Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem musculoskeletal adalah salah satu sistem tubuh yang sangat

berperan terhadap fungsi dari pergerakan dan mobilitas seseorang. Salah satu

masalah muscoloskeletal yang sering ditemukan disekitar ialah fraktur atau

disebut dengan patah tulang. Fraktur merupakan patah tulang yang disebabkan

oleh trauma atau tenaga fisik, sudut tenaga fisik dan kekuatan, keadaan itu

sendiri, serta jaringan lunak disekitar tulang yang akan menentukan apakah

fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Helmi, 2012).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang diakibatkan dari

adanya benturan atau trauma tumpul yang diakibatkan objek tertentu

(Wartatmo, 2013). Fraktur ialah patah tulang dimana terjadinya integritas

tulang dan gangguan penuh atau sebagian pada kontuinitas struktur tulang,

fraktur terjadi karena adanya hantaman langsung sehingga tekanan lebih besar

dari pada yang bisa diserap. Ketika tulang mengalami fraktur maka struktur

tulang disekitarnya akan terganggu (Smeltzer, 2013).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2019

menyatakan bahwa insiden fraktur semakin meningkat mencatat terjadi fraktur

kurang lebih 15 juta orang dengan angka pravelensi 3,2%. Fraktur pada tahun

2018 terdapat kurang lebih 20 juta orang dengan angka pravelensi 4,2% dan

pada tahun 2018 meningkat menjadi 21 juta orang dengan pravalensi3,8 %

akibat kecelakaan lalu lintas (Mardiono, dkk,2018).


Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga dibawah

jantung koroner dan tuberkulosis. Menurut data yang dihimpun oleh Wrong

Diagnosis (Ropyanto,et al, 2013), Indonesia merupakan negara terbesar di

Asia Tenggara yang mengalami kejadian fraktur terbanyak dengan jumlah 1,3

juta setiap tahunnya dari jumlah pendudukanya yang berkisar 238 juta. Kasus

fraktur di Indonesia mencapai prevalensi sebesar 5,5 % (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan hasi dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun

2018, bagian tubuh yang sering terkena cedera adalah ekstremitas bagian

bawah (67%), ekstremitas bagian atas (32%), cedera kepala (11,9%), cedera

punggung (6,5%), cedera dada (2,6%), dan cedera perut (2,2%). Serta tiga

urutan terbanyak yang terjadi kecacatan fisik permanen adalah bekas luka

yang mengganggu kenyamanan (9,2%), kehilangan dari sebagian anggota

gerak badan (0,6%), dan panca indera yang tidak berfungsi (0,5%). Pada tahun

2018 rumah menjadi lingkungan yang memegang pernanan utama dalam

pengendalian cedera dengan penyumbangan cedera terbanyak (44,7%),

dibandingkan dengan dijalan raya (31,4%), tempat kerja (9,1%) dan sekolah

(6,5%).

Menurut Canale (dalam Anugerah, et al, 2017; 248) Prinsip penanganan

awal pada fraktur berupa tindakan reduksi dan imobilisasi. Tindakan reduksi

dengan pembedahan disebut dengan reduksi terbuka, sedangkan tindakan

reduksi tertutup dilakukan sesegera mungkin setelah terjadinya cedera agar

meminimalkan resiko (Black dan Hawks, 2014: 650). Imobilisasi pada

penanganan fraktur sebagai tindakan untuk mempertahankan reduksi sampai

terjadi proses penyembuhan (Canale dalam Anugerah, et al, 2017; 248).


International Association for the Study of pain (IASP) mendefisinikan

nyeri yang sudah diterima sebagai pengalaman sensori dan emosional yang

tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan, aktual

ataupun potensial, atau digambarkan sebagai kerusakan yang sama, untuk

mengurangi nyeri diperlukan terapi farmakologi dan non farmakologi.

Teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri terdiri dari massage

effleurage, teknik relaksasi dan teknik distraksi. Distraksi ialah memfokuskan

perhatian pasien pada sesuatu hal atau dengan melakukan pengalihan

perhatian ke hal-hal diluar nyeri (Andarmoyo 2013). Distraksi ini dapat

dilakukan dengan cara distraksi penglihatan (visual),distraksi intelektual

(pengalihan nyeri dengan melakukan kegiatan) distraksi pendengaran (audio)

yaitu dengan terapi musik.

Terapi musik adalah suatu bentuk dibidang kesehatan yang menggunakan

musik untuk mengatasi masalah dalam berbagai aspek fisik, psikologis,

kognitif dan kebutuhan sosial individu (Yanuar, A. 2015). Terapi musik klasik

dapat merangsang tubuh untuk mengeluarkan opoid endogen yaitu endorfin

dan enkefalin yang memiliki sifat seperti morfin yaitu untuk mengurangi nyeri

(Huges 1975 dalam Ernawati dkk 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Martini (2018) dengan jumlah

subjek yang diteliti 22 orang yang merupakan pasien post operasi fraktur

sebelum diberikan terapi distraksi terapi musik klasik 4,41 (95% CI: 3,90-

4,91), dengan standar deviasi 1,141. Nilai intensitas nyeri terendah 2 dan

tertinggi 6. Dari estimasi rasio disimpulkan rata-rata nyeri pada pasien post

operasi fraktur sebelum diberikan terapi musik adalah 3,90 sampai 4,91.
Setelah diberikan distraksi terapi musik hasil penelitian menunjukan 22

responden mengalami penurunan intensitas skala nyeri dengan niali rata-rata

2,28 sampai 3,26.

Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti bermaksud mengambil

studi kasus “Penerapan Teknik Distraksi Terapi Musik Klasik Terhadap

Intensitas Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pasien post operasi fraktur dengan

keluhan nyeri sesudah diberikan intervensi keperawatan komplementer dengan

terapi musik ?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mendapatkan pengetahuan dan pengalaman nyata dalam menerapkan

penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai penerapan teknik

distraksi terapi musik klasik terhadap intensitas skala nyeri sedang pada

pasien post operasi fraktur

1.3.2 Tujuan khusus

1) Mengetahui penerapan teknik distraksi terapi musik klasik

terhadap intensitas skala nyeri sedang pada pasien post

operasi fraktur.
2) Mengetahui keberhasilan teknik distraksi terapi musik

klasik terhadap intensitas skala nyeri sedang pada pasien

post operasi fraktur.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat teoritis

Studi kasus dapat dijadikan sebagai bahan tambahan

pengetahuan perawat dalam melakukan teknik distraksi

terapi musik klasik terhadap intensitas skala nyeri sedang

pada pasien post operasi fraktur.

1.4.2 Manfaat praktisi

1) Bagi institusi pendidikan program D III keperawatan

Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi

institusi dan sebagai bahan pustaka tambahan

khususnya tentang teknik distraksi terapi musik klasik

terhadap intensitas skala nyeri sedang pada pasien post

operasi fraktur.

2) Bagi lahan praktik

Sebagai bahan informasi untuk meningkatkan kualitas

pelayanan khususnya penanganan dan dapat

diaplikasikan teknik distraksi terapi musik klasik

terhadap intensitas skala nyeri sedang pada pasien post

operasi fraktur

3) Bagi tanaga kesehatan


Diharapkan dengan dilakukan studi kasus ini dapat

dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat

dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat

diterapkan dalam implementasi Asuhan

Keperawatan.

4) Bagi pasien

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pasien

dalam penerapan teknik distraksi terapi musik klasik

terhadap intensitas skala nyeri sedang pada pasien

post operasi fraktur.

1.4.3 Manfaat Pengembangan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar

pengembangan model model terapi lainnya khususnya

dalam penanganan pasien fraktur dalam asuhan

keperawatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur

2.1.1 Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Sistem rangka tubuh manusia yang kompleks


Sumber : Kirnantoro & Maryana (2019)

Tulang adalah jaringan ikat terkeras diantara jaringan ikat lainnya.

Tulang terdiri dari hampir 50% air dan bagian padat, selebihnya

merupakan bahan mineral yaitu kalsium sekitar 67% dan bahan seluler

mencapai 33%.

Sistem skeletal atau rangka tubuh merupakan sistem yang berfungsi

sebagai tempat untuk menyimpan mineral dan berfungsi untuk melindungi

bagian-bagian tubuh yang lunak dan juga sebagai penunjang tubuh. Tulang

menggunakan oksigen dan menghasilkan limbah metabolisme. Tulang


membutuhkan nutrisi dan darah, tulang terus berubah bentuk sebagai

respons beragam tekanan mekanik (mechanical stress) (Umi Istinah,

2017).

Sistem rangka dibentuk oleh puluhan tulang yang juga membentuk

dasar dari tubuh manusia. Semua organ, otot, darah, cairan dan udara yang

terkandung dalam tubuh dapat stabil dan kuat karena sistem rangka ini

menurut pearce dalam (Umi Istinah, 2017).

Jaringan tulang berdasarkan jaringan penyusun dan sifat-sifat fisiknya

dibedakan menjadi tulang rawan, dan tulang sejati.

1) Tulang rawan

Tulang rawan terdiri dari 3 macam yaitu:

a) Tulang rawa hialin, bersifat kuat dan elastis terdapat pada ujung

tulang pipa

b) Tulang rawan fibrosa yaitu memperdalam rongga dari cawan-

cawan (tulang panggul) dan rongga glenoid dari scapula.

c) Tulang rawan elastik terdapat didalam daun telinga, epiglottis, dan

faring.

Proses pembentukan tulang rawan sejak umur embrio 6-7 minggu dan

berlangsung sampai dewasa. Rangka yang paling pertama terbentuk

adalah tulang rawan yang berasal dari jaringan mesenkim. Kemudian akan

terbentuk osteobals, osteobals ini akan mengisi rongga-rongga tulang

rawan. Setiap satuan sel-sel tulang mengelilingi suatu pembuluh darah dan

saraf menbentuk suatu sistem yang disebut sistem havers. Terbentuk

senyawa protein disekeliling tulang yang akan menjadi matriks tulang.


Didalam senyawa protein terdapat pula kapur dan fosfor sehingga matriks

tulang akan mengeras yang disebut Osifikasi.

2) Tulang Sejati (osteon)

Bersifat keras dan berfungsi menyusun berbagai sistem rangka.

Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum). Lapis tipis

jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum dan meluas ke dalam

kanalikuli tulang kampak. Secara mikroskopis tulang terdiri dari beberapa

komponen yaitu :

a) Sistem hacers, saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah,

aliran limfe.

b) Lacuna, ruang kecil yang terdapat diantara lempengan-lempengan

yang mengandung sel tulang.

c) Lamela, lempeng tulang yang tersusun konsentris.

d) Kanalikuli, memancar diantara lacuna dan tempat difusi makanan

sampai ke osteon.

Tulang diklarifikasikan menjadi tulang pipa, tulang pendek, tulang

pipih, tulang tak beraturan, tulang berongga udara.

1. Ossa longa (tulang pipa/panjang), yaitu tulang yang ukurannya

panjangnya terbesar. Contohnya os humerus dan os femur

2. Ossa brevia (tulang pendek), yaitu tulang yang berukuran

pendek, contohnya tulang yang terdapat pada pangkal kaki,

pangkal tangan, pangkal lengan, dan ruas-ruas tulang belakang.

3. Ossa plana (tulang pipih), tulang yang ukurannya lebar,

contohnya os scapula, tulang belikat, tulang rusuk.


4. Osca irregular (tulang tak beraturan) tulang dengan bentuk tak

tentu , contohnya os vertebrae (tulang belakang).

5. Ossa pneumatica (tulang berongga udara) contohnya os maxila.

Tulang terusun dari sel osteobast, osteosit, dan osteoclast.

Osteoblast sel tulang muda yang menghasilkan jaringan osteosit.

Sedangkan Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai

lintasan untuk pertukaran simiawi melalui tulang yang padat. Dan

osteoclast yaitu sel-sel yang dapat mengabsrobsikan mineral dan matriks

tulang (Umi Istinah, 2017).

2.1.2 Definisi

Gambar 2.2 Tahapan-tahapan perbaikan tulang setelah fraktur


Sumber: Umi Istinah, 2017

Fraktur adalah suatu kondisi yang terjadi ketika keutuhan dan

kekuatan dari tulang mengalami suatu kerusakan yang disebabkan oleh

penyakit invasif atau suatu proses biologis yang merusak (Kenneth et al.,

2015 ).

Menurut Helmi dalam Nuchairiah (2013) fraktur merupakan istilah


dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total

maupun sebagian. Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu

sendiri, serta jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah

fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap.

2.1.3 Klasifikasi

Menurut Suriya dan Zuriati (2019), secara umum keadaan tulang patah

secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Tempat

Fraktur femur, humerus, tibis, ulna, radius, crucis, dan yang lainnya.

2. Berdasarkan Komplit atau Tidak Komplit

a. Fraktur Komplit (garis patah tulang yang melalui seluruh

penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).

b. Fraktur Tidak Komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis

penampang tulang).

3. Berdasarkan Bentuk dan Jumlah Garis Patah

a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan

saling berhubungan.

b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi

tidak berhubungan.

c. Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi

tidak patah tulang yang sama.

4. Berdasarkan Posisi Fragmen

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi

fragmen tidak bergeser dan periosteium masih utuh.


b. Fraktur Displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang

yang juga disebut lokasi fragmen.

5. Berdasarkan Sifat Fraktur (Luka yang ditimbulkan)

a. Fraktur Tertutup (closed)

Fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga

tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan atau dunia luar. Pada

fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan

jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

1) Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera

jaringan lunak sekitarnya.

2) Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal.

3) Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan

lunak bagian dalam dan pembengkakan.

4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang

nyata dan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur Terbuka (open/compound)

Bila terdapat hubungan antara hubungan fragmen tulang dengan

dunia luar karena adanya pelukaan kulit.

1. Derajat I

- Luka < 1 cm

- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka

remuk.

- Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan

- Kontinuitas minimal
2. Derajat II

- Laserasi >1 cm

- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi

- Kontaminasi sedang.

3. Derajat III

Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan

lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan struktur

neurovascular.

2.1.4 Etiologi

Etiologi terjadinya fraktur menurut Utami dan Haryono (2019), dibagi

menjadi intrinsik dan ekstrinsik yaitu sebagai berikut:

1) Penyebab intrinsik

Farktur tulang yang berasal dari daya tahan tulang seperti kapasitas

absropsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau

kekerasan tulang.

2) Faktor ekstrinsik

Fraktur yang terjadi karena adanya trauma langsung atau trauma

tidak langsung. Fraktur trauma langsung biasanya jarang di prediksi

karena jumlahnya yang beragam dari kecelakaan ringan ringga berat.

Contoh dari fraktur langsung yaitu comminut-ed atau multiple.

Sedangkan , fraktur tidak langsung umumnya lebih mudah diprediksi,

umumnya gaya di transmisikan ke tulang dengan cara tertentu dan

menyebabkan fraktur terjadi. Selain itu fraktur juga dapat terjadi

karena adanya gaya lentur, regangan torsional, gaya kompresi, dan


gaya geser tulang.

2.1.5 Patofisiologi

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup

bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar

karena perlukaan kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi

disekitar tempat patah kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut.

Jaringan lunak disekitar tulang tersebut, ialah jaringan lunak yang

biasanya mengalami kerusakan. Reaksi dari perdarahan biasanya timbul

hebat disekitar fraktur. Sel-sel darah putih dan sel-sel anast berkamulasi

mengakibatkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktifitas

osteblast terangsang dan terbentuk tulang baru yang disebut dengan callus.

Bekuan fibrin di reabsropsi dan sel-sel tulang baru yang mengalami

remodelling untuk membentuk tulang sejati. Insufisien pembuluh darah

atau adanya penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan

pembengkakan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak

terkontrol pembengkakan akan menyebabkan peningkatan tekanan

jaringan, oklusa darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan

rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan

sindrom compratment (Brunner & Suddart,2015).


2.1.6 Pathway

cidera

Kecelakaan, trauma, terjatuh,


osteoporosis

fraktur

Merusak jaringan lunak

Pre operasi
Fraktur terbuka Fraktur tertututp

operasi

nyeri Post operasi Adanya luka

Gangguan rasa nyaman


Resiko
Gangguan
pendarahan
aktivitas
Terapi Terapi non
farmakologi farmakologi Resiko infeksi
mobilisasi

Tekhnik relaksasi Tekhnik distraksi


nafas dalam terapi musik
Gambar 2.3 pathway fraktur
Sumber: Aplikasi diagnosa keperawatan Nanda NIC NOC, 2015.

2.1.7 Faktor Resiko

Sebagai faktor resiko, usia dan jenis kelamin adalah penyebab terbesar

patah tulang. Wanita lebih mungkin mengalami patah tulang dari pada
pria, hal ini dikarenakan tulang tulang wanita (usia-25-30) umunya lebih

kecil dan kurang padat daripada tulang pria. Selain itu wanita kehilangan

kepadatan tulang lebih banyak daripada pria saat mereka menua karena

kehilangan estrogen saat monopouse. Pada pria, patah tulang terjadi diatas

50 tahun.

1. Merokok merupakan faktor resiko patah tulang dikarenakan

dampaknya pada hormon. Wanita yang merokok pada umunya

mengalami monopouse pada usia yang lebih dini.

