Anda di halaman 1dari 4

MENANGISNYA AHOK DALAM PERSIDANGAN

Oleh: Maslathif Dwi Purnomo

Ahok menangis saat membacakan nota keberatan dalam sidang pertama kasus
penistaan agama dengan terdakwa dirinya sendiri. Sungguh pemandangan yang amat sangat
dramatis terlihat dari seorang yang biasanya tegar, lantang, ceplas-ceplos dalam berucap, cepat
dalam bertindak dan berani berkata apa adanya dalam setiap pembicaraannya, tiba-toba dalam
persidangan itu menangis tersedu-sedu. Menangisnya seorang Ahok adalah ketika dia
membacakan nota keberatan atas dugaan kasus penistaan agama kepada dirinya, dalam nota
keberatan itu, ketika sampai pada paragraf yang menjelasakn dirinya pernah diangkat menjadi
anak angkat dari keluarga muslim dan mendapatkan perlajaran yang sangat berharga dari
keluarga angkat muslimya tersebut mengenai perilaku dan hubungan kemanusiaan. Pada
kalimat berikutnya, dia juga menangis saat menjelaskan dirinya telah berziarah ke makam
suadara angkatnya yang muslim setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan
agama Islam.
Ahok merasa tidak melakukan penistaan terhadap Agama Islam, menurutnya ia justru
sangat prihatin dengan perilaku para elit politik serta tokoh Islam yang menjadikan ayat-ayat
suci Al-Qur’an untuk memprovokasi para pemilih guna tidak memilih pemimpin diluar akidah
Islam. Hal ini ia dapati dalam setiap interaksi sosialnya dengan konstituennya yang notabene
adalah Muslim, dan menurut Ahok hal ini tidaklah fair terjadi di Negara yang menjaga
kemajemukan dan kebhinekaan seperti Indonesia ini. Oleh karena itu maksud dari Ahok
mengungkapkan pernyataan dalam pidatonya di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu
bukanlah untuk merendahkan Al-Qur’an apalagi sampai menistakannya, melainkan hanya
untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang kedudukan ayat-ayat suci Al-Qur’an
yang kerap dijadikian komoditas politik bagi elit politik dan tokoh agama.
Beberapa hal menarik disampaikan oleh Ahok dalam nota keberatan kali ini
diantaranya adalah dia telah mengutip beberapa pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) terkait dengan hak asasi manusia dan kemajemukan. Bagi saya penyebutan nama Gur Dur
oleh Ahok dalam sidng pertama kasus penistaan Agama Islam ini menjadi hal menarik untuk
diperhatikan mengingat Gus Dur adalah tokoh umat Islam dan juga pahlawan Demokrasi di
Indonesia. Tentunya penyebutan nama Gus Dur akan berdampak interpretasi yang beragam
dan multitafsir, barangkali akan muncul penafsiran Ahok mencoba berlindung dibalik nama
besar Gus Dur, dan bisa juga Ahok mencoba mengiring opini bahwa apa yang dilakukannya
juga pernah Gus Dur lakukan dalam konteks menghargai kemajekmukan dan kebhinekaan,
atau disisi lain barangkali Ahok telah dengan serta merta mencatut nama besar Gus Dur untuk
ikut dimainkannya dalam mengahadapi kasus ini.
Fakta menangis dalam persidangan, Fakta menjelaskan bahwa Ahok juga punya
riwayat kekeluargaan dengan keluarga Muslim, sampai kepada fakta penyebutan nama Gus
Dur dalam nota keberatannya menjadikan Ahok semakin kentara dalam melakukan upaya-
upaya pembenaran dirinya bahwa terkait dengan penyebutan surat Al-Maidah ayah 51 pada
saat dirinya pidato didepan masyarakat Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu Ahok tidaklah
memiliki maksud dan tujuan sebagaimana yang dituduhkan oleh kelompok yang menentang
dan melaporkan dirinya atas dugaan kasu penistaan Agama Islam. Persoalannya adalah,
apakah nota keberatan dengan beberapa fakta menarik diatas mampu membuat Ahok terlepas
dari jaring hukuman pengadilan yang sudah siap menantang didepan mata?

Tafsir Hermeneutika
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Inggris hermeneutics.
Kata hermeneutics  sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo  yang berarti “mengungkapkan
pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata” atau hermeneuein  yang berarti ‘menafsirkan’
dan  hermeneuo yang juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari
beberapa makna ini dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah “Proses mengubah sesuatu
atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Proses hermeneutika paling sedikit harus
mengikuti empat pertimbangan yaitu pra-anggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Menurut telaah Fakhruddin Faiz (2005: 8-11), dalam perkembangannya, hermeneutika
memiliki tiga model, yaitu hermeneutika sebagai cara untuk memahami atau disebut
hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika
filosofis, dan hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.
Hermeunitika teoritis lebih lebih digunakan untuk menganalisa sebuah teks sehingga
memunculkan sebuah pemahaman yan komprehesnif dilihat dari faktor pra-anggapan, tradisi,
dialektika, bahasa, dan realitas. Sementara itu Hermeneutika filosofis lebih menekankan pada
pengungkapan fakta-fakta paradigmatis yang mendasari suatu pemahaman terhadap sebuah
teks. Selain itu Hermeunitka kritis berorientasi pada upaya untuk menggali lebih dalam fakta-
fakta empirik yang memengaruhi sebuah pemahaman terhadap teks yang telah ada
sebelumnya sehingga semakin memantapkan pemahaman tersebut atau bahkan akan
memunculkan pemahaman baru terkait dengan teks yang telah dipahami sebelumnya.
Seorang Filsuf Rusia Hans-Georg Gadamer (1945), menganggap bahwa pemahaman
manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistics. Dengan demikian,
dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer, kebenaran diperoleh
melalui proses dialektika. Tugas hermeneutika adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan
mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku
dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar-benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan
pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara
memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan
pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan
dialektika. Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama
lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi
lahirnya pemahaman yang baru.
Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer
meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan. Pertama, bildung  atau pembentukan
jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang
membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut
berperan. Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan,
usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses
penafsiran, bildung  sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami
ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat
menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang
mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para
filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara
hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis  untuk memahami latar
belakang yang mendasari pola sikap manusia. Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-
hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk
dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada.
Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin
pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya
sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Keempat, taste  atau
selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan
antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan
rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan
reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.

Dialektika Sidang Ahok


Jika dianalisa dengan teori hermeneutika sebagaimana yang saya terangkan sedikit
diatas, maka beberapa fakta dalam sidang pertama Ahok ini seperti Menangisnya Ahok saat
membacakan nota keberatan, penjelasan Ahok sebagai anak angkat dari keluarga Muslim dan penyebutan
Nama Gus Dur. Secara hermeneutis, fakta menangisnya Ahok menjadi fenomena baru dalam sisi
kehidupan sosiokulturas seorang Ahok. Ahok yang sudah dikenal oleh masyarakat luas sebagai
sosok yang tahan banting, pemberani, ceplas ceplos dalam berbicara, bernada tinggi dalam
berucap, penuh kepastian dalam diksi bahasanya, tiba-tiba menjadi seorang yang cengeng
dihadapan hukum, seorang yang seakan akan meratapi nasibnya saat ini melalui cerita seperti
yang ia tulis dalam nota keberatannya.
Dalam mendapatkan makna substantifnya, tentunya banyak interpretasi yang bisa
didapatkan melalui tafsir hemeneutika ini, pertama bisa jadi tangisan Ahok dalam persidangan
ini hanyalah kamuflase belaka karena sungguh berbeda dengan latar belakang sosialnya sehari-
hari yang penuh dengan keberanian, kehebatan retorika dan lain sebagainya. Kedua, dilihat
dari sudut pandang Hermeneutika kritis, maka sesungguhnya tabayyun dari tangisan Ahok
adalah sebuah ironi dari sikap keras dan tegarnya dalam realitas sosial. Ketiga, Menangisnya
Ahok adala bukti bahwa sebagai manusia ia juga punya sifat lelah dan minta dihargai akan
kelelahannya.
Selanjutnya, upaya Ahok untuk menjelaskan kepada khalayak melalui pembacaan Nota
keberatannya bahwa ia juga memiliki dan besar dikeluarga yang notabene adalah Muslim
merupaka beentuk diktum penguatan keberpihakan Ahok kepada Nilai-nilai Islam, sayangnya
secara hermeneutis, fakta ini sesungguhnya tidak bisa diterima mengingat ia sekarang adalah
terdakwa kasus penistaan Agama Islam, sehingga jika pernyataan bahwa ia juga memiliki
keluarga Muslim dan bahkan pernah diangkat anak oleh keluarga muslim seharusnya Ahok
berfikir dua kali sebelum mengutarakan sesuatu terkait dengan Agama Islam. Terkait dengan
penyebutan nama Gus Dur dalam nota keberatannya, saya sudah menduga sejak awal bahwa
Ahok akan mengkait-kaitkan tindakan pluralisnya dengan tokoh sekaliber Almarhum Gus Dur.
Akan tetapi agaknya Ahok saat ini salah langkah, mengingat persoalan yang sedang ia hadapi
bukanlah persoalah menghormati pluralisme atau menghargai kebhinekaan atau bahkan
masalah demokrasi, akan tetap lebih pada masalah individu yang menciderai perasaan dan hati
sebuah Agama besar yang ada di Indonesia.

Penutup
Menangisnya Ahok memang menjadi fenomena menarik untuk dikaji, saya mencoba
menawarkan teori Hermeneutika sebagai pendekatannya agar masyarakat menjadi mengerti
bahwa menafsirkan makna dari sebuah fakta atau teks harus lebih jeli dan sesuai denga
porsinya. Wallu A’lam

Penulis adalah:
1. Dosen Lingusitik FITK UIN Sumatera Utara, Pemerhati Bahasa Politik di Indonesia
2. NO KTP 0721041205820005
3. No HP 081370678979
4. Email la_yafna@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai