Anda di halaman 1dari 10

UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Oleh: Dr. Dede Kania, SH., MH.


(Dosen dan Ketua PKSHK FSH UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Pengantar
Dalam negara hukum, pembahasan hak asasi manusia (HAM) menjadi
keniscayaan. HAM menjadi salah satu ciri dari negara hukum. Karenanya, muatan
berbagai peraturan perundang-undangan semata-mata ditujukan untuk melindungi
HAM. Bahkan HAM harus menjelma dalam hukum itu sendiri, terwujud dalam
bentuk konstitusi dan undang-undang, selanjutnya penegakkannya melalui badan-
badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (Nasution, 2011). Seluruh
peraturan perundang-undang tanpa kecuali, harus menjamin hak asasi manusia dalam
muatannya. Apapun tujuan utama ditetapkannya sebuah undang-undang, HAM harus
tetap menjadi prioritas. Lalu bagaimana dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Ciptaker), yang sejak
pembahasannya terus mendapat sorotan, apakah sudah memenuhi persyaratan
penyusunan peraturan perundang-undangan, bagaimana muatan HAM dalam UU
Ciptaker ini?
UU Ciptaker dirumuskan dalam bentuk omnibus law, dengan terdiri atas 15
bab, 174 pasal, 79 UU terkait, dan 1244 pasal yang diubah, dihapus, dan/atau
dibentuk norma baru, dan 11 kluster pembahasan. Kluster yang diatur yakni:
penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan,
pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan
inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan
proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi. Dalam klaster ketenagakerjaan, cakupan
bahasannya adalah berkaitan dengan upah minimum, pesangon PHK, outsourcing,
tenaga kerja asing, dan jam kerja. Ruang bahasan dalam klaster ketegakerjaan
maupun kluster lainnya yang luas tentu bersinggungan banyak dengan HAM.
Dalam kajian Komnas HAM (2021), terdapat beberapa implikasi UU Ciptaker
terhadap HAM, mulai dari kemunduran hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak, pelemahan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, relaksasi tata
ruang/wilayah dan potensi penggusuran paksa, ancaman kedaulatan pangan,
memburuknya ketimpangan lahan, dan diskriminasi hak atas persamaan di depan
hukum. Apabila diperhatikan, pembahasan yang begitu cepat di legislatif dengan
pembahasan yang tidak terbuka dan tidak melibatkan ekspert menjadikan UU
Ciptaker mendapatkan banyak tanggapan pro maupun kontra.

1
Terlepas dari berbagai pengkajian yang menyimpulkan bahwa proses,
perancangan, perumusan, dan pembahasan dilakukan tidak terbuka dan tidak
melibatkan partisipasi masyarakat, tujuan ditetapkannya UU ini memang adalah
untuk mewujudkan Indonesia ramah investasi. Sayangnya, pembahasan isu hak asasi
manusia dalam pembahasan naskah akademik hanya disinggung dalam tiga hal:
pengupahan; aspek moral dan budaya dalam isu perfilman; dan soal good
governance. Lalu sebenarnya bagaimana kedudukan hak ketenagakerjaan dalam
HAM? Apa implikasi pemberlakuan UU Ciptaker secara umum terhadap kondisi
perlindungan HAM di Indonesia terutama terkait dengan hak atas pekerjaan dan hak-
hak lainnya dalam ketenagakerjaan?

Pembahasan dan Analisis


1. Hak Ketenagakerjaan sebagai Hak Ekosob
Hak Ekosob merupakan hak esensial dalam hak asasi manusia internasional
selain hak sipol. Bersama dengan hak sipil dan politik, ia menjadi bagian dari the
international bill of rights. Pendapat yang mendudukan hak sipil politik semata-mata
sebagai hak negatif, sedangkan hak ekosob semata-mata hak yang bersifat positif,
tidak dapat diterima sepenuhnya. HAM bersifat indivisibility dan interdependensi,
yang dalam perumusannya, hak yang diatur dalam kovenan hak ekosob bukan hanya
jenis “rights to”, tetapi ada juga yang diatur dalam jenis “freedom from”. Dalam
prakteknya, hak-hak ekosob sangat rentan dilanggar. Berbagai diskursus tentang
HAM, seakan mendudukkan HAM hanya terdiri atas hak sipol. Padahal kovenan hak
sipol ditetapkan sekaligus dengan hak ekosob. Pun Indonesia, meratifikasi keduanya
dalam waktu yang bersamaan. Dari sisi kedudukannya inilah, pembahasan hak
ekosob harus dipandang sama penting dengan hak sipol. Tanpa hak ekosob,hak sipol
akan timpang bahkan percuma. Begitupun sebaliknya.
Prinsip Maastricht (Maastricht Principles) merumuskan adanya jaminan
pemenuhan hak-hak ekosob dan penyediaan sarana, mekanisme, dan akses dalam
menuntut hak-hak tersebut bila tidak terpenuhi. Prinsip Maastricht juga menuntut
tanggung jawab negara (state obligation) berdasarkan kovenan hak ekosob, bukan
hanya menuntut negara untuk melakukan sesuatu (state obligation to do something),
melainkan juga ada tanggung jawab negara untuk tidak melakukan sesuatu (state
obligation not to do something). Terdapat banyak hak yang diatur dalam kovenan hak
ekosob berupa tuntutan negara untuk tidak melakukan sesuatu, misalnya dalam
perumusan hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah, kebebasan
melakukan riset, larangan menggunakan anak-anak pekerjaan berbahaya, dan
sebagainya (McChesney, 2003).
Karel Vasak (dalam Asplund, dkk (ed), 2008), menggolongkan hak sipol
(liberte) sebagai HAM generasi pertama dan hak ekosob (egalite) sebagai HAM

2
generasi kedua. Lalu hak-hak solidaritas sebagai HAM generasi ketiga. Penggolongan
ini berdasarkan sejarahnya, teori-teori yang awal tentang HAM memang berkaitan
dengan revolusi di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Generasi ini dipengaruhi
oleh filsafat individualisme liberal dan doktrin sosial-ekonomi (laisez-faire) seperti
filsafat Hobbes dan John Locke. Generasi ini meletakan HAM lebih pada terminologi
yang negatif (bebas dari) daripada terminologi yang positif (hak atas, hak dari, atau
hak untuk).
Generasi kedua, ialah yang tergolong pada hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya yang berakar pada tradisi sosialis seperti Saint-Simonians pada awal abad ke-
19 di Perancis. Generasi ini timbul sebagai bagian dari kritik terhadap perkembangan
kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja dan masyarakat kolonial. Ini diadopsi
oleh Pasal 22-27 Deklarasi HAM PBB. Generasi ketiga yang mencakup hak-hak
solidaritas merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya.
Tercantum dalam Pasal 28 Deklarasi HAM PBB, ia mencakup enam hak sekaligus.
Tiga diantaranya merefleksikan bangkitnya nasionalisme Dunia Ketiga dan keinginan
untuk mendistribusikan kembali kekuatan, kekayaan, dan nilai-nilai lain yang
penting.
Hak ekosob dirumuskan berdasarkan berbagai ketentuan internasional,
khususnya kovenan internasional hak-hak ekosob (International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights), sebagai hak dasar manusia di bidang
ekonomi, sosial dan budaya yang harus dilindungi dan dipenuhi agar manusia
terlindungi martabat dan kesejahteraannya. Indonesia telah meratifikasi Kovenan
internasional hak-hak ekosob pada 28 Oktober 2005 dengan UU Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan the International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights. Hak ekosob secara penuh diakui masyarakat internasional dan
diseluruh hukum internasional mengenai hak asasi manusia.
Hak ekosob dirancang untuk menjamin perlindungan terhadap manusia
dengan sepenuhnya berdasarkan suatu pandangan bahwa manusia berhak menikmati
hak, kebebasan dan keadilan sosial secara bersamaan. Dalam penegakannya, terdapat
beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam memastikan penjaminan hak ekosob
di suatu negara peratifikasi kovenan internasional hak ekosob.
Prinsip pertama, berdasarkan Deklarasi Wina 1993, bahwa hak ekosob tidak
dapat dipisahkan dengan hak sipol karena kedua jenis hak ini saling bergantung dan
menguatkan. Perwujudan hak ini tidak bergantung pada apakah hak ekosob
merupakan hak fundamental atau tidak, melainkan apakah suatu negara punya
kewajiban hukum merealisasikan hak-hak tersebut.
Prinsip kedua, adanya perhatian terhadap hak menentukan nasib sendiri (self
determination). Ini menjadi hal penting sebagai bagian dari hak dasar dari negara
yang berdaulat untuk menjaga integritas teritorialnya. Implikasinya pada hak ekosob

3
adalah, menjadi hak setiap orang untuk secara bebas mengembangkan ekonomi,
sosial dan budayanya, termasuk kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial,
ekonomi dan budaya.
Prinsip ketiga adalah prinsip non diskriminasi. Di dalam prinsip ini
ditegaskan negara memiliki kewajiban sesegera mungkin memenuhi hak ekosob bagi
warganya. Dalam praktiknya, dimungkinkan pemenuhan kewajiban dari negara
dilakukan secara bertahap, namun beberapa kewajiban strategis dari kovenan hak
ekosob harus diterapkan dengan segera. Prinsip non diskriminasi di atas, berdasarkan
Prinsip Limburg dimungkinkan dikecualikan secara terbatas berupa adanya kebijakan
khusus yang diambil semata-mata untuk individu atau kelompok yang dibutuhkan
bagi terciptanya keadilan menikmati hak ekosob. Kebijakan khusus ini tidak
dimaksudkan untuk mempertahankan hak-hak yang terpisah bagi kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Jadi, ketika tujuan telah dicapai maka kebijakan
tersebut harus dihapus. Selain itu, Prinsip Limburg juga menuntut penerapan
Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob bagi Negara Pihak agar memastikan hak
penghidupan yang minimal bagi semua orang, terlepas dari tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu Negara.
Prinsip keempat, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect),
melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak ekosob warganya. Dalam
konteks ini makanegara diletakkan sebagai aktor utama yang memegang kewajiban
dan tanggung jawab (duty holders) mewujudkan hak-hak ekosob. Sementara, warga
negara adalah pemegang hak (rights holders). Negara diberikan kesempatan dalam
pemenuhan hak ekosob, sesuai dengan kemampuannya. Namun ada kewajiban yang
harus dipenuhi secara langsung dan kewajiban lain ada yang harus dilaksanakan
secepat mungkin. Jika suatu negara peserta tidak mengambil langkah saat dibutuhkan,
maka negara tersebut melanggar kovenan. Indikator terpenuhinya hak Ekosob
diantaranya adalah ketersediaan, keterjangkauan baik secara fisik maupun ekonomi,
tidak terdapat diskriminasi dalam informasi, ada persamaan dalam kualitas, dan dapat
diterima secara budaya.
Berdasarkan prinsip yang mendasari, jelas bahwa kedudukan hak ekosob
sangat penting dalam hukum HAM internasional. Ia menjadi acuan bersama dalam
pemajuan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak ekonomi merupakan Kategori
kategori HAM yang bertujuan untuk menjamin setiap umat manusia mempunyai
kemampuan untuk menyediakan dan menjaga standar hidup yang memadai secara
konsisten dan bermartabat. Hak tersebut antara lain: hak atas pangan, pelayanan
kesehatan, jaminan sosial, pekerjaan dan lain-lain. Hak Sosial, terdiri atas hak atas
standar hidup yang layak, perumahan yang layak, dan makanan; hak atas standar
kesehatan tertinggi yang dapat dicapai; hak atas pendidikan dan jaminan sosial. Hak
Budaya adalah hak untuk menikmati budaya sendiri dan berpartisipasi dalam

4
kehidupan budaya suatu masyarakat. Hak Budaya juga diartikan sebagai hak yang
berkaitan dengan seni dan budaya. Tujuan dari hak-hak ini adalah untuk menjamin
bahwa orang dan masyarakat memiliki akses ke budaya dan dapat berpartisipasi
dalam menentukan pilihan budaya. Hak budaya adalah hak asasi manusia yang
bertujuan untuk memastikan pemenuhan atas hak budaya dan komponen-
komponennya dalam kondisi setara, menjunjung tinggi martabat manusia dan bersifat
non-diskriminasi. Hak budaya terkait dengan bahasa; produksi seni dan budaya;
partisipasi dalam kehidupan budaya; warisan budaya; hak kekayaan intelektual; hak
penulis; minoritas; dan akses ke budaya. Hak atas pekerjaan termasuk kedalam hak
ekosob bersama dengan hak-hak lainnya.
Hak-hak pekerja dan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan bukan hanya
merupakan hak utama dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak Ekosob),
melainkan juga berkedudukan sebagai hak yang fundamental (Drzewicki, 2001).
Artinya, hak ini merupakan hak yang melekat pada kodrat manusia sendiri, sebagai
hak-hak yang paling dasar. Dalam implementasinya, terhadap hak hak asasi manusia
melekat ciri-ciri inalienable (tidak dapat dicabut), universal, interconnected (terkait
satu sama lain), dan indivisible (tidak dapat dipisah-pisahkan). Termasuk dalam hak-
hak pekerja diantaranya: kondisi kerja yang adil dan aman bagi para pekerja; hak
mencari dan memilih pekerjaan; hak membentuk bergabung dan mengambil
keputusan bersama dalam serikat buruh; jaminan sosial, antara lain bantuan
pemerintah pada masa tua dan saat tidak ada pekerjaan, dan uang atau bantuan
lainnya bagi orang yang membutuhkan bantuan agar dapat menjalani kehidupan yang
bermartabat (McChesney, 2003).
Kuatnya kedudukan hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan karena
pengaturannya dalam berbagai instrument hukum nasional maupun internasional.
Penguatan kedudukan hak-hak berkaitan dengan pekerjaan dalam berbagai instrument
hukum, menunjukkan adanya perhatian negara dan dunia internasional terhadap
pentingnya perlindungan bagi para pekerja dan hak-hak yang berkaitan dengan
pekerjaan lainnya. Indonesia, mengatur hak atas pekerja dan hak-hak yang berkaitan
dengan pekerjaan sebagai hak konstitusional. Indonesia juga telah meratifikasi
berbagai instrument terkait ketenagakerjaan, dan menetapkan berbagai peraturan
perundang-undangan. Terakhir berkaitan dengan ketenagakerjaan bahkan dirumuskan
dalam bentuk omnibus law, karena mengatur di dalamnya seluruh aspek terkait
ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker).

2. Implikasi UU Ciptaker terhadap Hak Ketenagakerjaan


Berdasarkan konsiderannya, sebenarnya terdapat keinginan untuk
mewujudkan HAM dalam UU Ciptaker. Dijelaskan dalam konsideran: “Bahwa untuk
mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan

5
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu
melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja; bahwa dengan kerja
diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah
persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi….”. Juga
dijelaskan bahwa Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33
UUD NRI 1945 mendasari lahirnya UU Ciptaker. Maka seharusnya, seluruh
pengaturan harus dikembalikan pada hak-hak konstitusional tentang hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2) UUD
NRI 1945); hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
1945); hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat (2) UUD 1945); dan landasan ekonomi
kekeluargaan dengan penguasaan cabang produksi penting oleh negara (Pasal 33
UUD NRI 1945).
Berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945, konstitusi mengafirmasi hak
atas pekerjaan (right to work) dan hak dalam pekerjaan (rights in work) sebagai
HAM. Pemenuhan hak atas pekerjaan menitikberatkan pada akses dunia kerja tanpa
diskriminasi atas dasar agama, etnis, dan sebagainya, sedangkan pemenuhan hak
dalam bekerja adalah konkretisasi dan implementasi pemenuhan hak-hak normatif
bagi pekerja, seperti gaji, fasilitas keamanan dan keselamatan kerja, serta jaminan
semasa depan pekerja (Majda el-Muhtaj, 2008). Sebagai bagian dari hak ekosob,
maka pemenuhan hak atas pekerjaan tidak terlepas dari tanggung jawab negara.
Berdasarkan prinsip-prinsip Maastricht, negara bertanggungjawab untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi kewajibannya mengenai tindakan
(obligation of conduct) dan hasil (obligation of result) dalam pemenuhan hak-hak
atas pekerjaan tersebut.
Pengaturan aspek ketenagakerjaan dan UU Ciptaker bila melihat pada
pendapat Komnas HAM (2021), terindikasi memundurkan pemenuhan hak atas
pekerjaan dan upah yang layak. Hal ini setidaknya terkait dengan perubahan
pengaturan tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Upah, dan Pesangon.
Perjanjian kerja yang menjadi dasar adanya pekerjaan diubah ketentuannya. Pasal 57
UU 13 Tahun 2003, diubah ketentuannya dalam hal bentuk perjanjian hanya dibuat
secara tertulis. Ketentuan Pasal 57 ayat (2) tentang akibat hukum perjanjian tidak
tertulis ditiadakan, sehingga hal ini dapat menjadikan alasan bagi pengusaha untuk
membuat perjanjian secara tidak tertulis padahal perjanjian kerja merupakan hal dasar
dalam hubungan kerja karena memuat hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha. Dalam prakteknya, bentuk perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja

6
masih banyak dibuat dalam bentuk tidak tertulis. Hal ini dapat menyulitkan dalam
pembuktian adanya hubungan kerja dalam rangka pemenuhan hak-hak tenaga kerja
yang mengalami PHK. Sehingga asas kepastian hukum tidak dapat terpenuhi.
Terkait PKWT, Pasal 59 ayat (1) huruf b UU 13 Tahun 2003, mengatur
tentang PKWT dengan beberapa syarat, salah satunya dengan waktu yang tidak
terlalu lama, dan paling lama 3 (tiga) tahun dan Pasal 59 ayat (4) yang mengatur
bahwa, “perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Kedua pengaturan tersebut
dicabut dalam Pasal 81 angka 14 UU Ciptaker. Kemudian di Pasal 8 PP 34 Tahun
2021, mengatur masa PKWT dapat dilakukan paling lama 5 (lima) tahun, tanpa ada
kepastian perpanjangan kontrak. Sehingga mengubah seluruh sifat, jenis, dan level
pekerjaan menjadi hubungan kontrak, selain itu tidak jaminan untuk menjadi pekerja
tetap.
Berkaitan dengan pengupahan terdapat perubahan dan penghapusan pasal
krusial. Pasal 88 dan Pasal 89 UU 13 Tahun 2003 dihapus pada frasa, “kebutuhan
hidup layak”. UU Ciptaker merumuskan Pasal 88D yang mengatur bahwa:
(1) Upah minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah
minimum.
(2) Formula perhitungan upah minimum memuat variabel pertumbuhan
ekonomi atau inflasi.
Formula perhitungan dengan muatan variable pertumbuhan ekonomi atau inflasi
dapat mengurangi hak pekerja atas penguapahan yang layak. Selain itu, pengaturan
pengupahan pada Pasal 90 UU 13 Tahun 2003 justru dihapus. Padahal Pasal 90 UU
13 Tahun 2003 ini berkaitan dengan larangan membayar upah lebih rendah dari upah
minimum. Ketika pengusaha tidak mampu membayar, ia tetap dikenakan kewajiban
sekalipun dengan perjanjian penangguhan. Penghapusan Pasal ini berdampak pada
hilangnya kepastian hukum terkait pengupahan, termasuk pengaturan sanksi pun
menjadi tidak dapat dijalankan. Untuk besaran upah, dalam UU Ciptaker hanya
ditetapkan oleh Gubernur, tidak melibatkan dewan pengupahan. Pengaturan upah
mengalami kemunduran. Padahal salah satu ruh perlindungan HAM dalam hak
ketenagakerjaan adalah terkait dengan hak atas upah yang layak.
Pengaturan Upah Pesangon (UP) dalam UU Ciptaker juga mengalami
perubahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (2); Pasal 43 (1); Pasal 44 (1); Pasal
45 (1); PP 35 Tahun 2021 ketentuan uang pesangon (UP) menjadi sangat rendah,
hanya 0,5 dari ketentuan pada Pasal 40 ayat (4), yang didasarkan pada Pasal 156 UU
Ciptaker. Berbeda dengan UU 13 Tahun 2003 yang mengatur pesangon adalah 1
sesuai ketentuan Pasal 163 UU 13 tahun 2003.

7
Lebih jauh dari itu, instrument HAM memandatkan sistem ketenagakerjaan
dan pengupahan yang adil dan baik yang pantas untuk manusia yang bermartabat
ditambah dengan bentuk perlindungan sosial lainnya sebagaimana diatur pada Pasal
23 DUHAM dan Pasal 6 ICESCR.
Pasal 23 DUHAM:
(1) Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and
favourable conditions of work and toprotection against unemployment;
(2) Everyone, without any discrimination, has the riht to equal pay for equal
work;
(3) Everyone who works has the right to just and favourable remuneration
ensuring for himself and his family an existence worthy of human dignity, and
supplemented, if necessary, by other means of social protection;
(4) Everyone has the rights to form and to join trade unions for the protection of
his interest.
((1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan,
berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil seta baik, dan berhak atas
perlindungan dari pengangguran; (2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas
pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama; (3) Setiap orang yang
melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik, yang menjamin
kehidupannya dan keluarganya, suatu kehidupan yang pantas untuk manusia yang
bermartabat, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya; (4)
Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk
melindungi kepentingannya)
Pasal 7 ICESCR menjelaskan:
The States Parties to the present covenant recognize the right of everyone to the
enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular:
(a) Remuneration which provides all workers, as a minimum, with:
(i) Fair wages and equal remuneration for work of equal value without
distintion of any kind, in particular women being guaranteed conditions
of work not inferior to those enjoyed by men, with equal pay for equal
work;
(ii) A decent living for themselves and their families in accordance with the
provisions of the present Covenant;
(b) Safe and healthy working conditions;
(c) Equal opportunity for everyone to be promoted in his employment to an
appropriate higher level, subject to no considerations other than those of
seniority and competence;
(d) Rest, leisure and reasonable limitation of working hours and periodic
holidays with pay, as well as remuneration for public holidays.

