Anda di halaman 1dari 7

INFOKES, VOL. 1 NO.

2 Juli 2010 ISSN : 2086 - 2628

ASPEK SOSIAL BUDAYA PADA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN


NIFAS DI INDONESIA

Oleh :
Sri Handayani
Dosen STIKES ’Aisyiyah Surakarta
Prodi Kebidanan

ABSTRAK
Para penolong dan cara-cara menolong persalinan merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan, karena diikat oleh kesaman pemahaman mengenai sifat dari proses kelahiran itu
dengan pengaruhnya terhadap kondisi bayi dan ibunya.
Pada kebudayaan di Indonesia kelahiran masih tetap merupakan masalah pribadi, yang
bersifat terbuka dan tertutup bagi kerabat terdekat yang dianggap mempunyai fungsi tertentu
dalam menghadapi peristiwa itu.Biasanya mereka akan lebih terbuka pada kerabat wanita
yang sudah berumur dan sudah biasa menghadapi peristiwa pesalinan.
Citra tentang wanita, pandangan budaya mengenai organ reproduksi dan penanganan
plasenta. Dalam banyak kebudayaan di berbagai penjuru dunia citra tentang wanita dan
pandangan budaya mengenai bentuk, sifat dan fungsi organ reproduksi maupun pandangan
budaya mengenai plasenta mendorong berbagai perilaku tertentu dalam menghadapi
kehamilan dan kelahiran bayi.
Banyak suku bangsa di dunia khususnya dunia ketiga beranggapan bahwa kemampuan
melahirkan bayi merupakan suatu tolok ukur bagi seorang istri untuk menunjukkan
keberhasilannya dalam tugas budayanya untuk mempersembahkan keturunan bagi suaminya.
Di lingkungan yang mempunyai budaya seperti itu, mempunyai anak segera setelah
pernikahan merupakan tujuan utama dari perkawinan.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya. Setiap daerah di
Indonesia mempunyai kebudayanaan atau adat istiadat yang berbeda.Kebudayaan tersebut
muncul dari kebiasaan nenek moyang terdahulu dan seolah-olah sudah melekat dalam jiwa
setiap masyarakat.
Dukungan sosial merupakan inti bagi kehidupan bermasyarakat yang efektif.1)Adanya
suatu fakta yang dapat dipertimbangkan yang menyatakan bahwa dukungan sosal
mempengaruhi kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.2)Perubahan sosial dan medis
telah meningkatkan harapan hidup manusia3)Tenaga kesehatan berada pada posisi
memberikan intervensi secara sukses baik langsung maupun tidak langsung pada area
dukungan sosial dengan memfasilitasi pertumbuhan dan pertahanan jarngan
sosial.4)penampilan tenaga kesehatan dapat ditingkatkan dengan mengetahui pentingnya
dukungan sosial bagi penanggulangan stres dalam asuhan kebidanan.
Makalah ini akan membahas tentang masalah tersebut dengan berbagai sumber agar
diperoleh hasil yang mampu menjawab pertanyaan tentang aspek sosial dan budaya pada
kehamilan, persalinan dan nifas.
A. ASPEK SOSIAL

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 21


INFOKES, VOL. 1 NO. 2 Juli 2010 ISSN : 2086 - 2628

Pada beberapa tulisan disebutkan bahwa kehidupan masyarakat terasing atau terpencil
yang masih sagat sederhana peradapannya, dilaporkan adanya adat melahirkan yang
dilakukan oleh wanita yang berkepentingan tanpa bantuan siapapun.Biasanya alasan untuk
“menyembunyikan”kelahiran dari keterbukaan bagi banyak orang adalah karena kebudayaan
yang bersangkutan memandang kelahiran sebagai masalah pribadi dan dari segi adat sopan
santun, perlu dijaga dari keterbukaan bagi orang lain, termasuk kerabat.Misalnya tradisi orang
Mentawai di pulau Siberut pada masa lalu, kelahiran merupakan peristiwa pribadi yang hanya
dihadapai oleh suami dan ibu sang wanita yang melahirkan, dengan suami sebagai penolong
utama dari kelahiran anaknya.Pada kebudayaan lainya, kelahiran masih tetap merupakan
masalah pribadi, namun lebih bersifat terbuka bagi kerabat terdekat yang dianggap
mempunyai fungsi tertentu dalam menghadapi peristiwa itu.Biasanya mereka adalah kerabat
wanita yang sudah berumur dan sudah biasa menghadapi peristiwa pesalinan.
Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan, Bali memandang kelahiran sebagai hal yang
wajar dan bersifat”publik”.Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki, karena dukun bayi
npria dan suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan.Berbeda dengan
masyarakat Krikati di brazilia tengah,handai tolan termasuk anak-anak bisa berkerumun di
depanpintu yang dibiarkan terbuka, untuk menyaksikan proses kelahiran tersebut di luar
ruangan.Meski demikian hanya dukun pria, suami, ibu kandung sang wanita melahirkan, dan
ank-anaknya yang lahir terdahulu saja yang berada di ruangan, ditambah satu orang wanita
lainnya atau lebih, yang ,mempunyai fungsi sebagai pembantu persalinan apabila tenaganya
diperlukan.
Para penolong dan cara-cara menolong persalinan merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan, karena diikat oleh kesaman pemahaman mengenai sifat dari proses kelahiran itu
dengan pengaruhnya terhadap kondisi bayi dan ibunya.Dalam proses persalinan di lingkungan
di masyarakat Bali Aga, wanita akan melahirkan duduk dengan posisi bersandar pada dada
balian tekuk(dukun beranak) di atas bangku.Sang suami duduk tepat di hadapan isterinya,
karena berfungsi sebagai penerima bayi pada saat lahirnya.Diantara suami isteri terdapat
lubang dangkal yang diberi alas untuk menampung plasenta, air tembuni, dan darah yang
keluar dari tubuh wanita yang melahirkan.Disisi wanita itu, berdiri seorang gadis yang
berfungsi untuk menarik rambutnya, agar sang wanita yang melahirkan dapat tetap dalam
posisi duduk tegak.Tujuannya adalah untuk menjaga agar jiwanya dapat tetap diam dalam
tubuhnya dan tidak akan meninggalkannya.Sang balian tekun akan mengurutnya untuk
membetulkan posisi bayi bila terasa sungsang dalam perut ibunya.Namun bila proses
kelahirran tampak berjalan normal, ia tak kan berbuat apa-apa kecuali berfungsi sebagai
tempat bersandar sang wanita melahirkan dan memberikan ketenangan psikologis.Seorang
pelaku lain, balian usada hanya berperan apabila terjadi proses persalinan yang sulit.Ia akan
membacakan mantera-mantera dan doa, serta memberikan minuman air suci kepada si ibu,
lalu menyemburnya dengan ludah yang dicampur kunyahan daun sirih.Para pelaku,
khususnya sang gadis, senantiasa mengusahakan agar si ibu tidak pingsan, karena hal itu
dianggap dapat menyebabkan kematiannya.Sementara itu, ibu dari wanita yang melahirkan
turut berada di ruangan yang sama untuk memberikan ketenangan bathin bagi putrinya yang
sedang dalam proses melahirkan.Selama proses pertolongan persalinan, diyakini oleh semua
pelaku bahwa selama ari-ari belum keluar, tali pusat tak boleh dipotong karena kuatir akan
tertarik kembali ke dalam rahim sang ibu.Dari segi kedokteran hal dianggap membahayakan
karena pedarahan pada ari-ari dapat menyebabkan perdarahan pada bayi pula.Setelah ari-ari
keluar, ayah sang bayi memotong tali pusat anaknya dan para pelaku lain mulai sibuk
mengambil air hangat dan rempah-rempah.Sementara itu tugas dukun bayi dan ayah sang bayi
masih berlanjut dengan upacara untuk merawat dan membungkus plasenta, darah, air tembuni

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 22


INFOKES, VOL. 1 NO. 2 Juli 2010 ISSN : 2086 - 2628

dan tali pusat sang bayi, untuk digantungkan pad tempat khusus yang disediakan untuk
keperluan itu, di bagian selatan induk trunyan.
Uraian tersebut menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial yang terwujud
dalam kegiatan menolong persalinan yang dilakukan oleh para pelaku, masing-masing dengan
peran dan tugasnya selama proses persalinan berlangsung, tidak saja bagi sang bayi,
melainkan juga bagi perawatan plasentanya.Kerjasama yang terpola itu dilandasi oleh
pengetahuan budaya yang sama mengenai sifat-sifat dan fisiologi kelahiran.
Citra tentang wanita, pandangan budaya mengenai organ reproduksi dan penanganan
plasenta. Dalam banyak kebudayaan di berbagai penjuru dunia citra tentang wanita dan
pandangan budaya mengenai bentuk, sifat dan fungsi organ reproduksi maupun pandangan
budaya mengenai plasenta mendorong berbagai perilaku tertentu dalam menghadapi
kehamilan dan kelahiran bayi. Citra tentang wanita : Ibu dan istri. Banyak suku bangsa di
dunia khususnya dunia ketiga beranggapan bahwa kemampuan melahirkan bayi merupakan
suatu tolok ukur bagi seorang istri untuk menunjukkan keberhasilannya dalam tugas
budayanya untuk mempersembahkan keturunan bagi suaminya. Di lingkungan yang
mempunyai budaya seperti itu, mempunyai anak segera setelah pernikahan merupakan tujuan
utama dari perkawinan. Di Bangladesh pandangan serupa juga ditemukan, pengantin baru
diharapkan untuk segera mempunyai anak untuk membuktikan kesuburan mereka dan untuk
mengesahkan mereka dalam keluarga, karena status sebagai ibu lebih tinggi dari status
sebagai istri. Di samping itu status sebagai ibu memberikan lebih banyak kebebasan untuk
keluar rumah dan mempraktekkan hak-hak mereka. Keinginan untuk segera memiliki anak
mendorong terwujudnya cara-cara budaya dalam mengupayakan kelahiran anak. Lucille
Newman menghimpun sejumlah tulisan mengenai berbagai kebudayaan di Asia, Amerika
Tengah dan Selatan, yang berkenaan dengan pengetahuan dan cara-cara budaya untuk
mengatur kesuburan dengan tujuan mendapatkan bayi, membatasi kelahiran bayi dan berbagai
pertimbangan tertentu. Di pihak lain citra tentang wanita dalam kaitannya dengan tugas
budaya mereka tidak selalu mendorong disukainya kelahiran anak tambanhan, setelah
lahirnya beberapa anak. Tidak disukainya tambahan anak tidak selalu disebabkan oleh faktor
sosial ekonomiyang dari segi tenaga dan biaya tidak menguntungkan untuk merawat seorang
bayi lagi. Dalam masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu Lembah Baliem Papua misalnya
tugas budaya yang utama bagi wanita dan yang dianggap amat penting adalah melakukan
kegiatan mata pencaharian yakni menghasilkan ubi jalar dan babi. Sehingga tambhan anak
cenderung tidak disukai karena dianggap mengganggu tugas mereka di ladang. Keadaan ini
sering mendorong untuk melakukan aborsi tradisionalyang menyebabkan resiko yang buruk.
Pandangan budaya terhadap organ reproduksi, masa pembuahan dan ngidam.
Perubahan fisiologi terjadi pada wanita hamil dan hal ini umumnya diterima secara wajar.
Meskipun demikian respons masyarakat terhadap reaksi fisiologi saat pembentukan janin
berbeda-beda. Munculnya rasa mual dan muntah dipahami dengan berbagai respons budaya.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikenal sejumlah respons budaya yang umum dikenal
dengan istilah ngidam, antara lain berupa keinginan ibu untuk makan makanan yang rasanya
asam, makan jenis-jenis makanan tertentu, makan makanan yang tidak lazim di makan seperti
tanah lempung atau keinginan menyaksikan atau melakukan perbuatan tertentu walaupun
kurang pantas menurut norma yang berlaku. Suku Jawa dan Sunda berkeyakinan bahwa
kegagalan para kerabat memenuhi keinginan ngidam dari wanita hamil sebagai hal yang akan
mengakibatkan bayinya kelak akan terus menerus melelehkan air liurnya.
Pandangan budaya mengenai plasenta. Pada masyarakat Indonesia dan Malaysia
plasenta dianggap sebagai saudara sang bayi, sehingga harus diperlakukan dengan cara yang
baik. Plasenta tidak selalu dikuburkan melainkan ditenggelamkan ke laut. Pada kebudayaan-

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 23


INFOKES, VOL. 1 NO. 2 Juli 2010 ISSN : 2086 - 2628

kebudayaan tertentu di dalam wadah yang berisi plasenta bayi diletakkan pula bahan-bahan
ramuan atau benda-benda lain yang secara simbolik dianggap sebagai barang kebutuhan
saudara si bayi dalam kehidupan di dunianya yang ghoib.

B. ASPEK BUDAYA
Sebagai makhluk biologi manusia dipelajari dalam ilmu biologi atau anatomi dan
sebagai makhluk sosio budaya manusia dipelajari dalam anthropologi budaya, yaitu tentang
seluruh cara hidup manusia, bagaimana manusia dengan akal budinya dan struktur fisiknya
dapat mengubah lingkungan berdasarkan pengalamannya.Kebudayanan manusia menganalisis
masalah-masalah hidup sosial-kebudayaan manusia dan memberi wawasan bahwa hanya
manusialah yang mampu berkebudayaan.Seperti halnya pada ritus penyambutan bayi lahir
pada suku Rimbo di Jambi.Pada masyarakat Rimbo lahirnya seorang anak berarti
kelangsungan hidup generasinya terjamin, begitu juga perkembangan mreka tetap terpelihara
tetapi kenyataannya sering terjadi peristiwa di luar jangkauan kemampuan manusia, seperti
kematian, bahkan mati bayinya atau ibunya.Keadaan ini membuat orang rimbo diliputi oleh
hal-hal yang menggelisahkan dan tidak menentramkan hidupnya.Kemudian mereka mencari
sandaran yang dapat enghilangkan kegelisahan, yang berasal dari bantuan yang luar biasa di
atas segala kemampuan manusia dengan diadakan upacara keagamaan khusus.Upacara
dimulai sejak ibu mengandung delapan bulan yaitu dengan menyerahkan kepada dukun bayi
yang biasanya juga merangkap orang alim, hal ini dilakukna karena orang rimbo
berpengalaman bahwa umur kandungan delapan bulan merupakan umur yang kritis, sering
terjadi hal-hal yang diluar dugaan manusia, dengan diserahkan ibu ke dalam pengawasan
dukun bayi/orang alim yang dianggap ahli kandungan ibu tersebut akan terjaga dan
selamat.Selanjutnya alim memerintahkan untuk membuat tempat khusus dalam upacara
penyambutan bayi yang akan lahir di suatu tempat yang disebut tanah peranakan, yaitu suatu
tempat yang datar, air cukup, ramu-ramuan yang diperlukan banyak di tempat itu, mudah
dujangkau, dan terlindung dari gangguan binatang buas.Bangunan balai tersebut terdiri dari
minimal tiga gubug, satu untuk suami istri yang akan melahirkan, satu khusus untuk dukun
bayi/alim, sati lagi agak besar unuk kerabat dekat.Peralatan yang digunkan untuk upacara :
bedaro putih untuk minuman bagi ibu yang melahirkan agar mudah dalam persalinan,
ramuramuan yang khusus dicari oleh dukun, kemenyan untuk mengusir roh jahat, suluh
damar untuk penerangan di malam hari, bubuk kulit kayu tenggiris untuk menempel pada
pusat bayi agat cepat kering, makanan dan lauk-pauk untuk menjamu peserta upacara
terutama ibu yang baru melahirkan, tempat pembungkus bayi, senjata berupa tombak dan
parang untuk menangkal serangan yang mungkin terjadi.Setelah bayi lahir engan selamat
maka masing-masing sibuk dengan tugasnya masing-masing, ada yang bertugas menanam
bali(ari-ari) yang harus ditanam di tempat yang tidak mungkin digunakan untuk ladang atau
bangunan, sebagian yang lain membuat makanan dari ubi yang diparut dan dibubur dengan
dicampur hati atau daging, untuk makanan ibu yang baru melahirkan sisanya untuk kerabat
yang menyaksikan dan menunggu kelahiran bayi.Stelah sehari semalam maka seluruh orang
yang berada di tanah peranakan pulang ke rumah masing-masing, bayinya cukup digendong
dengan kain panjang tanpa bungkus dengan sesuatu benda apapun dan mereka langsung
bekerja termasuk ibu yang baru saja melahirkan tadi.Kebiasaan ini kemungkinan menjadi
penyebab banyak anak yang meninggal di bawah lima tahun terutama tahun pertama.Menurut
kepercayaan orang rimbo bila bayi lahir dengan selamat dan kelahirannya di tanah peranakan
dengan pertolongan orang alim dan sudah diupacarakan, maka anak tersebut sudah lepas dari
marabahaya untuk di bawa kemanapun ibunya pergi.Rasa terlindungi oleh sang pencipta

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 24


INFOKES, VOL. 1 NO. 2 Juli 2010 ISSN : 2086 - 2628

inilah yang membuat mereka leluasa pergi membawa serta bayi yang baru lahir meskipun
beru berumur sehari semalam.
Masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan hamil agar bayinya tidak berbulu
sepeti rebung.Mereka juga dilarang makan jantung pisang agar anaknya lahir tidak terlalu
kecil, atau mengonsumsi senawa/jamur karena akan menyebabkan placenta menjadi kembar
sehingga mengalami kesulitan waktu melahirkan, alasan ini merupakan keyakinan budaya.
Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok timur, wanita hamil dilarang makan
gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan pari.Ikan gurita dan cumi dianggap mempunyai kaki
yang lekat dan mencengkeram, hal ini diasosiasikan ari-ari bayi akan lekat dan
mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah lahir.Makan udang yang bentuknya
melengkung dianggap akan menyebabkan bayi berbrntuk serupa sehingga mempersulit
kelahiran.Ikan pari yang hidungnya tajam akan menyebabkan bayi sulit keluar, sementara
kepiting menyebabkan bayi akan lebih dahulu keluar tangannya atau letaknya
melintang.Sebaliknya adapula makanan yang dianjurka karena dianggap baik bagi wanita
hamil, ia harus makan tanah kaken/lempung merah.Penduduk setempat juga percaya bahwa
pada saat hamil harus makan sebanyak-banyaknya dalam arti kuantitas,bukan kualitas.Pada
masyarakat Biak Numfor( Irian ), suami isteri yang tengah menantikan kelahiran bayinya
dilarang makan daging hewan tertentu diantaranya kura-kura.
Pantangan yang hubungannya dengan asosiatif atau adat memantang yang berhubungan
dengan pantangan perbuatan atas dasar keyakinan sifat ghoib, karena terdapat sejmlah
pantangan perbuatan yang melarang wanita hamil dan suaminya melakkan hal-al tertentu
yang secara ghoib diaggap dapat berakibat buruk bagi beyi mereka, sebagai contoh di
Kemantan Kabupaten Kebalai.Seorang wanita hamil pantang masuk hutan karena akan
diintai harimau, pantang keluar waktu maghrib akan menyebabkan beranak hantu, panting
menjalin rambut bila keluar rumah akan menyebabkan leher bayi terlilit tali pusatnya sendiri,
pantang duduk di tanah atau di batu, akan terjadi ketuban bumi/sulit melahirkan, pantang
bernadzar yang hebat-hebat karena kelak air liur bayinya akan meleleh terus.
Ada kepercayaan di Bali: kesulitan seorang wanita yang melahirkan berkaitan dengan
perbuatan suaminya sewaktu isterinya hamil, misalnya karena melanggar pantangan untuk
membuat atau menancapkan pagar, karenan sering memukul binatang atau mencukur
rambut.Larangan menyiksa hewan juga ditemukan pada banyak suku bangsa seperti
masyarakat Sakai, Jawa dan beberapa suku di Papua.Pada masyarakat Sarmi ada larangan
bagi suami dan isteri yang hamil untuk mengucapkan kata-kata tertentu yang dianggap
berkaitan dengan maut atau makan bersama anggota keluarga yang baru pulang melayat.Pada
masyarakat Marind Anim terdapat larangan bagi seorang pria untuk menceritakan dongeng-
dongeng yang dianggap sakral ketika isterinya sedang hamil sampai melahirkan.Demikian
pula masyarakat Riau dan Papua terdapat larangan bagi suami isteri yang menantikan elahiran
bayi untu melakukan beberapa perbuatan tertentu seperti menebang dan membakar pohon,
menanam tebu, berburu, dan membicarakan cerita-cerita suci serta membelah puntung kayu
yang masih menyala.
Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses yang semata-mata
berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada saat itu, dari rahim sang ibu keluar
pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai unsur kotor, seperti darah, air ketuban,
tali pusat dan plasenta.Dari segi budaya, pengetian”kotor”tidak selalu mengacu pada arti
harfiahnya, namun kotor dalam arti “duniawi”, sebagai lawan dari sifat sakral, suci dan
ghoib..Karena itu kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur-unsur yang
kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk keperluan itu.disini
dijlaskan bahwa pandangan masyarakat tentang wilayah bersih yang tidak boleh dikotori,

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 25


INFOKES, VOL. 1 NO. 2 Juli 2010 ISSN : 2086 - 2628

sedangkan melahirkan adalah proses membuang nsur-unsur yang kotor, sehingga pilihan
melahirkan ditetapkan di dapur sebagai wilayah kotor, sebagian masyarakat Dayak Kenyah di
Desa Long merah, kalimantan timur, yang tinggal di ummaq dadog(Rumah komunal
tradisional dengan bilik-bilik yang berjajar) juga memilih dapur sebagai tempat
melahirkan.Namun alasannya lebih cenderung kepada faktor adat sopan santun.Bagian tengan
rumah yang disebut sinong terlalu terbuka bagi umum dan kurang memberikan suasana yang
dibutuhkan oleh wanita hamil untuk melahirkan bayinya, baik dari segi ketenangan maupun
adat sopan santun.Maka dapur sebagai satu-satunya bagian rumah yang tertutup dan
memberikan ruang pribadi yang dibutuhkan untuk melahirkan, menjadi pilihan sebagai tempat
melahirkan.
Menurut adat tradisional orang Mentawai di pulau Siberut, yang terutama dianut scara
etat di masa lalu, melahirkan dianggap sebagai kategori non sakral sehingga kelahiran
dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk itu.ialah ladang yang bersifat duniawi, yang
merupakan salah satu dari pusat kehidupan selain desa dimana rumah-rumah penduduk
berada.Oleha karena itu sekitar seminggu sebelum sang wanita melahirkan, ia akan dibawa
oleh suami dan ibunya untuk tinggal di ladanga hingga saatnya melahirkan.Meskipun pad
masa kini kebudayaan orang Mentawai telah mengalami perubahan, masih ada di pedalaman
penduduk pulau siberut yang menjalankan adat melahirkan berdasarkan konsep itu.
Pandangan budayan tentang lokasi melahirkan an sifatnya juga tidak sama dalam berbagai
kebudayan.Di Desa Trunyan, melihat kelahiran sebagai sifat terbuka untuk dihadiri handai
tolan.Namun tetap terdapat batasan dari norma-norma adat mengenai siapa yang dapat dan
tidak boleh berada di dalam ruangan.Suasana kelahiran bayi juga dihadapi sebagai peristiws
yang wajar secara alamiah, dan merupakan bagian dari proses sosialisasi anak-anak
setempat.Di dalam ruangan, para pelaku berperan sesuai dengan tugasnya masing-masing, tap
orang berada di tempatnya masingmasing sesuai tugas yang ditentukan baginya dalam
pertolongan persalinan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pengadaadn tempat melahirkan dan para
pelaku pada kegiatan tersebut, termasuk tugas dan aturan masing-masing ditetapkan secara
budaya.Pertimbangan-pertimbangan tertentu yang bersifat kultural ini kadang-kadang tidak
mudah untuk diubah.
Tentang ramu-ramuan dalam proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap kebudayaan
memiliki kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan obat-obatan yang dapat
digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan akan lahirnya sang bayi.Umumnya bahan
obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang diracik dari berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti
daun-daunan, akar-akara, atau bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat
tubuh atau pelancar proses persalinan.Ramuan yang dianjurkan ole dukun bayi untuk
diminum atau dimakan oleh calon ibu bervariasi, sesuai dengan pengetahuan budaya setempat
dan menurut ketersediaan bahan-bahan di lingkungan sekitar.Di Bali, misalnya, balian manak
menganjurkan pasienya yang hamil tua untuk minm jamu daun waru atau minum air kelapa
muda agar kelak persalinannya lancar, juga dianjurkan minum air kelapa dari kelapa yang
masih sangat muda yang dicampur dengan madu dan kunyit dengan tujuan menambah tenaga.
Pada masyarakat Kerinci,walaupun jantung pisan dipantangkan selama sebagaian besar
dari masa hamil, saat memasuki usia kandungan 9 bulan, jantung pisang merupakan bagian
dari pelusuh(sarana untuk memperlancar lahirnya bayi)yang diberikan, setelah sebelumnya
diberi penawar berupa doa-doa oleh dukun dan dmakan sebagai lauk nasi.Kemudian pada saat
bayi hampir lahi, pelusuh terdii dari telur aam mentah yang dikocok dengan campuran kopi
atau sirih dengan perangkatnya(pinang, gambir,dan kapur), yang diberi doa.Setelah ketuban
pecah, ibun diberi minyak kelapa untuk diminumkan.Tujuannya untuk memberi semangat

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 26


INFOKES, VOL. 1 NO. 2 Juli 2010 ISSN : 2086 - 2628

kepada ibu, meskipun dari segi kesehatan hal itu tidak jelas khasiatnya.Pada saat bayi telah
lahir terdapat pula ramu-ramuan yang ditujukan pada perawatan ibu melahirkan.Bahan-bahan
ramuan itu digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk mengembalikan tenaga, untuk
memperkuat tubuh ibu, mengembalikan fungsi-fungsi tubuh menjadi sebelum hamil,
membersihkan tubuh dari nifas dan zat-zat yang diangap kotr lainnya, serta mengembalikan
bentuk tubuh dalam konteks keindahan tubuh.
Jenis-jenis ramuan dan obat-obatan yang digunakan oleh setiap kelompok masyarakat
pada masa hamil, menjelang saat melahirkan dan sesudah bersalin merupakan bahan –bahan
yang berasal dari pengetahuan budaya masyarakat ang bersangkutan.Sebagian diantaranya
sudah digunkan secara turun temurun sejak beberapa generasi.Namun dalam hal-hal tertentu
tidak selalu bahan-bahan yang digunakan berkhasiat menurut ilmu kesehatan atau mendukung
tercapainya tujuan kesehatan dengan baik.
SIMPULAN
Pandangan budayawan tentang lokasi melahirkan dan sifatnya tidak sama dalam berbagai
kebudayan.
Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses yang semata-mata
berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada saat itu, dari rahim sang ibu keluar
pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai unsur kotor, seperti darah, air ketuban,
tali pusat dan plasenta.
Tentang ramu-ramuan dalam proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap kebudayaan
memiliki kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan obat-obatan yang dapat
digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan akan lahirnya sang bayi.Umumnya bahan
obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang diracik dari berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti
daun-daunan, akar-akara, atau bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat
tubuh atau pelancar proses persalinan.
Gambaran-gambaran di atas telah menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan aspek
sosial yang terwujud dalam kegiatan menolong persalinan yang dilakukan oleh para pelaku,
masing-masing dengan peran dan tugasnya selama proses persalinan berlangsung, tidak saja
bagi sang bayi, melainkan juga bagi perawatan plasentanya.

DAFTAR PUSTAKA
Prasetyo JT, Ilmu budaya dasar, Rineka cipta, Jakarta 2004.
Muzaham F, Memperkenalkan sosiologi kesehatan, UI-Pres , Jakarta 1995.
Khoirudin H, Sosiologi keluarga, Liberty, Yogyakarta, 2002.
Mc Ghie A, Penerapan psikologi dalam perawatan, yayasan essentia medika dan Andi,
Yogyakarta, 1996.
Mahmud A, Islam dan realitas sosial di mata intelektual muslim Indonesia, Edi Indonesia
Sinergi, Jakarta, 2005.
Swasono MF, Kehamilan, keahiran, perawatan ibu dan bayi dalam konteks budaya, UI-Press,
Jakarta 1998.
www.kompas.co.id/kesehatan/news/’bebaskan isteri dari baby blues’ hal.3 diperoleh tgl
07/11/2007
Htt://situs.kesrepro.info/kia/des/2004/kia01.htm’faktor yang mempengaruhi
kehamilan”diperoleh tgl 07/11/2007
www.ui.ac.id/indonesia/main.php?hlm=berita&id=2005-02-07, diperoleh tgl 07/11/200

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 27

Anda mungkin juga menyukai