Pengertian Budaya
Menurut Koentjaraningrat, budaya adalah suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya
yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan
belajar. Sedangkan menurut E.B. Taylor budaya diartikan sebagai keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan
dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Definisi lain
mengenai budaya menurut Linton yaitu keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku
yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Budaya menurut Kluckhohn dan Kelly yaitu semua rancangan hidup yang tercipta secara
historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu,
sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia. Dapat disimpulkan menurut
pengertian-pengertian tersebut bahwa yang dimaksud dengan budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan secara
lintas generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang kompleks yaitu sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni, dan sebagainya.
Pengertian Perilaku
Perilaku berasal dari kata “peri” dan “laku”. “Peri” berarti suatu cara untuk melakukan suatu
perbuatan. Sedangkan “laku” berarti perbuatan, kelakuan, atau cara menjalankan. Perilaku
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Perilaku yang alami (innate behaviour), yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme
dilahirkan yang berupa refleks-refleks dan insting-insting; dan
Perilaku operan (operant behaviour) yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.
Pada kehidupan manusia kelompok perilaku operanlah yang mempengaruhi secara dominan.
Sebagian terbesar perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk dan diperoleh melalui proses
belajar. Perilaku tersebut dicermati dan dikendalikan oleh pusat kesadaran (kognitif).
Perilaku operan ini merupakan hasil dari 3 (tiga) kecenderungan dari dalam diri manusia yaitu:
Kecenderungan manusia untuk mengulangi pengalaman yang enak dan cenderung untuk
menghindari pengalaman yang tidak enak;
Perilaku dipengaruhi oleh motif kepentingan yang berasal dari dalam faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik/kondisi lingkungan dari luar. Perilaku terbentuk atas pengaruh pendirian, lingkungan
eksternal, keperntingan yang disadari, kepentingan responsif, ikut-ikutan atau yang tidak disadari
serta rekayasa dari luar. Setiap manusia pasti memiliki bentuk sikap dari suatu rangsangan yang
datang dari luar, untuk kemudian dari sikap tersebut terbentuklah perilaku.
Ada beberapa definisi perilaku menyimpang menurut sosiologi, menurut James Vender Zender ,
Perilaku Menyimpang adalah perilaku yang dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas
toleransi oleh sejumlah besar orang. Sedangkan menurut Bruce J. Cohen. Perilaku Menyimpang
adalah setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak
masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Pengertian menurut Robert M.Z. Lawang
Perilaku Menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku
dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu
untuk memperbaiki perilaku tersebut.
Penyimpangan sebenarnya tidak selalu berarti negatif, melainkan ada yang positif. Dengan
demikian, penyimpangan sosial dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan
positif dan penyimpangan negatif. Penyimpangan positif merupakan penyimpangan yang terarah
pada nilai-nilai sosial yang didambakan, meskipun cara yang dilakukan menyimpang dari norma
yang berlaku. Contoh seorang ibu yang menjadi tukang ojek untuk menambah penghasilan
keluarga. Sedangkan Penyimpangan negatif merupakan tindakan yang dipandang rendah,
melanggar nilai-nilai sosial, dicela dan pelakunya tidak dapat ditolerir masyarakat. Contoh
pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya.
Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Menyimpang
Penyimpangan timbul sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna.
Seorang individu tidak sanggup menyerap nilai dan norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya,
sehingga tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan yang tidak pantas. Penyimpangan
juga dapat timbul dikarenakan pengaruh dari sosialisasi kebudayaan menyimpang
yaitu kebudayaan yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan dan
tata tertib masyarakat. Penyimpangan juga dapat muncul akibat proses belajar dengan komunitas
berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman. Penyimpangan dapat juga berasal dari
proses belajar seseorang melalui media baik buku, majalah, koran, televisi dan sebagainya.
Hampir tiap hari kita disuguhi dengan pemberitaan tentang perilaku korupsi, baik yang dilakukan
oleh kalangan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif sendiri. Sepertinya korupsi telah menjadi
kebiasan hidup sehari-hari oleh mereka yang memiliki kekuasaan, bahkan mungkin korupsi telah
menjadi budaya.
Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan
bahwa korupsi adalah perbuatan setiap orang, baik pemerintahan maupun swasta, yang secara
melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsur yang menyusun perilaku pidana
korupsi ini, yaitu:
Adanya pelaku, yang bisa berasal dari kalangan pejabat/pegawai pemerintahan, pengusaha,
profesional maupun korporasi bahkan sampai kepada politisi;
Adanya perbuatan yang bertentangan dengan produk hukum, norma, maupun etika;
Korupsi terjadi dikarenakan sudah menjadi budaya sejak era orde baru yang dikenal dengan
slogan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada era reformasi mulai digalakkan
pembenahan sistem operasional disegala bidang. Dibidang keuangan pemerintah pembenahan
ditandai dengan diterbitkannya 3 (tiga) paket Undang-undang yaitu:
Pembenahan sistem tersebut ternyata masih belum cukup dalam mencegah dan memberantas
korupsi khususnya di pemerintahan. Untuk itu dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada tahun 2003, dengan maksud supaya tindakan pencegahan dan pemberantasan
korupsi menjadi lebih fokus. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002.
Meskipun perbaikan tata kerja/kelola sudah dilakukan, bahkan ditambah dengan berdirinya KPK,
ternyata belum cukup mampu untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Sebabnya
adalah karena korupsi sudah menjadi budaya, dan didukung oleh perilaku/budaya/kultur
Masyarakat Indonesia yang sangat dipengaruhi budaya sungkan serta budaya feodalisme
(berkuasa mentang-mentang).
Perilaku “Sungkan” adalah nama untuk suatu keadaan di mana seseorang merasa enggan, segan
juga malu, sekaligus ada rasa hormat. Budaya ini sangat kental pada masyarakat jawa. Sikap
sungkan biasanya kita alami jika kita berhadapan dengan orang atau pihak lain yang
kedudukannya setara atau di atas kita atau dengan teman yang sudah kita kenal kesehariannya.
Perilaku sungkan ternyata tidak selamanya bersifat positif. Sebagai contoh di dunia pekerjaan
lebih spesifik lagi mengenai korupsi, budaya sungkan sudah benar-benar mengerogoti sistem
pengawasaan dan pengendalian entitas. Perilaku sungkan menyebabkan komunikasi organisasi
menjadi buruk. Permasalahan menjadi besar karena kesungkanan dalam mengingatkan saat
terjadinya kesalahan. Di dunia kerja seringkali terjadi pembiaran perilaku menyimpang berupa
korupsi karena pejabat yang bertindak sebagai pengendali atau pengawas merasa sungkan dalam
melakukan teguran/koreksi, dimana akhirnya terjadi suatu pembiaran atas tindakan korupsi.
Budaya sungkan ini sudah benar-benar merasuk di berbagai bidang. Saat kita mengingatkan
sejawat yang melakukan korupsi yang terang-terangan ataupun terselubung, yang terjadi adalah
kita malah dikucilkan atau dimusuhi. Di pikiran mereka adalah kita menghalangi kepentingan
mereka. Kebersamaan mereka dikarenakan kesatuan motif yaitu ekonomi/uang. Di dunia hedonis
saat ini, uang lah yang memegang kendali segala-galanya.
Budaya korupsi mengancam pencapaian pelaksanaan Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang
visi Indonesia 2020 yang berbunyi “terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi,
bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan
negara”.
Secara detail dalam MPR No. VII/MPR/2001, Bab IV butir ke-9, bahwa karakteristik
penyelenggaraan negara yang baik dan bersih adalah:
Terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, transparan, akuntabel, memiliki
kredibilitas dan bebas KKN;
Terbentuknya penyelenggaraan negara yang peka dan tanggap terhadap kepentingan dan
aspirasi rakyat di seluruh wilayah Negara; dan
Berkembangnya transparansi dalam budaya dan perilaku serta aktivitas politik dan
pemerintahan.
Untuk mewujudkan ini maka dibutuhkan proses transformasi budaya, perilaku politik dan
pemerintahan yang disertai dengan pembangunan etika kehidupan berbangsa, termasuk etika
pemerintahan.
Di samping itu harus ada komitmen reformasi disegala bidang dalam upaya mewujudkan Good
Governance. Juga perlu didorong proses reformasi struktur dan mekanisme ketatanegaraan untuk
mendukung terwujudnya karakteristik dan prinsip Good Governance.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar utama bagi terbangunnya budaya anti korupsi dalam
sebuah masyarakat, yaitu:
Legal infrastructure & enforcement, ini berarti dibutuhkan adanya perangkat aturan hukum
dan perundang-undangan serta penegakannya.
Keseriusan pemerintah ditandai dengan berdirinya lembaga anti rusuah KPK, Intelejen
Keuangan PPATK, pemberdayaan Polri, Kejaksaan, Pengadilan Pajak, Bea Cukai, dll untuk
membentuk suatu “rezim” anti korupsi.
Regulatory Environment atau lingkungan, budaya dan ketaatan terhadap aturan hukum dan
perundang-undangan.
Disamping membangun budaya anti korupsi pada jajaran pemerintah, penting juga bagi
pemerintah untuk membangun budaya ini ditengah-tengah publik dengan melakukan penyuluhan
ke masyarakat tentang hal-hal yang terkait dengan korupsi. Dengan pemahaman yang
komprehensif tentang korupsi, diharapkan masyarakat akan mencegah bahkan melaporkan
praktik-praktik KKN yang ditemukannya.
Sementara itu bagi pemerintah, budaya anti korupsi bisa diwujudkan degan berperan sebagai
pihak yang menindaklanjuti secara progresif pengaduan masyarakat terkait dengan pelanggaran
terhadap kontrak sosial dan pakta integritas maupun praktik KKN lain yang ditemukan.
Pemerintah tidak pernah main-main dalam melakukan pemberantasan terhadap Tindak Pidana
Korupsi, tekad bulat pemerintah dalam melakukan reformasi penyelenggaraan negara yang bebas
KKN dibuktikan dengan adanya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.