2. Minum alkohol secara berlebihan dapat mempengaruhi struktur dan

masa tulang. Penelitian yang diterbitkan oleh National Institute on

Alcohol Abouse an Alcholism mengatakan bahwa seseorang yang telah

mengkonsumsi alkohol selama bertahun-tahun akan mengalami

kerusakan kualitas tualng dan hal tersebut dapat meningkatkan resiko

terjadinya pengeroposan tulang dan fraktur potensial.

3. Steroid (kortikosteroid) sering diresepkan untuk mengobati kondisi

suatu peradangan kronis, seperti rematoid atritis, penyakit paru

obstruktif akut, penyakit radang usus. Akan tetapi penggunaan dengan

dosis yang tinggi dapat mengakibatkan tulang menjadi keropos dan

patah tulang. Efek samping yang tidak diinginkan ini tergantung

pemakaian dosis yang secara langsung berkaitan dengan kemampuan

steroid untuk menghambat pertumbuhan tulang, mengurangi

penyerapan kalsium di saluran pencernaan, dan meningkatkan

kehilangan kalsium melalui urin.


4. Gangguan kronis lainnya seperti penyakit celiac, penyakit chorn, dan

kualitas ulserativa, sering dikaitakn dengan pengeroposan tulang.

5. Artritis rematoid merupakan penyakit yang dapat menyerang sel-sel

dan jaringan sehat disekitar sendi. Dan mengakibatkan perdangan

kronis dapat terjadi pada sendi sehingga menyebabkan rasa sakit,

bengkak, dan kaku. Peradaangan ini dapat menghancurkan jaringan

persendian dan bentuk tulang.

6. Pasien diabetes tipe 1 memiliki kepadatan tulang yang rendah, onset

diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada masa kanak-kanak ketika masa

tulang dibentuk. Masalah penglihatan dan kerusakan fungsi saraf yang

menyertai pasien diabetes dapat berkontribusi pada patah tulang terkait

pada diabetes tipe 2. Kerusakan saraf dan ketidakefektifan dapat

menyebabkan jatuh, meskipun kepadatan tulang biasanya lebih besar

daripada diabetes tipe 1 , kualitas tulang dapat terpengaruh oleh

perubahan metabolic kadar gula darah yang tinggi (Rudi Haryono dan

Maria Putri, 2019).

2.1.8 Manifestasi Klinis

Gejala yang khas dan bisa dirasakan langsung dari kondisi fraktur

adalah rasa nyeri yang terjadi karena terputusnya kontuinitas jaringan,

adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang karena kerusakan

jaringan yang berada disekitar tulang, mati rasa dan kesemutan, masalah

pergerakan anggota tubuh (Musliha 2010 dikutip dalam Nurul Ardiastuti

and Irdianty 2020).


2.1.9 Komplikasi

Menurut Black dan Hawks (2014:652) komplikasi fraktur dibagi

menjadi komplikasi setelah fraktur dan komplikasi jangka panjang dari

fraktur. Komplikasi setelah fraktur bergantung pada jenis cedera, usia

klien, dan adanya masalah kesehatan lainnya (komorbiditas), dan

penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,

kortikosteroid, Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID)

1. Cedera saraf. Fragmen tulang dan edema jaringan yang saling

berkaitan dengan cedera dapat menyebabkan cedera saraf.

2. Sindroma kompartemen. Kompartemen otot pada tungkai atas dan

tungkai bawah dilapisi oleh jaringan fasia yang keras dan tidak ada

elastis yang tidak akan membesar jika otot mengalami

pembengkakan.

3. Sindroma Gips (sindroma arteri mesentrika superior). Terjadi

hanya pada gips spika badan.

Sedangkan komplikasi dengan jangka panjang dari fraktur yaitu :

1. Atritis Traumatik. Setelah cedera atau imobilasi jangka panjang ,

kekakuan sendi dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur

sendi, pengerasan ligamen, atau atrofi otot.

2. Nekrosis Avaskuler. Nekrosis avaskuler (AVN) dari kepala femur

terjadi utamanya pada fraktur diproksimal dari leher femur. Hal ini

terjadi gangguan sirkulasi lokal. Fil rontgen menunjukan

kolapsnya kepala femur, dan klien mengeluhkan nyeri yang terjadi

berbulan-bulan bahkan tahunan setelah perbaikan fraktur.


3. Penyatuan Nonfungsional. Kebanyakan fraktur dapat sembuh

tanpa masalah, tetapi dibutuhkan intervensi biologis guna

menstimulasi penyembuhan dari fraktur tersebut.

4. Malunion . Terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi

kelurusan tulang yang tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot

yang tidak seimbang serta gravitasi. Hal ini dikarenakan klien

menaruh beban pada tungkai yang sakit menyalah intruksi dokter

atau alat bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang baik

dimulai.

5. Penyatuan terhambat. Penyembuhan melambat tidak benar-benar

berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur

atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi.

6. Non-union. Ketika penyembuhan fraktur tidak terjadi 4 hingga 6

bulan setelah awal cedera dan setelah penyembuhan spontan

sepertinya tidak akan terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai

darah yang tidak cukup dan tekanan berulang yang tidak terkontrol

pada lokasi fraktur.

7. Penyatuan Fibrosa. Jaringan fibrosa terletak diantara nfragmen-

fragmen fraktur. Kehilangan tulang karena pembedahan atau

cedera meningkatkan resiko klien terhadap jenis penyatuan fraktur

ini.

2.1.10 Penatalaksanaan Medis

Menurut Umi Istinah (2017) penatalaksanaan medis ada 4 yaitu:


1. Diagnosis dan Penilaian Fraktur

Anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologi yang dilakukan untuk

mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan yang

harus diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, dan menentukan

teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi

selama pengobatan.

