Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah
yang berjudul " MAKALAH RIWAYAT KEHIDUPAN BUDDHA GAUTAMA BESERTA
KOMENTARNYA". Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan
makalah ini,
Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Nurwito, S.Ag, M,Pd. Selaku Dosen Agama
Buddha yang telah memberikan dan membantu saya dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kesalahan. Untuk itu,
mohon kritik dan saran dari Bapak.

Jakarta, 24 Maret 2018

Aldo

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
PENDAHULUAN 3
RIWAYAT HIDUP BUDDHA GAUTAMA 4
KOMENTAR 13

2
PENDAHULUAN

Keberadaan Agama Buddha tidaklah terlepas dari riwayat hidup Siddhattha Gotama (Sanskerta:
Siddhārtha Gautama) yang kemudian dikenal dengan sebutan Sri Buddha (Ia Yang Telah Sadar),
sebagai penemu dan pengajar ajaran yang juga disebut dengan Buddha Dhamma (Ajaran
Buddha).

Riwayat hidup Buddha Gotama yang dipaparkan di bawah ini hanyalah merupakan garis besar
dari kehidupan Beliau selama 80 tahun yang dimulai dari kelahiran-Nya sebagai Pangeran
Siddhattha hingga kemangkatan mutlak-Nya (Pali: parinibbāna; Sanskerta: parinirvāna), serta
beberapa peristiwa penting dalam kronologi pembabaran Dhamma oleh-Nya. Riwayat hidup
Buddha Gotama ini juga merupakan kompilasi dari beberapa sumber termasuk Tipitaka Pali,
seperti kisah Pencarian Mulia yang terdapat di dalam Sutta Ariyapariyesana (Majjhima Nikaya
26, Tipitaka Pali).

Untuk mengetahui riwayat hidup Buddha Gotama secara panjang lebar berdasarkan pada
kepustakaan Buddhis dalam bahasa Pali, disarankan untuk membaca buku elektronik (buku-e)
Riwayat Agung Para Buddha (The Great Chronicle of Buddhas) karya Yang Mulia Sayadaw U
Vicittasarabivamsa (Mingun Sayadaw).

Terdapat istilah-istilah khusus dalam riwayat hidup Buddha Gotama di bawah ini yang
menggunakan bahasa Pali sebagai rujukan utamanya. Pembaca dapat membaca catatan yang
berkaitan dengan istilah khusus tersebut.

3
RIWAYAT HIDUP BUDDHA GAUTAMA

Sang Buddha lahir di antara suku Sakya, di sebuah kerajaan di negeri yang sekarang
bernama Nepal. Raja di sana bernama Suddhodhana, permaisurinya adalah Ratu Maya.
Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang sangat
mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu waktu Ratu Maya mencapai
umur 45 tahun. Ketika itu Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asadha yang berlangsung tujuh
hari lamanya. Setelah perayaan selesai Ratu Maya mandi dengan air wangi, mengucapkan janji
uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur.
Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa
empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava (Gunung
Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng) Mannosilatala. Kemudian para
istri Dewa-Dewa Agung tersebut memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan
minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasanya dipakai oleh para
dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan
yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga
teratai dibelalainya memasuki kamar, mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk kemudian
memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahu impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para Brahmana
untuk menanyakan arti dari impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan
mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua
Raja) atau seorang Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi
dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Waisak Ratu memohon perkenan dari Raja untuk
bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha tibalah rombongan Ratu
di taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu
memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di
taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang
enak. Secepatnya para dayang memasang tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada
sebatang dahan pohon Sala, dan dalam sikap berdiri itu lahirlah bayi laki-laki. Waktu itu tepat
bulan purnama di bulan Waisak, tahun 623 sebelum masehi (SM).
Empat Maha Brahma menerima bayi itu dengan jaring emas. Dari langit turunlah air
hangat bercampur dingin untuk memandikan anak itu, walaupun sebetulnya sang bayi sudah
bersih, tanpa darah yang melekat. Bayi itu kemudian berdiri tegak, berjalan tujuh langkah. Setiap
dia menapak, di bawah kakinya tumbuhlah bunga teratai, lalu Ia berkata :

