Anda di halaman 1dari 11

F2 PUSKESMAS TANJUNG

JUDUL LAPORAN

SCABIES

LATAR BELAKANG

Penyakit kulit merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang sering dijumpai di
Indonesia. Prevalensi penyakit kulit di Indonesia masih terus meningkat dari 8.46% menjadi
9% di tahun 2013. Skabies merupakan penyakit kulit paling umum yang banyak terjadi di
negara berkembang termasuk Indonesia. Diseluruh dunia angka kejadian skabies pun masih
cukup tinggi yaitu 300 juta orang di dunia per tahunnya. Di Indonesia, skabies merupakan
salah satu penyakit yang paling sering dijumpai di Puskesmas, skabies banyak ditemukan
pada negara dengan iklim sub tropis dan padat penduduk. Prevalensi skabies di Indonesia
pada tahun 2008 mencapai 5.6-12.9%.Dengan demikian, data tersebut tidak jauh berbeda
dengan data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009 yang melaporkan prevalensi
penyakit skabies mencapai sekitar 8,9% kasus di wilayah kota Palembang dari keseluruhan
penyakit infeksi kulit (Ferdinand dkk, 2014).. Tingginya prevalensi skabies tentunya perlu
mendapatkan perhatian khusus dan perlu kerjasama dari berbagai sektor untuk bisa
menciptakan suatu lingkungan yang dapat mencegah kejadian skabies di Indonesia

PERMASALAHAN

Hingga saat ini angka kejadien skabies di Indonesia masih tinggi, Beberapa faktor
yang berkontribusi terhadap kejadian skabies antara lain adalah rendahnya tingkat kebersihan
diri, sanitasi lingkungan buruk, sumber air tidak bersih, serta pemukiman padat penduduk
yang memudahkan penularan. Banyaknya faktor yang mempengaruhi kejadian skabies
tentunya membutuhkan kerjasama dari berbagai sektor, baik dari pemerintah, penyedia
fasilitas kebersihan, puskesmas hingga masyarakat untuk bisa menyelesaikan permasalahan
ini. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan dasar perlu melakukan promosi kesehatan serta
edukasi guna meningkatkan kesadaran serta pengetahuan masyarakat mengenai skabies serta
cara penanggulangannya, guna memutus rantai penularan skabies, dan mengurangi angka
kejadian skabies.
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Intervensi dilakukan dengan metode konseling, informasi, edukasi (KIE) kepada


pasien dengan scabies yang berobat ke Puskesmas Sungai Baung. KIE dilakukan secara tatap
muka menggunakan metode diskusi antar dokter dan pasien, dengan bahasa yang mudah
dimengerti oleh pasien. Materi KIE berisi tentang skabies secara menyeluruh, terutama
pencegahan serta tatalaksana skabies. Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitisasi kulit terhadap tungau Sarcoptes Scabiei. Penularan terjadi dengan kontak
langsung dengan penderita skabies, maupun kontak tidak langsung melalui benda yang
terkontaminasi dari penderita skabies. Gejala khas skabies: Gatal malam hari, gatal yang
menyerang sekelompok orang di saat yang bersamaan, lesi kulit timbul pada kulit tipis (sela-
sela jari, pergelangan tangan dan kaki, lipatan). Faktor risiko mencakup tinggal di daerah
yang padat seperti asrama dan pesantren, higienitas buruk, sanitasi lingkungan buruk.
Tatalaksana Farmakologis: Permetrin krim 5% 1x pada malam hari dibiarkan selama 8 jam
dioleskan ke seluruh tubuh kecuali wajah dan lubang anus, dapat diulang 1 minggu
kemudian. Tatalaksana non-farmakologis: Membawa semua anggota keluarga untuk berobat
di saat yang bersamaan, menjemur semua linen dan kasur, hindari menggunakan pakaian
bersama, hindari menggunaan peralatan mandi bergantian, jaga kebersihan diri, gunakan air
dari sumber air yang bersih, menjaga kebersihan lingkungan

PELAKSANAAN
KIE dengan metode diskusi kepada pasien dilakukan pada waktu pelayanan di Poli
Umum Puskesmas Sungai Baung pada bulan Agustus 2020. Materi disampaikan oleh dokter
internship Puskesmas Sungai Baung. Pasien serta keluarga pasien yang datang berobat semua
menyimak dan berpartisipasi aktif dalam diskusi ini.

