Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada anak.Atresia ani (anus

Imperforata) merupakan suatu keadaan lubang anus tidak berlubang.Atresia berasal dari bahasa

Yunani, yaitu berarti tidak ada, dan trepsis yang artinya nutrisi atau makanan.Menurut istilah

kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan yang

normal (Rizema, Setiatava P, 2012).

Menurut WHO (World Healt Organization) diperkirakan bahwa sekitar 7% dari seluruh

kematian bayi di dunia disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Eropa, sekitar 25% kematian

neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital.Di Asia Tenggara kejadian kelainan kongenital

mencapai 5% dari jumlah bayi yang lahir, sementara di Indonesia prevalansi kelainan kongenital

mencapai 5 per 1.000 kelahiran hidup.Riset Kesehatan Dasartahun 2007 mencatat salah satu

penyebab kematian bayi adalah kelainan kongenital pada usia 0-6 hari sebesar 1% dan pada usia

7-28 hari sebesar 19%. (Verawati dkk, 2015).Angka kejadian atresia ani di dunia adalah 1:5.000

kelahiran hidup (Maryunani, Anik 2014). Populasi masyarakat Indonesia sebanyak 200 juta

lebih, yang memiliki standar angka kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir setiap tahun

dengan penyakit atresia ani sebanyak 1.400 kelahiran (Haryono, 2012).


Manifestasi klinis pada atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam, gejalanya dapat berupa perut

kembung, muntah, pada mekonium tidak keluar dalam 24 jam, dan tidak bisa buang air besar.

Tanda dan gejala yang membedakan antara penderita laki-laki dan perempuan adalah terjadinya

fistel, pada bayi perempuan sering terjadi fistel rectovaginal.Sedangkan pada bayi laki-laki

sering terjadi fistel rektourinal (Dewi, 2013).Penatalaksanaan pada jenis kelainan bawaan atresia

ani tergantung .

Klasifikasinya.Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih

dahulu.Pada penelitian sebelumnya penanganan atresia ani menggunakan prosedur

abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan

prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh

Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti,

yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk

memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).

Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari hasilnya secara jangka panjang,

meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk serta antisipasi trauma psikis.Komplikasi

yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak

kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta

ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk.Dari berbagai

klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada

tidaknya fistula (Faradilla, 2009).Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid

kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)

(atau berat BB > 10 kg). Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana
sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter

ani ekternus. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion. Pada stenosis ani cukup dilakukan

dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi

(Faradilla, 2009).

Kolostomi merupakan sebuah lubang yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding

abdomen untuk mengeluarkan feses.Lubang kolostomi yang muncul dipermukaan yang berupa

mukosa kemerahan disebut dengan stoma.Kolostomi dapat dibuat secara permanen ataupun

temporer (sementara) yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien (Murwani, 2009).Pasiendengan

pemasangan kolostomi biasanya disertai dengan tindakan laparotomi (operasi pembukaan

dinding perut .

Empat tindakan keperawatan yang tepat, selain akan membantu mengatasi masalah-

masalah lain yang timbul akibat pembedahan juga akan mempercepat proses penyembuhan.

Menurut Ronald W. Kartika (2015) prinsip lama yang menyebutkan penanganan luka harus

dalam keadaan kering ternyata dapat menghambat penyembuhan luka karena menghambat

proliferasi sel dan kolagen tetapi luka yang terlalu basah juga akan menyebabkan maserasi kulit

sekitar.”Moist Wound Healing” adalah metode untuk mempertahankan kelembaban luka dengan

menggunakan balutan penahan kelembaban, sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan

jaringan dapat terjadi secara alami.

“Moist Wound Healing” disertai dengan teknologi yang mendukung, hal tersebut menjadi dasar

munculnya pembalut luka modern (Mutiara, 2009). Penggunaan dan pemilihan produk-produk

perawatan luka yang kurang sesuai akan menyebabkan proses inflamasi yang memanjang dan

kurangnya suplai oksigen di tempat luka. Hal-hal tersebut akan memperpanjang waktu

penyembuhan luka. Luka yang lama sembuh disertai dengan penurunan daya tahan tubuh pasien
membuat luka semakin rentan untuk terpajan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi

(Morrison, 2004).

1.2.Tujuan Penulisan
BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Definisi

Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang

memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. 

Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak

berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).

Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang

memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.

Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak

berhubungan langsung dengan rectum. ( agung hidayat. 2009 )

Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau

tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001).

2.2 Etiologi

1.      Secara pasti belum diketahui.

2.      Merupakan anomali gastrointestinal dan genitourynari.

Namun ada sumber yang mengatakan kelainan anus bawaan disebabkan oleh:

a.       Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan

pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

b.      Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang

anus.

c.       Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan

pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.


d.      Kelainan bawaan , dimana sfingter internal mungkin tidak memadai.

