Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334249218

PENGEMBANGAN MATERI AJAR DALAM KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

Article · July 2016

CITATIONS READS

0 4,295

2 authors, including:

Merry Agnes
Universitas Pembangunan Panca Budi
6 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Merry Agnes on 05 July 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGEMBANGAN MATERI AJAR
DALAM KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

Fuji Rahmadi P., MA.

Staf Pengajar Fakultas Agama Islam UNPAB Medan

ABSTRAK
Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor pendidikan lainnya, maka kurikulum
pun memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Kurikulum mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan
peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum
mengalami pembaruan dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik
yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau
ditinjau dari aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana
prasarana, jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-
perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.

Kata kunci: pengembangan, materi, ajar, konsep, pendidikan dan islam.

A. Pendahuluan
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan
dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw.
Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang
berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus–menerus
pasca generasi Nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam
terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum (mata pelajaran). Secara
eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam
pembentukan suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus
menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik. Hari
ini kurikulum pendidikan di Indonesia dapat kita katakan sudah berjalan dengan
baik, dan langsung dikelola oleh departemen pendidikan.
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri.
Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan
sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan
Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem
pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan
1
sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung,
karsa dan karya manusia.

B. Pengertian Materi Ajar dalam Pendidikan


Dalam memberikan materi, merupakan tugas seorang guru untukmengolah
dan mengemas materi agar bisa difahami maka guru harus bisamengaitkan materi
pelajaran dengan kehidupan sehari- hari peserta didik.Hal ini juga terkait dengan
upaya pendidikan Islam dalam membantumewujudkan tujuan pendidikan nasional
seperti, iman dan taqwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berilmu pengetahuan,
berakhlak mulia, cakap,mandiri, kreatif, demokratis dan bertanggung jawab.
Sehingga di sinilah dibutuhkan kompetensi dan format seorang guru yang
mampumengintegrasikan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umumyang
berorientasi pada perkembangan potensi peserta didik dalammenerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya selamaproses pembelajaran
terhadap kehidupan sosialnya.
Upaya guru dalam pengintegrasian antara pengetahuan agama dan umum,
dapat tercermin dalam langkah-langkah pembelajaran sebagaiberikut: pertama,
memberikan nuansa Islam pada mata pelajaran umum. Langkah ini dimaksudkan
untuk mengembangkan bidang kajianmatematika, fisika, kimia, dan bahasa
inggris yang lebih bernuansa danberkaitan dengan kajian keIslaman, kedua,
memberikan pelajaran agamadengan nuansa IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Tekhnologi), dengan tujuanuntuk bisa menjembatani pemaduan ilmu agama
dengan ilmu pengetahuandan teknologi karena bagaimanapun juga teknologi
dapat membantupenghayatan, penjiwaan dan pengamalan beragama peserta didik.
Materi ajar adalah segala bentuk materi yang digunakan untuk membantu
guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi yang
dimaksud bisa berupa materi tertulis, maupun materi tidak tertulis. Bahan ajar atau
materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi
yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri

2
dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau
nilai.1
Selain itu, materi ajar merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran
yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang
akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan materi ajar
memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar
secara runtut dan sistematis, sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua
kompetensi secara utuh dan terpadu. Materi ajar merupakan informasi, alat, dan
teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan penelaahan implementasi
pembelajaran.

C. Sumber Kurikulum Pendidikan Islam


Sesuai dengan tuntutan Alquran, inti kurikulum (intracuriculer)
pendidikan Islam adalah “tauhid” dan harus dimantapkan sebagai unsur pokok.
Pemantapan kalimat tauhid hendaknya sudah dimulai semenjak bayi dilahirkan
dengan memperdengarkan azan dan iqamah terhadap anak yang dilahirkan. Hal
ini dapat dilihat Hadis dari Husain bin Ali, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang lahir anaknya, maka azankan ia pada telinga kanan anak, dan
iqamatkan ia ditelinga kiri anak dan anak tidak dimudharatkan oleh jin”. (Hadis
Riwayat dalam kitab Ibn al-Syumi).
Tauhid berarti peng-Esa-an Allah dengan tidak menyarikatkan-Nya
dengan sesuatu yang lain. Dalam Alquran, Allah menyatakan tentang sifat tauhid
tercermin dalam firman Allah Q.S. 112: 1-4. Dalam konteks ini, tauhid berarti
manusia ham meyakini Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Penguasa dan
Pemberi baginya diawal dan diakhir usahanya. Tauhid dalam Islam adalah suatu
istilah untuk menyatakan kemahaesaan Allah atas semua makhluk-Nya. Allah
merupakan esensi dan inti dari ajaran Islam dan merupakan nilai dasar dan realitas
kebenaran yang universal untuk semua tempat dan waktu dari sejarah

1
Bahan ajar adalah materi yang harus dipelajari siswa sebagai sarana untuk mencapai
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Materi pembelajaran (instructional materials) adalah
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan harus dipelajari oleh
siswa untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar.
3
kemakhlukan dan menjadi inti dari prinsip-prinsip dasar yang ham diikuti oleh
manusia.2
Untuk itu, tak berlebihan bila Muhammad Fazlurrahman Anshari,
memandang tauhid sebagai filsafat dan pandangan hidup umat Islam meliputi
konsep ketauhidan Allah, ketauhidan alam semesta, ketauhidan dalam hubungan
Allah dengan Kosmos, ketauhidan kehidupan, ketauhidan natural dan
supranatural, ketauhidan pengetahuan, ketauhidan iman dan ratio, ketauhidan
kebenaran, ketauhidan agama, ketauhidan cinta dan hukum, ketauhidan umat,
ketauhidan kepribadian manusia, ketauhidan kebebasan dan diterminisme,
ketauhidan dalam term politik, ketauhidan dalam kehidupan sosial, ketauhidan
negara dan agama, ketauhidan dalam dasar satu cita satu ideal.3
Kurikulum inti (infra curiculer) selanjutnya adalah perintah “membaca”
ayat-ayat Allah yang meliputi tiga macam ayat yaitu: (1) Ayat Allah yang
berdasarkan wahyu ; (2) Ayat Allah yang ada pada diri manusia ; dan (3) Ayat
Allah yang terdapat di alam semesta diluar diri manusia. Firman Allah swt:
“Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang
mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S.: 1-5)
Ditinjau dari segi kurikulum, sebenarnya Firman Allah swt., di atas
merupakan pokok pendidikan yang mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan oleh manusia. Membaca selain melibatkan proses mental yang tinggi,
pengenalan (cognition), ingatan (memory), pengamatan (perception), pengucapan

2
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1985), h. 7.
3
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan ketauhidan memungkin manusia
mampu mewujudkan tata dunia kosmos yang harmonis, penuh tujuan, mengangkat persamaan-
persamaan jenis dan ras, serta persamaan dalam segala aktivitas dan kebebasan seluruh manusia
dimuka bumi (ummatan wahidah). Dengan demikian, tauhid merupakan prinsip utama dalam
seluruh dimensi kehidupan manusia baik dalam aspek hubungan vertikal antara manusia dengan
Tuhan maupuun aspek hubungan horizontal antara manusia sesamanya, dan antara manusia
dengan alam sekitarnya. Tauhid yang seperti ini dapat menyusuun pergaulan manusia secara
harmonis dengan sesamanya dalam rangka menyelamatkan manusia dan perikemanusiaan guna
tercapainya kehidupan yang sejahtera dan bahagia dunia akhirat, termasuk didalamnya pergaulan
dalam proses pendidikan. Lihat: Muhammad Fazlur Rahman Ansari, The Qur’anic Foundation
and Structure of Muslim Society, (Pakistan: World Federation of Islamic Missions, 1973), h. 157.
4
(verbalization), pemikiran (reasoning), dan jaya cipta (creativity).4 Proses tersebut
sekaligus merupakan bahan pendidikan dalam islam. Selanjutnya, membaca
merupakan alat sistem perhubungan (comunication system) yang menjadi syarat
mutlak terwujudnya keterlanjutan suatu sistem sosial (social system).5
Tidaklah berlebihan jika perkataan membaca yang dikembangkan dan
wahyu pertama tersebut memiliki pengertian yang demikian lengkap sebagai
sesuatu sivilisasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan Langgulung, bahwa
“penggunaan bahasa sebagai gudang (storage) tempat menyimpan nilai-nilai
budaya yang dipindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari kontak
ini dapat dilihat bagaimana ayat pertama Alquran merupakan suatu pertanda dan
motivasi bangkitnya peradaban baru umat manusia. Bahkan, keseluruhan wahyu
yang diturunkan oleh Allah berasal dari kata-kata “qaraa-yaqrau-qiraat” yang
berati bacaan atau yang dibaca. Untuk itu, tak berlebihan bila dikatakan bahwa
Alquran merupakan sumber pemotivasi terjadinya perubahan tamaddun umat
manusia yang menakjubkan sepanjang sejarah.6
Jika dijabarkan secara cermat, kalimat ayat diatas pada dasarnya
mencakup kerangka kurikulum pendidikan Islam yang ideal. Jabaran tersebut
biasa dilihat dari beberapa indikasi, yaitu:
1. “Bacalah! Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”.
Tekanan yang dikandung dalam ayat ini adalah kemampuan membaca
yang dihubungkan dengan nama Tuhan sebagai Pencipta. Hal ini erat
hubungannya dengan ilmu nagli (perenial knowledge).
2. “Dia menciptakan manusia dari segumpal darah”. Ayat ini mendorong
manusia untuk mengintrospeksi, menyelidiki tentang dirinya dimulai dari
proses kejadian dirinya. Manusia ditantang dan dirangsang untuk
mengungkapkannya melalui imaginasi maupun pengalaman (acquired
knowledge)
3. “Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia

4
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), h. 166.
5
Ibid, h. 167.
6
Ibid.
5
apa yang tidak diketahuinya”. Motivasi yang terkandung dalam ayat ini
adalah agar manusia terdorong untuk mengadakan eksplorasi terhadap
alam sekitarnya dengan kemampuan membaca dan menulisnya.
4. Dari perintah Allah pada manusia yang tercermin dalam ayat di atas,
kemudian dikembangkan dalam bentuk ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan wahyu Allah yang termuat dalam Alquran. Selanjutnya,
dikembangkan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan diri manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan serta berhubungan dengan alam
sekitarnya. Hakekat membaca pada ayat Allah tersebut pada intinya adalah
“tauhid”. Di sinilah letaknya kurikulum pendidikan Islam, sebab menurut
islam semua pengetahuan datang dari Tuhan, tetapi cara penyampaiannya
ada yang langsung dari Tuhan, dan ada pula melalui pemikiran manusia
serta pengalaman indra yang berbeda satu sama lain.7
Oleh sebab Alquran dianggap sebagai asas dari pada teori pendidikan
Islam, maka prinsip-prinsip Alquran merupakan bahagian tak dapat dipisahkan
yang memadukan antara mata pelajaran yang membentuk sebuah kurikulum.
Bagaimana keterikatan dan hubungan timbal baliknya antara kurikulum
pendidikan islam dengan prinsip-prinsip Alquran sebagai sumbernya,
diungkapkan dengan tepat oleh Hasan Langgulung: “Dualisme dalam bentuk mata
pelajaran agama dan sekuler bukan ciri-ciri pendidikan menurut Alquran.
Kalaupun wujud, itu disebabkan oleh faktor-faktor sisial-politik, baik dan luar
maupun dari dalam. Oleh karena tanda-rtanda (ayat) kebesaran Allah merupakan
wujud yang dapat dilihat pada manusia dan alam jagat di samping yang terdapat
dalam Alquran, maka yang perlu didahulukan adalah kata-kata yang diwahyukan.
Sebab, sumber ini merupakan kategori pertama pelajaran (subject) yang ham ada
dari kurikulum pendidikan.8
Berangkat dari penjelasan di atas, maka ilmu dalam perspektif filsafat
pendidikan Islam dapat dikategorikan atas beberapa jenis, yaitu: Pertama,
kategori “ilmu yang diwahyukan” (revealed knowledge). Kedua, kategori ilmu-

7
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi Pendidikan, h.
35.
8
Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Son Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1989), h. 25-26.
6
ilmu atau bidang-bidang yang meliputi kajian-kajian tentang manusia sebagai
individu dan sebagai anggota masyarakat yang dalam bahasa Arab disebut al-
ihsaniyyah. Di antara kategori ilmu ini meliputi: psikologi sosiologi, sejarah,
matematika, bahasa dan sastra, oleh tubuh, pertanian, dan sebagainya. Ketiga,
kategori bidang pengetahuan yang mengkaji gejala alam (al-ulum al-kauniat) atau
natural science yang meliputi astronomi, biologi dan lain-lain. Walaupun nampak
terpisah antara satu dengan yang lain, namun pada hakekatnya pembagian
kategori di atas saling berkaitan antara satu sama lain. Sebab, dalam Islam ilmu
pada hakekatnya satu. Adapun pembagian yang ada merupakan alat analisa saja.9

D. Model Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik


Terminologi masa klasik ini memberi membuka peluang untuk
diperdebatkan: sejak dan hingga kapan (?). Apakah dalam kacamata dunia muslim
atau penulis barat. Sebab, para penulis Barat mengidentikkan abad ke-7 hingga
abad ke-12/13 M. sebagai zaman kegelapan (dark age); sementara para penulis
muslim mengidentikkannya dengan masa keemasan (al-‘ashr al-dzahabi).10
Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu, penulis membatasi masa
klasik dalam kacamata penulis muslim, seperti batasan yang dilakukan Harun
Nasution. Ia mengklasifikasi sejarah Islam pada tiga masa: [a] periode klasik
dimulai tahun 650 hingga 1250 M., sejak Islam lahir hingga kehancuran Baghdad
[b] periode pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M., sejak Bghdad hancur
hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan [c] periode modern, mulai
tahun 1800 M. hingga sekarang.11
Dengan demikian, masa klasik dalam pembahasan makalah in dibatasi
sejak masa Rasulullah hingga Baghdad dihancurkan oleh Hulago Khan, tepatnya

9
Ibid.
10
Marshall G.S. Hodgson membagi sejarah Islam menjadi tiga periode. Pertama,periode
klasik. Periode ini dimulai sejak lahirnya Islam (670-an M.) hingga runtuhnya tradisi pemerintah
absolut (945 M.). Kedua, periode pertengahan. Periode ini dimulai sejak pertengahan abad ke
kesepuluh ( 945 M.) hingga abad kelima belas ( 1503 M.), yakni ketika kemajuan belahan dunia
Barat seimbang dengan kemajuan dunia Timur dan tumbuhnya peradaban internasional. Ketiga,
periode modern. Periode ini dimulai sejak abad kelima belas, ketika kerajaan Islam terwakili oleh
tiga kerajaan besar: Safawi di Persia, Mughal di India, dan kerajaan Turki (ottoman) di Turki,
hingga sekarang. Lihat: Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in
a World Civilization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1977), volume 1-3.
11
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,
1985, cet. Ke-5, h. 56-91.
7
tanggal 10 Pebruari 1258 M.12 Untuk memudahkan dalam uraian, makalah ini
akan menjadi beberapa periode, yaitu periode Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin,
Dinasti Umayyah, dan Dinasti ‘Abbasiyah.
1. Kurikulum Pendidikan Islam Masa Rasulullah (611-632 M/12 SH-11 H)
Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode:
periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi
diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622
M atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu
kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan
atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan
pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya,
disamping dengan berpidato dan ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi
orang. Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat
Alquran sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya.13
Sebelum kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi”
pendidikan kuttab telah berdiri.14 Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan
menulis kepada masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada
masyarakat Himyariyin.15 Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dan
menulis diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan Abu Qais ibn
‘Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn ‘Abd al-Malik. Kepada
keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis. Oleh karena itu,
agaknya dapat dipahami ketika Nabi menyiarkan ajaran Islam (kurang lebih tahun
610-an M.), di masyarakat Quraisy, baru ada 17 laki-laki yang pandai baca-tulis
dan 5 wanita.16
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan
keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan
yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari
12
Ibid, h. 80.
13
M. ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 102.
14
Ahmad Syalabi, “Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Muchtar Jahja
dan M. Sanusi Latief, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. ke-1, h. 33.
15
Johannes Pederson, “The Arabic Book”, diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman,
Fajar Intelektulisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, (Bandung:
Mizan, 1996), cet. ke-1, terutama bab I.
16
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), cet. ke-
2, h. 19-20.
8
keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak
lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dilakukan pada periode
Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan pada penerapan dari
nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa,
dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi
pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pendidikan
oleh rasul tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan
pidana, perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.17
Metode yang dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah
tanya jawab dengan perasaan yang halus dan didukung bukti-bukti rasional dan
ilmiah. Batasan rasional dan ilmiah di sini dipahami menurut kemampuan pikiran
orang yang diajak dialog. Metode pendidikan yang dipakai pada materi ibadah
biasanya menggunakan metode peneladanan, yakni Nabi memberikan contoh dan
petunjuk serta amalan yang jelas sehingga masyarakat mudah untuk menirunya.
Sedangkan pada bidang akhlak, Nabi membacakan ayat-ayat al-Quran yang berisi
kisah-kisah umat terdahulu yang kemudian dijabarkan makna dari kisah-kisah itu.
Sungguhpun demikian, pada materi akhlak ini, Nabi lebih menitikberatkan pada
metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki
kemuliaan dan keagungan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakannya.18
2. Kurikulum Pendidikan Islam Khulafa al-Rasyidin (632-661 M/12-41 H)
Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara
mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn
Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab.
Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan
masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga
pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga
kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah
dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan

17
Munir Mursiy, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-
‘Arabiyah, (Kairo: ’Alam al-Kutub, 1977), h. 16-19.
18
Ibid., h. 25-30.
9
ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan
Alquran merupakan fardlu kifayah.19
Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti
pendidikan di-kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
“tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah
dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas
gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar,
sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki
pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui
oleh masyarakat.20
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin
sebelum masa Umar ibn Khattab (w. 32 H. /644 M.), untuk kuttab, adalah [a]
belajar membaca dan menulis, [b] membaca Alquran dan menghafalnya, [c]
belajar pokok–pokok agama Islam, seperti cara wudhu’, shalat, puasa, dan
sebagainya. Ketika Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah, ia
menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan [a] berenang,
[b] mengendarai onta, [c] memanah, [d] membaca dan menghafal syair-syair yang
mudah dan peribahasa.21
Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri
dari [a] Alquran dan tafsirnya, [b] Hadis dan mengumpulkannya, [c] dan Fiqh
(tasyri).22 Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal
sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di mungkinkan mengingat konstruk
sosial-masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman
yang lebih di fokuskan pada pemahaman Alquran dan Hadis secara literal.
3. Kurikulum Pendidikan Islam Dinasti Umayyah (41-132 H/661-750 M)
Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir
sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada
sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang
pendidikan agaknya kurang memperlihatkan pada perkembangannya yang

19
Ibid.
20
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 39.
21
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha, (Beirut:
Dar al-Fikr, tth.), h. 2.
22
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 40.
10
maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh
para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi,
sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah.
Pada zaman ini, dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu
dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada
ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran,
falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan. Pada umumnya, gerakan
penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri,
bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal,
orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid,
cucu dari Muawiyah.23
Selain beberapa materi di atas, pada masa ini juga tampaknya masih
melanggengkan ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu
tafsir. Ilmu ini semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di
samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang
membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak orang
yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa Alquran dan
pemaknaan Alquran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Pencemaran Alquran juga disebabkan oleh karena faktor interpretasi yang
didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat.
Di bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu aliran ahli al-ra’y dan aliran ahl al-hadits. Kelompok aliran
pertama mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi
(baca: qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran ini
berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78 H./697 M.),
Alqamah ibn Qais (w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda’ (w. 63 H./682 M.), al-
Aswad ibn Yazid (w. 95 H./913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-
Nakhai (w. 95 H./913 M.), dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by (w. 104 H./722 M.).

23
Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge and Kegan
Paul, 1975), h. 3.
11
Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang
kemudian menjadi guru Abu Hanifah.24
4. Kurikulum Pendidikan Islam Dinasti Abbasiyah (132-656H/750-1258 M)
Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik
Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama,
kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam
soal-soal agama dan hukum, bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan yang
berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan seutuhnya,
terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan
madrasah al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara
melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah
itu, bahkan juga melakukan investigasi metode pengajarannya. Dengan intervensi
semacam ini dimungkinkan negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang
dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas.25
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Ala, metodologi pengajaran disesuaikan dengan
materi yang bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran
dibedakan menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan (al-
manhaj al-diniy al-adabiy) yang diterapkan pada materi-materi berikut: a). Fiqh
(‘ilm al-fiqh), b). Tata bahasa (‘ilm al-Nahw), c). Teologi (‘ilm al-kalam), d).
Menulis (al-kitabah), e). Lagu (‘arudh), f). Sejarah (‘ilm al-akhbar terutama
tarikh). Kedua, metode pengajaran bidang intelektual (alm manhaj al’ilmiy al-
adabiy) yang meliputi olahraga (al-riyadhah), ilmu-ilmu eksakta (al-thabi’iyah),
filsafat (al-falasafah), kedokteran (thibb), dan musik yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain.26

E. Model Kurikulum Pendidikan Islam Modern


Sering terjadi jika suatu negara mengalami perubahan pemerintahan,
politik pemerintahan itu mempengaruhi pula bidang pendidikan yang sering

24
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka al-
Husna, 1998), cet. Ke-1, h. 9.
25
Charles Michael Stanton, “Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-
1.300”, diterjemahkan oleh Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan
Peranannya dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1, h. 52.
26
Hasan ‘Abd al-‘Ala, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijriy, (ttp: Dar
al-Fikr al-‘Arabi, tth.), h. 149-150.
12
mengakibatkan terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Sebagai contoh
setelah Indonesia merdeka pra Orde Baru terjadi dua kali perubahan kurikulum,
yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya retjcana pelajaran tahun 1947
yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun
1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan dan diberinana rentjana
Pelajaran terurai 1952. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rentjana
pendidikan tahun 1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya
peningkatan dan pengejaran segala ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan
khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.
Seiring dengan terjadinya perubahan politik dan bergantinya rezim Orde
Baru dan terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945
menyebabkan eksistensi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) dirasakan tidak lagi memadai dan tidak lagi sesuai
dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dipandang perlu
menyempurnakan UUSPN tersebut, dan pada tahun 2003 dengan persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik
Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan UU. SISDIKNAS.
Sesuai dengan tuntututan UU. SISDIKNAS pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
yang menyebabkan kurikulum yang berlaku di sekolah adalah kurikulum yang
sesuai dengan standar nasional pendidikan. Agar kurikulum yang digunakan di
sekolah sesuai dengan standar Nasional pendidikan maka Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri pendidikan
Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang di dalamnya memuat
tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kalender
pendidikan, standar kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk sekolah-sekolah
yang berada di bawah naungan Departemen Agama tidak ketinggalan Menteri
Agamapun mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008 tentang
standar kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa
Arab di Madrasah.

13
Perubahan dan perbaikan kurikulum itu wajar terjadi dan memang harus
terjadi, karena kurikulum yang disajikan harus senantiasa sesuai dengan segala
perubahan dan perkembangan yang terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Subandijah, bahwa: Apabila kurikulum itu dipandang sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya harus
memiliki sipat anticipatori, bukan hanya sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa
kurikulum harus dapat meramalkan kejadian di masa yang akan datang, tidak
hanya melaporkan keberhasilan peserta didik.
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat
19 dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus
mencerminkan kepada falsafah sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke
arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan
dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa tersebut. Berkenaan
dengan kurikulum pendidikan agama Islam, Shaleh mengemukakan ada beberapa
ketentuan yang menjadi landasan pembentukan kurikulum pendidikan agama
secara luas. Oleh karena itu, al-Syaibany memberikan kerangka dasar yang jelas
tentang kurikulum Islam, yaitu:
1. Dasar agama. Dasar ini hendaknya menjadi ruh dan target tertinggi dalam
kurikulum. Dasar agama dalam kurikulum pendidikan Islam jelas ham
didasarkan pada Al-Qur’an, al-Sunnah dan sumber-sumber yang bersifat
furu’ lainnya.
2. Dasar falsafah. Dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan
Islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum
mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-
nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari segi
ontologi, epistimologi maupun eksiologi.
3. Dasar psikologis. Dasar ini memberikan landasan dalam perumusan
kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta

14
didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memperhatikan
kecakapan pemikiran dan perbedaan perorangan antara satu peserta didik
dengan laiannya.
4. Dasar sosial. Dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum pendidikan
Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung ciri-ciri
masyarakat Islam dan kebudayaannya, baik dari segi pengetahuan, nilai-
nilai ideal, cara berfikir dan adat kebiasaan, seni dan sebagainya. Sebab,
tidak ada suatu masyarakat yang tidak berbudaya dan tidak ada suatu
kebudayaan yang tidak berada pada masyarakat. Kaitannya dengan
kurikulum pendidikan Islam sudah tentu kurikulum harus mengakar
terhadap masyarakat dan perubahan dan perkembangannya.27
Dasar-dasar utama diatas seyogyannya menjadi landasan dasar utama
pendidikan Islam. Dengan berlandaskan kepada dasar-dasar tersebut, diharapkan
kurikulum pendidikan Islam akan dapat mengantarkan pendidikan Islam pada
tujuan yang diharapkan. Harapan ini tidak berlebihan kiranya, karena keempat
dasar tersebut berpadu dan saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga dasar
ini merupakan syarat utama bagi penyusunan kurikulum pendidikan Islam.
Penyusunan kurikulum sebagaimana disebutkan dalam pasal 36 ayat 3
bahwa Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1. Peningkatan Iman Dan Takwa;
2. Peningkatan Akhlak Mulia;
3. Peningkatan Potensi, Kecerdasan, Dan Minat Peserta Didik;
4. Keragaman Potensi Daerah Dan Lingkungan;
5. Tuntutan Pembangunan Daerah Dan Nasional;
6. Tuntutan Dunia Kerja;
7. Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni;
8. Agama;
9. Dinamika Perkembangan Global; Dan
10. Persatuan Nasional Dan Nilai-Nilai Kebangsaan.

27
Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum,
(Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 49 dan 56.
15
Selanjutnya, pada pasal 37 secara berturut-turut dinyatakan bahwa
kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat pendidikan
agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, dan untuk pendidikan dasar dan
menengah masih diwajibkan materi lainnya (Soebahar, 2009).
Pada masa reformasi ini telah dikembangkan dua model kurikulum, yaitu
kurikulum KBK pada tahun 2004 dan KTSP pada tahun 2006, Dalam KBK tahun
2004 untuk mata pelajaran PAI (kita ambil contoh di jenjang SMP), Standar
Kompetensi yang disajikan sangat sederhana tapi cukup mendalam dan
mencerminkan standar kompetensi pendidikan Islam yang menyeluruh
sebagaimana berikut:
1. Mengamalkan ajaran Alquran/Hadis dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari.
3. Menerapkan akhlakul karimah (akhlak mulia) dan menghindari akhlak
tercela dalam kehidupan sehari.
4. Menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari).
5. Mengambil Manfaat dari Sejarah Perkembangan (peradaban) Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Sementar dalam KBK tahun 2006 (KTSP), setandar kompetensi yang
disajikan untuk mata pelajaran pendidikan Agama Islam adalah sangat banyak
tapi bobotnya amat dangkal, antara lain:
1. Menerapkan tata cara membaca Al-qur’an menurut tajwid, mulai dari cara
membaca “Al”- Syamsiyah dan “Al”- Qomariyah sampai kepada
menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf.
2. Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun
iman mulai dari iman kepada Allah sampai kepada iman pada Qadha dan
Qadar serta Asmaul Husna.
3. Menjelaskan dan membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan
tasawuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad,
ghadab dan namimah.
4. Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah
baik shalat wajib maupun shalat sunat.

16
5. Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat
serta menceritakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di nusantara.

F. Model Kurikulum Pendidikan Islam Ideal


Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan
dalam suatu sistem pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum merupakan salah satu
alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Tujuan
pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh falsafah dan pandangan
hidup bangsa atau negara tersebut.
Berbedanya falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa atu negara
menyebabkan berbeda pula tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan tersebut
dan sekaligus akan berpengaruh pada negara tersebut. Untuk itu, perubahan
politik pemerintahan suatu negara secara signifikan ikut mempengaruhi
pendidikan yang dilaksanakan dan berimbas pada pola kurikulum yang berlaku.
Oleh karena itu, kurikulum senantiasa bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan
dengan berbagai perkembangan yang terjadi, tanpa harus terlepas dari filosofi asas
Negara dan agama masyarakat.
Menurut Hasan Langgulung, paling tidak ada empat aspek utama yang
menjadi ciri-ciri ideal sebuah kurikulum, yaitu:28
1. Memuat tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
2. Memuat sejumlah pengetahuan (knowledge) dan keterampilan yang
memperkaya aktivitas-aktivitas dan pengalaman peserta didik, sesuai
dengan perkembangan peserta didik dan dinamika masyarakat.
3. Memuat metode, cara-cara mengajar dan bimbingan yang dapat diikuti
peserta didik untuk mendorongnya kearah yang dikehendaki dan
tercapainya tujuan pendidikan yang dirumuskan.
4. Memuat metode dan cara penilaian yang digunakan untuk mengukur dan
menilai hasil proses pendidikan, baik aspek jasmani, akal, dan al-qalb.

28
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi Pendidikan, h.
176.
17
Beranjak dari keempat aspek utama kurikulum tersebut di atas, maka jika
dikaitkan dengan falsafah pendidikan yang dikembangkan oleh pendidikan Islam,
tentu semua aspek tersebut menyatu dan terpadu dengan ajaran Islam itu sendiri.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam
adalah sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulai
dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia yaitu mengabdi kepada Allah
swt., dan menjadi khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut,
pelaksanaan pendidikan tidak dapat dilakukan sekaligus melainkan harus melalui
tahap-tahap tertentu yang setiap tahap harus menuju ke sasaran yang sama, yaitu
tercapainya tujuan akhir pendidikan Islam.

G. Penutup
Prinsip pendidikan agama Islam dalam kurikulum sangatlah tepat sekali
apabila antara keduanya dihubungkan, karena dengan adanya pendidikan agama
Islam membentuk siswa dalam mengetahui tentang ketauhidan, keesaan, dan sifat-
sifat Allah mana yang wajib dan mustahil, tepat sekali pendidikan Islam dikaitkan
dengan pelajaran umum dengan adanya seimbang, dan menurut kami bahwa
pelajaran yang berbasis keagamaan lebih mudah mengajarkannya, itupun
tergantung individunya masing-masing, kurikulum pendidkan agama Islam
membahas tentang atau sangat identik dengan penciptaan manusia agar semata-
semata menyembah Allah swt, kurikulum ini mengajarkan jangan menyekutukan
Allah, berbuat baik kepada orang tua, menjahui perbuata keji dan lain-lain.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syalabi, “Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh


Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latief, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), cet. ke-1
Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Son Siregar, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1989)
Charles Michael Stanton, “Higher Learning in Islam: The Classical Period,
A.D. 700-1.300”, diterjemahkan oleh Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi
dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1
Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge
and Kegan Paul, 1975)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta:
UI-Press, 1985, cet. Ke-5
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1985)
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986)
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta :
Pustaka al-Husna, 1998), cet. Ke-1
Hasan ‘Abd al-‘Ala, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-
Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tth.)
Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988)
Johannes Pederson, “The Arabic Book”, diterjemahkan oleh Alwiyah
Abdurrahman, Fajar Intelektulisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran
Informasi di Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-1, terutama bab I.
Muhammad Fazlur Rahman Ansari, The Qur’anic Foundation and
Structure of Muslim Society, (Pakistan: World Federation of Islamic Missions,
1973)
Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a
World Civilization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1977), volume 1-
3.
M. ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, tth)
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1992), cet. ke-2
Munir Mursiy, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi
al-Bilad al-‘Arabiyah, (Kairo: ’Alam al-Kutub, 1977)
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Falasafatuha, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.)

19

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai