Anda di halaman 1dari 10

BAB II

SUMBER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Dalam berbagai kepustakaan hukum internasional, kebiasaan internasioal dan


perjanjian internasional kerap ditunjuk sebagai sumber hukum humaniter atau hukum
perang Hukum perang. Lieutenant Colonel David P. Cavaleri misalnya, menyatakan
hukum perang berasal dari dua sumber yang berbeda. Hukum ini sebagian didasarkan
pada aturan-aturan umum tidak tertulis yang disebut hukum kebiasaan internasional
(customary international law), sementara secara specific hukum humaniter internasional
dihubungkan dengan kumpulan peraturan yang dikodifikasi yang disebut yang disebut
hukum perjanjian internasional (conventional international law). Yang pertama, hukum
kebiasaan internasional, diakui sebagai peraturan perilaku yang mengikat semua
anggota masyarakat bangsa-bangsa, sedangkan yang belakangan, hukum perjanjian
internasional, mencerminkan peraturan-peraturan terkodifikasi yang mengikat sebagai
akibat dari persetujuan yang tegas (express consent). Mengutif the US Army JAG
School, “Many principles of the Law of War fall into this [customary international law]
category,” sementara istilah traktat (juga konvensi, protocol, annexed regulation) “best
captures this concept [conventional international law].” Tiga hal yang sangat penting
menjadi bukti. Pertama hukum perang terdiri atas dua komponen yang berbeda. Kedua,
hukum perang memenuhi bentuknya yang sekarang berlaku dengan evolusi kebiasaan
dan konvensi sebagai perkembangannya selama bertahun-tahun. Dan ketiga, segi
kebiasaan dari hukum perang ini sama pentingnya pada konstruksi keseluruhan dengan
sisi konvensionalnya, karena apabila sebuah prinsip mencapai kedudukan sebagai
hukum kebiasaan internasioanl, hukum ini mengikat semua Negara, tidak hanya para
penandatangan traktat.1[1]
Pandangan ini juga diikuti oleh Fritz Kalsoven. Terkait dengan ini Kalshoven
menyatakan bahwa hukum humaniter internasional pada mulanya bersumber dari
kebiasaan yang merupakan praktik dari bangsa-bangsa pada zaman dahulu. Seiring
dengan perjalanan waktu, praktik ini berkembang menjadi hukum kebiasaan perang

1
yang harus dihormati para pihak pesengketa bersenjata sekalipun tidak ada pernyataan
sepihak atau persetujuan timbale atas hal tersebut. Dalam waktu yang lama lingkup
dan isi dari hukum kebiasaan ini samar dan tidak pasti. Cara yang paling efektif untuk
menghilangkan ketidakpastian ini adalah dengan pembuatan traktat ( treaty-making),
yakni dengan merundingkan ragam peraturan dan membuat peraturan ini di dalam
sebuah instrument mengikat yang diterima secara umum.2[2]
Namun, sebagai bagian dari hukum internasional, sumber hukum humaniter
internasional tentu saja tidak hanya kebiasaan dan perjanjian internasional.
Sebagaimana hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional harus
mengacu kepada Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional.
Berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, maka sumber hukum
internasional termasuk humaniter internasional adalah: perjanjian-perjanjian
internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-
ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;
kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang
diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; asas-asas hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa yang beradab; keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana
terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-
kaidah hukum.3[3]

A.   Kebiasaan internasional


Hukum kebiasaan internasional difahami sebagai peraturan hukum “tidak
tertulis” yang mengikat semua masyarakat bangsa ( the community of nations). Hukum
kebiasaan didefinisikan sebagai hukum yang timbul dari praktik umum dan ajeg yang
berasal dari suatu perasaan mengenai kewajiban hukum (a sense of legal obligation).

3
                Ada kemungkinan bagi suatu Negara untuk tidak terikat pada kaidah kebiasaan
hukum internasional jika Negara tersebut terus-menerus berkeberatan atas norma
tersebut seperti terus-menerus menyatakan bahwa Negara tersebut tidak terikat oleh
hukum kebiasaan internasional tersebut. 4[4]
                Banyak prinsip hukum perang masuk dalam kategori hukum initernasional ini.
Hukum kebiasaan internasional juga dapat menjelaskan latar belakang untuk
memahami kodifikasi hukum perang menjadi traktat. Namun, sekalipun banyak hukum
perang yang sekarang sudah dikodifikasi, kebiasaan kebiasaan internasional mengenai
perang tetap relevan.5[5]
                 
