Anda di halaman 1dari 13

Pendekatan Klinis pada Anak-anak dengan Proteinuria

Kyung Mi Jang, M.D.1, Min Hyun Cho, M.D.2


Department of Pediatrics1, Yeungnam
University College of Medicine,
Department of Pediatrics2, Kyungpook
National University School of
Medicine, Daegu, Korea

Proteinuria umum terjadi pada pasien anak-anak dan remaja. Proteinuria didefinisikan
sebagai level ekskresi protein urin yang lebih tinggi dari 100-150mg/m2/hari pada anak-anak.
Hal ini dapat menjadi indikasi kondisi normal atau kondisi jinak serta berbagai jenis penyakit
ginjal atau penyakit sistemik yang berat. Program skrining urin sekolah telah dilakukan di
Korea sejak tahun 1998. Sejak itu, banyak pasien dengan proteinuria normal atau jinak serta
penyakit ginjal stadium awal telah dirujuk ke rumah sakit. Proteinuria jinak termasuk
proteinuria ortostatik dan proteinuria transien. Sebagian besar penyebab proteinuria dapat
dikategorikan menjadi 3 jenis: 1) overflow, 2) tubular, dan 3) glomerular. Meskipun
pengobatan harus diarahkan pada penyebab yang mendasari proteinuria, evaluasi yang cepat,
diagnosis, dan pemantauan jangka panjang pada pasien anak-anak ini dapat mencegah
perkembangan potensial dari proses penyakit yang mendasari. Artikel ini memberikan
gambaran umum tentang proteinuria: penyebabnya, metode penilaian, algoritme untuk
membedakan penyakit ginjal patologis dan jinak.
Kata kunci: Proteinuria, Anak-anak, Penyakit ginjal, Skrining urin sekolah

Pengantar
Proteinuria umum terjadi pada pasien anak-anak dan remaja. Hal ini dapat menjadi
indikasi kondisi normal atau jinak serta berbagai jenis penyakit ginjal atau sistemik yang
berat. Hippocrates mencatat hubungan antara "gelembung di permukaan urin" dan penyakit
ginjal. Richard Bright pertama kali menjelaskan hubungan antara proteinuria dan penyakit
ginjal pada tahun 1800-an. Saat ini, dalam praktik klinis, proteinuria mudah dideteksi dan
diobati. Program pemeriksaan urin sekolah (SUS) telah dilakukan di Korea sejak tahun 1998.
Sejak itu, banyak pasien dengan proteinuria normal atau jinak seperti penyakit ginjal stadium
awal telah dirujuk ke rumah sakit. Artikel ini menjelaskan gambaran umum tentang
proteinuria, penyebabnya, cara menilai, dan saran algoritmik untuk membedakan penyakit
ginjal jinak dan patologis.
Definisi proteinuria
Proteinuria didefinisikan sebagai ekskresi protein urin pdengan level lebih tinggi dari
100-150mg /m2/hari pada anak-anak. Pada neonatus, ekskresi protein urin normal setinggi
300 mg/m2 /hari mungkin terjadi karena reabsorpsi berkurang dari protein yang disaring.
Protein urin tersusun terutama dari albumin, dan mukoprotein TammHorsfall yang
disekresikan oleh sel tubular; namun, immunoglobulins (Ig), mikroglobulin serta protein lain
juga dapat muncul tergantung pada penyakit yang mendasari.

