tetapi terhadap seluruh warga negara baik memiliki sebuah kelainan fisik dan
mental maupun tidak. Maka dari itu mulai sekarang mari kita ubah pandangan kita akan
autisme sehingga kita dapat saling membantu agar tercipta sebuah hubungan yang baik dan
juga harmonis sebagai sesama manusia tanpa dilatarbelakangi oleh sebuah keterbatasan.
Semua hal yang seharus tidak kita lakukan dalam bertingkah laku sebagai warga negara yang
baik setidak harapan yang hakiki kita sama yakni hidup sejahtera baik dunia maupun akhirat.

Anda mungkin juga menyukai