2. Reduksi

Reduksi memiliki tujuan untuk mengembalikan panjang dan

kesejajaran garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terbuka dan

reduksi tertutup. Reduksi tertutup dilakukan dengan manual atau

mekanis untuk menarik fraktur kemudian memanipulasi untuk

mengembalikan kesejajaran garis normal, dan jika reduksi tertutup

gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka,

Reduksi terbuka adalah tindakan yang dilakukan dengan

menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi

sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi internal

tersebut anatara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut

dimasukan kedalam fraktur melalui pembedahan Open reduction

internal ficstation ( ORIF).

3. Retensi

Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen

dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan.

Pemasangan plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan

reduksi ekstremitas yang mengakami fraktur.


4. Rehabilitasi

Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.

2.1.11 Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan Rontgen

Menentukan lokasi, luasnya fraktur dan trauma.

2. Scan tulang, Aacan CT/MRI

3. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai kerusakan vaskuler.

4. Titung darah lengkap

HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan

bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau

organ jauh pada multipel.

5. Kreatinin

Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

6. Profil kagulasi

Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau

cedera hati.

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah keadaan ketika individu mengalami sensasi yang tidak

menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya

(Lynda, 2015).

Nyeri merupakan pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak


menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial.

Sensasi terlokalisasi pada bagian tubuh yang terasa seperti ditusuk-tusuk,

panas, terbakar, melilit. Dapat juga menimbulkan seperti emosi perasaan

takut, dan mual (Potter & Perry, 2012).

2.1.2 Definisi Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang sering terjadi setelah cedera akut,

penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan

intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung dalam

waktu singkat menurut Smiltzher dalam buku (Sulistyo Andarmoyo,

2013).

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari keruusakan jaringan yang aktual atau potensial.

Nyeri akut akan timbul sebagai bentuk respon sensori setelah menerima

rangsangan nyeri. Nyeri akut diakibatkan adanya kerusakan jaringan

didalam tubuh sebagai akibat adanya cedera, kecelakaan, maupun tindakan

medis seperti operasi. Ada empat penyebab utama dari nyeri adalah

kanker, osteao, reumathoid atritis , operasi dan trauma , seta masalah spina

(Brunner & Suddarth, 2015).

2.2.3 Klasifikasi Nyeri

1) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi

a. Nyeri Akut

Nyeri yang diakibatkan cedera akut, penyakit, atau intervensi

bedah yang memiliki proses cepat, intensitas bervariasi (ringan


sampai berat.

b. Nyeri Kronis

Nyeri yang berlangsung 6 bulan dengan intensitas bervariasi

(Potter & Parry, 2012). Nyeri kronis pasca bedah lenih sulit diatasi

dan bisa menyebabkan disabilitas serta ganggguan kualitas hidup

(Suseno, 2017).

2) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi

a. Nyeri Perifer

1. Nyeri Superfisial : Nyeri yang diakibatkan rangsangan dari

kulit dan mukosa.

2. Nyeri Viseral : Nyeri akibat stimulasi dari organ-organ dalam

bersifat dan menyebar ke segala arah.

3. Nyeri Alih : Nyeri yang terasa didaerah lain jauh dari sumber

nyeri.

b. Nyeri Sentral

Nyeri yang disebabkan oleh stimulasi dari medula spinalis, batang

otak dan talamus.

c. Nyeri Psikogenik

Nyeri yang tidak diketahuai apa penyebabnya, yang bisa saja

berasal dari pikiran sendiri.

3) Nyeri berdasarkan derajat nyeri dikelompokan menjadi:

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat

beraktivitas sehari-hari dan menjelang tidur.

b. Nyeri sedang adalah yeri terus menerus, aktivitas terganggua


yang hanya hilang bila penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari,

penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

2.2.4 Mekanisme Nyeri

Setiap nyeri hebat tidak dikelola dengan baik akan mengubah fungsi

otak , jika lebih dari 3 hari berturut-turut nyeri dibiarkan tanpa diberikan

terapi, perlahan lahan proses ini akan menyebabkan gangguan pola tidur,

depresi, kecemasan, tidak dapat berkonsentrasi serta nafsu makan

menurun, bahkan jika berlanjut kemungkinan akan menyenyebabkan

penurunan fungsi imunitas. Sindrom yang menyertai nyeri yang hebat

yakni sindrom yang terdiri dari insomnia, anxietas, depresi, anorexia, dan

imobilitas (Suwondo, et al, 2017).

Susunan saraf pusat bersifat seperti pelastik (plastisitas) yang dapat

berubah sifatnya sesuai jenis dan intensitas input kerusakan jaringan atau

inflamasi. Rangsangan dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi dari

Wide-dynamic range neuron (WDR) berupa transimisi sensoris tidak

nyeri, tetapi rangsangan dengan frekuensi yang lebih tinggi akan

menghasilkan transmisi sensori nyeri (Suwondo, et al, 2017).

Neuron WDR dihambat oleh sel inhibisi likal di substansia gelatinosa

dan dari sinaptik desendens. Rangsangan nosiseptor perifer akan

diteruskan sampai ke neuron presinaptik. Pada neuron presinaptik

rangsangan ini akan mengakibatkan Ca+ masuk kedalam sel melalui Ca+

channel. Masuknya Ca+ kedalam sel menyebabkan dari ujung neuron

presinaptik dilepaskan beberapa neurotransmiter seperto substansi P


(neurokinin) dan glutamat. Dari ujung saraf presinaptik serabut saraf A-

delta dilepaskan neurotransmiter golongan asam amino seperti

glutamatdan asparat, sedangkan ujung presinaptik serabut saraf C

dilepaskan selain neurotransmiter golongan asam amino, juga

neurotransmiter golongan peptida seperti substansi – P (neurokinin),

calcitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokinin (CCK).

Selama pembedahan rangsang noksious dihantar melalui kedua serabut

saraftersebut. Sedangkan pada periode pascabedah dan pada proses

inflamasi rangsang noksious didominasi penghantarannya melalui serabut

saraf C (Suwondo, et al, 2017).

2.2.4 Pengkajian Nyeri

Menurut Zakiyah (2015), menentukan karakteristik nyeri dapat dilakukan

dengan metode PQRST sebagai berikut:

1) Faktor Pencetus ( Propocate )

Perawat mengkaji tentang penyebab nyeri pada pasien, dan juga

melakukan observasi bagian tubuh yang mengalami cedera. Apabila

perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat dapat

menanyakan kepada pasien apa yang menyebabkan nyeri.

2) Kualitas ( Quality )

Kualitas nyeri merupakan suatu yang subjektif yang diungkapkan

secara langsung oleh pasien dengan kalimat: tajam, perih, tertusuk, dan

lain-lain dimana setiap pasien mungkin melaporkan kualitas nyeri yang

dirasakan berbeda-beda.

3) Lokasi ( Region )
Mengetahui nyeri secara spesifik, maka perawat meminta pasien untuk

menunjukan lokasi atau daerah nyeri dan titik yang paling nyeri,

kemungkinan nyeri sulit untuk dikaji jika nyeri tersebut bersifat difus (

menyebar).

4) Keparahan ( Severe )

Tingkat keparahan suatu nyeri merupakan karakteristik yang paling

subjektif. Pasien diminta untuk menggambarkan nyeri yang dirasakan

sebagai nyeri ringan, sedang, atau nyeri berat.

5) Durasi ( Time )

Kapan keluhan mulai dirasakan , berapa sering dirasakan, apakah

secara bertahap, apakah keluhan berulang-ulang dalam selang waktu

yang berawal lama hal itu untuk menentukan waktu dan durasi. Lama

waktu serangan atau frekuensi nyeri.

Sedangkan menurut Suwondo et al (2017) pengukuran skala nyeri

dapat berupa Numeric Pain Scale, Visual Analogue, dan Wong Baker

Pain Scale, Verbal Rating Scale.

A. Visual Analog Scale (VAS)

Gambar 2.4 Visual Analog Scale


Sumber: Suwondo et al (2017)

Adalah cara yang banyak digunakan untuk menilai nyeri.


Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat

nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri

diwakili sebagai garis sepanjang 100 mm. Tanda pada kedua

ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif.

Ujungnya yang satu mewakili tidak ada nyeri (nol/0),

sedangkan ujung yang lainnya mewakili rasa nyeri yang

terparah (100 mm).

Namun pada kondisi pasien yang kurang kooperatif

misalnya nyeri pasca bedah , VAS seringkali sulit untuk dinilai

karena koordinasi visual dan motorik serta kemampuan

konsentrasi pasien terganggu.

B. Numeric Pain Scale

Gambar 2.5 Numeric Pain Scale


Sumber: Andarmoyo (2013)

Dianggap sederhana dan lebih mudah dimengerti. NPS

lebih sederhana daripada VAS terutama untuk menilai nyeri

akut namun kekurangan dari NPS ini adalah tidak

memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih

teliti. Jika VAS lebih cocok untuk mengukur intensitas nyeri


dan efek terapi pada penelitian karena mampu membedakan

efek terapi secara sensitif makan NPS lebih cocok dipakai

dalam praktek sehari-hari karena lebih sederhana.

C. Wong Baker Pain Scale

Gambar 2.6 Wong Baker Pain Scale


Sumber: Alimul & Uliyah (2016)

Wong Baker Pain Scale cocok digunakan pada pasien

dewasa dan anak > 3 tahun yang tidak dapat menggambarkan

intensitas nyerinya dengan angka.

D. Verbal Rating Scale

Gambar 2.7 Verbal Rating Scale


Sumber: Suwondo et al (2017)

Skala nyeri ini menggunakan angka 0 sampai 10 untuk


menggambarkan tingkat nyeri, tetapi tidak diperlukan gambar

akan tetapi dapat digunakan sekala tingkatan secara verbal.

Skala numerik verbal ini lenig bermanfaat pada periode pasca

bedah, karena tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan

motorik.

2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Budaya

Budaya dan latar belakang etnis sudah dikenal sebagai faktor yang

mempengaruhi neri dan ekspresi individu, serta perilaku yang

berhubungan dengan nyeri yang merupakan bagian dari proses

soialisasi (Kozier, 2015).

2) Jenis Kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna

dalam berespon terhadap suatu nyeri. Karakter dari laki-laki dan

perempuan berhubungan dengan sifat keterpaparan serta tingkat

kerentanan dalam menghadapi nyeri (Sjamsuhidayat,2011). Didukung

oleh penelitian yang dilakukan Yantini (2018) bahwa adanya

hubungan yang signifikan antara jenis kelamin perempuan dan laki-

laki dengan intensitas nyeri post operasi fraktur ekstremitas bawah .

Dapat dikatakan bahwa laki-laki lebih sering menerima pengobatan

karena wanita lebih sering menyampaikan rasa nyeri kepada orang

lain.

3) Usia
Anak yang masih kecil memiliki kesulitan memahami nyeri dan

prosedur yang dilakukan perawat. Sebab mereka belum dapat

mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan kesehatan. Berbeda

dengan usia dewasa yang dapat mengekspresikan nyeri lebih jelas

(Potter & Parry). Pada usia dewasa yang lenbih siap melakuakan dan

menerima dampak dari nyeri, efek, dan komplikasi dari nyeri

(Adha,2014).

4) Makna Nyeri

Setiap individu berbeda-beda alam memaknai suatu nyeri. Pasien

yang menghubungkan rasa nyeri dengan hasil akhir positif dapat

menahan nyeri dengan baik. Namun, pasien yang memaknai nyeri

sebagai penderitaan akan merasa putus asa, cemas, depresi sehinga

tidak dapat menahan rasa nyeri (Kozier,2015).

5) Kepercayaan Spiritual

Spiritual dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi rasa nyeri.

Pasien akan merasa lebih terbantu bila berhubungan dengan penasihat

spiritual.

6) Perhatian

Peningkatan perhatian pada pasien yang mengalami nyeri dapat

meningkatkan sensasi nyeri. Distraksi daopat menurunkan respons

nyeri pasien ( Potter& Perry, 2012).

