Anda di halaman 1dari 108

SUKSESI

PERUSAHAAN KELUARGA

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /i


ii/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––
SUKSESI
PERUSAHAAN KELUARGA

DR. LUH KADEK BUDI MARTINI, SE.,MM.

Kata Pengantar
Prof. Dr. I Nengah Dasi Astawa, MSi.

Penerbit CV. Setia Bakti

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /iii


SUKSESI PERUSAHAAN KELUARGA

Dr. Luh Kadek Budi Martini, SE.,MM.

Cover Design : M. Setia

Lay Out : N. Bakti

Cetakan I
Pebruari 2018
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Penerbit. CV. Setia Bakti


Jl. Padma 30 Penatih Denpasar Timur
esbeutama@yahoo.com

ISBN : 978-602-6740-07-6

Isi di luar tanggung jawab percetakan


PT. Mabhakti

iv/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


“Generasi pertama merintis dan membangun, generasi kedua
menikmati, sedangkan generasi ketiga menghabiskan,”
istilah ini dikenal sebagai
sindrom dale stalle
(Marpa, 2010)

Perusahaan keluarga telah menjadi penggerak penting bagi


modernisasi industri, seperti perusahaan keluarga
Carnegy di Amerika Serikat, Louis Vuitton
di Eropa, Li Ka-Shing di Hong Kong
dan Sumitomo di Jepang
(Hall & Nordqvist, 2008).

Perusahaan keluarga mampu memberi sumbangan antara 45%


sampai 70% dari Produk Domestik Kotor (GDP) dan
banyak menyerap tenaga kerja di banyak negara
(Glassop & Waddell, 2005)

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /v


vi/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. I Nengah Dasi Astawa, MSi.
Guru Besar Ilmu Manajemen Undiknas Denpasar
Koordinator Kopertis Wil. VIII

Perbedaan antara perusahaan keluarga dan non keluarga


adalah di mana perusahaan keluarga merupakan perusahaan yang dimiliki,
dikontrol, dan dijalankan oleh anggota sebuah atau beberapa keluarga.
Sebaliknya, perusahaan non keluarga adalah perusahaan yang dimiliki oleh
dua oang atau lebih yang tidak memiliki hubungan keluarga, yang dikelola
secara bersama atau memanfaatkan agensi (manajemen), dan umumnya
berorientasi keuntungan baru kemudian kesinambungan perusahaan. Dari
berbagai hasil penelitian, salah satu keunggulan perusahaan keluarga adalah
biasanya berorientasi jangka panjang terhadap bisnis karena menganggap
kelangsungan bisnis terkait langsung dengan kelangsungan hidup keluarga
(Susanto, 2010).
Dari sisi budaya perusahaan, semangat keluarga menentukan nilai,
norma, dan sikap yang berlaku dalam perusahaan. Sementara nilai dari
anggota keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi
karyawan dan membantu terbentuknya identitas dan komitmen. Dalam
perusahaan keluarga yang berjalan terus, karyawan memiliki perasaan
sebagai bagian dari keluarga yang menciptakan atmosfir lebih peduli. Juga
karena relatif tidak birokratis sehingga akses kepada manajemen senior
lebih mudah, dan pengambilan keputusan pun lebih cepat dan lebih efektif.
Namun di sisi lain, budaya pada banyak perusahaan keluarga juga
memiliki sejumlah sisi negatif, yang metaforanya adalah The Moon Culture.
Maksudnya sangat tergantung kepada suasana hati (mood) pemiliknya.
Ciri-ciri The Moon Culture adalah pertama, apa yang disebut dengan
Superman Syndrome dan kepemimpinan ganda. Sang pemimpin dan
pemilik seolah menjadi superman yang dapat menjalankan berbagi peran
dan mengatasi berbagai persoalan dalam perusahaan. Juga munculnya
kepemimpinan dari pihak keluarga yang acap membingungkan karyawan.
Sisi negatif lainnya adalah tiadanya garis tegas antara persoalan perusahaan

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /vii


dan persoalan pribadi; kesetiaan lebih kepada pribadi ketimbang organisasi;
prosedur yang lebih bertumpu kepada situasi, yang pada umumnya sangat
tergantung dari penilaian pemilik, dan transparansi yang rendah.
Kelebihan buku yang berjudul “Suksesi Perusahaan Keluarga” ini
adalah mengulas berbagai teori yang berkaitan dengan perusahaan keluarga.
Penulis merangkum, mengelaborasi dan memaparkan berbagai teori, baik
yang berpengaruh terhadap kesuksesan maupun yang menjadikan kegagalan
perjalanan bisnis perusahaan keluarga. Hasil-hasil riset di berbagai negara
dibuatkan sebuah sintesa ke dalam satu model, serta diteliti pada perusahaan
keluarga di Bali. Bagi para ilmuwan yang akan melakukan penelitian yang
menjadikan perusahaan keluarga sebagai obyek riset, maka buku ini patut
menjadi pertimbangan sebagai referensi.
Selaku pribadi maupun selaku ilmuwan, saya sangat mengapresiasi
terbitnya buku ini, karena sangatlah tidak mudah merangkum berbgai teori
dan mencoba mengkaitkannya antara satu teori dengan teori lainnya.
Sedangkan selaku pimpinan Kopertis 8, tentu saya berharap banyak lagi
para dosen yang berada di Koperis 8 untuk mengikuti jejak Dr. Luh Kadek
Budi Martini, sehingga produktivitas karya tulis bagi dosen di lingkungan
Kopertis 8 semakin meningkat.
Terima kasih.