Pengukuran proteinuria
Proteinuria dapat dievaluasi dengan menggunakan metode berikut: reagen dipstick
urin, tes kekeruhan asam sulfosaliklik (SSA), randomor urin pagi pertama (FMU) untuk rasio
protein-kreatinin urin spot (UPCR), protein dan kreatinin 24 jam urin, elektroforesis protein
urin, mikroalbumin urin.
Tes reagen dipstik urin secara rutin digunakan dalam praktek klinis. Ini sangat sensitif
hanya untuk mengukur konsentrasi albumin melalui reaksi kolorimetri. Batasan utamanya
adalah tidak dapat mendeteksi jenis protein lain seperti protein plasma, globulin, dan protein
berat molekul mol rendah. Skala bertingkat dinyatakan sebagai berikut: negatif (kurang dari
10mg/dL), trace (10-29mg/dL), 1+ (30-100m/dL), 2+ (100-300mg/dL), 3+ (300-
1000mg/dL), 4+ (> 1.000mg / dL) 5). Hasil positif palsu dapat terjadi dengan alkalin atau
spesimen urin yang sangat pekat, makroskopik hematuria, pyuria, dan deterjen tertentu.
Demikian pula, hasil negatif palsu dapat terjadi pada pasien rawat inap dengan spesimen urin
yang sangat encer, atau pada keadaan penyakit di mana albumin bukan protein urin utama.
Uji kekeruhan SSA kualitatif tidak secara rutin digunakan dalam praktik klinis untuk
penilaian proteinuria. Namun, ia memiliki potensi untuk mendeteksi berbagai protein urin di
luar negeri. Metode pengujian turbidometri ini berguna untuk mendiagnosis multiple
myeloma, yang ditandai dengan ekskresi lightchain Ig. Reagen SSA ditambahkan ke
spesimen urin segar, dan derajat kekeruhan berkorelasi dengan jumlah proteinuria
berdasarkan skala yang telah ditentukan. Jenis pengujian ini tidak menguntungkan karena
subjektif pada skala penilaian. Oleh karena itu, teknik ini jarang digunakan untuk menilai
proteinuria.
UPCR spot adalah alat yang sering digunakan untuk pengukuran kuantitatif
proteinuria pediatrik karena ketidakakuratan yang terlibat dalam pengumpulan spesimen urin
24 jam di bayi atau anak kecil, terutama yang tidak terlatih dengan toilet. Selain itu, untuk
kuantifikasi UPCR dapat diekstrapolasi dan sebagus proses pengumpulan urin 24 jam. Urine
pagi pertama (FMU) sangat penting karena tingkat variabilitas yang besar dalam kadar
protein urin
sepanjang hari. UPCR normal untuk bayi kurang dari 6 bulan tidak didefinisikan dengan
jelas, meskipun rasio yang lebih tinggi dari 0,8-1,0 umumnya dianggap abnormal. Rasio < 0,5
dianggap normal untuk anak-anak usia 6-24 bulan, dan < 0,2 untuk anak-anak di atas usia 24
bulan dan orang dewasa. Umumnya, proteinuria patologis terjadi pada pediatri bila rasionya >
1-2, meskipun hal ini dapat dianggap sebagai kondisi tidak pasti yang normal. UPCR
bergantung pada produksi dan ekskresi kreatinin, yang dapat bervariasi untuk setiap keadaan
tubuh anak. Sebagai contoh, rasio akan meningkat pada anak-anak dengan massa otot rendah
atau gizi buruk, karena rendahnya tingkat ekskresi kreatinin. Terlepas dari keterbatasan ini,
UPCR adalah alat yang sangat berguna untuk mengukur proteinuria pada anak-anak.
Pengumpulan spesimen urin 24 jam masih menjadi standar emas untuk urinalisis
kuantitatif. Variasi kuantitas dapat dikurangi dengan menggunakan luas permukaan tubuh.
Hasilnya sebagai berikut: normal, ≤4mg/m2/jam; proteinuria, 440mg/m2/jam; dan rentang
proteinuria ginjal, > 40mg/m2/jam.
Protein tubular mungkin diremehkan dengan pengujian dipstik urin, karena tingkat
albuminuria yang lebih rendah. Elektroforesis protein urin harus dipertimbangkan ketika
protein dengan berat molekul rendah dicurigai pada penyakit ginjal tubulointerstitial.
Kuantifikasi proteinuria yang lebih spesifik diperlukan terutama pada anak-anak
dengan diabetes mellitus. Mikroalbuminuria adalah keberadaan albumin di atas normal tetapi
di bawah kisaran yang dapat dideteksi menggunakan metode dipstik urin konvensional. Rasio
albumin-kreatinin (UACR) juga dihitung dengan cara yang sama seperti UPCR, dan kisaran
normalnya adalah kurang dari 20-30mg albumin urin per gram kreatinin menggunakan FMU.
Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi 20-200 μg/menit/1,73m2 atau 30-300 mg
albumin per gram kreatinin sehari.
Mikroalbuminuria merupakan prediktif dari diabetik nefropati mortalitas
kardiovaskuler dan morbiditas pada penderita diabetes melitus tipe I atau tipe II.

Epidemiologi Proteinuria
Prevalensi proteinuria dapat bervariasi bergantung pada definisi yang digunakan dan
jumlah spesimen urin atau waktu evaluasi saat pemeriksaan. Suatu penelitian menunjukkan
bahwa prevalensi proteinuria yang terdeteksi dengan urinalisis rutin (metode urine dipstick)
pada anak-anak sekolah sebesar 10%. Park dkk melaporkan bahwa sebanyak 1044 anak
sekolah teridentifikasi mengalami hematuria dan/atau proteinuria dalam tes skrining massa
urin sekolah di Korea. Sebagian besar anak sekolah mengalami proteinuria dan/atau
hematuria transien atau ortostatik. Proteinuria persisten atau patologis berkisar antara 0,1%
hingga 2%.
Prevalensi proteinuria meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan mencapai puncaknya
pada usia dewasa muda.
Insidensi sindroma nefrotik primer tanpa penyakit sistemik per tahun dilaporkan
sebesar 1,5/100000 anak. Meskipun prevalensi proteinuria yang persisten dan patologis pada
anak-anak tersebut rendah, namun deteksi dini dan tatalaksana proteinuria sangat penting
untuk mencegah terjadinya progresi ke arah penyakit parenkim renal yang signifikan dan
stadium akhir.

Etiologi Proteinuria
Proteinuria dapat asimptomatik atau simptomatik (hematuria dan edema), transien
atau persisten, dan terisolasi atau berhubungan dengan gejala sistemik lainnya. Langkah
pertama dalam mengevaluasi proteinuria, yaitu membedakan antara proteinuria yang
patologis dan etiologi benigna.
Proteinuria transien berhubungan dengan stres, demam, aktivitas kejang, paparan
dingin, dan olahraga yang berat. Proteinuria tersebut bersifat sementara dan akan hilang jika
faktor yang memunculkan hal tersebut hilang. Proteinuria transien kemungkinan tidak
berhubungan dengan penyakit ginjal yang signifikan. Proteinuria dalam kasus ini tidak
menunjukkan 1+ hingga 2+ pada pemeriksaan menggunakan metode urine dipstick. Subtipe
proteinuria ini dapat disebabkan karena perubahan hemodinamik pada aliran darah di
glomerulus. Meskipun perubahan ini menyebabkan difusi protein meningkat, namun evaluasi
dan tatalaksana lebih lanjut tidak diperlukan.
Proteinuria ortostatik atau postural lebih sering ditemukan pada anak-anak dengan
usia lebih tua dan dewasa muda dengan prevalensi sebesar 5% dari seluruh kasus proteinuria.
Proteinuria tipe ini biasanya asimptomatik dan dapat dideteksi dengan mudah menggunakan
uji skrining urin. Kondisi ini memiliki tanda yang khas, yaitu meningkatnya ekskresi protein
saat posisi berdiri. Gejala lain, seperti hematuria, edema, hipertensi, dan disfungsi renal tidak
ditemukan. Pada proteinuria tipe ini, total ekskresi protein urin dapat meningkat hingga 1
g/hari, namun jarang. Pengumpulan FMU sangat penting untuk diagnosis. Pasien harus buang
air kecil sebelum tidur dan mengumpulkan FMU segera setelah bangun tidur. Etiologi
proteinuria ortostatik masih belum jelas. Berbagai faktor, seperti perubahan hemodinamik
ginjal, kompresi parsial pada vena renalis sinistra, meningkatnya permeabilitas dinding
pembuluh darah kapiler, atau komplek imun yang bersirkulasi merupakan beberapa
kemungkinan etiologi yang diusulkan. Penelitian jangka panjang dengan follow up dari 20
hingga 50 tahun menunjukkan hasil yang benigna. Sebagian besar penelitian tidak dilakukan
pada kasus pediatri dan telah dilaporkan mengenai keterlibatan glomerulosklerosis tipe
lambat. Oleh karena itu, direkomendasikan pengawasan secara periodik terhadap uji FMU
dan tekanan darah.
Proteinuria persisten didefinisikan sebagai FMU yang menunjukkan ≥1+ pada tes
reagen dipstick dengan UPCR ≥0,2 atau dengan berat jenis urin >1015. Proteinuria persisten
dapat mengindikasikan patologi ginjal. Oleh karena itu, apabila proteinuria yang persisten
ditemukan pada FMU setelah tiga kali atau lebih pemeriksaan urinalisis setiap beberapa
minggu, maka pasien tersebut membutuhkan follow up dan evaluasi lebih lanjut.

Patofisiologi Proteinuria
Jumlah protein yang signifikan pada urin dapat disebabkan oleh proses patofisiologi
yang berbeda-beda. Pertama, lewatnya protein besar, seperti albumin melewati barrier
glomerulus dibatasi. Komponen membrana basalis glomerulus tidak hanya berfungsi sebagai
barrier fisiologis, namun juga sebagai barrier muatan elektrik karena adanya
glikosaminoglikan dan glikokaliks yang menempel pada protein plasma. Pembatasan
membrana basalis dimediasi oleh charge-repelling terutama protein bermuatan negatif,
seperti albumin, dan ukuran pori-pori. Kombinasi dari keduanya merupakan alasan mengapa
hanya sedikit albumin yang terdapat pada ruang Bowman’s sebagai bagian dari ultrafiltrasi
(konsentrasi albumin di tubulus proksimal sekitar 1-10 mg/L). Kedua, protein dengan berat
molekul rendah yang telah melalui tahap filtrasi direabsorbsi di tubulus proksimal melalui
endositosis di membran luminal. Ketiga, tubulus proksimal juga mensekresi protein dari
darah ke urin. Normalnya, protein yang diekskresikan terdiri atas 40% albumin, 40% protein
Tamm- Horsfall yang disekresikan dari loop Henle ascending, dan 20% protein kecil, seperti
beta-2 mikroglobulin, retinol binding protein, dan N-asetil-D-mikroglobulin yang difiltrasi
dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal. Meningkatnya ekskresi protein-protein tersebut
merupakan tanda dari penyakit tubular.
Penyebab tersering dari proteinuria dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok: 1)
overflow 2) tubular, dan 3) glomerular. Jumlah yang besar dari protein yang difiltrasi dapat
menyebabkan kapasitas reabsorptif tubular kewalahan selama peningkatan yang bermakna
dari immunoglobulin yang abnormal dan protein dengan berat molekul rendah lainnya.
Mieloma multipel merupakan penyebab paling sering dari proteinuria yang berlebihan.
Contoh lainnya dapat ditemukan pada pasien pediatri dengan mioglobinuria. Pada penyakit
tubular, seperti sindroma Fanconi, nefritis interstitial, dan nefropati penyakit sickle cell,
kapasitas reabsorptif terganggu, sehingga menyebabkan peningkatan protein dengan berat
molekul rendah pada urin.
Jumlah protein tubular yang diekskresikan pada penyakit tubular umumnya lebih kecil
dibandingkan jumlah protein pada penyakit glomerular, yaitu kurang dari 2 g/hari. Penyakit
Dent’s merupakan gangguan X-linked resesif dari tubulus proksimal yang ditandai dengan
hiperkalsiuria, proteinuria berat molekul rendah, dan nefrolitiasis. Hampir pada sebagian
besar kasus penyakit Dent’s ditemukan mutase yang menginaktivasi voltage-gated
transporter klorida yang disebut CLC-5. Pasien yang mengalami sindroma Lowe (disebut
juga sindroma okuloserebrorenal Lowe) umumnya mengalami tubulopati proksimal, katarak
bilateral, dan hipotonia.
Proteinuria glomerular disebabkan karena meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
glomerulus. Proteinuria glomerular dapat diklasifikasikan menjadi selektif (protein dengan
berat molekul mencapai berat molekul albumin dan transferrin) atau nonselektif (protein
dengan berat molekul lebih besar, seperti IgG). Minimal change disease atau disebut juga
sindroma nefrotik lipoid dapat ditemukan pada sebagian besar pasien pediatrik dengan
proteinuria selektif. Sebagian besar bentuk glumerulonefritis biasanya diikuti dengan
proteinuria nonselektif. Derajat selektivitas dapat ditentukan dengan mengukur albumin dan
protein lain yang memiliki berat molekul lebih tinggi, seperti transferrin atau IgG. Proteinuria
selektif yang tinggi dapat memiliki rasio IgG:albumin <0,1. Proteinuria glomerular dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal, meskipun tipe proteinuria ini dapat berperan penting dalam
progresi penyakit tersebut. Lewatnya protein melalui dinding kapiler glomerulus yang
abnormal dapat memperberat cedera glomerular. Jumlah filtrasi yang terlalu besar dapat
menyebabkan sel-sel tubulus proksimal terpapar agen toksik (contohnya, komponen
komplemen, lipoprotein, dan transferrin). Selain itu, protein yang berlebihan pada tubulus
proksimal akan mengaktivasi gen yang menyebabkan produksi agen inflamasi (seperti jalur
sinyal RANTES, integrin, monocyte chemoattractant protein-1)), growth factor, dan agen
vasoaktif (endothelin-1) yang juga mendukung terjadinya lesi tubulointerstitial ginjal. Deteksi
dini proteinuria akan menimbulkan kesadaran awal terhadap penyakit ginjal dan manajemen
yang sesuai menggunakan medikasi.
Proteinuria persisten biasanya mengindikasikan patologi ginjal. Proteinuria karena
faktor glomerular lebih sering ditemukan dibandingkan proteinuria karena faktor
tubulointerstitial. Penyebab proteinuria dapat dilihat pada Tabel 1. Sindroma nefrotik
merupakan salah satu penyebab penting dari penyakit glomerular. Sindroma nefrotik ditandai
dengan hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, dan proteinuria (40 mg/m2/jam dalam 24
jam pengumpulan urin atau >2 UPCR). Minimal-change nephrotic syndrome (MCNS)
umum
terjadi pada anak-anak dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi kortikosteroid.
Pasien dengan MCNS biasanya berusia 2-7 tahun dan lebih banyak terjadi pada laki-laki.

Diagnosis Proteinuria
Sebagaimana masalah medis lain, anamnesis yang mendalam sangat penting untuk
mengevaluasi pasien dengan proteinuria. Anamnesis harus termasuk gejala hipertensi,
oliguria, poliuria, penurunan berat badan, lesi kulit, gejala yang melibatkan persendian,
riwayat infeksi, riwayat medikasi (seperti, NSAID, gold, angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEi), dan penicillamine). Riwayat keluarga, seperti hipertensi, penyakit ginjal,
penyakit autoimun, dan gangguan penglihatan atau kebutaan juga harus dipertimbangkan.
Pertumbuhan merupakan petunjuk yang penting untuk penyakit kronis, seperti penyakit
ginjal, dan harus diukur. Tekanan darah juga harus diukur secara rutin. Edema, flank pain,
kelebihan cairan, organomegali, rash, anemia, pembengkakan sendi, dan gejala osteodistrofi
harus dinilai. Tabel 1 mengilustrasikan kondisi umum yang terkait dengan proteinuria
persisten sebagai panduan pemeriksaan fisik untuk kondisi medis yang langka.
Langkah pertama adalah dengan mengkonfirmasi apabila anak mengalami proteinuria
menetap adalah dengan metode pengambilan urin di pagi hari. Apabila anak mengalami
proteinuria yang menetap saat pengambilan urin di pagi hari dalam tiga waktu yang terpisah,
maka evaluasi selanjutnya akan diperlukan. Evaluasi urinalisis lengkap pada anak dengan
proteinuria menetap dibutuhkan untuk menentukan ada atau tidaknya hematuria dengan sel
darah merah dismorfik atau eumorfik, pyuria, eosinofil pada urin, atau kristal. Uji
laboratorium, seperti keseimbangan elektrolit, tes fungsi ginjal, hitung darah lengkap, tes
serum albumin, dan tingkat aktivitas komplemen C3 atau C4 juga harus diperiksa. Dalam
situasi tertentu, titer antistreptolisin O, kadar antibodi antinuklir, dan titer DNase B juga dapat
dipertimbangkan. Pengumpulan spesimen urin 24 jam mungkin diperlukan untuk langkah ini.
Pemeriksaan rontgen dada dan pencitraan ultrasonografi ginjal harus dilakukan untuk
menentukan adanya kelebihan volume atau kelainan struktur ginjal. Evaluasi selanjutnya
mungkin dapat dilakukan tes hepatitis B dan C, uji laboratorium yang spesifik pada vaskulitis
atau autoimun, juga jenis proteinuria yang dialami. Indikasi yang mungkin untuk biopsi ginjal
perkutan tercantum dalam Tabel 2.

Proteinuria asimptomatik persisten


Proteinuria ini adalah jenis proteinuria yang tidak terkait dengan hematuria, namun
proteinuria yang menetap pada pemeriksaan urin di pagi hari selama lebih dari 3 bulan.
Prevalensi proteinuria persisten pada anak-anak mungkin sebesar 6%. Jenis ini tidak terkait
dengan edema dan jumlah rata-rata protein yang diekskresikan kira-kira <2 g / hari. Penyebab
proteinuria asimtomatik persisten adalah glomerulonefritis membranosa dan
membranoproliferatif, pielonefritis, kelainan perkembangan, nefritis herediter, infeksi
hepatitis B, dan proteinuria "jinak". Algoritma untuk mengevaluasi proteinuria dan diagnosis
banding telah diilustrasikan dalam Gambar 1. Evaluasi harus dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Apabila hasil laboratorium berada dalam kosaran
normal dengan indikasi proteinuria derajat rendah (1501.000 mg / hari), biopsi ginjal tidak
dianjurkan, karena jarang ditemukan bukti penyakit ginjal progresif. Pasien-pasien ini harus
menjalani evaluasi tahunan termasuk pemeriksaan fisik, pemantauan tekanan darah rutin, dan
tes laboratorium seperti urinalisis, pengambilan spesimen urin 24 jam, dan pembersihan
kreatinin.

Tabel 1. Penyebab proteinuria persisten


Glomerular Tubulointerstisial
Glomerulopati primer Diturunkan
Sindrom nefrotik dengan perubahan minimal Asidosis tubulus ginjal proksimal
Glomerulosklerosis fokal dan segmental Sistinosis
Nefropati membranosis Galatosemia
Glomerulonefritis membranoproliferatif Sindrom Lowe
Glomerulopati sekunder Penyakit Dent’s
Nefropati igA Penyakil Wilson
Infeksi (Hepatitis B dan C, HIV, CMV, Tirosemia
malaria, sifilis, streptokokal)
Nefritis Henoch-Schönlein dan SLE Didapat
Sindrom Alport Nekrosis tubular akut
Penyakit membran basal tipis Racun (emas, tembaga, timbal, dan merkuri)
Sindrom uremik hemolitik Pyelonefritis
Diabetes Nefritis interstisial (penisilin dan antibiotik lain,
NSAID, dan penisilamin)
Hipertensi
Nefropati refluks
Keganasan
Racun
Tabel 2. Kemungkinan Indikasi Biopsi Ginjal Perkutan pada Pasien dengan
Proteinuria Persisten
Peningkatan konsentrasi kreatinin serum
Hematuria makroskopis atau mikroskopis persisten atau proteinuria berat (>1 g hari)
Hipertensi
Hipokomplementemia persisten
Pertimbangkan dengan sindrom nefrotik relaps sering, steroid-dependen, dan resisten steroid
Riwayat penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal stadium akhir dalam keluarga
Kecemasan orang tua

Tatalaksana proteinuria
Tatalaksaa harus diarahkan pada penyebab utama proteinuria. Jika pasien dipastikan
memiliki proteinuria transien atau ortostatik, maka tidak diperlukan pengobatan. Walaupun
begitu, pemantauan rutin dianjurkan hingga kondisinya bertahan. Untuk pasien dengan
proteinuria terisolasi, rekomendasi pengobatan berkisar tidak ada sampai pemberian agen
penurun protein seperti angiotensin receptor blocker (ARB) atau ACEi. ARB atau ACEi
dapat digunakan sebagai pengobatan adjuvan atau pengobatan utama pada pasien dengan
proteinuria tingkat tinggi dan pada pasien dengan tingkat albuminuria mikro yang abnormal
dengan diabetes mellitus tipe I atau tipe II. Meskipun sebagian besar pasien mentolerir obat-
obatan ini, beberapa pasien menderita kelainan elektrolit, supresi sumsum tulang, dan
perubahan fungsi ginjal yang memerlukan pemantauan berkala rutin. Pasien mengalami
deplesi volume karena mekanisme glomerulus intrarenal harus menghentikan asupan obat-
obatan ini. Selain itu, obat ARB atau ACEi menghasilkan efek teratogenik; oleh karena itu,
pasien yang sedang hamil atau sedang mempertimbangkan untuk hamil, harus segera
menghentikan pengobatan ini. ACEi dan ARB juga mengurangi proteinuria pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis, terlepas dari efek penurunan tekanan darah sistemik.
Mekanisme utama pengobatan ini adalah untuk mengurangi hipertensi glomerulus akibat
vasodilatasi arteriol eferen. Mekanisme supresif lainnya termasuk
a) hiperpermeabilitas membran basal glomerulus dan b) fibrosis ginjal yang diinduksi oleh
TGF-β1. Beberapa laporan menunjukkan bahwa ARB secara khusus mencegah kerusakan
nefron pada celah diafragma glomerulus.

Pencegahan proteinuria
Meskipun, tidak ada rekomendasi untuk mencegah proteinuria, evaluasi yang cepat,
diagnosis, pengobatan, dan pemantauan jangka panjang pada pasien anak-anak ini secara
signifikan dapat mencegah perkembangan potensial dari proses penyakit yang mendasari.
Pembatasan asupan protein makanan jarang disarankan untuk menghindari efek yang tidak
diinginkan pada pada pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh karena itu, pasien anak-anak
harus menerima asupan protein harian yang sesuai dan tergantung pada usia mereka. Respon
pengobatan positif terhadap proteinuria tidak hanya merupakan indikator prognosis yang baik
tetapi juga prediktor fungsi ginjal yang tinggi.

Gambar 1. Pendekatan klinis anak dengan proteinuria

Kesimpulan
Langkah pertama dalam evaluasi proteinuria adalah membedakan antara etiologi
patologis dan jinak. Proteinuria persisten dapat menjadi indikasi patologi ginjal yang
mendasari dan pengobatan harus diarahkan pada penyebab yang mendasari proteinuria.
Meskipun, tidak ada rekomendasi untuk mencegah proteinuria, evaluasi cepat, diagnosis,
pengobatan, dan pemantauan jangka panjang pada pasien anak dapat secara signifikan
mencegah perkembangan potensial dari proses penyakit yang mendasari.

Konflik kepentingan
Tidak ada potensi konflik kepentingan yang relevan dengan artikel ini yang
dilaporkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hippocrates. On the articulations. The genuine works of Hippocrates. Clin Orthop


Relat Res 2002:19-25.
2. Microscopic Characters of Albuminous Urine. Prov Med J Retrosp Med Sci
1843;6:119.
3. Park YH, Choi JY, Chung HS, Koo JW, Kim SY, Namgoong MK, et al. Hematuria
and proteinuria in a mass school urine screening test. Pediatric Nephrology
2005;20:1126- 30.
4. Priya pais ED, Craig C. Nelson Textbook of Pediatrics 21th ed Philadelphia: Elsevier,
Inc, 2016.
5. Leung AK, Wong AH. Proteinuria in children. American Family Physician 2010;82.
6. Chitalia VC, Kothari J, Wells EJ, Livesey JH, Robson RA, Searle M, et al. Cost-
benefit analysis and prediction of 24-hour proteinuria from the spot urine protein-
creatinine ratio. Clin Nephrol 2001; 55:436-47.
7. Ginsberg JM, Chang BS, Matarese RA, Garella S. Use of single voided urine samples
to estimate quantitative proteinuria. N Engl J Med 1983;309:1543-6.
8. Morgenstern BZ, Butani L, Wollan P, Wilson DM, Larson TS. Validity of protein-
osmolality versus protein-creatinine ratios in the estimation of quantitative proteinuria
from random samples of urine in children. Am J Kidney Dis 2003;41:760-6.
9. Amanda W, Dale-Shall, Leonard G Feld. Approach to the child with proteinuria.
In:Abdelaziz Y. Elzouki, Harb A. Harfi, Hisham M. Nazer, F. Bruder stapleton,
William Oh, Richard J. Whitley, editors. Clinical Pediatrics. 2nd ed: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg, 2012:2711-2721.
10. Bergstein JM. A practical approach to proteinuria. Pediatric Nephrology
1999;13:697- 700.
11. Schwab SJ, Christensen RL, Dougherty K, Klahr S. Quantitation of proteinuria by the
use of protein-to-creatinine ratios in single urine samples. Arch Intern Med
1987;147:943-4.
12. Gattineni J. Highlights for the management of a child with proteinuria and hematuria.
Int J Pediatr 2012;2012:768142.
13. Vehaskari VM, Rapola J. Isolated proteinuria: analysis of a schoolage population. J
Pediatr 1982;101:661-8.
14. El Bakkali L, Rodrigues Pereira R, Kuik DJ, Ket JC, van Wijk JA. Nephrotic
syndrome in The Netherlands: a population-based cohort study and a review of the
literature. Pediatr Nephrol 2011; 26:1241-6.
15. Houser MT, Jahn MF, Kobayashi A, Walburn J. Assessment of urinary protein
excretion in the adolescent: effect of body position and exercise. J Pediatr
1986;109:556-61.
16. Marks MI, McLaine PN, Drummond KN. Proteinuria in children with febrile illnesses.
Arch Dis Child 1970;45:250-3.
17. Poortmans JR. Postexercise proteinuria in humans. Facts and mechanisms. Jama
1985;253:236-40.
18. Lee SJ, You ES, Lee JE, Chung EC. Left renal vein entrapment syndrome in two girls
with orthostatic proteinuria. Pediatr Nephrol 1997;11:218-20.
19. Mazzoni MB, Kottanatu L, Simonetti GD, Ragazzi M, Bianchetti MG, Fossali EF, et
al. Renal vein obstruction and orthostatic proteinuria: a review. Nephrol Dial
Transplant 2011;26:562-5.
20. Rytand DA, Spreiter S. Prognosis in postural (orthostatic) proteinuria: forty to fifty-
year follow-up of six patients after diagnosis by Thomas Addis. N Engl J Med
1981;305:618-21.
21. Springberg PD, Garrett LE, Jr., Thompson AL, Jr., Collins NF, Lordon RE, Robinson
RR. Fixed and reproducible orthostatic proteinuria: results of a 20-year follow-up
study. Ann Intern Med 1982;97: 516-9.
22. A Nielson TK, R Feldon, and J Protorius. Anatomy of the Kidney Brenner and
Rector's The Kidney 9th ed Elsevier Saunders 2011: 31-50.
23. Williams JD, Coles GA. Proteinuria--a direct cause of renal morbidity? Kidney Int
1994;45:443-50.
24. Burton C, Harris KP. The role of proteinuria in the progression of chronic renal failure.
Am J Kidney Dis 1996;27:765-75.
25. Zoja C, Donadelli R, Colleoni S, Figliuzzi M, Bonazzola S, Morigi M, et al. Protein
overload stimulates RANTES production by proximal tubular cells depending on NF-
kappa B activation. Kidney Int 1998;53:1608-15.
26. Ariceta G. Clinical practice: proteinuria. Eur J Pediatr 2011;170:15-20. 60 Child
Kidney Dis • 2017;21:53-60 www.chikd.org
27. Yap H-K, Lau PY-W. Hematuria and Proteinuria. In: Geary D, Schaefer F, Editors.
Pediatric Kidney Disease. 2nd ed.: Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg;
2016:391-418.
28. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children: Clinical Aspects. In:
Avner E, Harmon W, Niaudet P, Yoshikawa N, 'editors'. Pediatric Nephrology: Sixth
Completely Revised, Updated and Enlarged Edition. Berlin, Heidelberg: Springer
Berlin Heidelberg; 2009. p. 667-702.
29. Falkner B, Daniels SR. Summary of the Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescents. Hypertension
2004;44:387-8.
30. Yoshikawa N, Kitagawa K, Ohta K, Tanaka R, Nakamura H. Asymptomatic constant
isolated proteinuria in children. J Pediatr 1991; 119:375-9.
31. Randomised placebo-controlled trial of effect of ramipril on decline in glomerular
filtration rate and risk of terminal renal failure in proteinuric, non-diabetic
nephropathy. The GISEN Group (Gruppo Italiano di Studi Epidemiologici in
Nefrologia). Lancet 1997;349:1857-63.
32. Lubrano R, Soscia F, Elli M, Ventriglia F, Raggi C, Travasso E, et al. Renal and
cardiovascular effects of angiotensin-converting enzyme inhibitor plus angiotensin II
receptor antagonist therapy in children with proteinuria. Pediatrics 2006;118:e833-8.
33. Pozzi C, Del Vecchio L, Casartelli D, Pozzoni P, Andrulli S, Amore A, et al. ACE
inhibitors and angiotensin II receptor blockers in IgA nephropathy with mild
proteinuria: the ACEARB study. J Nephrol 2006;19:508-14.
34. Schieppati A, Remuzzi G. The June 2003 Barry M. Brenner Comgan lecture. The
future of renoprotection: frustration and promises. Kidney Int 2003;64:1947-55.

Anda mungkin juga menyukai