Anda di halaman 1dari 4

sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati

meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:

(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau non

trauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti kandida. Agar terapi menjadi

lebih efektif, terapi antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi

(Schwartz et al, 1989).

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus

segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam

dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga

memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari

penicillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan

regimen terapi yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin,

tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan

aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua

(Schwartz et al, 1989).

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram

negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada

pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotika awal yang

kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus

diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran

klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu


aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak

didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).

 Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup

diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolisme tubuh

akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat

diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti: (1) ketidakmampuan untuk menjaga

ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO 2 50 mmHg atau

lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO 2 kurang dari 55 mmHg,

(3) adanya napas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,

mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada

usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan

pengeluaran urin. Tanda vital (temperatur, tekanan darah, nadi dan respiration rate)

dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperatif termasuk serum

elektrolit, kreatinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis

(Schwartz et al, 1989).

2.7.2. Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan

untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum.

Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anastomosis

primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang

didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari kavum


peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mukus lambung dan membuat

irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

 Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan

semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis

dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi

midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang

terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.

Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ

dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan

mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur appendiks atau kandung empedu),

perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur

cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan

setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).

 Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat

menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.

Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan

berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).

Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada

cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.

Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan

depresi napas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja

dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum

peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal


dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit

menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

 Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan
cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak
sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar
yang dapat menyebabkan kontaminasi

Anda mungkin juga menyukai