4
"Aggo `ham asmi lokassa
jettho `ham asmi lokassa
settho `ham asmi lokassa
ayam antima jati
natthi dani punabbhavo"
artinya adalah :
"Akulah pemimpin di dunia ini
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi".
Seorang pertapa bernama Asita (juga di sebut Kaladevala) diberitahu oleh para dewa,
bahwa telah lahir seorang bayi lelaki yang kelak menjadi seorang Buddha (Yang Sadar). Maka
Asita pun berangkat ke tempat bangsa Sakya. Asita melihat sang bayi memiliki 32 tanda dari
seorang Mahapurisa, ialah "orang besar": Asita segera memberi hormat kepada sang bayi, lalu
Raja Suddhodhana menirunya. Asita tertawa bergembira, lalu kemudian menangis. Raja
bertanya, mengapa? Pertapa itu menjelaskan, dia tertawa karena senang bahwa bayi itu akan
menjadi Buddha kelak, tetapi dia menangis, karena dia sudah tua, tidak akan berkesempatan turut
menerima ajaran-ajaran Sang Buddha itu.
Pertapa Asita meneruskan berkata wanti-wanti agar di masa pangeran tumbuh jangan
diperbolehkan melihat empat hal, jika Raja tak ingin pangeran menjadi Buddha, ialah: orang tua,
orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa. Jika pangeran melihat empat jenis kehidupan itu,
dia pasti akan meninggalkan istana. Pada hari yang sama, lahir pula (timbul) dalam dunia ini :
Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahula mata (ibu dari Rahula).
Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhartha.
Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhartha
Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke
Kanilavatthu.
Seekor gajah istana.
Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhartha kelak akan mendapatkan Agung.

5
Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.
Lima hari setelah lahirnya sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak saudaranya
bersama-sama 108 Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk
memilih nama yang baik. Para waktu itu, Raja bertanya kepada para Brahmana yang mahir
dalam ilmu ramal meramal. Tujuh dari mereka berkata bahwa, putra raja kelak akan menjadi raja
dari segala raja (Cakkavati) atau akan menjadi Buddha. Seorang Brahmana termuda yang
bernama Kondanna, meramalkan dengan pasti bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha.
Nama untuk sang bayi yang dipilih ialah Siddhartha, dengan nama keluarganya Gautama.
Siddhartha berarti: Tercapailah segala yang dicita-citakannya. Tujuh hari setelah Pangeran
Siddhartha lahir, Ratu Maya meninggal dunia. Raja Suddhodhana menikah lagi dengan Putri
Pajapati, yang merupakan adik dari Ratu Maya. Ratu baru ini yang kemudian diserahkan tugas
untuk merawat sang bayi.
Setelah putra raja itu berumur beberapa tahun, ayahnya mengajaknya ke perayaan pesta
membajak. Raja sendiri turut membajak bersama para petani. Selama perayaan berlangsung
ramai, dayang-dayang juga terlena. Mereka lupa mengawasi dan menjaga Pangeran Siddhartha
karena ingin menyaksikan kemeriahan pesta. Ketika kembali, mereka sangat heran melihat sang
pangeran kecil sedang duduk bersila, melakukan meditasi.
Secepatnya seseorang dikirim untuk memberitahu Raja Suddhodhana. Diiringi para
pengikut dan petani, datanglah rombongan berbondong-bondong menyaksikan kejadian yang
aneh itu. Memanglah demikian. Sang pangeran kecil sedang bermeditasi, kaki bersila, tanpa
menghiraukan sekelilingnya. Sama sekali dia tidak terusik dengan kebisingan sekelilingnya.
Ditambah satu keganjilan lagi, ialah bayangan pohon jambu tempat pangeran bernaung tidak
mengikuti perubahan letak matahari, melainkan tetap menaungi sang pangeran. Melihat peristiwa
ini, untuk kedua kalinya sang raja memberi hormat kepada putranya itu. Waktu itu pangeran
berusia tujuh tahun. Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah kolam di istana, satu berisi
teratai biru, yang satu lagi berisi teratai merah, dan yang terakhir berisi teratai putih. Raja juga
mengeluarkan perintah agar kemana pun pangeran pergi, harus dilindungi sebuah payung indah,
baik siang maupun malam. Itu adalah lambang keagungannya. Ketika umurnya telah mencapai
masa pendidikan formal, raja mendatangkan seorang guru bernama Vissamitta. Dia harus
memberi pelajaran tentang ilmu pengetahuan.
Pangeran ternyata sangat pandai, sehingga dalam waktu singkat semua ilmu yang
diajarkan dia serap dengan baik. Dia juga seorang yang baik hati, selalu penuh kasih sayang
kepada siapapun. Tidak hanya terhadap manusia. Pendek kata kepada semua makhluk dia selalu
memperhatikan. Mengenai sifat kasih sayang ini, dikenal satu cerita yang menarik, terjadi ketika
pangeran masih belum remaja.
Pada suatu hari, putra Raja Suddhodhana itu berjalan-jalan di taman istana. Sepupunya
yang bernama Devadatta juga bersamanya, tetapi anak itu menyandang busur beserta anak
panah. Ketika kelihatan sekelompok belibis terbang, Devadatta dengan sigap membidikkan

6
panahnya. Seekor belibis terkena, lalu jatuh. Pangeran dan pembidik berlari-lari ke arah tempat
jatuhnya korban. Tetapi anak Raja Suddhodhana tiba lebih dahulu, mengambil belibis serta
memeluknya. Ternyata burung itu masih bernafas. Dengan hati-hati dan penuh kasih, pangeran
mencabut anak panah, memetik beberapa lembar daun serta meremas-remasnya. Ramuan hijau
itu dia tempelkan pada luka bekas panah. Devadatta datang kemudian, meminta belibis itu
dengan mengatakan bahwa dia berhak memilikinya. Pangeran menjawab : "Tidak, belibis ini
tidak akan kuserahkan padamu. Kalau dia mati, memang benar itu menjadi milikmu. Tapi
lihatlah sekarang, dia masih hidup dan akan sembuh dari lukanya. Karena aku yang
menolongnya, maka dia adalah hakku."
Devadatta tetap memprotes karena berpendapat bahwa belibis itu adalah haknya.
Sedangkan Pangeran Siddhartha tetap pula pada pendiriannya. Atas usul pangeran, mereka pergi
ke dewan para bijaksana, mohon agar diberikan keputusan adil pada kasus itu. Setelah kedua
belah pihak didengarkan baik-baik, dewan berkata dan memutuskan : "Hidup adalah milik orang
yang menyelamatkan. Hidup tidak mungkin menjadi milik orang yang mencoba
menghancurkannya. Oleh sebab itu, mengikuti aturan-aturan keadilan yang berlaku, belibis ini
dengan syah milik orang yang menyelamatkan jiwanya, ialah Pangeran Siddhartha."
Pada usia enam belas tahun, pangeran dibuatkan tiga buah istana oleh ayahnya.Satu
istana untuk musim panas (Suramma), satu untuk musim hujan (Subha), dan satu lagi untuk
musim dingin (Ramma). Ketiganya besar dan indah, lengkap dengan taman penuh bunga serta
tetumbuhan lain yang lindung. Semuanya dibuat serba nyaman, penuh wangi-wangian.
Kehidupan dibuat supaya senang, banyak berpesta.
Kemudian raja memberi undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak-anak
gadis. Mereka diminta mengirim anak-anak gadis tersebut ke istana, untuk berpesta, supaya sang
pangeran dapat memilih seorang sebagai calon istri. Namun para orang tua mengabaikan
undangan tersebut. Mereka berkata, sang pangeran tidak tahu ilmu perang, tidak mengerti nilai
kesenian, bagaimana dia akan memelihara serta melindungi istrinya?
Mendengar hal itu, pangeran mohon kepada ayahnya supaya diselenggarakan sayembara
mengenai keterampilan berbagai ilmu perang. Para lelaki seisi kerajaan, bahkan dari luar negara
Sakya pun dibiarkan datang untuk mengikuti perlombaan. Pangeran sendiri juga akan turun ke
arena pertandingan itu. Hasilnya sangat mengejutkan, karena sang pangeran yang menjadi juara.
Dia amat mahir, lebih-lebih di bidang panah memanah. Sesudah perlombaan selesai, diadakan
pesta besar di mana hadir kurang lebih empat puluh ribu gadis cantik. Pilihan Pangeran
Siddhartha jatuh pada sepupunya sendiri, saudara sekandung Devadatta ialah Yasodhara, putri
Ratu Amita, adik Raja Suddhodhana.
Setelah pernikahan itu, Raja Suddhodhana agak merasa tenang, karena ayahanda
pangeran itu tetap mengingati ramalan para brahmana. Sang pangeran harus selalu dikerumuni
oleh semua keindahan, kemewahan, keenakan makanan, dan kenyamanan. Raja lebih senang
anaknya menjadi rajanya semua raja daripada menjadi Buddha. Dengan pernikahan, pangeran

7
akan lebih terikat oleh keduniawian. Dan jangan sampai dia melihat orang tua; orang sakit, orang
mati maupun seorang pertapa. Pengawal, dayang, dan pekerja istana lain merupakan para
pemuda dan pemudi pilihan: gagah, tampan dan cantik-cantik Raja merasa puas, berharap
putranya akan menggantikan dia memerintah di Kerajaan Sakya. Pangeran mempunyai pendapat
sendiri tentang kehidupannya yang terkunkung di tiga istana itu. Maka pada suatu hari dia
berkata pada ayahnya : "Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan, keluar istana dan melihat
kota. Suatu hari kelak, bukankah aku akan menggantikan ayah menjadi raja di negeri ini? Aku
ingin melihat berapa luasnya ibukota dan tempat-tempat lain di lingkungan kerajaan."
Itu adalah permohonan yang lumrah, masuk akal. Baginda raja tidak mampu menolaknya.
Cepat-cepat dia memerintahkan supaya bagian kota dan negeri yang akan dilewati pangeran di
buat bagus. Disiapkan rakyat yang sehat, yang muda, dan yang bukan pertapa. Hanya mereka
yang akan terlihat oleh sang pangeran.
Setelah semua siap, raja memberi ijin pangeran untuk keluar istana, berkeliling kota.
Namun suratan ramalan tidak dapat disangkal.
Tiba-tiba, ketika sedang duduk nyaman di keretanya, pangeran melihat sesuatu yang
buruk. Seperti manusia, namun baru kali ini dia melihatnya. Dia bertanya kepada kusirnya,
Channa : "Apakah itu, Channa? Tidak mungkin itu seorang manusia! Mengapa dia bongkok?
Mengapa dia gemetar dan memakai tongkat? Rambutnya mengapa begitu? Dan giginya, kemana
giginya? Mengapa dia demikian jelek?"
Channa menjelaskan apa yang dia ketahui. Sedapat mungkin halus dan perlahan-lahan dia
berkata-kata, agar sang pangeran tidak terkejut:"Itulah yang dinamakan orang tua, pangeran.
Semua orang akan menjadi demikian. Sebaiknya tuanku lupakan saja dia! Tuan ketahui sajalah,
bahwa kalau orang sudah lama hidup di dunia, tentu akan menjadi seperrti itu."
Siddhartha menjadi sedih, memerintahkan Channa supaya cepat pulang ke istana. Di sana
dia merenung, bertanya-tanya sendiri mengapa demikian. Mengapa manusia menjadi tua?
Bukankah lebih baik jika terus muda dan tampan? Dimatanya dia tetap melihat bayangan orang
yang berbadan nyaris terlipat dua, renta semuanya. Malam itu diselenggarakan pesta besar guna
menghibur sang pangeran. Tapi putra raja bangsa Sakya tidak mempedulikan keramaian dan
kemewahan itu. Meskipun hadir ditengah-tengah para pengikut pesta, hatinya tidak berhenti
selalu berkata seorang diri : "Kalian semua akan menjadi tua. Semuanya, yang paling cantik dan
yang paling gagah sekalipun akan memiliki tubuh yang aus."
Kedua kali dia minta ijin kepada ayahnya untuk berjalan-jalan di kota Kapilavastthu.
Raja dengan berat hati terpaksa mengabulkan. Namun putranya mohon agar penduduk tidak
diberitahu lebih dahulu. Walaupun hatinya sedih, raja mengizinkan, memenuhi permohonan
tersebut.
Pada kesempatan itu, pangeran pergi bersama Channa saja, berpakaian seperti anak
keluarga bangsawan. Pemandangan yang tersuguh amat berlainan dari kali peftama dia keluar

8
istana. Penduduk tidak berbondong-bondong mengelu-elu kedatangannya. Umbul-umbul dan
bendera tidak menghiasi pinggiran jalan. Bunga-bunga tidak disebarkan. Tapi pangeran dapat
melihat penduduk sedang bekerja sibuk sekali. Seorang pandai besi berpeluh menempa sebuah
pisau. Tidak jauh dari sana, para pencelup bahan kain sedang memanaskan beberpa tampayan di
atas api, aneka warna-warni mendidihkan kain-kain panjang. Agak tersisih, terdengar suara
rintihan. Jelas sekali orang itu merasa sakit. Hati pangeran tersentuh, dia mendekat, lalu melihat
badan orang itu penuh noda-noda berwarna unggu kehitaman. Tangannya terulur menyentuh
kepala orang itu, bertanya kepada Channa : "Channa, mengapa dia? Dia sukar bernafas, apakah
dia tidak dapat berbicara?" "Jangan tuanku, jangan menyentuh orang ini! Dia sedang menderita
sakit. Penyakit itu namanya pes. Dia merasa tubuhnya terbakar, sebab itu dia merintih. Karena
sangat sakit, dia tidak dapat berbicara."
"Apakah ada orang lain yang seperti dia?"
"Ada, dan jika tuanku menyentuhnya, barangkali tuanku akan ikut sakit seperti dia."
"Channa, masihkah banyak lagi hal-hal buruk seperti ini yang sama, orang menderita
sakit sehingga badannya tidak berguna?"
"Benar tuanku, masih banyak lagi penyakit lain yang menyerang manusia di dunia ini."
"Tidak adakah orang yang dapat menolong orang sakit seperti ini? Apakah semua orang,
siapapun bisa sakit? Apakah penyakit itu bisa datang secara tiba-tiba?"
"Betul, tuanku, penyakit dapat menyerang dengan mendadak. Dan semua orang bisa
sakit, tidak memilih tua atau muda, kaya atau miskin. Tidak ada yang dapat mencegah, serta bisa
datang sewaktu-watktu."
Pangeran menjadi amat sedih, segera kembali ke istana untuk merenungkan hal itu. Raja
turut muram pula setelah mengetahui reaksi putranya terhadap hal-hal baru yang telah dilihatnya.
Berselang beberapa hari, putra itu memohon lagi ijin untuk....
....klai makan sedikit demi sedikit. Akibatnya, lima "rekan pertapa" menganggap bahwa
dia seorang pecundang, gagal dan tidak setia dengan teknik-teknik yang telah diajarkan. Mereka
meninggalkan Sang Gautama seorang diri.
Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk pertapa Gaytama.
Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya bernyanyi dengan
syair sebagai berikut: "Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau
ditarik terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau
keras. Orang yang memainkannya yang harus pandai menimbang dan mengira."
Mendengar nyanyian itu, pertapa Gautama mengangkat kepalanya dan memandang
dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata : "Sungguh
aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima pelajaran

9
dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh, aku telah menarik demikian keras tali
penghidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik
tali itu terlalu keras atau terlalu kendor."
Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata
ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang bayi
laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di
bawah pohon di mana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon.
la agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan:"O,
nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari kayangan untuk menerima langsung
persembahan nyonya. Beliau sekarang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah
beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan nyonya."
Sujata gembira sekali mendengar berita itu. Setelah makanan selesai dimasak,
berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang
agung sedang bermeditasi. la tidak tahu, bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon
sebenarnya adalah pertapa Gautama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk
dan dengan hormat dipersembahkan kepada pertapa Gautama yang dikira Sujata adalah dewa
pohon.
Pertapa Gautama menyambut persembahan itu. Setelah selesai makan, terjadilah
percakapan antara pertapa Gautama dan Sujata seperti di bawah ini :
"Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?"
"Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah
cetusan rasa terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi
seorang anak laki-laki."
Kemudian pertapa Gautama menyingkap kain yang menutupi kepala bayi dan meletakkan
tangannya didahinya sambil memberi berkah :
"Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan
engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah
enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi
penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini
Aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu
telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu
dengan persembahan ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi, adikku yang
baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia, dan apakah penghidupan yang disertai
cinta saja sudah memuaskan?"
"Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak maka hatiku dengan mudah
mendapatkan kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga

10
Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia
memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari, dengan senang
hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi sajen kepada para dewata,
menyambut suamiku pulang dari pekerjaan; apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak
laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal
dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari
perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis
muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit muncul dari pohon yang penuh racun. Apa
yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?"
Mendengar penjelasan Sujata maka pertapa Gautama menjawab :
"Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu; dalam
penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari dari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan
yang tinggi; meskipun engkau tidak belajar apa-apa, namun engkau tahu jalan kebenaran dan
menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau telah mendapat kepuasan,
semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai
seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku."
"Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuanku sebagaimana aku berhasil mencapai
cita-citaku." Pertapa Gautama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk
kosong. la menuju ke tepi sungai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai
pertapa Gautama melempar mangkuknya ke tengah sungai sambil berkata: "Kalau memang
waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukannya mengikuti arus."
Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus. Pertapa
Gautama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. la memilih tempat untuk
bermeditasi di bawah pohon Bodhi (latin: Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat
duduk di sebelah tiimur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari seorang pemotong
rumput yang bernama Sotthiya. Di tempat itulah pertapa Gautama duduk bermeditasi dengan
wajah menghadap ke timur dengan tekad yang bulat. Selama bermeditasi itu, sang pertapa tidak
terlepas dari godaan-godaan. Kekuatan kejahatan dan keburukan silih berganti mengancam serta
mempermainkan dia. Namun semua itu tidak menggetarkan Sang Gautama. Malam semakin
larut, segalanya bergegas. Seolah-olah semua makhluk di hutan itu mengerti bahwa kemenangan
atas ketidaktahuan nyaris akan .digapai oleh seseorang yang bakal mashyur dair abad ke abad
dengan nama Buddha Sakyamuni, Gautama yang telah bangun. Malam itu sang pertapa agung
menemukan bahwa penjara ketidaktahuan (ignorance) harus dirobohkan. Manusia harus mawas
diri, meneliti ke kedalaman diri sendiri (insight). Dengan penelitian tanpa batas ke dalam diri
sendiri tersebut, manusia akan mengerti bahwa dia hanya terdiri dari kesatuan jasmani, pikiran,
perasaan, ingatan dan kesadaran. Kesemua bagian itu harus dikendalikan agar tidak terkena
polusi atau pencemaran. Pendalaman terhadap diri sendiri (insight) berguna untuk meniadakan
pencemaran itu (asavakkhaya-nana).

11
Pencemaran pertama ialah kesenangan-kesenangan nafsu, pandangan, pendengaran,
penciuman, rasa (melalui lidah), rasa sentuhan (melalui kulit) dan kenangan (melalui pikiran).
Yang kedua adalah kesinambungan hidup; selalu mendambakan kehidupan yang terus menerus
(abadi) tanpa pengalaman tumimbal lahir (reinkarnasi), tanpa sakit, tanpa tua, atau kematian,
serta selalu mendapatkan kesenangan-kesenangan sensual. Pencemaran ketiga adalah
sesungguhnya yang paling mendasar; kebodohan, atau tepatnya mengetahui secara
keliru/pandangan salah tentang kehidupan ini.
Pagi-pagi keesokannya, ketika udara lembut sejuk serta terang, bukanlah fajar lumrah di
hari-hari musim panas biasanya. Merekahnya langit di timur saat itu merupakan era baru.
Seseorang yang telah mencapai pencerahan sempurna pada saat bulan purnama di bulan Vaisak,
yang telah menemukan Dhamma bagi makhluk-makhluk di dunia ini, Beliau telah bangkit dari
bawah pohon Bodhi. Gautama, Sang Buddha telah terbebas dari segala sumbatan, belenggu, dan
dari segala keterbatasan.
Kebijaksanaan yang agung telah berkembang. Tapi Sang Gautama pencapai pencerahan
tidak percaya bahwa semua orang, siapa saja akan mudah menerima ajaran-ajaran beliau. Maka
untuk memberitahu berita tentang kebenaran itu, Beliau memutuskan untuk menemui bekas
guru-gurunya. Namun kemudian diketahui, bahwa Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta telah
meninggal dunia. Lalu Beliau teringat kepada lima rekan pertapanya yang telah menganggap
Sang Gautama sebagai orang yang telah gagal. Konon mereka berada di Taman Rusa, di
Benares.
Disanalah Sang Buddha mengajarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Mulai hari itu
hingga empat puluh lima tahun kemudian, Beliau terus mengajar pria dan wanita, para raja
beserta para petani, orang yang berkasta Brahmana berdampingan dengan mereka yang berkasta
paling rendah, orang-orang kaya dan miskin, para pertapa dan para perampok. Beliau tidak
membedakan satu dari lainnya, semua berkedudukan sama rendah maupun sama tinggi. Sang
Buddha membuat sebuah revolusi sosial dengan menerima kaum perempuan hingga menjadi
Bhikkhuni serta mampu mencapai tingkat kesucian dan berhak berkotbah maupun mengajar.
Pada usia delapan puluh tahun, Sang Buddha meninggal di Kusinara (sekarang Uttar
Pradesh di India). Waktu itu bulan purnama di bulan Vaisak. Saatnya sama seperti saat kelahiran
Pangeran Siiddhartha Gautama, dan sama seperti saat memcapai pencerahan sempurna dan
menjadi Buddha.
Dimasa kini, penganut ajaran Buddha tersebar di Sri lanka, Myammar, Thailand,
Kamboja, Jepang, Cina, Vietnam, Tibet, Taiwan, Monggolia, Korea, beberapa bagian negara
India, Pakistan, Nepal, Rusia, Indonesia, Amerika, dan Eropa. Umat Buddha di seluruh dunia itu
berjumlah sekitar lima ratus juta jiwa.

12
KOMENTAR :

Buddha merupakan panutan bagi saya, merupakan guru alam semesta juga para dewa.
Gaotama merupakan pangerang kerajaan, harta melimpah, tahta yang tinggi dan memiliki
keluarga yang bahagia serta kehidupan yang mewah, namun hal tersebut rela di lepas demi
mencari jalan menuju kebebasan. Hidup keduniawian tidaklah kekal maka Gaotama mencari
jalan keluar untuk hidup kekal dan mencapai tingkat penerangan sempurna. Jikalau saya di posisi
Buddha Gaotama itu merupakan keputusan yang sangat sulit bagi saya, meninggalkan 
kehidupan duniawi. Namun saya akan berusaha untuk meninggalkan kehidupan duniawi karena
hal tersebut bersifat berkondisi.

Buddha berpikir kritis dalam berkehidupan, hal tersebut merupakan teladan yang harus
kita contoh. Buddha juga peduli kepada semua mahluk yang ada, menanamkan cinta kasih
kepada sesama. Mengajarkan sesama untuk tebebas dari Dosa, Loba, Moha dengan cara
bermeditasi dan banyak hal. Meditasi selain mengikisi LDM juga bermanfaat dalam kehidupan
sehari - hari, kita bisa focus dalam segala hal, belajar juga akan menjadi konsentrasi. Walaupun
saya jarang melakukan meditasi tapi hal tersebut sangatlah perlu dan saya masih harus banyak
belajar tentang bagaimana menjalankan meditasi dengan baik dan benar, fokus kepada jenis
meditasi yang akan kita lakukan. Buddha membabarkan dhamma kepada manusia dan juga para
Dewa, Dhamma sangat sulit di mengerti namun saya akan tetap belajar dhamma. 

Banyak hal yang bisa dijadikan contoh dalam kehidupan sehari - hari, dalam melakukan
suatu hal kita harus memiliki tekat yang kuat dan pandangan benar, maka hal tersebut tentunya
akan bisa kita capai. Semua bergantung kepada diri kita sendiri, tidak bisa mengandalkan orang
lain. Dari hal kecil ke besar semuanya memiliki proses, dan tidaklah mudah, pasti ada lika - liku
yang harus kita hadapi. Kegigihan dan keuletan harus kita tanamkan dalam kehidupan sehari -
hari.

13

Anda mungkin juga menyukai