Terapi Seni

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329544982

Membebaskan Kritik Diri dengan Menggambar: Studi Kasus Terapi Seni


Berbasis Pendekatan Person-Centered pada Permasalahan Gangguan Panik

Conference Paper · October 2015

CITATIONS READS

0 1,707

2 authors, including:

Monika Windriya Satyajati


Soegijapranata Catholic University
6 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Monika Windriya Satyajati on 08 August 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

Membebaskan Kritik Diri dengan Menggambar:


Studi Kasus Terapi Seni berbasis Pendekatan Person-Centered
pada Permasalahan Gangguan Panik

Monika W. Satyajati & Rosada Dwi Iswari


Magister Psikologi Profesi Bidang Klinis, Fakultas Psikologi UGM

Abstrak
Dalam ranah psikologi, seni berperan membantu individu sebagai media untuk
berekspresi. Tentunya, ekspresi seni ini memberikan berbagai pengaruh positif
dalam kehidupan psikologis individu, terutama dalam penanganan terhadap
berbagai gangguan psikologis, atau sebagai perpaduan psikoterapi. Terapi seni
memang telah diaplikasikan pada berbagai permasalahan depresi dan kecemasan,
namun masih belum banyak dipakai dalam permasalahan gangguan panik.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana terapi seni, dengan pendekatan person-
centered, dapat membantu klien dengan permasalahan gangguan panik dan apa
luaran dari terapi tersebut. Studi kasus intrinsik yang dilakukan peneliti terhadap
2 klien dengan gangguan panik menunjukkan adanya kondisi psikologis yang lebih
positif setelah 2-3 pertemuan menggambar bebas. Klien mengungkapkan adanya
perasaan lebih bebas dan tidak lagi mengkritik diri sendiri, sehingga rasa cemas
yang dialami pun berkurang. Adanya kondisi penerimaan tidak bersyarat
memfasilitasi klien agar merasa lebih bebas dan mengurangi kritik. Klien pun
melaporkan bahwa kecemasannya dalam menjalani aktivitas sehari-hari telah
berkurang.
Kata kunci: gangguan panik, psikoterapi seni, person-centered therapy, terapi seni
ekspresif

PENGANTAR
Latar belakang masalah
Manusia merupakan makhluk yang memiliki kapasitas untuk mengevaluasi dan
mengembangkan diri. Dalam mengembangkan diri, manusia membutuhkan media
untuk berekspresi. Menurut Kamus Online Oxford, seni adalah ekspresi dan
penggunaan dari ketrampilan kreatif dan imajinasi yang diapresiasi karena
keindahan ataupun kekuatan emosionalnya (OED Online, 2015). Seni bersinergi
dengan berbagai aspek kehidupan manusia, seiring meningkatnya kebutuhan
manusia terhadap nilai aestetik. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari proses
mental dan perilaku manusia (Passer & Smith, 2007) juga bersinergi dengan seni
untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis manusia. Penggunaan seni dalam
psikologi tidak memiliki batasan karena seni merupakan cara alami manusia
untuk berkomunikasi (Rubin, 2005).
Dalam ranah psikologis, seni menunjukkan adanya peran dalam berbagai
konstrak psikologi. Media seni yang paling sering diteliti adalah musik, yang telah
ditemukan dapat menurunkan stres harian (Linneman dkk., 2015) dan kecemasan

