Blok 27 Etik Gloria Word
Blok 27 Etik Gloria Word
Etika Kedokteran
Didalam menentukan tindakan dibidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar diatas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga
pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.
Etika dalam disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk
dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya.Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan
teleologi.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, deontology mengajarkan bahwa baik-buruknya
suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatanya itu sendiri sedangkan teleology mengajarkan
untuk menilai tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan
kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya, sedangkan teleology lebih kearah penalaran
(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).1
Beauchamp dan Childress menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik
diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral
tersebut adalah :
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi
pasien. Setiap pembuatan keputasan moral membutuhkan informasi yang rasional dan keputusan
sendiri. Pada prinsip autonomi ini, tidak ada yang dapat mengatur keputusan hak pribadi
pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya lebih besar daripada sisi buruknya. Tugas ini
dianggap merupakan kompetensi pribadi dan diterima sebagai tujuan umum dari kedokteran.
Tujuan ini diaplikasikan baik pada pasien dalam bentuk individu ataupun kebaikan pada
komunitas.
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no
harm”. Untuk menciptakan standar yang meminimalisasi resiko merugikan pasien, maka
diperlukan dukungan tidak hanya dari moral semata tetapi dari standar hukum yang berlaku pada
masyarakat.
1
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap maupun
dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Secar fakta, yang digunakan dalam
komunitas dalam menegakkan keadilan distributive ialah dengan beberapa variabel :
- Setiap orang dengan kedudukan yang sama
- Setiap orang menurut keperluannya
- Setiap orang menurut usahanya
- Setiap orang menurut kontribusinya1,
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity ( berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyality dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yan harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku.Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai
dalam etika profesi tercermin dalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran. Sumpah dokter
berisikan suatu “kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode
etik kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu
masyarakat profesinya.
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral
yang melekat kepada para dokter.Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum
sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah
menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran.Hukum kedokteran yang baik
haruslah hukum yang etis.2
Pasal 11
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikankeseluruhan aspek
pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-
sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.1,2
3
Keputusan
Pasal 69 (1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat
dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah
atau pemberian sanksi disiplin.2,3
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: pemberian
peringatan tertulis; rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau kewajiban mengikuti
pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan. 2,3
Aspek Displin
Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter. Dalam disiplin kedokteran terdapat
beberapa pelanggaran seperti:
Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran
Penjelasan:
a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to information), dan
oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien
atau penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien.
b. Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan meliputi: diagnosis
medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan medik lain, risiko
tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan.
c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan
dijalaninya.
d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya kematian
pasien, kecuali atas kehendak pasien
Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau
wali atau pengampunya. Penjelasan:
a. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya (well
informed) sehingga pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self
determination) untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan
dilakukan dokter kepadanya.
b. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan persetujuan
(otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan
persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka
persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara
kandung) atau wali atau pengampunya (proxy).
c. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan,
termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko
tinggi mensyaratkan persetujuan tertulis.
d. Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak memiliki pendamping,
maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau mencegah kecacatan pasien yang berada dalam
keadaan darurat, tindakan medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.
5
e. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan harus dari
pihak suami/istrif.
Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi. Penjelasan:
a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam medik secara
benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan rekam medik
merupakan tanggung jawab sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan
Menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan etika profesi. Dengan penjelasannya
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang
mengharuskan tindakan tersebut.
b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang mengorbankan nyawa
janinnya dilakukan oleh setidaknya dua dokter.2
Di Indonesia aspek dari disiplin kedokteran di atur oleh lembaga MKDKI ( Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia) yang membuat peraturan atau pelanggaran berkaitan dengan
kedisiplinan kedokteran. Pasal yang dilanggar oleh kasus ini antara lain:
Konsil Kedokteran Indonesia mengeluarkan peraturan Nomor 4 tahun 2011 pasal 2 yang
berbunyi, Pengaturan Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat;
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan;
c. Menjaga kehormatan profesi.
Peraturan konsil kedokteran Indonesia Nomor 4 tahun 2011 pasal 3 ayat bagian 2, c dan d
c. mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
d. menyediakan Dokter atau Dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi
dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut
Aspek Hukum
Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (tenaga kesehatan yang berhubungan langsung
dengan pasien misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk : menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan data
kesehatan pribadi pasien, memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan
yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, membuat dan
memelihara rekam medis. Dalam pasal 33, dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil
tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan
6
standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan berupa teguran atau pencabutan ijin untuk
melakukan upaya kesehatan.
Menurut pasal 24 UU yang sama, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga
kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
(Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman dalam melaksanakan tugas profesinya,
perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam keselamatan atau jiwa
baik karena alam maupun perbuatan manusia).
Dasar hukum.
Kelalaian Medik
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang
memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa
7
pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat
profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. 6
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.
·
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak
(unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai
(pilihan tindakan medis sudah improper).
·
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan
tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur.
·
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips, and lapses),
namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya
kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent
error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.6
Malpraktek Medis
Malpraktek medic adalah kelalaian seorang dokter untuk menggunakan tingkat
ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim digunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran lingkungan yang sama, yang dimaksud dengan kelalaian disini
adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-
hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut, kelalaian diartikan pula dengan melakukan
tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medic.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (criminal),
kelainan mennunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang
sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko
yang bisa meyebabkan orang lain terluka atau mati. Sehingga harus bertanggung jawab terhadap
tuntutan criminal oleh Negara.
Jadi permasalahan malpraktek menjadi hal yang sangat umum karena berkait dengan
banyak hal. Malpraktek sendiri memiliki arti harafiah, kegagalan melakukan tugas. Kegagalan
tersebut dapat disebabkan berbagai macam factor :6
1. Adanya unsur kelalaian.
2. Adanya unsur kesalahan bertindak.
3. Adanya unsur pelanggaran kaidah profesi ataupun hukum.
4. Adanya kesengajaan untuk melakukan tindakan yang merugikan.
Kesimpulan
Dalam praktik kedokteran, dokter harus menjalankan dan menerapkan prinsip etika, disiplin
dahukum kedokteran sehingga ketiganya dapat berjalan selaras. Sehingga tidak terjadi suatu
pelanggaran etik, disiplin, dan hukum terjadi dalam praktek kedokteran.
8
Daftar Pustaka
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h.4130-2.
2. Greenberg MI. Greenberg’s text-atlas of emergency medicine. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2008.h.24.
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengobatan dasar di puskesmas 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2007.h.217-9.
4. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.h.178-80.
5. Latifah N. Pertanggungjawaban pidana dokter dalam kasus malpraktek medik menurut
KUHP. 2013. Diunduh dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5825/JURNAL%20IFHA.pdf?
sequence=1, 27 September 2018.
6. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Jakarta: EGC; 2009.h.87-
9.