7) Kecemasan

Rangsangan dari suatu nyeri mengaktifkan sistem limbik yang


mengandalkan emosi seseorang, khususnya dalam keadaan cemas.

Pasien yang merasa cemas akan mengalami peningkatan nyeri.

8) Keletihan

Rasa lelah akan menyebabkan sensasi yeri semakin intensif dan

menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan disertai kesulitan

tidur, prrsepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering

kali berkurang ketika individu tidur yang lelap menurut Potter& Parry

dalam buku (Sulistyo Andarmoyo, 2013).

2.2.7 Penatalaksanaan Nyeri

Nyeri dapat ditangani menggunakan manajemen nyeri farmakologi dan

non-farmakologi.

1) Manajemen Nyeri Farmakologi

Menghilangkan nyeri dengan menggunakan obat-obatan pereda nyeri.

Penggunaan pada nyeri sangat hebat dan berlangsung berjam-jam atau

berhari-hari. Obat-obatan yang digunakan sejenis analgesik. Menurut

Smeltzher & Bare(2013) terdapat tiga jenis analgesik, yaitu:

a. Non-narkotik dan anti inflamasi non-steroid (NSAID):

Digunakan untuk nyeri ringan hingga sedang. Obat ini tidak

menimbulkan depresi pernapsan.

b. Analgesik narkotik atau opiod:

Digunakan untuk nyeri sedang hingga berat, misalnya pasca

operasi. Efek samping dari analgesik narkotik ini adalah mual,

muntah, menimbulkan depresi pernapasan, efek sedasi, dan

konstipasi.
c. Obat tambahan atau adjuvat (koanalgesik):

Obat ini dapat meningkatkan kontrol nyeri dan menghilangkan

gejala penyertanya. Obat dalam jenis sedatif, anti cemas, dan

pelemas otot.

Obat golongan NSAID, golongan kortikosteroid sintetik,

golongan opioid memiliki onset sekitar 10 menit dengan

maksimum analgesik 1-2 jam. Dan durasi kerja sekita 6-8 jam

(Permata,2014).

2) Manajmen Nyeri Non Farmakologi

Menurut Smeltzher & Bare (2013) tindakan non-farmakologi yang

dapat dilakukan perawat secara mandiri, yaitu:

a. Stimulasi dan Masase Kutaneus

Masase merupakan stimulasi kutaneus tubuh secara umum yang

difokuskan pada punggung dan tubuh. Masase digunakan untuk

mengurangi nyeri karena membuat pasien lebih nyaman akibat

relaksasi otot.

b. Kompres Dingin dan Hangat

Berguna untuk menurunkan produksi prostaglandin sehingga

reseptor nyeri dan menghambat proses inflamasi. Kompres hangat

meningkatkan aliran darah sehingga menurunkan nyeri dan

mempercepat penyembuhan. Pada pemberian kompres ini

digunakan secara hati-hati agar tidak terjadi cedera.

c. Transcutaneus Electric Nerves Stimulation (TENS)

Digunakan untuk nyri akut dan nyeri kronis. TENS dipasang


dikulit menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar, atau

mendengung pada nyeri .

d. Distraksi

Mengalihkan perhatian pasien agar tidak memperhatikan nyeri.

Individu yang tidak menghiraukan nyeri akan lebih baik terganggu

dan tahan menghadapi nyeri. Penelitian yang dilakukan Fadli

(2017) memaparkan bahwa ada pengaruh distraksi pendengaran

terhadap intensitas nyeri pada pasien fraktur. Dan terdapat

penurunan skor nyeri setelah diberikan terapi distraksi

pendengaran.

e. Teknik Relaksasi

Teknik relaksasi ini dapat berupa napas dalam. Teknik ini dapat

menurunkan ketegangan otot yang menunjang rasa nyeri.

Penelitian yang dilakukan Aini (2018) menunjukan bahwa adanya

pengaruh pemberian teknik relaksasi napas dalam pada pasien

fraktur.

f. Imajinasi Terbimbing

Pasien akan diarahkan untuk menggunakan imajinasi yang positif.

Dikombinasikan dengan relaksasi dan menggunakan suatu

gambaran kenyamanan yang dapat mengalihakan perhatian

terhadap nyeri.

g. Terapi Musik

Pemberian terapi musik dapat mengalihkan perhatian dan

menurunkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Penelitian yang


dilakukan Firdaus (2020) menunjukan bahwa adanya pengaruh

pemberian terapi musik pada pasien post operasi fraktur karena

dengan mendengarkan musik otak merangsang hormon endoprin

yang berfungsi untuk menurunkan nyeri yang dirasakan pasien.

2.3 Terapi Musik Klasik

2.3.1 Definisi Terapi Musik Klasik

Terapi musik adalah suatu bentuk terapi dibidang kesahatan yang

menggunakan musik serta aktivitas musik untuk mengatasi masalah dalam

berbagai aspek psikologis, fisik, kognitis dan kebutuhan sosial indivdu

(Yanuar, 2015).

Berbagai penelitian menunjukan terapi musik klasik efektif dalam

manajemen nyeri, hal ini dikarenakan musik klasik memiliki tempo 69-80

beats permenit selaras dengan derak jantung manusia

(Astutik&Merdekawati, 2016).

Terapi musik Klasik adalah suatu bentuk terapi dibidang kesehatan

yang menggunakan musik dan aktivitas musik untuk mengatasi masalah

daam berbagai aspek fisik, psikologis, kognitif dan kebutuhan sosial

individu yang mengalami cacat fisik (Faridah,2016).

World Federation of Music Theraphy menjelaskan terapi musik

sebagai penggunaan profesional dari musik dan elemennya sebagai salah

satu intervensi dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan lingkungan

sehari-hari dengan individu , kelompok keluarga, atau komunitas yang


mencoba mengoptimalisasikan kualiats hidupnya dan meningkatkan

kesehatan fisik, sosial, komunikatif, emosional, intelektual, spiritual sera

kondisi well- being dirinya (Edwards, 2017).

