Anda di halaman 1dari 5

PENCEMARAN SUNGAI BELUMAI

Sebuah Catatan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan

Kisah dimulai sekitar sepuluh tahun lalu.


Kala itu sungai Belumai masih jernih dan menjadi sumber hidup bago lima ribu penduduk di
sekitarnya, mulai dari mandi, mencucui, memasak, mengambil ikan sampai mengairi sawah-
sawah mereka.

Kini, air sungai tidak lagi jernih. Terlebih saat-saat tertentu ketika limbah beberapa pabrik di
hulu sungai dibuang kedalamnya. Ada y ang berwarna hitam, kuning, kadang berminy ak dan
kadang berwarna putih berbuih. Warga tidak mau meminumnya karena banyak ikan-ikan
yang mati.
Penduduk terpaksa membeli air untuk minum seharga Rp. 500,00 per jerigen dari sumber air
di PTP yang letaknya cukup jauh dari sungai. Usaha membuat sumur pernah dilakukan.
Sayangnya tidak semua penduduk mampu membuat sumur. Sumur-sumur yang ada pun
sekarang tidak berfungsi, karena jika musim hujan, air sungai Belumai meluap dan
menggenangi kampung, termasuk sumur-sumur penduduk.
Efek lain yang dirasakan penduduk adalah timbulnya bercak-bercak pada kulit yang
menimbulkan rasa gatal. Di sungai mulai bermunculan binatang baru semacam lintah. Anak-
anak tidak lagi bebas bermain di sungai. Orang-orang harus pandai-pandai memilih waktu
mandi. Bayangkan jika kita mandi saat airny a berwarna hitam dan berminyak. Selain itu
terjadi wabah diare terhadap anak-anak.

Penduduk desa memang tidak mengambil sampel kandungan kimia apa yang terkandung
dalam limbah-limbah itu. Yang jelas salah satu perusahaaan yang ada di hulu sungai itu
mendapat grade hitam untuk limbahnya dan izin operasinya telah dicabut. Kenyataannya,
pabrik itu masih beroperasi.

Tahun 1992 yang lalu, masyarakat sempat mengadukan pencemaran yang mengganggu
kehidupan mereka ke polisi, tetapi tidak ditanggapi. Tahun 1995 mereka membuat pengaduan
sekali lagi. Karena merasa kerja polisi terlalu lambat dan dirasa mempermainkan penduduk,
maka penduduk setempat mempraperadilankan kepolisian tahun 1996 ini. Hasilnya penduduk
kalah baik di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
Upaya lain yang sempat dilakukan adalah melaporkan kegiatan tersebut ke Bupati sampai
Gubernur. Hasilnya para pengusaha membuat janji hitam di atas putih untuk membuat unit
pengolah limbah yang memenuhi syarat. Bahkan janji itu dilakukan sampai empat kali
dengan hasil : realita tidak berubah.

Sejak tahun 1992 sampai sekarang, langkah positif yang pernah dilakukan oleh para pejabat
(mulai bupati, gubernur, DPRD sampai DPR RI) adalah melakukan kunjungan ke Sungai
Belumai dengan jumlah total kunjungan dua puluh kali. Dan akibat baiknya adalah ketika
para anggota KOMISI X DPR RI berkunjung, sungai Belumai sempat bersih lagi selama tiga
hari.

Sebetulnya tuntutan warga desa adalah mengembalikan sungai Belumai ke kondisinya


semula. Pembuatan unit pengolah limbah yang benar dan uang ganti rugi 1.3 milyar rupiah.

Perjuangan penduduk sebetulnya telah melewati tahap-tahap panjang yang cukup


melelahkan. Beberapa tahun yang lalu sekelompok warga mengamuk dan berniat membakar
pabrik. Ini berhasil ditenangkan, salah satunya oleh Ibu Sri Rahayu, 39 tahun, ibu rumah
tangga y ang terlibat dalam kasus ini sejak awal. Prinsip-prinsip y ang dipegangnya adalah
perjuangan tanpa kekerasan. Ia tetap konsisten dengan prinsip itu, walaupun sepertinya masy
arakat sudah sampai pada batas kesabarannya.

Masyarakat setempat sampai pada kesimpulan bahwa mereka cuma dijadikan permainan oleh
orangorang yang di atas, termasuk pengusaha dan pejabat yang berwenang.

Sekarang ini, setelah jalan musyawarah yang ditawarkan masyarakat tidak ditanggapi pun
mereka masih menaruh kepercayaan pada hukum dan mengambil jalur itu untuk meny
elesaikan persoalannya. Gugatan perdata diajukan terhadap PT Sari Morawa, Gubernur
Sumatera Utara, Bupati Deli Serdang, Kakanwil Perindustrian dan Ketua BKPMD.