MONITOR DAN EVALUASI

Pelaksanaan edukasi berjalan dengan baik tanpa kendala, pasien yang diberikan
edukasi umumnya antuasias dan mau mendengarkan edukasi. Setelah diberikan edukasi,
Pasien juga dapat menjelaskan kembali hal-hal penting tentang skabies dan apa yang harus
dilakukan dirumah. Untuk monitoring, pasien diminta kembali ke puskesmas jika keluhannya
tidak membaik dalam 1 minggu setelah pemberian obat. Evaluasi dari pelaksanaan edukasi
adalah karena waktu penyampaian yang sempit dan dilakukan saat jam pelayanan.

JUDUL LAPORAN

DBD

LATAR BELAKANG

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
denguemelalui perantara nyamuk Aedes aegypti. Angka kejadian DBD diseluruh dunia masih
tinggi setiap tahunnya yaitu mencapai 390 juta kasus. Di Indonesia, angka kejadian DBD
juga masih tinggi dengan angka kejadian yang terus meningkat setiap tahunnya.Prevalensi
DBD diIndonesia mencapai 37.27%, pada tahun 2013 dan terus meningkat menjadi 78.85%
pada tahun 2016. Sedangkan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 terjadi peningkatan cukup
besar yakni sebanyak 981 kasus, tahun2016 sebanyak 932 kasus, tahun 2017 yakni 693 kasus
dan tahun 2018 menurun lagi menjadi 642 kasus .Berdasarkan data yang disebutkan
sebelumnya menunjukan DBD menjadi salah satu permasalahan kesehatan serius, sehingga
dibutuhkan berbagai upaya dan kerja sama dari berbagai pihak untuk menciptakan
lingkungan yang dapat mencegah penyebaran DBD.

PERMASALAHAN

Angka kejadian DBD yang masih sangat tinggi ditambah dengan semakin-banyaknya
angka kejadian DBD setiap tahun membuat penyakit DBD merupakan salah satu
permasalahan serius di Indonesia. Penyakit DBD juga dapat berakibat fatal dengan angka
kematian yang cukup tinggi yaitu >1%. Berbagai upaya perlu dilakukan dari segala sektor
masyarakat, salah satu indikator yang menunjukan masih rendahnya pengendalian
pencegahan DBD adalah angka bebas jentik (ABJ) yang masih rendah yaitu hanya mencapai
67,6% pada tahun 2017 dengan target pencapaian ABJ > 95%. Untuk dapat meningkatkan
ABJ diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk bisa menekan tingkat penyebaran penyakit
DBD. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan dasar perlu melakukan upaya untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat salah satunya dengan meningkatkan pengetahuan
masyarakat akan cara penyebaran DBD dan bahaya penyakit DBD untuk bisa membantu
menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas dari DBD.
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Intervensi dilakukan dengan cara memberikan konseling, informasi, edukasi (KIE)


kepada pasien DBD dan keluarga pasien saatmelakukankegiatan di
rumahbidandesaBenakatMinyak Sungai Baung. KIE dilakukan antar dokter dengan
masyarakat menggunakan metode diskusi. Materi yang disampaikan pada saat diskusi
meliputi definisi, penularan, pencegahan, serta tatalaksana DBD. DBD adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh vektor nyamuk Aedes
Aegypti. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah dengan iklim tropis. Faktor risiko
terjadinya DBD adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik, adanya jentik nyamuk Aedes
Aegypti pada genangan air, ada penderita DBD di sekitar pasien. Tanda dan gejala DBD
antara lain demam tinggi mendadak 2-7 hari, nyeri kepala, nyeri di belakang mata, nyeri
sendi, tanda perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah, bintik bintik merah di kulit
(petechiae). Tanda bahaya pada DBD meliputi demam turun namun keadaan umum
memburuk, nyeri perut, muntah terus menerus, lemah, gelisah. Pasien dengan tanda-tanda di
atas harus segera dibawa ke RS. Tatalaksana DBD adalah dengan terapi simptomatik untuk
mengurangi gejala, dan pemberian cairan yang cukup. Pencegahan DBD adalah dengan
menjaga sanitasi lingkungan, dan menerapkan prinsip 3M plus, yaitu: Menguras, menutup
tempat penampungan air, mengubur/memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas, ditambah
dengan mencegah perkembangan nyamuk yaitu dengan memelihara ikan pemakan jentik,
menggunakan obat antinyamuk, memasang kawat kasa pada jendela, tidak menggantung
pakaian, menaburkan bubuk larvasida pada penampungan air

PELAKSANAAN
Pelaksanaan intervensi dilakukan dengan metode edukasi kepada masyarakat yang
dilakukan di rumahBidanDesaBenakatMinyak, Sungai Baungpada tanggal 14Agustus 2020.
Materi disampaikan oleh dokter internship Puskesmas Sungai Baung berupa cara penyebaran
penyakit DBD, bahaya DBD dan pencegahan DBD dengan menjaga kebersihan lingkungan
dan menerapkan prinsip 3M (menguras, menutup dan mengubur).
MONITOR DAN EVALUASI

Pelaksanaan intervensi berupa edukasi berlangsung dengan baik tanpa terkendala,


masyarakat sebagian besar antusias dalam menerima informasi yang diberikan. Evaluasi dari
pelaksanaan edukasi adalah karena waktu penyampaian yang sempitmembuat keterbatasan
waktu dalam penyampaian informasi dan untuk memastikan pasien memahami informasi
yang diberikan.

JUDUL LAPORAN
Tifoid

LATAR BELAKANG

Penyakit Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Salmonella typhii. Penyakit ini ini merupakan salah satu masalah kesehatan didunia dengan
angka kejadian yang masih tinggi di dunia, angka kejadian demam tifoid mencapai 22 juta
kasus pertahun diseluruh dunia. Penyakit Demam tifoid juga masih menjadi salah satu
penyakit dengan angka kejadian yang masih sangat tinggi di Indonesia, Pada tahun 2007
angka kejadian demam tifoid mencapai 350-810 per 100.000 pendududuk.Jumlah penderita
penyakit tifus menurut data dinkeskota Palembang di tahun 2015 sebanyak 3.354 orang dan
di tahun 2016 sebanyak 2.806 orang, sedangkan untuk angka paling banyak yaitu di tahun
2017 yaitu 4.330 orang. Penyakit demam tifoid juga merupakan penyakit dengan angka
kematian yang cukup tinggi, angka kematian yang disebabkan oleh demam tifoid cenderung
meningkat tiap tahunnya dengan angka 0.6-5% kematian setiap tahunnya.

PERMASALAHAN

Demam tifoid masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang serius di
Indonesia dengan angka kejadian yang tinggi dan tingkat kematian yang cukup tinggi. Salah
satu faktor penyebab tingginya angka kejadian demam tifoid di Indonesa adalah buruknya
kebersihan lingkungan dan kesadaran masyarakat dalam menerapkan PHBS yang masih
rendah. Angka cangkupan PHBS di Indonesia masih sangat rendah yaitu hanya 37.4%, di
bawah target yaitu 38.7%. untuk meningkatkan kebersihan lingkungan dan meningkatkan
angka cakupan PHBS diperlukan kesadaran dari setiap lini masyarakat untuk mewujudkan
lingkungan yang sehat untuk menekan penyebaran demam tifoid. Puskesmas sebagai fasilitas
kesehatan dasar perlu melakukan upaya pengendalian penyakit ini salah satunya dengan
membantu memberikan edukasi dan promosi kesehatan kepada masyarakat untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat akan penyakit demam tifoid dan meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk mewujudkan lingkungan yang sehat.

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Intervensi dilakukan dengan memberikan konseling, informasi, serta edukasi kepada


pasien tifoid dan keluarga pasien melalui metode diskusi. Materi yang disampaikan saat
diskusi meliputi definisi penyakit, penularan, gejala, tatalaksana, tanda bahaya, serta
pencegahan penyakit. Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhii. Bakteri salmonella menular ke manusia melalui makanan atau minuman
yang terkontaminasi feses atau urin penderita tifoid. Faktor risiko penularan tifoid adalah
kurangnya higiene pribadi (tidak mencuci tangan), sanitasi lingkungan buruk, pengolahan
limbah kurang baik, sumber air tidak bersih, dan tidak menggunakan jamban sehat. Tanda
dan gejala tifoid mencakup demam terutama sore hari, sakit kepala, muntah, BAB cair, sulit
BAB, nyeri perut, nyeri kepala. Tatalaksana demam tifoid adalah dengan istirahat tirah
baring, diet seimbang dengan konsistensi lunak, obat penurun demam, dan antibiotik sesuai
indikasi. Tanda-tanda bahaya yang harus diperhatikan pada pasien adalah gangguan
kesadaran, muntah hebat, nyeri perut hebat, tidak bisa makan dan minum. Pencegahan
demam tifoid dilakukan dengan menerapkan PHBS dengan teratur, biasakan mencuci tangan
sebelum makan, konsumsi makanan bersih, higiene pribadi yang baik, menjaga sanitasi
lingkungan, menggunakan sumber air bersih, serta menggunakan jamban sehat.

PELAKSANAAN

Pelaksanaan intervensi dilakukan dengan metode edukasi kepada pasien yang


dilakukan saat kunjunganrumahpada tanggal 07Agustus2020. Materi disampaikan oleh
dokter internship Puskesmas Sungai Baungberupa cara penyebaran penyakit demam tifoid,
bahaya penyakit demam tifoid dan pencegahan penyebaran demam tifoid dengan menjaga
kebersihan lingkungan dan menerapkan PHBS secara baik.
MONITORING DAN EVALUASI

Pelaksanaan intervensi berupa edukasi berlangsung dengan baik tanpa terkendala,


masyarakat sebagian besar antusias dalam meneima informasi yang diberikan. Evaluasi dari
pelaksanaan edukasi adalah karena waktu penyampaian yang sempit dan dilakukan saat jam
kunjunganrumah membuat keterbatasan waktu dalam penyampaian informasi. Untuk
monitoring dapat dilakukan saat kontrol pengobatan berikutnya pada pasien curiga demam
tifoid setelah pemberian obat dengan melakukan evaluasi mengenai pemahaman pasien
terhadap informasi yang diberikan

JUDUL LAPORAN
Diare

LATAR BELAKANG
Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan konsistensi cair sebanyak 3 kali
atau lebih dalah 24 jam. Berdasarkan WHO pada tahun 2013 diare merupakan salah satu
penyebab kematian balita tertinggi kedua di Indonesia setelah ISPA. Prevalensi diare terbesar
ada pada kategori usia 1-4 tahun (16.7%) pada tahun 2013. Selain itu, hingga saat ini jumlah
kasus diare cenderung meningkat setiap tahunnya.BerdasarkandariDinkesProvinsi Sumatera
selatanpadatahun 2017, Diarepenyakiturutankedelapan paling banyakuntukProvinsi Sumatera
Selatan.Untuk data dariPuskesmas Sungai BaungdaribulanJanuarisampaiAgustus 2020
Diaremerupakanurutankeduapenyakit Paling banyak.Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan
dasar perlu melakukan upaya pengendalian penyakit ini salah satunya dengan membantu
memberikan edukasi dan promosi kesehatan kepada masyarakat untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat akan penyakit Diaredan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
mewujudkan lingkungan yang sehat.

PERMASALAHAN
Hingga saat ini jumlah kasus diare di Indonesia masih sangat tinggi, dan masih
menjadi salah satu penyebab kematian balita terbanyak. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai diare sehingga terjadi keterlambatan dalam penanganan
diare terutama pada balita dan anak. Data dari Subdit Diare Kemenkes RI pada tahun 2010
mendapatkan 17,52% balita dengan diare tidak dibawa beroba, 6,4% diobati dengan membeli
obat dari warung, 1% dibawa ke dukun, 1% dengan membeli obat di toko obat dan 0,85%
dengan membeli obat di apotek. Selain itu, cakupan pemberian oralit dan larutan gula dan
garam pada masyarakat juga masih rendah, hanya 37% yang mendapatkan oralit dan 7,28%
yang diberikan larutan gula dan garam. Hal ini menggambarkan kurangnya kesadaran serta
pengetahuan masyarakat, khususnya orang tua mengenai pencegahan, serta penanganan diare
yang optimal. Maka dari itu, puskesmas sebagai fasilitas kesehatan dasar perlu melakukan
promosi kesehatan serta edukasi yang menyeluruh kepada masyarakat untuk mengurangi
jumlah kasus diare dan mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan.

PERENCANAAN DAN INTERVENSI

Intervensi dilakukan dengan memberikan konseling, informasi, edukasi kepada pasien


dan keluarga pasien dengan diare. Metode dilakukan melalui metode diskusi antar dokter
dengan pasien. Materi yang disampaikan mencakup definisi, penularan/penyebaran,
tatalaksana, pencegahan, tanda bahaya diare. Diare didefinisikan sebagai buang air besar
dengan konsistensi cair sebanyak 3 kali atau lebih dalam 24 jam. Faktor risiko yaitu higiene
pribadi yang kurang, sanitasi lingkungan yang kurang memadai, sumber air kurang bersih,
konsumsi makanan/minuman terkontaminasi. Tanda dan gejala diare termasuk BAB cair >3x
dalam 24 jam, nyeri perut, dapat disertai mual/muntah, berat badan turun, tanda kekurangan
cairan/dehidrasi, tanda utama dehidrasi: Keadaan umum lemah, haus, turgor kulit menurun,
tanda tambahan: Ubun-ubun cekung, kelopak mata cekung, air mata cekung, mikosa bibir
dan mulut kering. Tanda bahaya diare yaitu diare lebih sering, muntah berulang, sangat haus,
makan/minum sedikit, demam, tinja berdarah, tidak membaik dalam 3 hari. Tatalaksana
Diareadalahmenggunakankonsep LINTAS DIARE:
1. Rehidrasimenggunakancairanoralit
2. Berikan zinc 10 hariberturut – turut
3. Teruskanpemberian ASI danmakanan
4. Penggunaan antibiotic selektif
5. Berikat nasihat kepada orangtua/pengasuh mengenai pemberian cairan dan obat, serta
tanda bahaya pada anak agar dapat segera dibawa ke fasilitas kesehatan. Pencegahan
diare adalah dengan pemberian ASI, pemberian makanan pendamping ASI,
menggunakan air bersih, mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan sebelum
makan, menggunakan jamban sehat, pemberian imunisasi campak
PELAKSANAAN

Pelaksanaan intervensi dilakukan dengan metode edukasi kepada pasien yang


dilakukan saat pelayanan di Poli Umum Puskesmas Sungai Baung pada bulan September
2020. Materi disampaikan oleh dokter internship Puskesmas Sungai Baung berupa informasi
mengenai diare, bahaya diare dan pencegahan diare dengan menjaga kebersihan makanan dan
menerapkan PHBS secara baik.

MONITORING DAN EVALUASI

Pelaksanaan intervensi berupa edukasi berlangsung dengan baik tanpa terkendala,


pasien sebagian besar antusias dalam menerima informasi yang diberikan, selain itu banyak
pasien yang bertanya kapan membawa anaknya ke dokter saat mengalami diare. Evaluasi dari
pelaksanaan edukasi adalah karena waktu penyampaian yang sempit dan dilakukan saat jam
pelayanan membuat keterbatasan waktu dalam penyampaian informasi.

JUDUL LAPORAN
JAMBAN SEHAT

LATAR BELAKANG
Indonesia masih memiliki tantangan yang sangat besar terkait permasalahan air
minum, hygiene dan sanitasi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010,
penduduk yang melakukan BAB numpang di tetangga sebesar 6,7%, menggunakan
jamban tidak sehat 25% dan 17,7% BAB di sembarang tempat.di Provinsi Sumatera
Selatan, dimana akses sanitasi saat ini mencapai 78,90%, Desa yang telah
melaksanakan STBM sudah 72,68% sedangkan Desa SBS (Stop Buang air besar
Sembarangan) atau ODF ada 23,21%. Atas capaian itu, PALI satu-satunya daerah
sudah ODF tingkat kabupaten/kota di Sumsel.
PERMASALAHAN
Sanitasi merupakan komponen ke-6 dari 17 komponen SDGs (Sustainable
Development Goals) pada tahun 2013, yaitu masyarakat harus terjamin sanitasi dan
ketersediaan air bersihnya, baik secara kuantitas dan kualitas, baik sekarang atau pun masa
yang akan datang. Indonesia telah mencanangkan target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 berupa tercapainya akses universal 100% air
minum, 0% pemukiman kumuh dan 100% stop bebas buang air besar sembarangan (BABS).
Oleh karena itu, masih dibutuhkan upaya dan kerja keras untuk mencapai target 100% akses
sanitasi dan tidak ada lagi wilayah yang buang air besar sembarangan (BABS).Puskesmas
sebagai fasilitas kesehatan dasar memiliki peran untuk mempromosikan mengenai sanitasi
dan jamban sehat kepada masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya sanitasi yang bersih dan sehat sebagai salah
satu upaya untuk menjaga kesehatan keluarga.

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI


Petugas mendata jumlah rumah yang akan dikunjungi untuk dilakukan pemeriksaan
jamban dan memberikan edukasi mengenai jamban yang sehat.
Jamban merupakan suatu ruangan khusus dengan fasilitas pembuangan kotoran
manusia yang terdiri atas tempat jongkok/duduk dengan atau tanpa leher angsa, dilengkapi
unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.
Secara umum terdapat 2 jenis jamban:
- Jamban cemplung
- Jamban tangki septik/leher angsa

Syarat jamban sehat:


- Tidak mencemari sumber air minum (jarak minimal 10 meter)
- Tidak berbau
- Kotoran tidak dapat dijamah serangga dan tikus
- Tidak mencemari tanah di sekitarnya
- Mudah dibersihkan dan aman digunakan
- Dilengkapi dinding dan atap pelindung
- Penerangan dan ventilasi yang cukup
- Lantai kedap air dan luas ruangan memadai
- Tersedia air, sabun dan alat pembersih

Cara pemeliharaan jamban:


- Jamban selalu dibersihkan secara teratur dan tidak ada genangan air
- Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat
- Tidak ada serangga dan tikus yang berkeliaran
- Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, air bersih)
- Bila ada kerusakan segera diganti atau diperbaiki.

PELAKSANAAN
Penyuluhan dilakukan di Desa Limau Manis pada tanggal 23 Febuari 2021 pukul
10.00-11.30. Materi penyuluhan disampaikan oleh Dokter Internsip Puskesmas Sungai
Baung. Jumlah peserta yang berpartisipasi sekitar 35-40 orang. Seluruh peserta mengikuti
pemaparan materi dari awal hingga sesi tanya jawab selesai.

MONITORING DAN EVALUASI


Penyuluhan berjalan dengan baik tanpa kendala yang berarti. Dokter dan peserta
terlibat komunikasi dua arah selama proses penyuluhan, dimana peserta juga aktif
memberikan pertanyaan terkait topik jamban sehat yang disampaikan. Evaluasi dari
pelaksanaan penyuluhan adalah waktu penyuluhan yang sempit karena bersamaan dengan
waktu pelayanan bagi pasien yang ingin berobat, sehingga beberapa pertanyaan terkait topik
yang diberikan menjadi tidak tertampung karena keterbatasan waktu.

Anda mungkin juga menyukai