2.3. Patofisiologi

Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat proses

perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rectum. Dalam

perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan

berkembang jadi genitor urinary dan struktur anoretal.

Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon antara 7-10

minggu selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena abnormalitas pada daerah

uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi. Anus imperforate ini terjadi karena tidak

adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak dapat

dikeluarkan.

2.4. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala yang khas pada klien antresia ani seperti :

1.      Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

2.      Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.

3.      Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya

4.      Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).

5.      Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

6.      Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.

7.      Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)


2.5. Pemeriksaan penunjang

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

1.      Pemeriksaan radiologist

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2.      Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak

pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.

3.      Ultrasound terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari

adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.

4.      CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5.      Pyelografi intra vena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

6.      Pemeriksaan fisik rectum Kepatenan rectal

dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.

7.      Rontgenogram abdomen dan pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus

urinarius.

2.6.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada klien dengan atresia ani menurut Aziz Alimul Hidayat  ( 2006 ), Suriadi

dan Rita Yuliani  ( 2001 ), Fitri Purwanto ( 2001 ) adalah sebagai berikut :
1.      Penatalaksanaan Medis

a.       Therapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan defek. Untuk

anomaly tinggi dilakukan colostomi beberapa hari setelah lahir, bedah definitifnya yaitu

anoplasti perineal ( prosedur penarikan perineum abdominal ). Untuk lesi rendah diatasi dengan

menarik kantong rectal melalui sfingter sampai lubang pada kulit anal, fistula bila ada harus

ditutup. Defek membranosa memerlukan tindakan pembedahan yang minimal yaitu membran

tersebut dilubangi dengan hemostat atau scalpel.

b.      Pemberian cairan parenteral seperti KAEN 3B

c.       Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah infeksi pada pasca

operasi.

d.      Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.

2.      Penatalaksanaan Keperawatan

a.       Monitor status hidrasi ( keseimbangan cairan tubuh intake dan output ) dan ukur TTV tiap 3

jam.

b.      Lakukan monitor status gizi seperti timbang berat badan, turgor kulit, bising usus, jumlah

asupan parental dan enteral.

c.       Lakukan perawatan colostomy, ganti colostomybag bila ada produksi, jaga kulit tetap kering.

d.      Atur posisi tidur bayi kearah letak colostomy.

e.       Berikan penjelasan pada keluarga tentang perawatan colostomy dengan cara membersihkan

dengan kapas air hangat kemudian keringkan dan daerah sekitar ostoma diberi zing zalf,

colostomybag diganti segera setiap ada produksi.


2.7. Pencegahan

1. Hindari Merokok dan Konsumsi Alkohol.

Rokok mengandung banyak zat berbahaya yang bisa membahayakan wanita hamil dan janin

dalam kandungan, termasuk meningkatkan risiko bayi lahir cacat. Merokok saat hamil

meningkatkan risiko bayi lahir prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), serta gangguan pada

tingkah laku, emosional, dan kemampuan belajar bayi.

2. Hindari Konsumsi Obat Sembarangan

Wanita hamil perlu berbicara pada dokter sebelum mengonsumsi jenis obat-obatan tertentu.

Konsumsi obat sembarangan saat hamil bisa meningkatkan risiko perdarahan selama persalinan,

kelainan bawaan lahir, serta keguguran.

3. Konsumsi Makanan Bergizi Seimbang

Ada beberapa makanan yang bisa dikonsumsi untuk mencegah cacat lahir, di antaranya:

 Asam folat, banyak ditemukan pada gandum, sereal, sayuran (seperti bayam, brokoli,

selada, seledri, bunga kol, kubis dan kecambah), buah (seperti jeruk, pepaya, tomat dan

stroberi), ubi-ubian, dan kacang-kacangan. Wanita hamil bisa mendapat nutrisi ini

dengan mengonsumsi suplemen asam folat.

 Asam lemak omega-3, banyak ditemukan pada ikan salmon, ikan makarel, brokoli dan

bayam. Kekurangan asam lemak omega-3 selama kehamilan bisa menyebabkan

gangguan sistem imun dan saraf saat bayi lahir.


 Makanan probiotik. Selain mencegah bayi lahir cacat, makanan probiotik bisa

memaksimalkan energi wanita saat hamil dan mengurangi pusing yang terjadi selama

hamil. Probiotik bisa ditemukan pada yogurt, kacang polong, tempa, miso, dan kimchi.

4. Berolahraga Teratur

Olahraga bisa meningkatkan asupan nutrisi dan oksigen untuk tumbuh kembang janin dalam

kandungan. Wanita hamil bisa melakukan aktivitas fisik ringan hingga sedang, setidaknya 15 -

30 menit sebanyak 3 kali seminggu, misalnya jalan kaki santai, senam hamil, yoga, dan

berenang.
BAB III

3.1.Pengkajian

Anda mungkin juga menyukai