Sejarah manusia memang bukan sejarah kebahagiaan, tetapi justru sejarah penderitaan umat
manusia. Dan ini akan tetap dikenang dan membuat manusia hidup lebih baik
PENJELASAN DAN ANALISIS

Penyelesaian sengketa lingkungan yang dapat dilakukan dengan jalur hukum atau di luar jalur
hukum. Penempuhan jalur hukum, nampaknya mulai jamak dilakukan, walaupun belum tentu
memuaskan. Beberapa kasus yang diselesaikan melalui jalur ini, menunjukkan bahwa kasus
sengketa lingkungan cenderung menjadi kasus perdata. Arti gampangnya, masalah
lingkungan menjadi selesai apabila ganti rugi material dan immaterial sudah diberikan.
Padahal jelas-jelas bahwa menurut Undang-Undang Lingkungan, tindakan menyebabkan
lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup dituntut dengan hukuman pidana.

Mekanisme lain, sebagai alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan mediasi.
Negosiasi sesungguhnya istilah yang telah dikenal sejak lama, terutama di kalangan
usahawan. Negosiasi sesungguhnya merupakan suatu upaya verbal antara pihak-pihak yang
terlibat dalam menyelesaikan sengketa. Sedangkan mediasi pada prinsipnya adalah negosiasi
yang dihadiri oleh pihak ketiga netral yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan.
Pihak ketiga ini disebut sebagai mediator, yang berfungsi membantu menfasilitasi pihak-
pihak yang bersengketa, agar mencapai kesepakatan melakukan negosiasi. Mediasi
nampaknya lebih memberikan peluang menguntungkan beberapa hal, yaitu: (1) ruang lingkup
permasalahan dapat dibahas secara luas dan menyeluruh, (2) penyelesaiannya dapat
dilakukan secara lebih singkat, (3) proses berjalan luwes, (4) menghemat biaya.1[2]

Dari segi waktu penyelesaian sengketa yang cukup singkat (setidaknya sebagaimana terjadi
pada sebagian besar studi kasus), dapat dikatakan bahwa mediasi lebih efektif apabila
dibandingkan dengan litigasi. Namun, setidaknya ada tiga kualifikasi untuk kesimpulan ini.
Pertama, perlu diingat bahwa kesepakatan yang dihasilkan oleh sebuah proses mediasi tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara apabila dilihat dari aspek pemenuhan ganti
rugi, mediasi merupakan forum yang dapat digunakan oleh korban pencemaran untuk
memperoleh ganti rugi walaupun kadang kala tidak sesuai harapan. Sedangkan kedua, dilihat
dari aspek perlindungan lingkungan, forum mediasi ternyata belum cukup efektif untuk
menghentikan terjadinya pencemaran dan sengketa. Dan ketiga, keberhasilan mediasi sebagai
alat untuk menyelesaikan sengketa lingkungan sebagian besar tergantung pada kemauan dari
pelaku pencemaran untuk berpartisipasi dalam proses mediasi sebuah forum penyelesaian

1
sengketa yang diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan sekaligus melindungi kepentingan
lingkungan, pelaksanaan mediasi di Indonesia dapat dikatakan belum efektif.2[3]

Rekomendasi
Penanganan masalah lingkungan secara menyeluruh, baik melalui mengurangi dampak
maupun menghilangkan penyebab, bukan pekerjaan yang sederhana. Para pelaku pekerja
lingkungan perlu melakukan transformasi manajemen secara menyeluruh dan sinergis, baik
secara struktural maupun proses. Individu, keluarga, komunitas dan unit sosial yang lebih
tinggi, maupun pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan transformasi perilaku,
kebijakan, hukum dan institusi. Direkomendasikan para pihak melakukan penanganan
masalah lingkungan dengan mereduksi kerentanan dan kondisi tidak aman, tekanan-tekanan
dinamis dan akar permasalahan.

Pada akhirnya yang diperlukan adalah kemampuan dan keseriusan masyarakat dan
pemerintah menerapkan perspektif manajemen lingkungan dalam setiap kebijakan dan
praktek pengelolaan sumberdaya. Hal tersebut baru bisa diwujudkan apabila masyarakat dan
pemerintah memahami permasalahan lingkungan secara utuh. Dan akhirnya, marilah masalah
lingkungan ini kita tangani secara selaras dan sinergis. Bangunan keselarasan antara
penanganan sebab dan dampak masih diperlukan, selama masalah lingkungan itu hadir. Oleh
karena itu, upaya-upaya strategis penguatan kapasitas dalam meminimalkan dampak,
membangun cadangan pangan, penganekaragaman sumber produksi, penganekaragaman
sumber pemasukan, membangun jaringan dukungan sosial, serta adaptasi pasca kejadian,
masih diperlukan. Mengingat kebutuhan tersebut untuk masyarakat, dan akan dirasakan
langsung olehnya, maka menempatkannya sebagai subyek pengelolaan masalah lingkungan
merupakan kebutuhan mendasar. Masyarakat terlibat dalam persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, monitoring maupun evaluasi.

2
ANTROPOLOGI HUKUM

ANALISA KASUS

DISUSUN OLEH:

HILMAN PRAYUDA

D1A 011 126

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2013/2014

Anda mungkin juga menyukai