Case Report - Kehamilan Ektopik Terganggu
Case Report - Kehamilan Ektopik Terganggu
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya, sehingga CRS yang berjudul “Kehamilan Ektopik Terganggu” dapat kami
selesaikan.
CRS ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kehamilan ektopik
terganggu sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Natuna.
Terimakasih kami ucapkan kepada Dokter pembimbing penulis selama menjalani
Program Internship Dokter Indonesia di Rumah Sakit Daerah Kabupaten Natuna , Serta dr.
Bobby Hartanto SpOG sebagai pembimbing dalam penulisan CRS ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa CRS ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis sangat mengaharapkan segala kritik dan saran membangun demi perbaikan di
masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap semoga CRS ini dapat memberi manfaat bagi kita semua di
masa mendatang.
Natuna, Juni 2021
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..... 1
2.1 Definisi…………………………………………………………………………... 3
2.2 Klasifikasi……………………………………………………………………….. 3
2.3 Epidemiologi…………………………………………………………………….. 4
2.5 Patofisiologi……………………………………………………………………... 7
2.7 Diagnosis………………………………………………………………………… 11
2.7.1 Anamnesis…………………………………………………………………. 12
2.9 Penatalaksanaan………………………………………………………………... 16
ii
2.10 Prognosis……………………………………………………………………...... 20
3.2 Anamnesis……………………………………………………………………….. 22
3.6 Penatalaksanaan………………………………………………………………... 28
BAB IV DISKUSI……………………………………………………………………….... 31
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………... 34
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Penulisan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai kehamilan ektopik terganggu.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi implantasinnya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi
5, yaitu2,4:
1. Kehamilan tuba, meliputi > 95 % yang terdiri atas: pars ampularis (55 %),
pars ismika (25 %), pars fimbrae (17 %), dan pars intestitialis (2 %).
2. Kehamilan ektopik lain (<5 %) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium,
abdominal, luka bekas SC (Cesarean scar), dan tempat tak terduga lain
(omentum, limpa, hati, retroperitoneum).
3. Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat sedikit.
4. Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin
berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik.
Kejadian sekitar satu per 15.000 – 40.000 kehamilan.
5. Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun
sangat jarang terjadi.
1
Gambar 1.1 Lokasi Implantasi pada Kehamilan Ektopik4
2.3 Epidemiologi
Kehamilan ektopik adalah suatu penyakit yang dapat mengancam jiwa pada
10% kasus, dan 1% dari pasien-pasien tersebut meninggal karena perdarahan internal
dan shock atau komplikasi lanjut. The Centers for Disease Control and Prevention
mencatat terjadinya kehamilan abdominal hanya berkisar 1 dari 10000 kehamilan
hidup, bahkan laporan dari rumah sakit Parkland menyebutkan lebih ekstrem lagi,
yaitu hanya berkisar 1 dari 25000 kelahiran hidup.
3
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor risiko yang dapat mendukung
terjadinya kehamilan ektopik2:
1. Faktor dalam lumen tuba :
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga
lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia
uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping;
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan
sterilisasi yang tidak sempurna.
2. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba;
4
7. Faktor lain
Pemakaian IUD dimana proses peradangan yang dapat timbul pada
endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
2.5 Patofisiologi
Pada kehamilan ektopik, karena tuba fallopi tidak memiliki lapisan
submukosa, ovum yang telah dibuahi langsung tertanam ke epitel. Zigot akan
berkembang mendekati otot dan trofoblas akan berkembang dengan cepat. Embrio
atau fetus pada kehamilan ektopik sering tidak ada atau stunted.4
Kejadian yang mungkin terjadi pada kehamilan ektopik adalah ruptur tuba,
abortus tuba atau pregnancy failure with resolution. Pada ruptur, akibat
perkembangan hasil konsepsi dan perdarahan terkait dapat merobek tuba fallopi dari
berbagai sisi. Jika ruptur terjadi pada beberapa awal minggu kehamilan lokasi yang
paling memungkinkan adalah di portio isthmus, sedangkan ampula sedikit lebih
distensible. Biasanya kehamilan ektopik tuba akan pecah spontan tetapi bisa juga
pecah akibat koitus atau pemeriksaan bimanual.3,4
Abortus biasanya terjadi pada kehamilan ektopik di fimbrial dan ampulla,
dimana ruptur biasa terjadi pada kehamilan ektopik di isthmus. Akibat terjadinya
abortus tuba, hubungan antara plasenta, membran dan dinding tuba terganggu karena
adanya perdarahan. Jika plasenta terlepas seluruhnya, seluruh hasil konsepsi
dikeluarkan melalui fimbria ke rongga peritoneal. Pada keadaan ini, perdarahan bisa
berhenti dan gejala akhirnya menghilang. Beberapa kasus, perdarahan menetap
selama hasil konsepsi tersisa di tuba. Darah perlahan-lahan keluar dari fimbrial tuba
masuk ke rongga peritoneum dan biasanya menumpuk di rectouterine cul-de-sac4
Kemungkinan lain yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik dalam tuba,
yaitu3,4:
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk
beberapa hari.
5
2. Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,
tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam
tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum
terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba
oleh villi koriales kearah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars
isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars ampullaris lebih luas,
sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan
dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai
berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan
masuk rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan
membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat
membesar karena darah dan membentuk hematosalping.
3. Ruptur tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan ruptur
pada saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar
korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada
trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering
terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada
kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars intersisialis, maka muncul
pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena
trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina.
6
Gambar 1.2 Ruptur Tuba.
8
diafragma oleh hemoperitoneum.
2.7 Diagnosis
Dalam mendiagnosis kehamilan ektopik, kita harus menggunakan pendekatan
multimodalitas dikarenakan banyaknya gejala nyeri perut yang menyertai suatu
kehamilan. Nyeri yang muncul dari kondisi uterus seperti abortus, infeksi uterus,
hamil mola, dan lainnya. Penyakit pada adneksa yang menyertai kehamilan ektopik,
seperti perdarahan, ruptur, atau terpuntirnya ovarium, salfingitis, atau abses
tuboovarian. Penyakit non-ginekologi yang dapat menyebabkan nyeri perut bagian
bawah pada awal kehamilan seperti, apendisitis, sistitis, batu ginjal, atau
gastroenteritis.4
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang belum
terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami ruptur atau abortus dahulu
sehingga menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis, dengan anamnesis yang
teliti dapat dipikirkan kemungkinan adanya kehamilan ektopik, namun untuk
9
menegakkan diagnosis pasti harus dibantu dengan pemeriksaan fisik yang cermat dan
dibantu dengan alat bantu diagnostik.2
2.7.1 Anamnesis
10
disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau dugaan adanya infeksi pelvik.
Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari 20.000
/mm3.2,4,9
2.7.5 Pemeriksaan penunjang lain
Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis
kehamilan ektopik adalah berikut ini1,4:
A. Kuldosentesis
Sebelum adanya perkembangan dari sonografi pelvis, terutama transvaginal,
kuldosentesis merupakan salah satu alat bantu diagnosis sederhana yang penting
untuk mengenali kehamilan ektopik. Penemuan hasil berupa cairan yang
mengandung bekuan darah atau cairan darah yang tidak membeku
(hemoperitoneum) pada kuldosentesis, terutama bila hematokrit lebih dari 15%.
Gambar 1.4 Teknik untuk Mengidentifikasi Hemoperitoneum. (A). Hasil TVS menunjukkan
adanya akumulasi cairan pada retrouterin cul-de-sac. (B). Kuldosentesis pada forniks
posterior vagina.
B. Laparaskopi
Diagnosis definitif dari kehamilan ektopik dapat hampir selalu ditegakkan
dengan melihat organ pelvis secara langsung melalui laparaskopi. Namun, dengan
adanya hemoperitoneum, adhesi, atau kegemukan dapat menjadi penyulit dari
laparaskopi. Dalam penelitian oleh Samuellson dan Sjovall, didapatkan ada 4 dari
166 kehamilan ektopik yang tidak dapat dilihat oleh laparaskopis karena hal
diatas, sehingga ada kemungkinan 2-5 % terjadi false-positif atau false-negatif.
11
C. Progesteron Serum
Pemeriksaan kadar serum progesterone dapat membantu diagnosis kehamilan
ektopik. Nilai lebih dari 25 ng/ml dapat menepis adanya kehamilan ektopik
dengan sensitivitas 92,5 persen. Nilai dibawah 5 ng/ml juga ditemukan pada 0,3
persen kehamilan normal. Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologist (2012), pada kadar preogesteron <5 ng/ml mengarahkan pada
kehamilan intrauterin yang mati atau pada kehamilan ektopik, karena pada
kebanyakan kasus kehamilan ektopik kadar progesteron berada diantara 10-25
ng/ml.
D. Ultrasonography
12
dapat menambah nilai diagnostik. Tetapi hemoperitoneum dapat lebih mudah
ditemukan dengan kuldosentesis.
Gambar 1.5 Tampak Kantong Gestasi dan Denyut Jantung Janin di dalam Tuba.
1. Appendisitis akut
Daerah yang lunak terletak lebih tinggi dan terlokalisir di fossa iliaka kanan.
Bisa ditemukan pembengkakkan bila ada abses apendiks, namun tidak terletak
dalam di pelvis seperti pada pembengkakan tuba. Demam lebih tinggi dan pasien
terlihat sakit berat. Tes kehamilan menunjukkan hasil negatif.
2. Salpingitis
Terjadi pembengkakan dan pembesaran tuba bilateral, demam tinggi dan tes
kehamilan negatif. Dapat ditemukan cairan serviks yang purulen.
3. Puntiran Tangkai Tumor Ovarium
Teraba massa yang terpisah dari uterus, sedangkan kehamilan tuba umumnya
terasa menempel pada uterus. Abdomen lunak dan mungkin terdapat demam
akibat perdarahan intraperitoneal. Tanda dan gejala kehamilan mungkin tidak
ditemukan namun ada riwayat serangan nyeri berulang yang menghilang dengan
sendirinya.
13
4. Abortus Inkomplit
Gejala klinik yang dominan adalah perdarahan, umumnya terjadi sebelum ada
nyeri perut. Perdarahan berwarna merah, bukan coklat tua seperti pada kehamilan
ektopik. Nyeri perut umumnya bersifat kolik dan kejang (kram). Uterus
membesar dan lembek, terdapat dilatasi serviks. Hasil konsepsi dapat dikenali
dari pemeriksaan vagina.
5. Corpus Lutheum Hemoragis
6. Pelvic Inflammatory Disease (PID) atau Radang Panggul
7. Endometriosis
2.9 Penatalaksanaan
Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik,
yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya bisa
dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti adanya
ruptur atau ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien harus
bersedian diawasi secara lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan
perkembangan yang baik. Pasien juga harus menerima segala resiko apabila terjadi
ruptur harus dioperasi.1
A. Terapi Bedah
14
hanya beberapa kasus saja salpingostomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan
ektopik yang hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingostomi dapat
dilakukan dengan teknik laparaskopi. Salpingostomi laparaskopik diindikasikan
pada pasien hamil ektopik yang belum ruptur, besarnya < 2 cm.1,4
15
Gambar 1.6 Linier Salpingostomi pada Kehamilan Ektopik.
Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit waktu
yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau total
salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit
tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk kehamilan
ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah kehamilan ektopik berulang (5-
20%) dan pengangkatan jaringan trofoblastik yang tidak komplit. Disarankan
pemberian dosis tunggal MTX post operasi sebagai profilaksis pada pasien resiko
tinggi4
B. Terapi Farmakologi
Penggunaan methotrexate (MTX) pertama kali digunakan pada tahun 1980-an
dan telah diterima secara luas sebagai pengobatan utama untuk kehamilan
ektopik. MTX merupakan antagonis asam folat (agen kemoterapeutik
antimetabolit) yang dimetabolisme di hati dan diekskresikan oleh ginjal. MTX
bekerja dengan menghambat sintesis basa purin dan pirimidin dengan berikatan
pada enzim dihydofolate reductase (DHFR), sehingga dapat mengintervensi
sintesis DNA, RNA dan sintesis protein. Sel-sel dengan tingkat pembelahan tinggi
paling sensitif terhadap MTX. Berdasarkan sifatnya, obat ini bekerja pada
jaringan trofoblastik, mukosa traktus gastrointestinal, kandung kemih, sumsum
tulang dan kulit. MTX telah lama dikenal efektif dalam pengobatan leukemia,
16
limfoma, dan karsinoma kepala, leher, payudara, ovarium, dan kandung kemih.
Efek samping obat antara lain adalah mual, muntah, stomatitis, diare, distress
gaster dan pusing, peningkatan sementara enzim hati. Pada dosis lebih tinggi
dapat menyebabkan supresi sumsum tulang, dermatitis, pleuritis, pneumonitis,
dan alopesia, namun jarang terjadi pada dosis untuk terapi kehamilan ektopik.
Terapi dengan MTX juga menimbulkan keluhan seperti nyeri abdominal yang
bertambah, peningkatan kadar β-hCG pada hari 1-3 terapi, serta flek atau
perdarahan vagina.4,10
17
Tabel 1.1 Protokol Pengobatan Kehamilan Ektopik. 4
Kegagalan terapi ditandai dengan meningkat, menetap atau gagal tidak terjadi
penurunan kadar β-hCG sebesar 15% pada hari ke 4-7 setelah injeksi. Bila terjadi,
dapat dipikirkan perlunya terapi pembedahan. Pengulangan dosis tunggal
methotrexate (MTX) juga dapat dijadikan pilihan setelah dilakukan evaluasi ulang
pasien.4,10
2.10 Prognosis
Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun
dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan
18
terlambat, maka angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada kehamilan
ektopik biasanya akan mati dan tidak dapat dipertahankan karena tidak berada pada
tempat dimana ia seharusnya tumbuh.
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat
bilateral. Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik
atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan
ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan terapi yang ada
sekarang, kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali membesar, namun ini harus
didukung kemampuan untuk menegakkan diagnosis dini sehingga dapat diintervensi
secepatnya.2
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Nyeri pada seluruh perut sejak ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
● Awalnya nyeri dirasakan pada perut bagian bawah sejak ± 3 hari sebelum
masuk rumah sakit, lalu nyeri memberat dirasakan diseluruh perut sejak 6 jam
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan tiba-tiba seperti tertusuk dan
terus- menerus sehingga pasien merasa gelisah dan masuk rumah sakit. Nyeri
tidak menghilang meskipun dengan perubahan posisi sehingga mengakibatkan
pasien sulit berjalan.
● Pasien juga mengatakan keluar flek-flek darah dari kemaluan (+) berwarna kecoklatan
dan gumpalan darah (+) sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan 8 jam sebelum
masuk rumah sakit.
● Keluar lendir bercampur darah (-)
● Mual (+) dan muntah (+) dialami pasien sejak 1 hari SMRS, penurunan nafsu makan (+)
sejak 1 hari SMRS
● BAK dan BAB dalam batas normal
● Riwayat diurut (-), riw. trauma(-)
● Demam tidak dijumpai
● Riwayat keputihan tidak dijumpai
● Pasien sudah melakukan pemeriksaan plano test sendiri, dan hasilnya positif
● HPHT: 24 Maret 2021 TP: 03 Januari 2022
20
● Riwayat menstruasi : Haid pertama saat usia 14 tahun, siklus haid teratur, berlangsung 4-
7 hari, 3-5 kali ganti pembalut/hari, nyeri saat haid (+)
21
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37.5°C
SpO2 : 99 %
VAS : 5-6
TB : 160 cm
BB : 75 kg
Kepala : normocephal, simetris
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5 – 2 cmH2O, tidak teraba pembesaran kgb dan tiroid
Thorak : Jantung dan Paru dalam batas normal
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi : atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (1 jari medial LMCS RIC IV)
Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), bising (-)
Paru
Inspeksi : simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara napas vesikular, Rh -/-, Wh -/-
Aksila : tidak ada pembesaran KGB
Abdomen : Status Obstetri
Genitalia : Status Obstetri
Anus : tenang
Inguinal : tidak ada pembesaran KGB
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik, udem (-/-), varises (-/-),
22
refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-)
Status Obstetri
Wajah : Kloasma gravidarum (-)
Mammae : Membesar dan menegang, hiperpigmentasi aerola dan
papilla mammae (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, striae gravidarum (-), hiperpigmentasi
linea mediana (-), sikatrik (-)
Palpasi :FUT tidak teraba, nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans muscular (+)
diseluruh lapangan abdomen
Perkusi :timpani
Genitalia :
Inspekulo :
V/U tenang, PPV (+), VT bimanual :
Vagina : tumor (-)
Portio : MP, ukuran sebesar jempol kaki orang dewasa, tumor (-),
nyeri goyang (+), OUE tertutup
Korpus uteri : sulit dinilai
Adneksa parametrium : Lemas
CD : menonjol (-)
23
Eosinofil : 0,3 % (Nilai rujukan: 0,0-0,5)
Monosit : 1,1 % (Nilai rujukan: 3,0-7,0)
Limfosit : 6,6 % (Nilai rujukan: 21-40)
Neutrofil : 91,9 % (Nilai rujukan: 40-75)
HIV rapid test : Non reaktif
Rapid test antigen : Negatif
HBsAg rapid test : Non reaktif
Glukosa sewaktu : 128 mg/dl
PT : 14,1 detik (Nilai rujukan: 9,8-12,6)
APTT : 29,4 detik (Nilai rujukan: 31-47)
Plano test : Positif
Gol. Darah : O+
Fungsi Hati
SGOT : 22 u/L (Nilai rujukan <30)
SGPT : 40 u/L (Nilai rujukan <35)
Fungsi Ginjal
Ur : 23 mg/Dl (Nilai rujukan 10-50)
Cr : 0,43 mg/dL (Nilai rujukan 0,5-1,5)
Elektrolit
Na : 137,4 mmol/L (132-147)
K : 4,23 mmol/L (3,3-5,4)
Cl : 102,5 mmol/L (94-111)
Urinalisis
Warna : Kuning
Kejernihan : Agak keruh
Berat jenis : 1,005
pH : 5,0
Leukosit esterase : Negatif
Nitrit : Negatif
Protein : Negatif
24
Glukosa : Negatif
Keton : Negatif
Urobilinogen : 3,5 uml/L
Bilirubin : Negatif
Darah : Negatif
Sedimen urin
Leukosit : 5-7/ LPB
Eritrosit : 1-3/ LPB
Epitel : +1
Silinder : Negatif
Kristal : Negatif
Bakteri : Negatif
Ragi : Negatif
3.4.2 USG :
25
- Tampak uterus bentuk dan ukuran normal,
gestasional sac (-)
28
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien, Ny. F, 39 tahun datang ke IGD RSUD Natuna pada tanggal
28 Mei 2021 pukul 04.00 WIB dengan diagnosis Akut Abdomen ec KET pada
G5P3A2H3 gravid 7-8 minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan utama nyeri pada seluruh perut
sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan pada perut bagian
bawah sejak ± 3 hari sebelum masuk rumah sakit, lalu nyeri memberat dirasakan
diseluruh perut sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri terus-menerus
dirasakan semakin meningkat. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah.
Kemungkinan diagnosis yang bisa dipikirkan dari gejala pasien saat datang ke IGD
tersebut antara lain penyakit (akut abdomen) yang dapat disebabkan oleh appendicitis
akut, perforasi saluran cerna dan kehamilan ektopik terganggu.
Pada pasien ini kecurigaan lebih mengarah pada kehamilan ektopik terganggu,
karena dari anamnesis pasien mengatakan dirinya sedang hamil, keluar flek serta
gumpalan darah dan didapatkan adanya keterlambatan haid. Pasien telah melakuan
plano test pada dengan hasil positif. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan
konjungtiva anemis. Pada abdomen didapatkan tanda akut abdomen, yakni adanya
nyeri tekan dan lepas abdomen. Nyeri perut pada kehamilan ektopik terganggu
diakibatkan oleh rupturnya tempat implantasi sehingga darah masuk ke rongga
abdomen dan merangsang peritoneum. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
didapatkan trias KET, yatu amenore, nyeri akut abdomen, dan manifestasi perdarahan
seperti konjungtiva anemis. 1,2,3,4
Pemeriksaan Vaginal Touche bimanual didapatkan nyeri goyang portio. Pada
kehamilan ektopik terganggu jika pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna akan
terjadi perdarahan terus menerus, dengan jumlah yang sedikit sampai sedang.
Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan terkumpul
secara khas di kavum Douglas dan akan
29
membentuk hematokel retrouterina dan juga menyebabkan penonjolan kavum
douglas dan nyeri goyang portio. 1,2,3,4
Dari anamnesis pasien mengeluhkan nyeri pada seluruh perut. Keluhan ini juga
dapat mengarah kepada appendicitis yang sudah perforasi. Namun pada appendicitis
pasien tidak hamil sehingga diagnosis appendicitis dapat disingkirkan. Salpingitis
juga dapat disingkirkan karena pada pasien ini tidak dijumpai adanya demam dan
hasil plano test positif sedangkan pada salpingitis pasien tidak hamil. Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut yang dirasakan terus menerus, hal ini dapat menyingkirkan
diagnosis pemuntiran kista ovarium. Pemuntiran kista ovarium ada riwayat serangan
nyeri berulang yang menghilang dengan sendirinya. Selain itu pasien juga
mengeluhkan adanya perdarahan dari jalan lahir yang berwarna kecoklatan. Hal ini
dapat menyingkirkan diagnosis abortus inkomplit karena perdarahan umumnya terjadi
sebelum ada nyeri perut. Perdarahan berwarna merah, bukan coklat tua seperti pada
kehamilan ektopik. Nyeri perut umumnya bersifat kolik dan kejang (kram). Uterus
membesar dan lembek, terdapat dilatasi serviks. Hasil konsepsi dapat dikenali dari
pemeriksaan vagina.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,1 g/dl. Dari USG
didapatkan gambaran kehamilan ektopik terganggu pada ampularis tuba falopii
dextra. Hal ini sejalan dengan literatur yang menyebutkan kehamilan tuba meliputi >
95 % dari kehamilan ektopik yang terdiri atas: pars ampularis (55 %), pars ismika (25
%), pars fimbrae (17 %), dan pars intestitialis (2 %). Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis kehamilan ektopik
terganggu dapat ditegakkan.
Tatalaksana pada pasien ini yaitu dilakukan laparotomi, menurut buku Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, hal ini sesuai dengan penanganan awal
kehamilan ektopik. Selanjutnya sebagai tindakan definitif dilakukan salphingektomi
dextra atas indikasi ruptur tuba Fallopii dextra. Selain itu perlu dilakukan kontrol
terhadap keadaan umum, tanda-tanda vital, diberikan antibiotik untuk menekan
infeksi pasca laparatomi dan mencegah infeksi berulang pada pasien. Untuk persiapan
operasi pasien mendapatkan terapi cairan yaitu pemberian Intravena Fluid Drip
30
Ringer Laktat. Terapi cairan juga diberikan karena pasien akan menjalani operasi
segera sehingga untuk memperatahankan hemodinamik pasien serta sebagai akses
untuk memasukkan obat durante dan post operasi. Kemudian post operasi pasien
mendapatkan Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr betujuan sebagai profilaksis pasca tindakan
laparotomi. Pemberian Injeksi Vitamin C dimaksudkan sebagai terapi suportif untuk
mempercepat proses regenerasi sel yang rusak dan mempercepat penyembuhan luka
post tindakan operatif. Pasien juga mendapat transfusi PRC sebanyak 2 kantong
bertujuan untuk memperbaiki Hb pasien. Pemeriksaan darah post transfusi PRC 2
kantong, didapatkan 10,7 g/dl, setelah 2 hari rawatan keadaan umum pasien membaik
dan stabil sehingga pasien dipulangkan dengan obat pulang cefixime 2 x 500 mg,
asam mefenamat 3 x 500 mg, Vit C 2 x 500 mg dan SF 2 x 180 mg.
31
DAFTAR PUSTAKA
32