Denpasar, 11 Maret 2018

viii/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


KATA PENGANTAR EDITOR

Dunia bisnis dan dunia keluarga memang memiliki perbedaan yang


amat curam. Umumnya dalam sebuah keluarga kepentingan keluarga akan
mengalahkan kepentingan-kepentingan yang lain. Padahal, perusahaan
menuntut sikap yang profesional. Termasuk juga dalam masalah kompensasi
atau pembagian keuntungan. Perusahaan profesional akan mendasarkan
pemberian gaji pada nilai pasar dan riwayat kerja (kinerja) seseorang.
Sedangkan keluarga mendasarkan pemberian gaji pada kebutuhan. Di sini
terlihat betapa keluarga memiliki standar yang tidak jelas.
Salah satu keunggulan perusahaan keluarga adalah orientasi jangka
panjang terhadap bisnis karena menganggap kelangsungan bisnis terkait
langsung dengan kelangsungan hidup keluarga. Jika perusahaan bangkrut,
keluarga tidak bisa makan. Di samping itu, dalam banyak kasus perusahaan
dan produk sangat mempengaruhi identitas anggota keluarga. Sehingga
jika produk yang dihasilkan dipersepsikan cacat atau bermutu rendah,
seakan-akan merefleksikan diri mereka. Jadi sebuah perusahaan keluarga
kemungkinan tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan finansial jangka
pendek yang dapat menodai kedudukan perusahaan.
Masalah terpenting dalam keberlanjutan bisnis keluarga adalah
masalah suksesi. Suksesi memang bukan satu-satunya penentu
kelanggengan bisnis keluarga. Tapi, mau tidak mau generasi pendahulu
harus memberikan tongkat estafet perusahaan kepada generasi berikutnya.
Suksesi tidak hanya berarti pata tingkat pimpinan dan manajerial saja,
termasuk pada kebijakan-kebijakan perusahaan. Terdapat tujuh langkah
dalam melakukan suksesi perusahaan keluarga: mengevaluasi struktur
kepemilikan; mengembangkan gambaran struktur yang diharapkan setelah
suksesi; Mengevaluasi keinginan keluarga; mengembangkan proses
pemilihan, melatih dan memonitoring penerus masa depan; Melakukan
aktivitas team building dari keluarga; Menciptakan dewan direksi yang
efektif; Yang terakhir, memasukkan penerus pada saat yang tepat, yaitu
ketika pendiri umumnya berusia di atas 50 tahun dan penerus berusia 30
tahun.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /ix


Nah, kompleksitas hubungan dalam perusahaan keluarga
memerlukan manajemen yang terbuka, artinya manajemen yang dikelola
secara profesional. Manajemen yang baik diperlukan untuk kesuksesan
tiap bisnis. Praktek manajemen bisnis keluarga yang baik memiliki ciri-ciri
sebagai seperti: Merangsang pemikiran dan pemahaman strategi bisnis yang
baru; Merekrut dan mempertahankan manajer non keluarga yang baik;
Menciptakan organisasi yang fleksibel dan inovatif; Menciptakan dan
melindungi modal; dan Menyiapkan pengganti kepemimpinan (suksesi).
Salah satu permasalahan umum yang dihadapi ketika perusahaan
keluarga berkembang adalah menentukan gaya bisnis apa yang sebaiknya
diterapkan dalam manajemennya. Ketika perusahaan masih dalam taraf
kecil, manajemen keluarga masih dapat digunakan. Tetapi makin besar
perkembangan usahanya, gaya manajemen tentunya harus berubah karena
kemungkinan tidak lagi mampu jika hanya anggota keluarga yang mengelola.
Ciri negatif yang harus dihindari oleh perusahaan keluarga antara
lain; kurang formalitas, pemisahan urusan personal bisnis yang tidak jelas,
serta kepemimpinan ganda. Hubungan interpersonal yang emosional juga
harus dihindari. Dalam bisnis keluarga, sikap-sikap jujur, ulet dan tidak
serakah akan membawa pada perkembangan yang baik. Sifat jujur
diperlukan agar orang tetap percaya dengan setiap perkataan dan
perbuatannya. Sikap ulet dapat mendorong seseorang untuk maju dan
tidak gagal. Sikap tidak serakah mencegah seorang pengusaha tidak fokus
dalam melakukan ekspansi usahanya.
Buku ini yang merupakan hasil penelitian, mencoba mengupas secara
baik keterkaitan berbagai variabel yang mempengaruhi keberhasilan
seorang generasi penerus dalam perusahaan keluarga. Tentu banyak
manfaat yang akan diperoleh bagi pembaca, terutama para peneliti.
Meskipun demikian, masih banyak ditemukan beberpa kekurangan dalam
penulisan, dan tentu hal itu sangat manusiawi.