8
(Negara-negara Peserta Perjanjian mengakui hak setiap orang akan kenikmatan
kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, yang menjamin, terutama: (a)
pemberian upah bagi semua pekerja, sebagai minimum, dengan (i) gaji yang adil
dan upah yang sama nilainya tanpa perbedaan apapun, terutama wanita yang
dijamin kondisi kerjanya tidak kurang dari kondisi yang dinikmati pria, dgaji yang
sama untuk pekerjaan yang sama; (ii) penghiupan yang layak untuk dirinya dan
keluarganya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian; (b) kondisi
kerja yang aman dan sehat; (c) persamaan kesempatan untuk setiap orang untuk
dipromosikan pekerjaan ke tingkat yang lebih tinggi, tanpa pertimbangan lain
kecuali senioritas dan kecakapan; (d) istirahat dan santai dan pembatasan dari jam
kerja yang layak dan liburan berkala dengan upah dan juga upah pada hari libur
umum).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan bentuk pengakuan
dari eksistensi manusia. Pekerjaan haruslah dapat dipilih secara bebas. Pendapatan
yang didapatkan dari pekerjaan berupa upah maupun dalam bentuk lain harus
diberikan secara layak dan baik, tanpa diskriminasi (Majda El Muhtaj, 2008). Hak
bekerja dalam rumusan Pasal 23 DUHAM, menunjukkan bahwa hak atas pekerjaan
termasuk dalam hak ekonomi. Ia dikonstruksikan bukan sekedar hak individual,
melainkan sebagai kewajiban negara untuk menyediakan akses pekerjaan bagi setiap
individu (Källström and Eide, 1999). ILO sendiri telah mengeluarkan lebih kurang
180 konvensi dan rekomendasi yang secara tegas memberikan perlindungan terhadap
hak atas pekerjaan. Jaminan perlindungan terhadap hak atas pekerjaan setidaknya
meliputi hak atas kesamaan upah dan kesamaan kerja (right to equal pay for equal
work); hak untuk bebas dari diskriminasi (right to freedom from discrimination in
workplace); hak untuk berserikat (right to organize and bargain collectively); hak
untuk penghapusan pekerja anak (right to abolition of child labor); dan hak unntuk
bebas dari kerja paksa (right to freedom from forced or compulsory labor)
(www.ilo.org).
Pengaturan hak atas pekerjaan harus diperkuat semata-mata untuk
memberikan perlindungan bagi tenaga kerja. Pengakuan hak atas pekerjaan dalam
konstitusi, mengharuskan berbagai peraturan perundang-undangan memuat jaminan
HAM, termasuk juga UU Ciptaker. Sistem kerja dan pengupahan yang layak harus
ditujukan untuk memberikan jaminan hak-hak atas pekerjaan berdasarkan hak-hak
pekerja. Di satu sisi memang jaminan investasi harus dijaga, tetapi di sisi lain, hak-
hak pekerja tetap harus dilindungi tanpa direduksi atas nama investasi.

Simpulan
Indonesia telah menjamin hak atas pekerjaan sebagai hak konstitusional,
sehingga berbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan harus didasarkan

9
pada jaminan perlindungan HAM semata-mata. UU Ciptaker sebagai bagian dari
pembangunan ketenagakerjaan belum secara utuh melindungi hak-hak pekerja,
karena beberapa aspek krusial seperti PKWT, pengaturan upah, dan pesangon
mengalami perubahan signifikan yang dapat berdampak mereduksi hak atas pekerjaan
dan berpotensi merugikan buruh apabila terjadi perselisihan.

Bibliografi
Asplund , Knut D., Marzuki, Suparman, dan Riyadi, Eko (Ed.), 2008. Hukum Hak
Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII.
Drzewicki, Krzysztof, 2001. The Right To Work and Rights in Work, dalam Asbjørn
Eide (ed., et.al.), 2001. Economic, Social, and Cultural Rights. USA: Martinus
Nijhoff Publisher.
El Muhtaj, Majda, 2008. Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.
Gearty, Conor and Tomkins, Adam (Ed.), 1996. Understanding Human Rights.
London and New York: Mansell.
Källström, Kent, and Eide, Asbjørn, 1999. Article 23, dalam Gudmundur Alfredson
dan Asbjørn Eide (ed., et.al.), 1999. The Universal Declaration of Human
Rights: a Common Standard of Achievement. The Hague, Netherland: Kluwer
Law International.
Komnas HAM, 2005. Hak Pekerja dan Jaminan Sosial. Jakarta: Komnas HAM.
-----------------, 2021. Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Komnas HAM.
McChesney, Allan, 2003. Memajukan dan Membela Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Penerjemah: Irawan. Yogyakarta: INSIST Press-INSIST Human Right.
Nasution, Bahder Johan, 2011. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung:
Mandar Maju.
Symonides, Janusy (Ed.), 2000. Human Rights: Concept and Standards. UNESCO
Secretariat.

10

Anda mungkin juga menyukai