MK KSHP
MK KSHP
20180013027
DENPASAR 2022
BAB I
PENDAHULUAN
i. Latar Belakang
Hukum positif saat ini menyatakan bahwa Koperasi Simpan Pinjam tidak dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya dibebankan bagi
pengurus koperasi atau orang yang memerintahkan. Sejatinya Koperasi Simpan
Pinjam merupakan badan hukum, sehingga ia merupakan bagian dari Korporasi.
Secara teoritis berdasarkan doktrin identifikasi dan doktrin gabungan apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh pengurus untuk dan atas nama korporasi serta korporasi
mendapatkan keuntungan dari tindak pidana tersebut maka pertanggungjawaban
pidana dapat dibebankan kepada korporasi. Mengingat Koperasi Simpan Pinjam
merupakan bagian dari korporasi, sehingga secara teoritis berdasarkan kedua doktrin
tersebut Koperasi Simpan Pinjam dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Saat
ini, perkembangan hukum pidana di Indonesia telah menunjukkan bahwa korporasi
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Perkembangan tersebut ditunjukkan
oleh sebagian undang-undang di Indonesia yang telah membebankan
pertanggungjawaban pidana secara langsung terhadap korporasi, kenyataan ini juga
sekaligus menunjukkan bahwa sebagian undang-undang di Indonesia sudah mulai
memasuki tahap ketiga pertanggungjawaban pidana korporasi.
Korupsi merupakan masalah serius negeri ini sampai sekarang. Korupsi telah
menjerat banyak pejabat, baik dieksekutif, legislatif maupun yudikatif, serta kalangan
swasta, pengusaha, yang masuk dalam korporasi. Pelakunya mulai dari pejabat tinggi
sampai pegawai tingkat rendah dipedesaan, serta para pengurus korporasi. Kerugian
negara yang ditimbulkan akibat maraknya korupsi jelas begitu besar dan akan
menghambat proses pembangunan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Sila
Kelima Pancasila adalah Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, untuk
merekontruksi lembaga peradilan saat ini perlu dipertimbangkan sistem keadilan
retributif yang saat ini masih banyak dianut dalam ketentuan perundang-undangan
Indonesia seperti Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Acara Pidana bahkan dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PEMBAHASAN
Pihak pengurus pun didesak agar bertindak tegas dan malaporkan masalah ke polisi,
karena sudah mengarah ke tindak pidana penggelapan. Unit Simpan Pinjam Koperasi
GASB ini mulai diselimuti kecurigaan anggotanya, lantaran sejumlah nasabah tidak
dapat manarik dana tabungan maupun deposito dalan sebulan terakhir. Awalnya pihak
manajemen berdalih, belum ada dana lantaran banyak warga atau anggota koperasi
yang tidak membayar pinjaman di saat Pandemi Covid 19. Namun, setelah pihak
pengurus koperasi turun tangan dan dilakukan audit internal, ditemukan sejumlah
kejanggalan penggunaan dana koperasi.
Dana koperasi sebanyak Rp5 miliar lebih, tidak diketahui rimbanya. Setelah
dilakukan pengusutan, dana itu ternyata digunakan oleh oknum manager untuk
keperluan lain. Bahkan secara tertulis, oknum manager ini membuat surat
pernyataaan pengakuan atas pengunaan dana koperasi itu dan menyatakan siap
bertanggungjawab untuk mengembalikan dana itu.
Dari data yang dikantongi oknum manajer ini telah menggunakan dana koperasi untuk
keperluan pribadinya. Terdiri dari dana deposito nasabah yang jumlah mencapai Rp3
miliar lebih, dana tabungan Rp700 juta, penggunaan nama debitur lain hingga Rp300
juta, penggunaan kas di BRI Rp500 juta lebih hingga kasbon sebanyak Rp200 juta.
Kepala Dinas Koperasi Gianyar, Dewa Putu Mahayasa mengakui telah menerima
informasi terkiat permasalahan di Koperasi yang digawangi tokoh-tokoh koperasi ini.
Menindaklanjuti itu, pihaknya pun mengaku sudah mengundang pihak pengurus
koperasi tersebut ke Kantor Diskop, namun sayang yang datang hanya sekterasisnya
saja. Sementara pengurus lainya termasuk manajer Unit Simpan Pinjam tidak datang.