1
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

saat menghadapi pelajaran matematika (Gan, Lim, & Haw, 2015). Mendengarkan
musik juga ditemukan dapat berpengaruh pada adanya proses regulasi mood atau
suasana hati (Garrido & Schubert, 2015). Bahkan, membayangkan musik saja
ternyata berkaitan dengan adanya kondisi suasana hati yang lebih positif
(Satyajati, 2010).
Selain memberi fungsi dalam berbagai aktivitas sehari-hari secara umum, seni
juga memberikan sumbangsih secara khusus dalam psikoterapi untuk mengatasi
berbagai permasalahan psikologis, misalnya depresi dan trauma (Schouten dkk.,
2015). Musik ditemukan dapat berpengaruh pada gangguan kecemasan (Gutiérrez
& Camarena, 2015; Guétin dkk, 2009). Media seni selain musik pun, misalnya
dengan menggunakan tanah liat (Morais dkk., 2014), puisi (Mohammadian dkk.,
2011) atau penggabungan musik dengan aktivitas fisik (Verussio dkk., 2014), juga
ditemukan dapat memberikan pengaruh positif pada berbagai permasalahan
depresi dan kecemasan.
Penggunaan terapi seni telah diterapkan pada berbagai permasalahan
psikologis. Namun sejauh yang peneliti ketahui, penerapan pada gangguan panik
masih belum banyak dilakukan. Penanganan efektif terhadap gangguan panik
yang telah diteliti belumlah menggunakan psikoterapi berbasis seni. Padahal,
faktor risiko dan prognosis gangguan panik, menurut Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Helath Disorders edisi kelima (DSM-5) (American Psychiatric
Association, 2013), meliputi adanya kerawanan pada emosi negatif, riwayat
kekerasan fisik atau seksual, dan stressor tertentu di lingkungan. Berbagai
permasalahan ini, tentunya akan lebih optimal bila dapat diekspresikan
menggunakan adanya media seni.
Salah satu psikoterapi seni yang dirasa peneliti memberikan fasilitasi untuk
mengekspresikan emosi adalah terapi seni berbasis pendekatan Person-Centered,
atau yang lebih dikenal dengan Person-Centered Expressive Arts Therapy. Menurut
pencetus terapi ini, yaitu Natalie Rogers (dalam Rogers dkk., 2012), perbedaan arts
therapy pada Person Centered, dibandingkan dengan pendekatan Jungian dan
psikoanalisis adalah pada konstrak teoritisnya. Terapi membantu mereka untuk
membuka makna dari gambar atau gerakan bagi mereka sendiri. Jika gambar ini
mempunyai emosi mendalam, maka terapis akan merespon secara empatis tanpa
menghakimi atau menginterpretasi. Studi yang dilakukan pada klien depresi (Kim,
2010) dan demensia (Sauer dkk., 2014) menunjukkan bahwa terapi ini dapat
membantu klien mengemukakan pengalaman traumatis dan menjadi lebih terbuka
dalam mengekspresikan diri. Namun begitu, penerapan terapi seni berbasis

2
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

Person-Centered pada permasalahan gangguan panik, sejauh yang peneliti ketahui,


belumlah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui lebih dalam
mengenai penerapan terapi ini pada permasalahan gangguan panik.
Rumusan masalah
1. Bagaimana terapi seni berbasis pendekatan Person-Centered dapat membantu
penanganan klien dengan permasalahan gangguan panik?
2. Bagaimana luaran terapi seni berbasis pendekatan Person-Centered pada klien
dengan gangguan panik?
Tinjauan pustaka
Gangguan panik merupakan gangguan psikologis yang termasuk golongan
gangguan kecemasan. Menurut Pedoman Penegakan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) (Maslim, 2013), gejala gangguan panik meliputi, adanya serangan panik
yang berulang, yang tidak terbatas pada adanya situasi tertentu ataupun suatu
rangkaian kejadian. Serangan panik terjadi pada kondisi yang secara objektif tidak
berbahaya, tidak bisa diprediksi, dan di antara serangan tersebut terdapat periode
di mana klien sama sekali tidak mengalami gejala kecemasan. Penanganan pada
gangguan panik yang banyak dilakukan selama ini adalah dengan menggunakan
farmakoterapi (Oh, dkk., 2015), psikoterapi dengan pendekatan psikoanalisis
(Milrod, dkk., 2007), dan cognitive-behavior therapy (CBT) secara individu (Roberge
dkk., 2008; Elkins & Moore, 2011; Wolf & Goldfried, 2014) maupun kelompok
(Tenga dkk., 2015).

Landasan konseptual
Raskin, Rogers, dan Witty (2010) menjelaskan bahwa pendekatan person-
centered berakar pada sikap dan kepercayaan di mana dalam proses terapi, terapis
dan klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman
pertumbuhan. Person centered memandang setiap manusia memiliki kapasitas
untuk melakukan peningkatan (enhancement). Kebutuhan akan peningkatan
diekspresikan dalam beragam bentuk, termasuk keingintahuan, permainan,
eksplorasi diri, pertemanan, dan kepercayan diri bahwa seseorang dapat mencapai
pertumbuhan psikologis.
Rogers berpendapat bahwa manusia memiliki kekuatan kreatif dalam dirinya
untuk memecahkan masalah, untuk mengubah konsep dirinya, dan mengarahkan
diri. Individu menerima pengalamannya sebagai kenyataan dan mereka
mengetahui kenyataan mereka lebih baik daripada siapapun. Manusia memiliki
kecenderungan untuk untuk melakukan aktualisasi tidak butuh diarahkkan,
dikontrol, didesak, atau dimanipulasi (Rogers, 1980).

3
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

Terapi seni dengan pendekatan Person-Centered merupakan salah satu teknik


terapi seni ekspresif. Klien diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi diri
melalui seni, menggunakan emosi dan intuisi dalam bentuk media (Rogers dkk.,
2012). Klien yang senang menggambar difasilitasi untuk melakukan eksplorasi diri
melalui gambar ekspresi. Proses merupakan hal terpenting dalam terapi ini.
Terapis melakukan penerimaan tak bersyarat (unconditional positive regard) dan
refleksi empati selama klien bercerita baik saat menggambar maupun setelah klien
selesai menggambar.
Metode penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah studi kasus intrinsik. Metode
penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menggeneralisasi atau menciptakan suatu
konsep atau teori, melainkan bertujuan untuk memahami kasus secara utuh
(Poerwandari, 2005). Studi kasus berdasarkan dua kasus yang telah ditangani oleh
peneliti sebagai bagian dari praktik kerja profesi psikologi, yang dilakukan pada
akhir tahun 2014. Terdapat dua pertemuan terapi seni pada kasus petama, dan
tiga pertemuan terapi seni pada kasus kedua, yang merupakan bagian dari
serangkaian pertemuan terapi yang diberikan pada klien di masing-masing kasus.
Hasil terapi dianalisis menggunakan teori utama psikologi pendekatan humanistik,
yaitu pendekatan Person-Centered.

PEMBAHASAN
Kasus 1
Gambaran Kasus
Riri merupakan anak perempuan bungsu di keluarganya. Kedatangan Riri
dan kakaknya untuk melakukan konsultasi psikologi dikarenakan sudah tiga
bulan Riri sama sekali tidak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Setiap berangkat ke sekolah Riri mengalami serangkaian serangan panik yang
membuatnya was-was setiap keluar rumah. Oleh karena khawatir serangan panik
tersebut muncul kembali, Riri pun menghindari aktivitas di luar rumah.
Pembicaraan Riri pada awal pertemuan dengan peneliti berkisar mengenai
kondisi fisiknya yang dirasa kurang sehat, dugaan keluarganya mengenai
gangguan jin, kegiatan di sekolah, serta keluarganya yang baik dan selalu
perhatian pada Riri. Ia menceritakan bahwa ia lebih menikmati waktu di rumah
daripada bersama teman sebayanya. Ia juga bercerita bahwa ia kadang
menggambar saat pelajaran di sekolah membosankan. Kegagalannya untuk
berangkat ke sekolah selama 3 bulan membuatnya merasa bersalah pada orang

4
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

tua dan ia merasa dirinya adalah orang yang gagal, terlebih ketika akhirnya Riri
harus pindah ke sebuah sekolah swasta pada tiga bulan menjelang ujian nasional.
Pembicaraan tentang menggambar membuka pintu baru untuk alternatif terapi
seni, peneliti menawarkan sesi menggambar bebas pada sesi selanjutnya.

Prosedur Intervensi
Terapi seni berbasis pendekatan Person-Centered dilakukan selama dua sesi,
dengan media menggambar. Sesi menggambar diawali dengan relaksasi napas, lalu
Riri dipersilakan menggambar secara bebas pada selembar kertas dengan
menggunakan berbagai pewarna seperti cat air, krayon, pensil warna, dan spidol.
Instruksi yang disampaikan adalah sebagai berikut:
“Waktu kita kecil, umur 2 tahun mungkin, kita suka menggambar coret coret
seenaknya. Tapi kemudian, orangtua, guru, mulai mengajari bagaimana cara
menggambar yang benar. ‘Gunung biasanya digambar berwarna biru’, ‘Rumah itu
bentuknya harus seperti ini’. Padahal, menggambar adalah seni, dan seni adalah
ekspresi dari emosi yang kita rasakan. Ketika kita merasa bahwa menggambar itu
harus seperti ini atau itu, ekspresi emosi kita jadi terbatasi. Makanya hari ini kamu
diajak untuk menggambar bebas. Gambarkan apapun yang ada di pikiranmu. Ketika
kamu berpikir untuk menggambar sesuatu tapi kemudian ada ketakutan bahwa
gambar tersebut salah, abaikan ketakutan itu. Tetap buat apa yang kamu inginkan,
bagaimanan hasil coretanmu. Tidak ada interpretasi atau penilaian baik atau buruk di
sini. Kamu hanya diajak untuk berekspresi saja”

Riri, sebagai klien, menggambar sambil bercerita, sementara peneliti, sebagai


terapis, bertugas mendengarkan secara empatik apa yang diceritakan klien.

