Anda di halaman 1dari 5

Cara Meraih Cinta Allâh : Bertaqarrub Kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala

Dengan Amalan Sunnah Setelah Yang Wajib CARA MERAIH CINTA


ALLAH : BERTAQARRUB KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
DENGAN AMALAN SUNNAH SETELAH YANG WAJIB Menunaikan yang
wajib adalah taqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla yang paling utama. Bila
hamba menunaikannya dengan sempurna, ia akan mendapatkan
keberuntungan, pun akan menggapai surga dan selamat dari neraka.
Pernah seorang dari Najd datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
dan bertanya tentang (amalan wajib dalam) Islam. Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa salam menjawab, “Lima shalat yang wajib sehari semalam.” Ia berkata,
“Apa ada kewajiban (shalat) atasku yang lain?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
salam  menjawab, “Tidak, kecuali bila engkau melakukannya dengan suka
rela (tathawwu’).” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam juga menyebutkan
tentang kewajiban puasa, juga zakat, dan orang tersebut pun bertanya;
apakah ada kewajiban atasku yang lain; Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam
menjawab: “Tidak, kecuali bila engkau melakukannya suka rela.” Maka
orang tersebut pun pergi dengan mengatakan: “Demi Allâh, aku tidak akan
menambah ataupun menguranginya.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam
pun bersabda: “Ia akan mendapatkan keberuntungan bila jujur.”[1] Namun
orang yang melakukan amalan-amalan tathawwu’ (sunnah) akan lebih
banyak mendapatkan keberuntungan dan lebih tinggi derajatnya dari yang
sekedar menunaikan yang wajib semata. Apalagi seseorang tak lepas dari
kekurangan dan kealpaan saat melaksanakan amalan wajibnya. Orang
yang menunaikan hal-hal yang wajib dengan sempurna berarti ia mencintai
Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan orang yang masih menambahnya dengan
amalan-amalan sunnah, ia dicintai Allâh Azza wa Jalla. Ini seperti dalam
hadits qudsi: َّ‫ َو َما َيزا ُل َع ْبدِي َي َت َقرَّ بُ إِلَي‬، ‫ت َعلَي ِه‬ ُ ْ‫ب إِلَيَّ َع ْبدِي ِب َشي ٍء أَ َحبَّ إِلَيَّ ِممَّا ا ْف َت َرض‬ َ َّ‫َو َما َت َقر‬
‫ و َيدَ هُ الَّتي َيبْطِ شُ ِب َها‬، ‫ص َرهُ الَّذِي ُيبْصِ ُر ِب ِه‬ ُ ‫ ُك ْن‬، ‫ َفإِ َذا أحْ َب ْب ُت ُه‬، ‫ِبال َّن َواف ِِل َح َّتى أ ُ ِح َّب ُه‬
َ ‫ َو َب‬، ‫ت َسمْ َع ُه الَّذِي َيسْ َم ُع ِب ِه‬
‫ َولَئِن اسْ َت َع َاذنِي أَل ُعِ َيذ َّن ُه‬، ‫ َو ِرجْ لَ ُه الَّتِي يَمْشِ ي ِب َها َوإنْ َسألَنِي أعْ َط ْي ُت ُه‬، Dan tidaklah seorang
hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang
telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat
kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya.
Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang
ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk
melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi
kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun
pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun
pasti akan melindunginya.”[2] Jadi, orang yang bertaqarrub dengan yang
sunnah setelah yang wajib mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari yang
sekedar menunaikan yang wajib. Karena tuntutan asal atas hamba adalah
melaksanakan yang wajib, di mana ia akan berdosa bila teledor atau
meninggalkannya. Sehingga maksud dari bertaqarrub dengan yang sunnah
adalah ketika yang wajib sudah ditunaikan, bukan orang yang
melalaikannya. Secara umum ada dua kategori dari mereka yang selamat
yaitu: Pertama: Mereka yang mencintai Allâh Azza wa Jalla , yaitu yang
menunaikan yang wajib, berhenti pada batasan-batasan-Nya. Kedua:
Mereka yang dicintai Allâh, yaitu mereka yang melakukan yang sunnah
disamping yang wajib. Dan inilah yang dimaksud Ibnul Qayyim t dengan
ucapannya: [Hal ini akan menghantarkan hamba menuju tingkatan
memperoleh cinta-Nya (mahbûbiyyah) setelah menggenggam tingkatan
mencintai-Nya (mahabbah)]. Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah
menyatakan, bahwa para wali Allâh Azza wa Jalla yang dekat dengan-Nya
ada dua golongan: 1. Yang bertaqarrub dengan menunaikan yang fardhu,
dengan mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang diharamkan.
Mereka ini adalah al-muqtashidûn (seperti dalam al-Qur’an surat Fâthir
ayat 32) ash-hâbul yamîn (seperti dalam al-Qur’an surat Al-Wâqi’ah ayat
27). Menunaikan amalan wajib adalah amal yang paling utama seperti
ucapan Umar Bin al-Khatthab Radhiyallahu anhu : “Amalan yang paling
utama adalah menunaikan apa-apa yang Allâh wajibkan, dan menjauhi apa
yang Allâh haramkan, serta mempunyai niat yang benar dalam menggapai
apa yang ada di sisi Allâh. 2. Di samping bertaqarrub dengan yang wajib,
juga bertaqarrub dengan yang sunnah. Mereka berada pada  tingkatan
sâbiqun muqarrabûn (Yang bergegas menjemput kebaikan dan dekat
dengan-Nya). Setelah menunaikan yang wajib, mereka giat pula
melakukan yang sunnah, dan bersikap wara’ dengan tidak melakukan hal-
hal yang dimakruhkan, walaupun kecil bentuknya. Ini membuat hamba
mendapatkan kecintaan dari Allâh; seperti dalam hadits qudsi di atas:
(Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah
sunnah hingga Aku pun mencintainya). Orang yang dicintai Allâh, akan
diberikan untuknya kecintaan dan ketaatan kepada-Nya, selalu dzikir ingat
kepada-Nya, dan mendapatkan kedudukan di sisi-Nya.[3] Baca Juga 
Takut Kepada Allâh Subhanahu Wa Ta’ala Dan Pengaruhnya Dalam
Kehidupan Seorang Muslim Amalan-amalan nafilah (sunnah) dalam
bertaqarrub kepada Allâh tentu banyak ragamnya; di mana intinya adalah
amalan-amalan yang bersifat tambahan dari amalan-amalan yang wajib;
seperti shalat, zakat, puasa, haji ataupun umrah yang bermuatan sunnah,
bukan wajib. Berikut ini kita ketengahkan penjelasan beberapa contoh dari
amalan sunnah; namun karena keterbatasan ruang, kita cukupkan dengan
amalan-amalan shalat sunnah saja. NAWAFIL DALAM SHALAT Dalam hal
ini ada 3 kategori: sunnah, mustahabb, dan tathawwu’. Yang dimaksud
sunnah adalah amalan sunnah yang terus ditekuni dan dijaga oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Adapun mustahabb adalah
amalan sunnah yang disebut memiliki keutamaan namun tidak ada riwayat
yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam terus menerus
melakukannya. Sedangkan tathawwu’ yaitu amalan sunnah tidak masuk
kategori di atas, artinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah
menyebutnya dalam hadits Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam namun ada
riwayat yang menerangkan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam
memberikan izin untuk dilakukan.[4] Contoh Shalat Yang Sunnah: 1. 10
rakaat saat tidak safar Telah sah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
salam bahwa Beliau menjaga shalat ini. Abdullah bin Umar berkata: “Aku
hafal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam 10 rakaat: 2 rakaat
sebelum dan sesudah Zhuhur, 2 rakaat setelah Maghrib di rumah beliau, 2
rakaat setelah Isya’ di rumah beliau, dan 2 rakaat sebelum shalat
Shubuh.”[5] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak meninggalkan 10 rakaat
ini –seperti diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullah – sama sekali saat
berada di dalam negeri (tidak safar). Ketika 2 rakaat sebelum Zhuhur ini
luput, beliau mengqadha’ nya setelah Ashar.[6] 2. Shalat 4 rakaat sebelum
Zhuhur Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anhuma
bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak meninggalkan 4 rakaat
sebelum Zhuhur.[7] Hal ini karena adanya keutamaan khusus pada waktu
setelah tergelincirnya matahari, di mana Beliau menyatakan bahwa saat
tersebut dibukakan pintu-pintu langit, sehingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
salam suka kalau amal shalih Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salamaik ke
langit pada saat tersebut.[8] Bila seseorang melaksanakan shalat 4 rakaat
sebelum shalat Zhuhur seperti dalam hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma 
–menggantikan dua rakaat seperti dalam riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu
an huma -, sehingga ia mendirikan 12 rakaat, maka ia telah menorehkan
keutamaan seperti dalam hadits Ummu Habibah Radhiyallahu anhuma, ia
berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam
ٌ ‫صلَّى ْاث َن َتيْ َع ْش َر َة َر ْك َع ًة فِي َي ْو ٍم َولَ ْيلَ ٍة ُبن َِي لَ ُه ِب ِهنَّ َبي‬
bersabda: ‫ْت فِي ْال َج َّن ِة‬ َ ْ‫ َمن‬Barangsiapa
yang shalat 12 Rakaat sehari semalam (selain yang fardhu), maka
dibangun untuknya sebuah rumah di surga dengan sebabnya.[9] Dalam
Kitab-kitab Sunan disebutkan rinciannya: 4 rakaat sebelum Zhuhur, 2
setelahnya, 2 rakaat setelah Maghrib, 2 rakaat setelah Isya, dan 2 Rakaat
sebelum Shubuh. 3. Menjaga shalat Witir Shalat ini tidak pernah Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa salam tinggalkan, dan juga 2 rakaat sebelum Shubuh,
baik saat safar ataupun tidak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam
memerintahkannya dengan bersabda: ‫صاَل ِت ُك ْم ِباللَّي ِْل ِو ْترً ا‬ َ ‫ اجْ َعلُوا آخ َِر‬Jadikanlah
shalat witir sebagai akhir shalat malam kalian.[10] Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata: Dalam safar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam
selalu menjaga sunnah fajar dan witir, lebih dari semua shalat nafilah
lainnya; tidak dengan sunnah-sunnah lainnya. Dan tidak pernah dinukilkan
dari beliau dalam safar bahwa Beliau melakukan shalat sunnah rawatib
selain dua shalat ini.[11] Contoh Shalat Yang Mustahabb Shalat Dhuha
Telah datang beberapa hadits shahih menegaskan keutamaannya.
Sampai-sampai Ibnul Jauzi rahimahullah memposisikannya layaknya
sunnah rawatib.[12]Namun pendapat yang kuat bahwa shalat Dhuha bukan
termasuk sunnah rawatib. Sebab tidak ada nukilan yang menyebutkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menjaga dan kontinyu
melanggengkannya, begitu pula dengan para sahabat senior. Baca Juga 
Renungan Mengenai Pemutus Kenikmatan Ibnul  Qayyim rahimahullah
menukilkan dari sekelompok ulama bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
salam shalat Dhuha karena ada suatu sebab. Misalnya Beliau Shallallahu
‘alaihi wa salam pernah melakukannya 8 rakaat pada Fathu Makkah
karena sebab penaklukakan Mekkah. Beliau juga melakukannya di rumah
Itbân Bin Malik ketika ia meminta Rasul agar shalat di rumahnya untuk ia
jadikan sebagai tempat shalatnya, setelah ia buta dan ada hal yang
menghalanginya pergi ke masjid. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam juga
melakukannya bila datang dari bepergian; di mana bila datang dari safar,
Beliau lebih dahulu shalat 2 rakaat di Masjid. Begitu pula Beliau Shallallahu
‘alaihi wa salam shalat Dhuha bila datang ke Masjid Quba’.[13] Shalat
Dhuha juga sebagai pengganti dari shalat malam bagi orang yang tidak
bisa kontinyu melakukannya. Sebagian hadits tentang keutamaan Shalat
Dhuha dibawa pada pengertian ini. Hadits-hadits dan atsar yang ada, tidak
lain menunjukkan hal di atas. Sedangkan hadits-hadits tentang motivasi
untuk melakukannya dan wasiat untuk melakukannya; seperti hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu dan Abu Dzar Radhiyallahu anhu , maka yang
shahih adalah itu tidak menunjukkannya sebagai sunnah rawatib bagi
setiap orang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mewasiatkan Abu
Hurairah dengan hal tersebut, karena seperti dalam riwayat-riwayat yang
ada, bahwa Abu Hurairah disibukkan dengan mempelajari hadits pada
malam hari, sehingga Rasul mewasiatkan kepadanya untuk melakukan
pada waktu Dhuha, sebagai ganti dari shalat malam. Karena itulah beliau
memerintahkan Abu Hurairah agar tidak tidur sampai melakukan witir
terlebih dahulu. Beliau tidak memerintahkan itu kepada Abu Bakr, Umar
dan juga sahabat lainnya. Singkat kata, shalat Dhuha termasuk shalat
nafilah yang mustahabb; bukan termasuk yang rawatib (yang
dikontinyukan). Contoh Shalat Yang Tathawwu’: Dua rakaat sebelum
Maghrib Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengizinkan para sahabat untuk
melakukannya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: adapun dua rakaat
sebelum Maghrib, maka tidak ada nukilan yang menyebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salam melakukannya. Namun telah shahih dari Beliau
bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam membenarkan (memberi
penetapan) para sahabat untuk melakukannya; di mana Beliau melihat
mereka melakukannya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak
memerintahkan, ataupun melarangnya.[14] Dan telah shahih pula bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam memberi pilihan kepada para sahabat
untuk shalat sebelum Maghrib, sebagaimana dalam hadits Abdullah al-
Muzani, di mana Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: ‫صاَل ِة‬ َ ‫صلُّوا َق ْب َل‬
َ
ً‫الثالِ َث ِة لِ َمنْ َشا َء َك َرا ِه َي َة أَنْ َي َّتخ َِذ َها ال َّناسُ ُس َّنة‬
َّ ‫ب َقا َل فِي‬ ْ ْ
ِ ‫“ ال َمغ ِر‬Shalatlah sebelum Maghrib” –
dan Beliau berkata pada ketiga kalinya: “bagi yang mau.” Karena Beliau
khawatir kalau orang-orang menjadikannya sebagai sunnah (yang
dikontinyukan).[15] Ini sebagai contoh untuk beberapa amalan sunnah
dengan sedikit perinciannya dalam shalat. Dan masih banyak amalan-
amalan lain yang bermuatan sunnah, yang mungkin bisa dirujuk pada
kitab-kitab yang ada.

Referensi: https://almanhaj.or.id/9927-cara-meraih-cinta-allah-bertaqarrub-
kepada-allah-subhanahu-wa-taala-dengan-amalan-sunnah-setelah-yang-
wajib.html

Anda mungkin juga menyukai