2.3.2 Karakteristik Musik Klasik Untuk Relaksasi

Menurut Utomo (2010), mengatakan bahwa karakteristik musik klasik

yang menimbulkan relaksasi adalah musik klasik yang temponya lambat

yang mempunyai bunyi lebih panjang dan lambat, karena akan

menyebabkan detak jantuk pendengarannya menjadi lebih rendah dan

menciptakan ketegangan fisik. Musik klasik akan menurunkan detak

jantung dan tekanan darah, menurunkan tingkat rangsangan secara umum

sehingga membuat jantung tenang pendengarannya. Elemen musik yang

menyebabkan relaksasi yaitu : tempo yang stabil, perubahan secara

berangsur-angsur pada voleme, irama, timbre, pitch, dan harmoni, telstur

yang konsisten, modulasi yang terprediksi, kadens(konfigurasi melodi

yang menimbulkan kesan ketenangan) yang tepat, garis melodi yang

terprediksi, pengulangan materi struktur dan bentuk yang tetap.

2.3.3 Mekanisme Kerja Terapi Musik Klasik

Musik bekerja pada sistem syaraf otonom yaitu bagian sistem syaraf

yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantung,

fungsi otak, mengontrol perasaan dan emosi. Mendengarkan musik

dengan penuh relaksasi dapat mengurangi nyeri karena merangsang

keluarnya hormon endorphin dari dalam tubuh sebagai morphin alami.

Dengan mendengarkan musik tersebut dapat sebagai penyembuh alami,


penyeimbang produksi hormon tubuh dan penyegaran pikiran dari

kecemasan yang dapat menyebabkan meningkatnya rasa nyeri dari tubuh.

Pada umumnya musik juga sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari

dan akrab terdengar oleh telinga manusia, musik juga dapat

mengekspresikan perasaan dan dapat mengalihkan perhatian yang

terfokus. Musik juga sangat berperan dalam kesehatan yaitu sebagai

media distraksi untuk terapi seperti nyeri, kecemasan dan

lainnya(Mayenti and Sari 2020).

2.3.4 Manfaat Pemberian Musik Klasik

Terapi musik klasik menurut Musbikin (2009 dalam Serianty &

Wulandari, 2018) diantaranya membuat seseorang menjadi lebih rileks,

menurunkan tingkat stress, menurunkan tingkat kecemasan akibat operasi

dan menimbulkan rasa aman.

Terapi musik klasik sangat efektif untuk menurunkan nyeri karena

musik dapat melakukan pengalihan perhatian serta kecemasan yang dapat

meningkatkan intensitas nyeri yang dirasakan pasien, dengan

mendengarkan musik otak merangsang pelepasan endoprin yang berfungsi

untuk menurunkan nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang sakit

(Mayenti and Sari 2020).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arif & Sari (2018) dari

subjek yang diteliti dengan 15 responden, sebagian besar responden

sebelum diberikan terapi musik berada pada katagori nyeri berat dan

sesudah dilakukan intervensi terapi musik lebih dari setengah responden


skala nyerinya berkurang pada katagori nyeri sedang .

2.3.5 Kontraindikasi Terapi Musik

Pelaksanaan terapi musik sangat berkaitan dengan indra pendengaran,

yaitu telinga karena stimulus atau gelombang suara dari musik akan masuk

ke otak melalui telinga, sehingga orang dengan gangguan pendengaran

menjadi kontraindikasi dari pelaksanaan terapi musik ini.

2.3.6 Efek Samping Terapi Musik Klasik

Tabel 2.1 SOP Pemberian Terapi Musik Klasik

No Kegiatan Cheklist

Ya Tidak
Tahap pra Interaksi

1 Cek catatan keperawatan atau medis pasien (jika ada)


2 Siapkan alat-alat
a. Tempat tidur
b. Bantal
c. Musik box , headset atau speaker
d. Lingkungan yang tenang dan nyaman
e. Kertas dan pulpen
3 Identifikasi faktor atau kondisi yang dapat menyebabkan
kontraindikasi
4 Cuci tangan
Tahap Orientasi
5 Beri salam dan panggil klien sesuai namanya
6 Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan pada klien/
keluarga
Tahap Kerja
7 Berikan kesempatan kepada klien untuk bertanya sebelum
tindakan dilakukan
8 Menanyakan keluhan utama klien dan kaji skala nyeri sebelum
diberikan terapi
9 Menjaga privasi klien dan memulai kegiatan dengan baik
10 Menetapkan perubahan pada perilaku/fisiologis yang diinginkan
misalnya relaksasi, stimulasi dan konsentrasi.
11 Menetapkan ketertarikan pasien pada musik
12 Bantu pasien memilih posisi yang nyaman
13 Batasi stimulasi eksternal seperti cahaya, suara, pengunjung dan
panggilan masuk
14 Nyalakan musik dan lakukan terapi musik selama 15 menit ,
pemberian terapi ini dilakukan sebanyak 1x sehari
15 Pastikan volume musik sesuai dan tidak terlalu keras
Terminasi
16 Simpulkan hasil kegiatan dan kaji skala nyeri setelah diberikan
terapi
17 Berikan umpan balik positif
18 Kontrak pertemuan selanjutnya
19 Akhiri kegiatan dengan cara yang baik
20 Rapihkan alat-alat
21 Cuci tangan
Dokumentasi
22 Catat seluruh kegiatan yang dilakukan

Tabel 2.2 Hasil Observasi Pasien Kontrol

PASIEN 1 PASIEN 2
(diberikan terapi musik) (tidak diberikan terapi musik)
Hari/ waktu SKALA NYERI (NPS) SKALA
Hari/ waktu NYERI
PRE POST TERAPI (NPS)
TERAPI
1 1

2 2

3 3

Anda mungkin juga menyukai