Sesi 1
Riri tampak antusias dengan kegiatan menggambar,
ia mencoba warna-warna baru dan kadang tampak
mempertimbangkan lalu melanjutkan gambarnya. Sambil
menggambar ia bercerita bahwa apa yang ia gambar sama
dengan gambar yang ia buat saat presentasi kelas bahasa
Jerman di sekolah lamanya dan kelas tersebut adalah
kelas yang menyenangkan. Saat itu ia memiliki tugas
untuk menceritakan apa yang digambarnya.
Setelah selesai Riri mengatakan bahwa ia merasakan
keinginan untuk terbang bebas tetapi keinginan itu belum bisa terwujud karena
ada yang menghalangi. Ia juga mengatakan bahwa mungkin penghalang itu adalah
sifat keras kepala dan rasa takut.
Saat sesi berlangsung, ibu Riri sempat datang dan melihat gambarnya. Riri
diam tetapi menunjukkan ketidaknyamanan terhadap komentar ibu mengenai
gambarnya. Ibunya mengatakan perempuan dengan rambut berwarna-warni yang

5
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

digambar klien adalah gambaran perempuan masa kini yang sering berpenampilan
aneh-aneh.

Sesi 2
Riri bercerita bahwa selama seminggu terakhir ia
cukup mengekspresikan rasa jengkel, sedih, dan
kecewanya atas kejadian-kejadian yang ia alami.
Misalnya dengan berjalan-jalan ketika marah, atau
mengajak bermain anak kecil ketika sedih. Ia pun
tidak lagi ditunggui ayahnya saat berada di sekolah
baru. Ia merasa hidupnya lebih berwarna tetapi agak malu karena ekspresinya
agak sulit dikendalikan.
Pada sesi kedua klien kembali memilih kegiatan menggambar, sambil
mengambar klien bercerita mengenai kebingungannya untuk memilih jurusan dan
universitas untuk kuliah. Ibu menyuruh klien kuliah di jurusan psikologi tetapi
klien bingung akan memilih jurusan psikologi sesuai pilihan ibu atau jurusan lain
karena ia sendiri masih bingung.
Setelah selesai menggambar Riri menatap gambarnya lalu menghela nafas, ia
menceritakan bahwa ia menulis namanya karena namanya adalah nama yang
indah dan dia sedang ingin mengekspresikan emosinya ingin marah-marah kalau
jengkel, ingin menangis saat sedih, dan ingin tertawa saat senang. Saat sesi
selesai, Ibu Riri datang dan tampak akan mengomentari gambar Riri. Riri dengan
cepat menyimpan gambarnya dan menunjukkan reaksi tidak ingin dikomentari
dengan mengalihkan pembicaraan.

Evaluasi Perkembangan Kasus


Riri bercerita bahwa selama seminggu setelah sesi menggambar ia merasa
sehat. Ia melakukan banyak kegiatan selama di rumah dan mencoba berbagai
aktivitas baru. Riri bahkan berpikir untuk kembali berlatih mengendarai sepeda
motor agar saat kuliah ia bisa lebih mandiri. Riri menyatakan bahwa ia merasa
kesal jika dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu, ia merasa senang
ketika melakukan sesuatu berdasar keputusannya sendiri. Riri mencoba hal baru
untuk mengatasi masalahnya, ia sempat meminta kakaknya untuk mengantarnya
berkeliling mengendarai sepeda motor. Hari berikutnya, Riri yang meminta untuk
kembali berjalan-jalan dengan rute sampai dengan dekat jalan raya. Ia merasa
heran karena ia bisa mengendalikan diri saat melewati jalan di mana ia biasanya
merasakan gejala-gejala serangan panik. Riri juga menyapu halaman dan jalan

6
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

beberapa sore terakhir. Ia merasa bersemangat untuk makan dan melakukan


berbagai aktivitas. Riri kemudian bertanya apa yang sebaiknya ia lakukan saat
berangkat sekolah agar bisa lebih tenang.
Setelah melakukan dua sesi menggambar tema pembicaraan Riri telah
berganti dari kondisi-kondisi yang menurutnya menghalanginya untuk maju
menjadi pembebasan diri untuk menjadi lebih bebas dan berdaya untuk
menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Riri pun berusaha melindungi
kebebasan yang ia bangun dengan menghentikan kritik lingkungan yang selama
ini menghalangi kebebasannya.

Kasus 2
Gambaran Kasus
Ibu Rosa merupakan seorang perempuan berusia 41 tahun dengan latar
belakang pendidikan S1, yang membuka usaha di rumahnya. Ia mempunyai
seorang suami dan seorang anak, dan tinggal bersama ibu kandungnya. Ibu Rosa
dirujuk ke psikolog oleh dokter, dengan diagnosis Gangguan Panik. Ia seringkali
mengalami sesak napas, kehilangan kendali motorik, tekanan darah naik pada
berbagai situasi secara tiba-tiba.
Dalam proses pemeriksaan psikologis, diketahui bahwa Ibu Rosa cenderung
bersikap mendetail dalam bekerja. Ia merasa cemas jika pekerjaan yang ia lakukan
belum sempurna. Ia juga mempunyai riwayat menjadi korban kekerasan fisik oleh
ibunya, yang sering menuntutnya untuk memberikan prestasi yang tinggi. Saat
terapi berlangsung kondisi pernikahannya dengan suaminya juga kurang
harmonis, terutama karena kurangnya komunikasi serta status suaminya yang
tidak mempunyai pekerjaan tetap.

Prosedur Pelaksanaan Intervensi


Terapi seni dengan pendekatan Person-Centered dilakukan dengan media
menggambar di kertas gambar A4 dan alat gambar berupa pensil warna dengan 48
pilihan warna. Sesi menggambar dilakukan selama 3 kali dan setiap pertemuan
diawali dengan relaksasi. Instruksi menggambar yang diberikan serupa dengan
instruksi pada kasus 1.

Sesi 1
Klien menggambar sambil seringkali mengomentari bahwa gambarnya tidak
bagus. Ia menggambarkan tempat yang menurutnya membuatnya merasa
nyaman. Ia juga bercerita bahwa anaknya adalah satu-satunya orang yang bisa
membuatnya merasa nyaman di rumah. Namun begitu, ia seringkali merasa cemas

7
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

ketika anaknya berangkat sekolah, karena ia


takut anaknya akan mengalami kecelakaan.
Memang, anaknya pernah mengalami
kecelakaan, meskipun tidak terluka. Setiap
pagi, ibu Rosa selalu berada di dekat telepon
selulernya hingga anaknya sampai di sekolah.
Suatu kali anaknya menghubungi, ibu Rosa
mengalami serangan panik hingga tidak dapat mengangkat teleponnya. Ia takut
anaknya mengalami kecelakaan, meskipun ternyata hal yang ia takutkan tersebut
tidak ia alami.
Ibu Rosa juga menceritakan mengenai kritik yang selalu diberikan ibunya
kepadanya. Ia merasa setiap pekerjaannya selalu diawasi oleh ibunya. Kritik selalu
diberikan pada setiap detail pekerjaannya. Hal ini membuat ibu Rosa selalu panik
jika ia merasa pekerjaannya salah.

Sesi 2
Pada sesi kedua, Ibu Rosa menggambarkan
tempat yang membuatnya merasa bebas. Selama
menggambar, ia seringkali merasa takut jika
gambar yang ia buat tidak sesuai dengan yang ia
harapkan. Ibu Rosa mengatakan bahwa ia
sebenarnya sudah paham bahwa ia tidak harus
memberikan gambar yang secara aestetik bagus, akan tetapi tetap sulit baginya
menggambar bebas. Namun kemudian lama kelamaan ia menggambar dengan
lebih tenang, sambil bercerita.
Tempat yang ia gambar adalah sawah yang berada di dekat rumahnya.
Menurutnya, sejak kecil, ia sering naik pohon di dekat sawah tersebut. Ia merasa
bebas dan terbebas dari banyak hal jika berada di pohon tersebut, terutama dari
ibunya. Ibu Rosa merasa bahwa sejak kecil, seberapa pun prestasi yang berhasil ia
berikan, ibunya masih terus mengkritik dan menghukumnya. Ia merasa tidak
nyaman di rumah dan menikmati waktu di mana dia bisa sendirian memanjat
pohon dan menikmati sore di atas pematang sawah.
Ia kemudian bercerita bagaimana ia sangat terpengaruh oleh kritik dan aturan
ibunya. Bahkan, ia menikahi suaminya karena keputusan ibunya. Hingga saat ini,
ia merasa tidak nyaman dengan suaminya. Ia pun melihat gambarnya dan
kemudian berkata bahwa sejak dulu ia senang merasa sendirian, karena sendirian
membuatnya merasa bebas.

8
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

Sesi 3
Pada sesi ketiga, setelah selesai relaksasi, Ibu
Rosa tampak lebih cepat mengambil pensil warna
dan langsung menggambar. Tidak seperti
biasanya, ia tidak nampak mengomentari
gambarnya. Ekspresi wajah Ibu Rosa nampak
tersenyum. Selesai menggambar, ia menunjukkan
gambarnya ke peneliti kemudian menceritakan bahwa selama beberapa hari
sebelum pertemuan ketiga, ia menghadapi permasalahan yang cukup sulit.
Suaminya baru saja diketahui terlibat hutang dalam jumlah yang cukup banyak,
dan telah menipu ibu dari Ibu Rosa untuk menutupi hutang tersebut. Penagih
hutang pun mendatangi ibu Rosa. Karena sangat kesal pada suaminya, Ibu Rosa
sempat marah dan mengancam menggugat cerai. Ia juga menangis dan bercerita
pada temannya mengenai kekesalannya. Namun setelah bercerita, ibu Rosa baru
menyadari bahwa ia sama sekali tidak mengalami serangan panik. Padahal,
biasanya jika ia mengalami sedikit masalah, serangan panik biasanya terjadi. Ibu
Rosa pun merasa senang dengan perkembangan yang ia rasakan. Meskipun
mengalami masalah, ia merasa masih bisa cukup tenang menghadapinya.
Kejadian tersebut membuat Ibu Rosa akhirnya merasa bersyukur. Ketika
kembali mengikuti sesi pertemuan ini dan melakukan relaksasi, ia menjadi tahu
bagaimana menggambar secara bebas.
“Saya sekarang menjadi tidak begitu cemas dengan perkataan orang, Mbak. Saya juga
tidak terlalu takut akan kesalahan lagi. Saya senang saya bisa lebih tenang. Waktu
menggambar tadi, saya juga mulai bersikap santai. Saya sempat merasa ingin
mengkritik diri sendiri selama menggambar, tapi masa bodo ah. Saya cuma ingin
menggambar dan terserahlah orang mau bilang gambar saya kurang ini atau itu. Saya
berusaha menggambarkan apa yang ingin saya gambarkan. Dari kemarin sebenarnya
saya sudah tahu apa yang dimaksud Mbak waktu Mbak bilang menggambar tanpa
mengkritik diri sendiri. Tapi baru tadi saya benar-benar bisa.”

Evaluasi Perkembangan Kasus


Setelah 6 bulan sejak sesi terakhir menggambar, Ibu Rosa menunjukkan
banyak perubahan. Ibu Rosa nampak lebih ceria, percaya diri, dan tidak lagi
bersikap terlalu cemas dalam melakukan pekerjaannya. Meskipun sempat
menggugat cerai suaminya, hal itu tidak ia laksanakan. Menurutnya, ia sekarang
lebih merasa hidupnya ringan, lebih banyak beraktivitas, dan tidak pernah lagi
mengalami serangan panik. Suaminya maupun ibunya masih mempunyai sikap
yang sama seperti sebelumnya, namun ia sudah tidak begitu terpengaruh oleh
adanya kritik.

9
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

Pembahasan Kasus
Dalam psikoterapi berbasis person-centered tujuan utama adanya terapi seni
adalah untuk membantu klien mengekspresikan dirinya secara lebih autentik
dengan modalitas seni (Malchiodi, 2003). Kebebasan adalah tema yang dibahas
klien Kasus 1 pada sesi pertama. Setelah itu ekspresi emosi yang lebih bebas telah
dialami klien setelah sesi tersebut, ia pun kemudian lebih menerima berbagai
ekspresi emosi diri dan menciptakan batasan antara dirinya dan kritik dari ibu
yang selama ini selalu ia terima. Klien berusaha membebaskan dirinya dari kritik
untuk membangun kembali kekuatan dalam dirinya untuk dapat bebas. Bebas,
dalam hal ini berarti juga tidak terhalang untuk mengekspresikan dirinya.
Kebebasan berekspresi juga ditunjukkan oleh klien pada Kasus 2, yang pada
awalnya seringkali mencemaskan hasil kerjanya. Kecemasan ini berakar dari kritik
yang seringkali ia terima dari ibunya semenjak kecil. Proses menggambar bebas
membantunya untuk membebaskan kritik dalam diri, sehingga rasa cemas pun
dapat diregulasi dengan baik.
Menggambar secara bebas ternyata memberikan suasana terapiutik bagi
klien. Hal ini sesuai dengan konsep dasar pendekatan person-centered bahwa
adanya penerimaan yang tidak bersifat evaluatif, memmbuat seseorang dapat
menghargai dan mempedulikan diri sendiri (Rogers, 1980). Dalam menggambar,
tentunya peran penting terapis adalah memberikan penerimaan tidak bersyarat,
sehingga membuat klien merasa nyaman. Adanya penerimaan tidak bersyarat ini
akan membantu klien merasa aman dan menghasilkan produk yang kreatif,
terutama jika terapis bersikap tulus dan positif (Rubin, 2005).
Dalam kedua kasus yang telah dipaparkan, adanya penerimaan dari terapis
untuk memberikan kebebasan pada klien ternyata mengurangi rasa cemas klien.
Kedua klien tersebut sama-sama sering mendapatkan kritik dari figur ibu. Kritik
tersebut tentunya menimbulkan dampak psikologis yang tidak bisa diungkapkan
oleh para klien. Padahal, individu akan lebih berfungsi optimal secara psikologis
jika ia mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan terhadap figur yang signifikan
baginya (Rogers, 1980). Oleh karena itu, adanya penerimaan tidak bersyarat pada
sesi terapi seni ini membantu klien merasakan kondisi yang bebas sehingga
kecemasan dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari dilaporkan berkurang.

10
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

KESIMPULAN
Berdasarkan dua kasus yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa
terapi seni berbasis person-centered memberikan peran yang mendukung proses
pemulihan klien dengan gangguan panik. Terapi ini memberikan kondisi-kondisi
terapiutik yang membantu klien merasa lebih bebas dan tidak terlalu terpengaruh
pada kritik yang ada. Mereka memunculkan adanya diri yang lebih kuat dan tidak
lagi pencemas. Luaran dari terapi ini adalah bahwa klien melaporkan adanya
kecemasan yang berkurang ketika melakukan aktivitas sehari-hari.
Namun begitu, kedua sesi terapi ini memang tidak dapat menggambarkan
Person-Centered Expressive Arts Therapy secara keseluruhan, seperti konsep yang
diberikan oleh Natalie Rogers (Rogers, dkk., 2012). Hal ini dikarenakan
terbatasnya sesi yang dijalani oleh klien, dan adanya sesi terapi lain yang tidak
diisi dengan kegiatan seni. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian lebih
lanjut mengenai terapi seni berbasis Person-Centered terutama pada penanganan
berbagai kasus psikologis di Indonesia.

Daftar Pustaka
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders, 5th edition. Washington DC: American Psychiatric Association, 2015.
Elkins, S.R., & Moore, T.M. “A time-series study of the treatment of panic disorder”.
Clinical Case Studies 10(1) (2011): 3-22.
Gan, S.K., Lim, K.M., & Haw, Y. “The relaxation effects of stimulative and sedative
music on mathematics anxiety: A perception to physiology model.” Psychology
of Music (2015): 1-12.
Garrido, S. & Schubert, E. “Moody melodies: Do they cheer us up? A study of the
effect of sad music on mood” Psychology of Music 4 (2015): 244-261.
Guétin, S., Soua, B., Voiriot, G., Picot, M.-C., & Herisson, C. “The effect of music
therapy on mood and anxiety-depression: An observational study in
insitutionalised patients with traumatic brain injury”. Annals or Pyshical and
Rehabilitation Medicine 52 (2009): 30-40.
Gutiérrez, E.O.F. & Camarena, V.A.T. “Music therapy in generalized anxiety
disorder”. The Arts in Psychotherapy 44 (2015): 19-24.
Kim, S. “A Story of a Healing Relationship: The Person-Centered Approach in
Expressive Arts Therapy” Journal of Creativity in Mental Health 5 (2010): 93-98.
Linneman, A., Ditzen, B., Strahler, J., Doerr, J. M., & Nater, U. M. “Music listening
as a means of stress reduction in daily life.” Psychoneuroendocrinology 60
(2015): 82-90.
Maslim, R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
Jakarta: Perpustakaan nasional, 2013.
Milrod, B., Leon, A.C., Busch, F., Rudden, M., Schawlberg, M., .... Shear, M.K. “A
randomized controlled clinical trial of psychoanalytic psychotherapy for panic
disorder”. The American Journal of Psychiatry 164 (2007): 265-272.
Mohammadian, Y., Shahidi, S., Mahaki, B., Mohammadi, A.Z., Baghban, A.A.,
Zayeri, F. “Evaluating the use of poetry to reduce signs of depression, anxiety

11
Dipublikasikan pada: Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian
Seni: Arts and Beyond tahun 2015, halaman 459-475

and stress in Iranian female students.” The Arts in Psychotherapy 38 (2011):


59-63.
Morais, A.H., Dalécio, M.A.N., Vizmann, S., Carvalho Bueno, V.L.R.de., Roecker, S.,
Salvagioni, D.A.J., Eler, G.J. “Effect on scores of depression and anxiety in
psychiatric patients after clay work in a day hospital.” The Arts in
Psychotherapy 41 (2014): 205-210.
Oh, J-Y., Yu, B-H., Heo, J-Y., Yoo, I., Song, H., & Jeon, H-J. “Plasma
catecholamine levels before and after paroxetine treatment in patients with
panic disorder”. Psychiatry Research 225 (2015): 471-475.
Passer, M.W., & Smith, R.E. Psychology: The science of mind and behavior. New
York: McGraw Hill, 2007.
Poerwandari, E.K. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok:
LPSP3 UI, 2005.
Raskin, N.J., Rogers, C.R., dan Witty, M.C. “Client-Centered Therapy” Dalam
Corcini, R.J., & Wedding, D. Current Psychotherapies, Ninth edition, halaman
148-195. Belmont: Brooks/Cole, 2010.
Roberge, P., Marchand, A., Reinharz, D., & Savard, P. “Cognitive-behavioral
treatment for panic disorder with agoraphobia”. Behavior Modification 32 (2008)
333-351.
Rogers, C. A way of being. Boston: Houghton Mufflin, 1980.
Rogers, N., Tudor, K., Tudor, L.E., & Keemar, K. “Person-centered expressive arts
therapy: A theoretical encounter” Person-Centered & Experiential
Psychotherapies 11(1) (2012): 31-47.
Rubin, J. A. Artful Therapy. New Jersey: John Wiley & Son, 2005.
Satyajati, M.W. “Intensitas Pembayangan Musik dan Suasana Hati pada Pemusik,
Penghobi Musik, dan Awam” Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2010.
Sauer, P.E., Fopma-Loy, J., Kinney, J.M., & Lokon, E. “It makes me feel like myself:
Person-centered versus traditional visual arts activities for people with
dementia” Dementia (2015) (pre-published article, doi:
10.1177/1471301214543958)
Schouten, K.A., Niet, G.J.de., Knipscheer, J.W., Kleber, R.J., & Hutschemaekers,
G.J.M. “The Effectiveness of Art Therapy in the Treatment of Traumatized
Adults: A Systematic Review on Art Therapy and Trauma.” Trauma, Violence,
and Abuse 16:2 (2015): 220-228.
Tenga, J. E., Barreraa, T. L., Hiatt, E. L., Chaisona, A. D. Dunna, N. J., Petersena,
N. J., & Stanley, M. A. “Intensive weekend group treatment for panic disorder
and its impact on co-occurring PTSD: A pilot study”. Journal of Anxiety
Disorders 33 (2015): 36–46.
Verrusio, W., Andreozzi, P., Mariglianob, B., Renzi, A., Gianturco, V., Pecci, M.T.,
Ettorre, E., Cacciafesta, M., & Gueli, N. “Exercise training and music therapy
in elderly with depressive syndrome: A pilot study” Complementary
Therapies in Medicine 22 (2014): 614-620.
Wolf, A.W. & Goldfried, T.R. “Clinical experiences in using cognitive-behavior
therapy to treat panic disorder”. Behavior Therapy 45(1) (2014): 36-46.
"art, n.1". OED Online. June 2015. Oxford University Press.
http://www.oed.com/viewdictionaryentry/Entry/11125 (accessed August 13,
2015).

12

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai