Anda di halaman 1dari 8

MK.

KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA

“Korupsi Dana Nasabah Kroparsi Desa Adat Gianyar”

Cokorda Putri Tresna Miranda

20180013027

UNIVERSITAS NGURAH RAI

DENPASAR 2022
BAB I
PENDAHULUAN

i. Latar Belakang

Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang melaksanakan bidang usaha


simpan pinjam. Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya Koperasi Simpan
Pinjam berpedoman pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam oleh Koperasi dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia Nomor 15/PER/M.KUKM/IX/2015 tentang Usaha Simpan
Pinjam oleh Koperasi. Salah satu ketentuan yang mengatur bidang usaha simpan
pinjam diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian yang menyatakan bahwa Koperasi Simpan Pinjam dilarang untuk
menghimpun dana yang berasal dari masyarakat umum. Koperasi Simpan Pinjam
yang tidak memenuhi ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian akan diberikan sanksi administratif
berupa Pembubaran Koperasi oleh Pemerintah.

Hukum positif saat ini menyatakan bahwa Koperasi Simpan Pinjam tidak dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya dibebankan bagi
pengurus koperasi atau orang yang memerintahkan. Sejatinya Koperasi Simpan
Pinjam merupakan badan hukum, sehingga ia merupakan bagian dari Korporasi.
Secara teoritis berdasarkan doktrin identifikasi dan doktrin gabungan apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh pengurus untuk dan atas nama korporasi serta korporasi
mendapatkan keuntungan dari tindak pidana tersebut maka pertanggungjawaban
pidana dapat dibebankan kepada korporasi. Mengingat Koperasi Simpan Pinjam
merupakan bagian dari korporasi, sehingga secara teoritis berdasarkan kedua doktrin
tersebut Koperasi Simpan Pinjam dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Saat
ini, perkembangan hukum pidana di Indonesia telah menunjukkan bahwa korporasi
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Perkembangan tersebut ditunjukkan
oleh sebagian undang-undang di Indonesia yang telah membebankan
pertanggungjawaban pidana secara langsung terhadap korporasi, kenyataan ini juga
sekaligus menunjukkan bahwa sebagian undang-undang di Indonesia sudah mulai
memasuki tahap ketiga pertanggungjawaban pidana korporasi.

Beberapa peraturan yang secara tegas telah membebankan


pertanggungjawaban pidana secara langsung pada korporasi di antaranya adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan
demikian, hal ini dapat membuka kesempatan agar undang-undang lain khususnya
UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian untuk memasuki
pertanggungjawaban pidana korporasi tahap ketiga layaknya tiga undangundang
lainnya.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi sudah memasukkan pula tanggung jawab korporasi. Jika tindak pidana
korupsi dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana
dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya Tindak Pidana Korupsi
dilakukan oleh korporasi apa bila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi atau
oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-
sama. Jika tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus.

Korupsi merupakan masalah serius negeri ini sampai sekarang. Korupsi telah
menjerat banyak pejabat, baik dieksekutif, legislatif maupun yudikatif, serta kalangan
swasta, pengusaha, yang masuk dalam korporasi. Pelakunya mulai dari pejabat tinggi
sampai pegawai tingkat rendah dipedesaan, serta para pengurus korporasi. Kerugian
negara yang ditimbulkan akibat maraknya korupsi jelas begitu besar dan akan
menghambat proses pembangunan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Sila
Kelima Pancasila adalah Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, untuk
merekontruksi lembaga peradilan saat ini perlu dipertimbangkan sistem keadilan
retributif yang saat ini masih banyak dianut dalam ketentuan perundang-undangan
Indonesia seperti Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Acara Pidana bahkan dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

ii. Rumusan Masalah


1. Faktor apa yang menyebabkan Pelaku melakukan tindakan korupsi ?
2. Bagimana penyelesainnya ?
BAB II

PEMBAHASAN

Korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial,


fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena
itu pula upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui
startegi atau pendekatan Negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial
dan budaya. Berdasarkan pengertian, korupsi di Indonesia dipahami sebagai perilaku
pejabat dan atau organisasi (Negara) yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan
terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi dipahami sebagai
kejahatan Negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan,
ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi
pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk
diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat
negara.

Berbagai permasalahan mulai terjadi terhadap koperasi di Gianyar, salah


satunya adalah Koperasi Griya Anyar Sari Boga (GASB) Gianyar. Masalah ini terlihat
ketika adanya keluhan nasabah yang tidak bisa menarik dana tabungannya. Setelah
dilakukan audit internal oleh para Pengurus, dana koperasi senilai Rp5miliar lebih pun
raib dan diduga digunakan secara pribadi oleh oknum manajer Unit Simpan Pinjam.

Pihak pengurus pun didesak agar bertindak tegas dan malaporkan masalah ke polisi,
karena sudah mengarah ke tindak pidana penggelapan. Unit Simpan Pinjam Koperasi
GASB ini mulai diselimuti kecurigaan anggotanya, lantaran sejumlah nasabah tidak
dapat manarik dana tabungan maupun deposito dalan sebulan terakhir. Awalnya pihak
manajemen berdalih, belum ada dana lantaran banyak warga atau anggota koperasi
yang tidak membayar pinjaman di saat Pandemi Covid 19. Namun, setelah pihak
pengurus koperasi turun tangan dan dilakukan audit internal, ditemukan sejumlah
kejanggalan penggunaan dana koperasi.
Dana koperasi sebanyak Rp5 miliar lebih, tidak diketahui rimbanya. Setelah
dilakukan pengusutan, dana itu ternyata digunakan oleh oknum manager untuk
keperluan lain. Bahkan secara tertulis, oknum manager ini membuat surat
pernyataaan pengakuan atas pengunaan dana koperasi itu dan menyatakan siap
bertanggungjawab untuk mengembalikan dana itu.

Manariknya, yang bersangkutan juga menyerahkan sejumlah asetnya berumah tanah


yang masih terikat di pagadaian, rumah yang masih terikat kredit bank, sepeda motor
serta mobil yang semuanya masih terikat dengan pihak lain. Karena tanggugjawab
yang ditunjukan oleh oknum ini tidak serius. Apalagi, aset diserahkan ke pengurus
semuanya masih ada perikatan dengan pihak lain.

Dari data yang dikantongi oknum manajer ini telah menggunakan dana koperasi untuk
keperluan pribadinya. Terdiri dari dana deposito nasabah yang jumlah mencapai Rp3
miliar lebih, dana tabungan Rp700 juta, penggunaan nama debitur lain hingga Rp300
juta, penggunaan kas di BRI Rp500 juta lebih hingga kasbon sebanyak Rp200 juta.

Kepala Dinas Koperasi Gianyar, Dewa Putu Mahayasa mengakui telah menerima
informasi terkiat permasalahan di Koperasi yang digawangi tokoh-tokoh koperasi ini.
Menindaklanjuti itu, pihaknya pun mengaku sudah mengundang pihak pengurus
koperasi tersebut ke Kantor Diskop, namun sayang yang datang hanya sekterasisnya
saja. Sementara pengurus lainya termasuk manajer Unit Simpan Pinjam tidak datang.

Mengutip dari : https://ringtimesbali.pikiran-rakyat.com/bali-news/pr-


28647644/oknum-manager-koperasi-di-gianyar-diduga-gelapkan-dana-rp5-miliar-
lebih

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi


Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak
Pidana Korupsi hanya dapat dijatuhkan terhadap individu (natuurlijke persoon) atau
dengan kata lain hanya individu/perseorangan yang dapat dimintai
Pertanggungjawaban pidana. Diakuinya individu/perseorangan yang dapat dimintai
Pertanggungjawaban pidana dalam perumusan peraturan perundangundangan tersebut
tidak terlepas dari pengaruh asas societas delinguere non potest atau universitas
delinguere non potest, yang berpendirian bahwa badan-badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana.46 Dikenalnya perseorangan (natuurlijke persoon) sebagai
subyek hukum pidana dalam KUHP terkandung dalam rumusan “Barang siapa” atau
kata yang menunjukan subyek seperti ibu (de moeder) dalam Pasal 341 dan 342
KUHP, panglima tentara (bevelhebber) dalam Pasal 413 KUHP, pegawai negeri atau
orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan
jabatan umum dalam Pasal 415, 416, dan 417 KUHP (semuanya ditarik menjadi delik
korupsi menurut Pasal 1 ayat 1 sub c UUTPK).47 Dari adanya perumusan di atas,
maka yang dapat melakukan maupun yang dapat dipertanggungjawabkan adalah
individu/ perseorangan. Namun demikian pertanggungjawaban pidana dalam delik
korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal ini nyata dalam:48 a) Kemungkinan
penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1) sampai ayat (4); b)
Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah meninggal dunia sebelum ada
putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat 5). Bahkan kesempatan banding
tidak ada; c) Perumusan delik dalam UUTPK yang sangat luas ruang lingkupnya,
terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat 1 sub a dan b UUTPK; d) Penafsiran kata
“menggelapkan” pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh yurisprudensi baik
di Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Jadi dengan demikian walaupun undang-
undang tindak pidana korupsi telah mengalami perluasan dalam hal
Pertanggungjawabannya, namun yang dapat dituntut dan dipidana hanya “orang”.
Nyatalah korporasi dianggap tidak dapat dituntut dan dimintai pertanggungjawaban
tindak pidana korupsi.

Dalam pembahasan Kasus ini, oknum Manager Koprasi Gianyar telah


mengakui perbutan yang telah dilakukan oleh dirinya, penuntutan hanya dapat
dilakukan kepada orang yang melakukan korupsi dan tidak dapat dilakukan
penuntutan pada korporasi atau koperasi tempat ia bekerja.
Meskipun pelaku korupsi telah mengakui perbuatannya dan siap bertanggung jawab,
sebagai sebuah negara yang menganut sistem hukum, maka hukum harus berjalan
sebagai mana mestinya karena apa yang telah dilakukan olah pelaku sudah membuat
kerugian untuk orang banyak demi memperkaya diri sendiri.
BAB III
PENUTUP

Saran dan Kesimpulan


1. Bagi Pemerintah khususnya pembuat undang-undang agar dapat
memperbaharui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian sehingga di dalamnya dapat memuat sanksi pidana. Mengingat
banyaknya kasus koperasi simpan pinjam sebagai pelaku investasi ilegal, maka
dibutuhkan pemberian sanksi pidana yang ditunjukkan terhadap pengurus dan
koperasi simpan pinjam tersebut.
2. Bagi Dinas Koperasi di suatu daerah agar lebih mengoptimalkan pengawasan
terhadap kegiatan operasional yang dilakukan oleh koperasi-koperasi di daerah
tersebut.
3. Bagi Pelaku Usaha yang ingin mendirikan badan usaha koperasi agar dapat
menentukan bidang usaha yang hendak dijalankan. Bidang usaha
penghimpunan dana dapat berupa bidang usaha perbankan dan bidang usaha
simpan pinjam, sehingga hal tersebut dapat meminimalisir pelanggaran yang
dilakukan oleh pengurus koperasi dan badan usaha koperasi yang
bersangkutan di kemudian hari.
4. Bagi Masyarakat pada umumnya agar tidak mudah tertipu terhadap
keuntungan yang dijanjikan oleh koperasi simpan pinjam, mengingat
keuntungan tersebut dijadikan sarana oleh koperasi tersebut untuk melakukan
tindak pidana penghimpunan dana dalam bentuk simpanan secara ilegal.

Anda mungkin juga menyukai