Hukum kebiasaan internasional menurut satu sumber didedefinisikan sebagai
seperangkat hukum “praktik umum dan ajeg general Negara-negara yang diikuti
mereka sebagai kewajiban hukum. Sumber lain menunjukkan bahwa hukum kebiasaan
internasional dibentuk oleh negara-negara yang mengikuti suatu “praktik umum dan
ajeg, yang didorong oleh keyakinan bahwa hukum internasional membutuhkan perilaku
tersebut. Sumber yang sama menemukenali dua ukuran yang harus dipenuhi untuk
timbulnya hukum kebiasaan, yaitu harus ada perbuatan atau praktik nyata, dan Negara-
negara harus yakin mereka melakukan perbuatan itu berdasarkan kewajiban
internasional. Yang terpenting harus diingat bahwa hukum merupakan seperangkat
hukum kebiasaan internasional terutama terdiri atas kaidah-kaidah kebudayaan tak
tertulis (unwritten cultural norms) dan praktik-praktik yang diakui secara ( generally
recognized practices), bahwa dua unsur penguji (“perbuatan” dan “keyakinan” (the
“act” and the “belief”) menentukan hukum kebiasaan internasional, dan bahwa suatu
Negara tidak dapat mengingkari kewajibannya untuk menjunjung tinggi hukum
kebiasaan internasional.6[6]

6
Hukum sengketa bersenjata, atau hukum humaniter dalam wujud relative baru,
memiliki sejarah yang panjang. Dalam suatu masa lalu yang sangat jauh, para
pemimpin militer biasanya memerintahkan perajurit mereka menyelamatkan nyawa
musuh yang tertangkap dan memperlakukan mereka dengan baik, dan menyelamatkan
penduduk sipil musuh, dan pada saat berhentinya permusuhan pihak-pihak yang
berperang (belligerent parties) dapat menyepakati pertukaran tawanan yang mereka
kuasai. Selama waktu itu, praktik-praktik tersebut secara bertahap berkembang menjadi
peraturan kebiasaan perang, peraturan-peraturan yang harus dihormati pihak-pihak
pesengketa bersejata sekalipun tidak ada pernyataan sepihak (a unilateral declaration)
atau persetujuan timbale balik di antara mereka ( reciprocal agreement) atas hal
tersebut.
Untuk waktu yang lama, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini,
sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit
difahami dan tidak pasti. Cara yang paling baik untuk mengatasi hal ini adalah dengan
mengundangkan perjanjian internasional jamak pihak di bidang ini. 7[7] Dan ini telah
dimulai sejak tahun 1864. Akibatnya, sekarang banyak ketentuan-ketentuan hukum
humaniter yang telah diserap atau dimasukkan ke dalam hukum perjanjian
internasional.
Dengan dimasukkan ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan humaniter
internasional ke dalam hukum perjanjian internsional tidak berarti hukum kebiasaan
internasional di bidang ini kehilangan artinya. Hukum kebiasaan humanter internasional
tetap penting. Ini disebab oleh dua hal.
Pertama, traktat hanya berlaku kepada Negara-negara yang meratifikasinya. Ini
berarti bahwa traktat-traktat dari hukum internasional yang berbeda berlaku dalam
sengketa bersenjata yang berbeda tergantung pada traktat mana yang diratifikasi
Negara bersangkutan. Sementara empat Konvensi Jenewa 1949 telah diratifikasi secara
semesta, hal yang sama tidak berlaku untuk traktat-traktat hukum humaniter lainnya,
misalnya Protokol-protokol Tambahannya. Sekalipun Protokol I telah diratifikasi lebih
dari 160 negara, keampuhannya sekarang terbatas karena beberapa Negara yang

7
terlibat dalam sengketa bersenjata tidak menjadi pihak pada Protokol ini. Demikian
pula dengan Protokol Tambahan II yang juga telah diratifikasi oleh lebih dari 160
negara, beberapa Negara yang mengalami sengketa bersenjata internal tidak
menghormatinya. Kedua, .hukum perjanjin internasional tidak mengatur dengan cukup
rinci bagian terbanyak sengketa bersenjata dewasa ini, yakni sengketa bersenjata non
internasional karena sengketa-sengketa pengaturannya dalam traktat jauh lebih sedikit
daripada pengaturan sengjketa bersenjata internasional. Sedikit sekali traktat yang
berlaku pada sengketa bersenjata non internasional, yakni the Convention on Certain
Conventional Weapons yang diperbaharuai, amended, the Statute of the International
Criminal Court, the Ottawa Convention on the Prohibition of Anti-personnel Mines, the
Chemical Weapons Convention, the Hague Convention for the Protection of Cultural
Property and its Second Protocol dan, sebagaimana telah disebutkan, Additional
Protocol II and Article 3 common to the four Geneva Conventions. Sementara common
Article 3 sangat penting, Article 3 ini hanya memberikan kerangka kasar mengenai
patokan minimum (minimum standards). Additional Protocol II melengkapi common
Article 3, tetapi masih kurang rinci jika dibandingkan dengan aturan-aturan mengenai
sengjketa bersenjata internsional dalam Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan I.8[8]
Selain itu, perlu diketahui bahwa Negara-negara terikat pada ketentua-ketentuan
hukum perjanjian perjanjian internasional, jika ketentuan-ketentuan tersebut dipandang
oleh masyarakat internasionalk sebagai sudah menjadi hukum kebiasaan internasional.
Di antara ketentuan-ketentuan hukum perjanjian internasional yang dianggap sudah
menjadi bagian dari hukum perjanajian internasional adalah ketentuan-ketentuan yang
tercantum di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, dan Konvensi-konven Den Haag
1899 dan 1977. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ian Scoby: bahwa “the
Study took into account the practice of States parties to conclude that ‘the great
majority’ of the provisions of the Geneva Conventions and Hague Regulations have
customary status”.9[9]
8

9
B.    Perjanjian Internasional

Menurut Oppenheim, perjanjian internasional adalah persetujuan yang bersifat


kontrak di antara negara-negara atau organisasi negara-negara yang menimbulkan hak
dan kewajiban hukum di antara para pihak. 10[10] Rumusan yang agak berbeda
dikemukan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu: perjanjian yang diadakan antara
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum
tertentu.11[11] Jadi, perjanjian internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh
negara dengan negara atau negara dengan organisasi internasional dengan tujuan
untuk menimbulkan akibat hukum terentu.

Sebagaimana diuraikan di atas, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini,
sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit
difahami dan tidak pasti. Cara yang paling efektif menghapuskan ketidakpastian ini
adalah melalui pembuatan traktat (treaty-making), yakni, dengan merundingkan versi
peraturan yang disepakati, dengan mewujudkan peraturan ini dalam instrument-
instrumen yang mengikat dan diterima secara internasional. Peraturan ini secara umum
disebut traktat, beberapa di antaranya menyandang nama lain: seperti konvensi,
deklarasi atau protocol. Sementara traktat dapat dibuat dan ditandatangani di antara
dua Negara (bilateral treaties), yang menjadi perhatian kita di sini adalah traktat yang
ditandatangani di antara banyak Negara (multilateral treaties).12[12]
Dapat ditunjuk sebagai awal perkembangan hukum perang melalui pembuatan
traktat, sehingga dapat dipandang sebagai hukum perjanjian internasional ( treaty law)
adalah konferensi internasional 1860 merancang satu sisi khusus dari hukum perang.
Ini menghasilkan penyelenggaraan konferensi: pertama, di Jenewa 1864 tentang
nasib para perajurit yang terluka di medan perang; lainnya, di St. Petersburg 1868
10

11

12
tentang penggunaan peluru senapan yang meledak. Permulaan yang paling sederhana
ini memiliki akar dari dua aliran yang berbeda, masing-masing ditandai dengan sudut
pandangnya sendiri. Yang pertama, dikenal sebagai hukum Den Haag ( the law of The
Hague), terkait dengan perilaku perang dan alat-alat dan cara perang yang
diperbolehkan. Yang kedua, disebut hukum Jenewa ( the law of Geneva), lebih terkait
dengan kondisi korban perang di tangan musuh (seperti tawanan perang, atau
interniran sipil).13[13]
Sejak saat ini banyak sekali instrument-instrumen hukum humaniter yang
dihasilkan melalui konferfensi internasional untuk mengundangkan perjanjian
internasional jamak pihak (multilateral convention) di bidang hukum humaniter
internasional. Di sini disebutkan beberapa di antaranya.

1. Konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang terdiri atas empat konvensu, yaitu:


a.    Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed
Forces in the Field. Geneva, 12 August 1949.
b.    Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and
Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Geneva, 12 August 1949.
c.    Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949.
d.    Convention (IV) relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva, 12
August 1949.

2. Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977 terdiri


atas:
a.    Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the
Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977.
b.    Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the
Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977.

3. Instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan alat-alat perang


a.    The 1899 Hague Declaration concerning Expanding Bullets

13
b.    Convention On Prohibitions Or Restrictions On The Use Ofcertain Conventional Weapons
Which May Be Deemed To Be Excessively Injurious Or To Have Indiscriminate Effects
As Amended On 21 December 2001

C.   Prinsip atau Asas Hukum Umum

Menurut Baron Descamp (Belgia) asas hukum umum adalah “aturan hukum
internasional yang diakui oleh kesadaran hukum bangsa-bangsa beradab”. Root dan
Phillimore mengaitkan asas ini dengan pengertian peraturan yang diterima dalam
hukum negara semua negara beradab. 14[14]Contoh asas-asas hukum nasional tersebut
meliputi asas kepatutan (equity), estopel, pacta sunt servanda, meperkaya diri secara
tidak pantas (unjust enrichment), dan penggunaan pembuktian tak langsung ( the use
of circumstantial evidence.)15[15] William merumuskan asas umum hukum sebagai
“asas-asas umum mengenai keadilan, hukum alam, analogi dengan hukum perdata,
asas-asas perbandingan hukum atau konsepsi-konsepsi umum hukum internasional. 16
[16]
Demikian pentingnya asas-asas hukum ini, sehingga asas-asas ini kemudian
banyak diserap kedalam berbagai instumen hukum humaniter internasional. Pengakuan
akan pentingnya asas hukum dapat kita jumpai dalam penegasan pembukaan Konvensi
Den Haag IV (1907), yang berbunyi: We look to a number of sources to ascertain
principles of international law, including international conventions, international
customs, treatises, and judicial decisions rendered in this and other countries. 17[17]

Banyak prinsip atau asas hukum perang sekarang dituangkan dalam traktat dan
hukum kebiasaan iternasional. Arti penting dari hal ini adalah apabila prinsip hukum

14

15

16

17
telah memiliki status hukum kebiasaan internasional, maka prinsip ini mengikat bagi
semua Negara, tidak hanya bagi para penandatangan traktat.18[18]

D.   Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan, bersama-sama dengan pendapat para sarjana terkemuka


merupakan sumber pelengkap dari hukum internasional. Sebagai sumber pelengkap
keputuan pengadilan dan juga pendapat para sarjana dapat dikemukakan sebagai bukti
adanya suatu kaidah hukum internasional yang berlaku mengenai sesuatu hal tertentu.
Putusan pengadilan sebagai sumber hukum internasional tidak hanya menunjuk kepada
putusan Mahkamah Internasional tetapi juga pada putusan-putusan badan peradilan
lainnya, seperti pengadilan nasional, pengadilan regional bahkan juga putusan badan-
badan arbitrasi.19[19]
Berbeda dengan Negara-negara Anglo Saxon yang menganut prinsip precedent
yaitu pengadilan terikat untuk untuk memutus perkara dalam kasus yang sama
mengikuti pengadilan-pengadilan tingkat yang lebih tinggi, Mahkamah internasional
tidak menganut prinsip tersebut. Walaupun keputusan pengadilan ini tidak diikuti dalam
putusan-putusan berikutnya tetapi putusan pengadilan ini mempunyai pengaruh besar
dalam perkembangan hukum internasional. 20[20] Keputusan-keputusan pengadilan
tersebut akan memperkaya dan mempekuat hukum internasional karena mengandung
makna pengakuan dan penerimaan hukum internasional yang telah ada. Banyak kasus
yang membuktikan bahwa lewat putusan Mahkamah Internasional mempengaruhi atau
mengubah ketentuan hukum internasional lama. 21[21]

18

19

20

21
E.    Ajaran Para Ahli Hukum

Seperti halnya dengan putusan pengadilan, ajaran para sarjana terkemuka di


negaranya masing-masing, atau la doctrin menurut istilah yang berlaku di Perancis juga
tidak mempunyai kekuatan mengikat. Sekalipun demikian ajaran atau pendapat para
sarjana ini sangat besar artinya bagi perkembangan hukum internasional. Para pakar ini
menyebarkan pemikiran-pemikiran baru dan pendapat yang lebih baik guna
memperkaya hukum internasional.22[22]
Ajaran-ajaran para pakar ini digunakan secara luas. Pendapat-pendapat para
pejabat hukum di Inggris misalnya, memuat rujukan kepada pendapat Vattel, Calvo,
dan Hall.23[23] Pendapat para ahli tesebut juga dijadikan sebagai bahan rujukan dalam
berbagai kasus yang diajukan di pengadilan yang berkaitan dengan persoalan hukum
internasional.
Sama dengan pendapat para ahli tersebut adalah rancangan artikel-artikel yang
dibuat oleh Komisi Hukum Internasional, Rancangan Penelitian Harvard (Harvard
Research Draft), dasar-dasar pembahasan Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 dan
Resolusi Lembaga-lembaga Hukum Internasional dan himpunan para ahli lainnya

22

23

Anda mungkin juga menyukai