Denpasar, 22 Maret 2018


Editor,
Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM.

x/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


SEKAPUR SIRIH PENULIS

Puji syukur penulis sampaikan kehadapan Ida Hyang Widi Wasa atas
terbitnya buku ini bertepatan pada saat ulang tahun penulis yang ke-43
tahun (22 Maret 1975-2018). Tiada kata yang sanggup untuk dilontarkan,
karena meringkas menjadi sebuah buku dari hasil penelitian disertasi doktor,
gampang-gampang susah. Gampangnya, karena materinya sudah ada,
susahnya adalah meringkas dan membuat menjadi pas agar terangkai
seluruh alinea sehingga layak menjadi sebuah buku. Tentu dalam meringkas
ini banyak materi yang terbuang, dan yang terbuang tersebut bisa saja
adalah bagian penting bagi sebuah bahasan yang tertuang dalam buku.
Buku ini merupakan kompilasi dan ringkasan hasil dari sebuah
penelitian lapangan, di mana hal-hal substansial dicoba untuk diungkapkan,
serta keterkaitan antar variabel yang berhubungan dengan perusahaan
keluarga dipaparkan secara ilmiah. Ada 4 variabel utama yang terungkap
dalam buku ini, yakni nilai-nilai, perencanaan suksesi, karakteristik suksesor
dan kinerja suksesor. Semua variabel itu diuji keterkaitannya di dalam
penelitian yang dilakukan sekitar 6 bulan pada perusahaan keluarga yang
ada di Bali.
Semoga buku ini bermanfaat, terutama bagi para peneliti yang akan
mencari rujukan dalam penelitian yang berkaitan dengan perushaan
keluarga (family business / family corporate). Tentu penulis merasakan
banyak sekali kekurangan dalam buku ini, dan untuk itu penulis mohon
maaf atas kekurangan tersebut.
Terima Kasih

Denpasar, 22 Maret 2018


Penulis,

Luh Kadek Budi Martini

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /xi


xii/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................ vii


Kata Pengantar Editor ................................................................. ix
Sekapur Sirih ............................................................................... xi
Daftar isi ...................................................................................... xiii

Bagian 1
Fenomena Perusahaan Keluarga .................................................. 1

Bagian 2
Definisi dan Karakteristik Perusahaan Keluarga ............................ 16

Bagian 3
Teori dan Suksesi Perusahaan Keluarga ....................................... 23
- Teori Perusahan Keluaraga ........................................................ 23
- Suksesi Perusahaan Keluarga .................................................... 24

Bagian 4
Perencanaan Suksesi Perusahaan Keluarga .................................. 35
- Perencanaan Suksesi ................................................................. 35
- Indikator Perencanaan Suksesi Perusahaan Keluarga ................. 40

Bagian 5
NiLai-nilai Perusahaan Keluarga .................................................. 44
- Pengertian Nilai-nilai (Values) .................................................... 44

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /xiii


Bagian 6
Karakteristik dan Kinerja Suksesor .............................................. 48
- Karakteristik Suksesor .............................................................. 48
- Indikator Karakteristik Suksesor ............................................... 51
- Kinerja Suksesor ...................................................................... 51
- Indikator Kinerja Suksesor ........................................................ 54

Bagian 7
Keterkaitan antara Nilai-nilai, Karakteristik Suksesor,
Perencanaan Suksesi dan Kinerja Suksesor .................................. 55
- Keterkaitan Antara Nilai-nilai Terhadap Karakteristik
Suksesor ................................................................................... 55
- Keterkaitan Antara Nilai-Nilai dengan Perencanaan Suksesi ....... 58
- Keterkaitan Antara Karakteristik Suksesor dengan
Perencanaan Suksesi ................................................................ 59
- Keterkaitan Antara Nilai-Nilai dengan Kinerja Suksesor ............ 62
- Keterkaitan Antara Karakteristik Suksesor dengan
Kinerja Suksesor ....................................................................... 65
- Keterkaitan Antara Perencanaan Suksesi dengan
Kinerja Suksesor ....................................................................... 66

Bagian 8
Penutup ....................................................................................... 68
Daftar Pustaka ............................................................................. 70
Lampiran ..................................................................................... 87

Bio Data Penulis .......................................................................... 92


xiv/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––
BAGIAN 1
FENOMENA PERUSAHAAN KELUARGA

Perusahaan keluarga telah menjadi penggerak penting bagi


modernisasi industri di banyak negara, seperti perusahaan keluarga Carnegy
di Amerika Serikat, Louis Vuitton di Eropa, Li Ka-Shing di Hong Kong
dan Sumitomo di Jepang (Hall & Nordqvist, 2008). Banyak negara dunia
juga memberi perhatian pada peran perusahaan keluarga untuk mengatasi
kemiskinan dan pengangguran (Zahra & Sharma, 2004). Sejumlah
penelitian telah mencatatkan peran yang sangat sig-nifikan dari perusahaan
keluarga atas pertumbuhan ekonomi suatu negara. Perusahaan keluarga
telah memberi kontribusi yang sangat besar bagi kegiatan ekonomi. Berbeda
dengan perusahaan-perusahaan bukan keluarga yang mengalami pasang
surut pertumbuhan, perusahaan keluarga justru menunjukkan kinerja yang
stabil dan cenderung meningkat. Sebagai dampak dari itu, pe-rusahaan
keluarga mampu memberi sumbangan antara 45% sampai 70% dari Produk
Domestik Kotor (GDP) dan banyak menyerap tenaga kerja di banyak
negara (Glassop & Waddell, 2005).
Posa (2007) mengatakan bahwa 80-98% bisnis di dunia
merupakan usaha keluarga, perusahaan keluarga menciptakan 64% GDP
di Amerika Serikat dan diperkirakan memiliki andil dalam penciptaan GDP
negara lain sebesar 75%. Di Australia, perusahaan keluarga berperan
penting bagi perekonomian, dengan persentase sebesar sekitar 67% dari
keseluruhan perusahaan swasta dan mempekerjakan lebih dari 50%
angkatan kerja. Di Jerman, di mana sektor manufakturnya didominasi oleh
perusahaan multinasional besar, sebanyak 90,431 dari 107,094 perusahaan
yang ada dimiliki keluarga dan dipimpin oleh anggota keluarga (Lamsfub
& Wallau, 2012).

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /1


Perusahaan keluarga juga memiliki peran yang signifikan di negara
berkembang seperti di India (Basu, 2000). Sementara di Jepang, Allouche
et. al (2008) menyatakan bahwa ada sekitar 42.68% perusahaan yang
terdaftar di tahun 2003 merupakan perusahaan keluarga. Hal yang serupa
juga berlaku di wilayah Timur Tengah, tercatat 98 % dari kegiatan komersial
dalam Gulf Cooperation Council, di mana termasuk di dalamnya negara
Saudi Arabia, Kuwait dan hampir seluruh negara di kawasan Teluk Persia
merupakan usaha yang dijalankan oleh keluarga (Waheed, 2007).
Moores and Barrett (2002) mendefinisikan bahwa suksesi adalah
peralihan kepemilikan perusahaan keluarga kepada suk-sesor. Perusahaan
keluarga seringkali mempunyai masalah dalam suksesi ketika pendiri bisnis
atau generasi pertama telah begitu lama menge-lola perusahaan keluarganya
dan mendekati masa pensiun. Keberlanjutan perusahaan keluarga
tergantung pada suksesnya suksesi, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa
masa depan perusahaan kelu-arga tergantung pada keberhasilan suksesi.
Penelitian yang dilakukan Family Business Review tahun 2003
(Hall & Nordqvist, 2008) menunjukkan sekitar 71 persen perusahaan
keluarga di Australia dimiliki generasi pertama, sekitar 20 persen oleh
generasi kedua, dan hanya sekitar 9 persen yang dimiliki generasi ketiga.
Ward (2004) melakukan penelitian selama 25 tahun berkenaan dengan
suksesi dalam perusahaan keluarga dan diperoleh hasil analisis bahwa hanya
sekitar 5% sampai dengan 10% perusahaan keluarga sampai pada tahap
sibling ownership, yaitu tahap di mana perusahaan keluarga dikelola oleh
keturunan pertama dari pendiri perusahaan.
Dari sisi keuangan, penelitian yang dilakukan Monash University
pada tahun 1997 menunjukkan, rata-rata kekayaan generasi pertama
sebesar sekitar 690 juta dollar AS, kekayaan generasi kedua menurun
menjadi sekitar 293 dollar AS, dan kekayaan generasi ketiga tinggal sekitar
170 juta dollar AS (Triyatna, 2010). Hal tersebut merupakan wujud nyata
dari jargon yang sering mengemukan yakni “generasi pertama merintis dan
membangun, generasi kedua menikmati, sedangkan generasi ketiga

2/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


menghabiskan,” istilah ini dikenal sebagai sindrom dale stalle (Marpa,
2010).
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Family Firm Institute
untuk the Family Business Review, 2003 (Hall and Nordqvist, 2008),
diketahui bahwa hanya 30% dari keseluruhan perusahaan yang dimiliki
oleh keluarga bisa bertahan pada masa transisi antar generasi pada generasi
ke-dua, sementara itu hanya 12% mampu bertahan pada generasi ke-tiga
dan hanya 3% saja yang mampu berkembang sampai pada generasi ke-
empat dan seterusnya. Hal ini yang membuat bertumbuh suburnya idiom
dalam perusahaan keluarga bahwa: “generasi pertama yang mendirikan,
generasi ke-dua yang membangun, dan generasi ke-tiga yang merusak”.
Walaupun perencanaan suksesi sangat penting, terbukti di Amerika
Serikat, hanya 28 persen perusahaan keluarga yang mempunyai
perencanaan suksesi (Susanto et al., 2008). Kaslow (2006) juga
menemukan bukti bahwa kegiatan pendampingan kandidat suksesor oleh
pendahulu (incumbent’s mentoring) yang merupakan salah satu bagian
dari persiapan dan perencanaan suksesi, sangat efektif dalam mengenalkan
dan mengajarkan bisnis kepada suksesor. Kandidat suksesor ternyata
menunjukkan hubungan yang lebih baik dengan pendahulunya secara
signifikan dengan adanya pendampingan tersebut. Para pendahulu
memperkenalkan bisnis di usia dini (early age) dan kandidat suksesor
diajak untuk ikut bekerja secara full-time dalam bisnis keluarga sejak
usia dini.
Di sisi lain, karakteristik individu suksesor merupakan cerminan dari
kemampuan penerus (suksesor) terhadap kesiapan suksesor untuk
meneruskan perusahaan. Marpa (2010) dalam penelitiannya menemukan
karakteristik suksesor memberikan pengaruh terhadap keberhasilan
perusahaan keluarga. Hal ini mendukung teori yang dikemukakan oleh
King et al. (2001) yang lebih menekankan kualitas kepemimpinan suksesor
dalam perusahaan keluarga. Karakteristik suksesor juga ditentukan oleh
tingkat hubungan yang terjadi dalam keluarga atau sistem keluarga yang
dianut (Lee, 2003). Dalam perusahaan keluarga terdapat saling

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /3


ketergantungan antara keluarga dan perusahaan. Sebagaimana sifat
perusahaan keluarga, sistem keluarga memiliki saling ketergantungan yang
sangat dekat dan mendalam antara sistem keluarga dan sistem perusahaan
(Kepner, 2013). Perusahaan keluarga merupakan keterpaduan dua sistem
yang saling bersinggungan (Beckard & Dyer, 1983; Lansberg, 1999).
Nilai-nilai keluarga pemilik perusahaan sangatlah mempengaruhi
budaya perusahaan dari sebuah perusahaan keluarga (Soedibyo, 2007),
sehingga latar belakang sang pemilik , termasuk latar belakang etnik juga
sering memberi nilai-nilai pada budaya perusahaan yang diperantarai oleh
nilai yang diyakini oleh sang pemilik (Susanto & Sujanto, 2008). Nilai
yang ada dalam perusahaan adalah salah satu faktor kunci yang merupakan
“efek keluarga,” istilah yang digunakan oleh Dyer (1988) ketika mengacu
pada dampak keluarga terhadap kinerja. Dikatakannya nilai-nilai (values)
yang ada dalam keluarga pemilik perusahaan adalah salah satu faktor yang
berdampak terhadap kinerja pengelola. Sementara itu, Miller dan Le
Breton-Miller (2005) mengidentifikasi bahwa nilai-nilai yang berasal pendiri
atau pemilik perusahaan merupakan dorongan bagi karyawan sebagai hal
yang mutlak untuk menjadikan perusahaan keluarga berumur panjang,
dan transfer values dipentingkan agar penerusnya mengikuti apa yang
diinginkan pendiri.
Penelitian La Porta et al. (1999) memang menunjukkan bahwa
kebiasaan keluarga mempengaruhi kinerja pimpinan perusahaan tergantung
pada tingkat transparansi dan regulasi yang diterapkan termasuk
perencanaan suksesi di dalamnya. Di sisi lain, Gibson et al. (2008)
menyatakan sistem yang menembus nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang
ada di setiap organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas
sebuah organisasi.
Pentingnya perencanan suksesi untuk keberhasilan perusahaan
keluarga diteliti oleh Miller dan Isabelle (2006) dan Kaslow (2006). Miller
dan Isabelle (2006) menyatakan bahwa suksesi bisnis yang baik merupakan
indikator yang valid terhadap kinerja bisnis. Sementara Kaslow (2006)
menemukan bukti bahwa kegiatan pendampingan kandidat suksesor oleh

4/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


pendahulu (incumbent’s mentoring) yang merupakan salah satu bagian
dari persiapan dan perencanaan suksesi, sangat efektif dalam mengenalkan
dan mengajarkan bisnis kepada suksesor.
Sejumlah penelitian tentang karakteristik suksesor dalam
perusahaan keluarga dilakukan oleh Malone dan Jenster (2014), Levinson
(2001) dan Morris (2007) yang menyatakan bahwa karakteristik pribadi
seorang suksesor dapat mempengaruhinya dalam pengelolaan perusahaan.
Penelitian Marpa (2010) menemukan karakteristik suksesor memberikan
pengaruh terhadap keberhasilan perusahaan keluarga untuk tetap hidup
dan berkembang. Hal ini mendukung konsep yang dikemukakan oleh King
et al. (2001), dimana kualitas kepemimpinan suksesor ditekankan dalam
mencapai keberhasilan perusahaan keluarga.
Banyak penelitian telah dilakukan tentang keberhasilan suksesi
perusahaan keluarga, namun masih sedikit yang mengkaitkan dengan nilai-
nilai yang dianut oleh keluarga pemilik perusahaan. Nilai-nilai yang dianut
keluarga dalam organisasi bisnis yang dimiliki diakui sebagai kekuatan dalam
mengintergrasikan struktur, proses dan strategi dalam mencapai kinerja
yang maksimal.
Sulistyo (2012) menyatakan bahwa kehadiran tata nilai yang
dikemas dengan apik terbukti membuat organisasi berkarakter dan mampu
menunjukkan eksistensi, sehingga membentengi perusahaan dari berbagai
krisis. Dyer (1998) menyatakan nilai-nilai (values) adalah salah satu faktor
kunci pada dampak keluarga terhadap kinerja pengelola, demikian juga
Soedibyo (2007) menyatakan bahwa nilai-nilai keluarga pemilik perusahaan
sangatlah mempengaruhi budaya sebuah perusahaan keluarga, yang
akhirnya dapat menjadikan perusahaan tersebut hidup dan berkembang.
Perusahaan keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut
pandang jangka panjang terhadap bisnisnya dibandingkan dengan
perusahaan publik. Pada perusahaan publik seringkali banyak bertumpu
pada pertimbangan-pertimbangan jangka pendek karena terkait dengan
fluktuasi usaha. Sementara pemimpin dalam perusahaan keluarga tentu
memiliki pandangan dan tindakan yang berbeda dibandingkan karyawan,

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /5


pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya, yang tentu
juga akan memberi dampak positif terhadap kinerja perusahaan.
Nilai, norma dan sikap yang berlaku dalam perusahaan dari sisi
budaya organisasi menentukan semangat keluarga, sementara nilai anggota
keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi karyawan
dan membantu terbentuknya rasa identifikasi dan komitmen (Susanto,
2008). Dalam perusahaan keluarga yang sudah berjalan secara
berkesinambungan, umumnya karyawan memiliki perasaan sebagai bagian
dari keluarga, yang pada gilirannya akan menciptakan atmosfir lebih peduli
terhadap perusahaan. Karena relatif tidak birokratif, maka akses karyawan
kepada manajemen senior lebih mudah dan pengambilan keputusan lebih
cepat dan lebih efektif (Susanto, 2008).
Sebagai contoh, penuturan Sid Lowe dalam menggambarkan
Overseas Chinese Family Business (OCFB) di Hongkong, dilakukan
hibridisasi budaya antara modernis barat dan tradisionalis timur (Susanto,
2008). Hibridisasi nilai-nilai dari kedua budaya merupakan ciri khas sekaligus
merupakan salah satu keunggulan nilai-nilai yang ada pada budaya OCFB,
yang diserap dari nilai dan budaya masyarakat setempat. Akibatnya,
mempermudah dalam beradaptasi dan mengembangkan usaha dalam
konteks budaya dimana perusahaan berada.
Nilai-nilai ini juga nampak pada Chinese Family-owned Enterprise
(CFEs) di Singapura yang berhasil dalam menghadapi krisis ekonomi dan
kemudian bangkit menjadi motor penggerak ekonomi. Harus diakui,
beberapa karakteristik CFEs tidak semua dianggap cocok bagi manajemen
modern. Diantaranya adalah tiadanya pemisahan antara kepemilikan dan
pengawasan, adanya nepotisme, manajemen yang konservatif,
ketidakpercayaan terhadap bukan anggota keluarga, derajat otorianisme
yang tinggi, berlandaskan kehematan dan kerja keras, penerapan jalur
patrilinear, dan berdasarkan bisnis etik Cina, khususnya Xinyong (saling
percaya). Menurut Francis Fukuyama (2005), beberapa ciri keluarga ini
dapat menghambat pertumbuhan perusahaan keluarga Cina. Demikian pula
Redding (2012: 7-10) menyatakan bahwa bentuk perusahaan keluarga

6/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Cina mengandung suatu hambatan untuk tumbuh. Kenyataannya, banyak
bisnis keluarga Cina yang masih eksis, sehingga pendapatnya terkesan
pesimistik.
Perkembangan dan kesinambungan Chinese Family
Enterprises (CFEs) di Singapura terutama merupakan hasil dari
kesuksesan peralihan kepemimpinan, pengawasan, dan pengelolaan dari
generasi pertama anggota keluarga menuju kepada anggota keluarga
generasi kedua, dan dalam kasus lainnya menuju ke generasi ketiga. Anggota
generasi kedua ini, telah terlatih secara profesional dan terbuka terhadap
teori manajemen baru yang digabungkan ke dalam nilai-nilai kultural Cina,
seperti hemat dan sederhana, gigih, dan memodifikasinya ke dalam dunia
kerja yang berada di dalam konteks modern yang berubah cepat, dipandu
oleh nilai-nilai dan standar profesional dari contoh manajemen yang
ditunjukkan oleh manajer profesional bukan keluarga.
Selain itu, generasi kedua anggota keluarga tetap giat untuk
mempertahankan fungsi entrepreneurial dalam perusahaannya, juga
mampu mengubah nilai-nilai Cina tradisional yang tidak menaruh
kepercayaan terhadap bukan anggota keluarga dan mengikis
ketidakpercayaan terhadap tanggung jawab administratif. Pemberian
tanggung jawab diberikan kepada manajer profesional bukan keluarga
yang terlatih dan memiliki kapabilitas (kemampuan).
Di Indonesia, sumbangan perusahaan keluarga terhadap
pembentukan GNP adalah sebesar 80% (Casillas et al., 2007),
berdasarkan publikasi yang dikeluarkan Indonesia Institute for Corporate
Directorship (IICD), lebih dari 95 persen bisnis di Indonesia merupakan
perusahaan yang dimiliki maupun dikendalikan oleh keluarga (Handoyo,
2010). Hal itu dapat dikatakan bahwa kegiatan bisnis keluarga telah lama
memberi kontribusi cukup besar terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Bahkan di saat krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan 2008, bisnis
keluarga terus menunjukkan eksistensinya sebagai penopang sekaligus
sebagai modal kekuatan dalam pemulihan ekonomi nasional. Hal senada
juga dinyatakan oleh Jakarta Consulting Group (2008) dirumuskan bahwa

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /7


88 persen perusahaan swasta nasional berada di tangan keluarga. Untuk
eksekutif perusahaan swasta yang ada, mayoritas atau sekitar 90 persen
pengusaha Indonesia merupakan eksekutif yang menjalankan bisnis
keluarga (Kompas, 2010). Sebagai bisnis yang dimiliki dan dikendalikan
oleh keluarga, maka manajemen maupun kinerja pada perusahaan keluarga,
baik yang berskala kecil maupun besar, banyak dipengaruhi oleh visi
maupun misi keluarga.
Mengingat peran perusahaan keluarga yang signifikan dalam
perekonomian, maka peneliti berpendapat bahwa keberlanjutan dari
perusahaan keluarga tersebut sangat perlu untuk dijaga. Pola manajemen
keluarga yang diterapkan dalam bisnis keluarga harus terus berkembang
dan berubah menyesuaikan kebutuhan dan tingkat kinerja. Dalam
perjalanannya, ada perusahaan keluarga yang berkembang pesat, ada yang
biasa-biasa saja tetapi tidak sedikit juga yang gagal. Bisnis keluarga yang
sukses adalah bisnis yang berjalan dari generasi ke generasi dan berjalan
dengan kemampuan yang lebih besar, serta berdaya tahan cukup baik.
Kurang lebih 30% bisnis keluarga dikelola oleh generasi kedua keluarganya,
dan 10% dikelola oleh generasi ketiga (Lansberg, 2007).
Jakarta Consulting Group (dalam Susanto, 2008) menyatakan
terdapat 7 (tujuh) mitos perusahaan keluarga yang terkait dengan suksesi,
yaitu: (1) perusahaan keluarga tidak profesional; (2) tidak adanya pemisahan
antara keuangan perusahaan dan keuangan pribadi; (3) perusahaan keluarga
dianggap tidak dapat menerapkan sistem dan prosedur yang sehat; (4)
perusahaan keluarga hanya memberikan kesempatan kepada kerabat
keluarga saja untuk menduduki posisi kunci; (5) kinerja tidaklah penting,
tetapi yang lebih penting adalah kemampuan membina hubungan yang dekat
dengan pemilik; (6) perusahaan keluarga akan berakhir di tangan generasi
kedua, dan (7) perusahaan keluarga tidak memandang SDM sebagai aset
perusahaan yang penting. Dengan memperhatikan banyaknya perusahan
keluarga di Indonesia dan terutama pada mitos perusahaan keluarga, maka
sangat menarik untuk dilakukan studi empirik tentang hal tersebut.

8/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Hasil penelitian dari The Jakarta Consulting Group (dalam Susanto,
2007) menyatakan bahwa banyak perusahaan yang mengalami kegagalan
ketika ditangani oleh generasi penerus. Misalnya PT. Mantrust yang pernah
merajai agro bisnis di Indonesia sekarang tinggal nama seiring dengan
meninggalnya Teguh Sutantyo, sang pendiri. Hal yang sama juga terjadi
pada PT. Pardedetex setelah ditinggal Pardede.
Di Indonesia, walaupun banyak perusahaan keluarga yang gagal
pada kepemimpinan generasi kedua, banyak pula yang sukses, bahkan
menjadi besar setelah dikelola oleh generasi kedua akibat keberhasilan
dalam proses suksesi, misalnya Grup Djarum, Grup Gunung Sewu, Grup
Dexa Medica. Beberapa perusahaan keluarga telah berhasil bertahan
sampai lebih dari 100 tahun seperti Hotel Savoy Homan yang berdiri tahun
1888, Jamu Iboe berdiri tahun 1910, Sampoerna berdiri tahun 1913 dan
Jamu Nyonya Meneer berdiri sejak tahun 1919 (Pambudi, 2007).
Berdasarkan fenomena tersebut, tampak bahwa alih generasi
(suksesi) kepemimpinan dalam perusahaan keluarga merupakan faktor yang
penting di dalam keberlanjutan perusahaan. Suksesi kepemimpinan dalam
perusahaan keluarga tidak selamanya berakhir pada kegagalan dan
membawa kemunduran perusahaan, hal itu terbukti bahwa masih ada
perusahaan-perusahaan yang dapat bertahan sampai dengan beberapa
generasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti dan berpendapat
bahwa perlu kiranya bagi perusahaan keluarga untuk mempersiapkan dan
merencanakan suksesi kepemimpinan sebaik dan sedini mungkin untuk
menghindari kegagalan dalam transformasi kepemimpinan dimaksud.
Beberapa peneliti mengakui bahwa pendiri memberikan pengaruh
yang besar terhadap budaya (culture), nilai-nilai (value) dan kinerja
(performance), selama dan setelah masa jabatan dan kekhasan bisnis
keluarga dalam hal nilai-nilai (values) juga dipengaruhi oleh peran pendiri
(Sharma, 2004). Nilai-nilai keluarga pemilik sangatlah mempengaruhi
budaya perusahaan keluarga. Dengan demikian, latar belakang pemilik
sangat menentukan. Latar belakang etnik juga sering memberi warna kepada
budaya perusahaan yang diperkuat oleh nilai yang diyakini oleh sang pemilik

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /9


dalam melakukan rencana pergantian kepemimpinan dalam perusahaan
keluarga (Susanto & Sujanto, 2008).
Nilai-nilai yang ada dalam perusahaan adalah salah satu faktor
kunci yang merupakan “efek keluarga,” istilah yang digunakan oleh Dyer
(1988) ketika mengacu pada dampak keluarga terhadap kinerja pengelola.
Dyer (1988) menggarisbawahi bahwa nilai-nilai dalam keluarga
memberikan kontribusi terhadap kinerja yang tinggi, dalam hal memfasilitasi
biaya agensi yang lebih rendah karena kepercayaan yang mendalam dan
nilai-nilai bersama antara anggota keluarga, meskipun dia juga melihat
bahwa dalam beberapa kasus nilai-nilai keluarga dapat mendorong
nepotisme.
Sejumlah penelitian lain yang mengkaji perusahan keluarga
menunjukkan bahwa kinerja pada perusahaan keluarga dipengaruhi oleh
perencanaan suksesi yang baik. Seperti yang diungkapkan oleh Miller dan
Isabelle (2005), bahwa suksesi bisnis yang baik merupakan indikator yang
valid terhadap kinerja bisnis. Dalam masa per-pindahan kepemimpinan
bisnis keluarga akan terjadi dengan lancar bila suksesor (pengganti) telah
disiapkan dengan lebih baik. Hal tersebut diantaranya dilakukan dengan
mempersiapkan suksesor dengan ramah (affable) dan diikutkan dalam
proses perencanaan suksesi termasuk di dalamnya adalah proses
perpinda-han kekayaan dan hak kepemilikan serta hal-hal yang berpotensi
mendatangkan kekayaan (wealth-transfer).
Sebagian pemilik perusahaan memang telah sadar bahwa suksesi
sangat penting dalam kelangsungan hidup perusahaan sehingga perlu
direncanakan untuk menjamin kelangsungan dan keberhasilan perusahaan
di masa mendatang. Namun tidak banyak pemilik perusahaan yang berbuat
dan melakukan perencanaan suksesi pada perusahaannya. Ada penelitian
yang dilakukan terhadap 178 perusahaan ditemukan bahwa hanya 34%
yang memiliki rencana tertulis mengenai suksesi perusahaannya (Bowman-
Upton, 1988). Seidmam (dalam Marpa, 2010) melakukan penelitian
terhadap 1.873 perusahaan keluarga, menemukan bahwa 76% dari
perusahaan tidak memiliki perencanaan suksesi. Sedangkan penelitian yang

10/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


dilakukan oleh Fieldman tahun 1989 di King County, Washington
menunjukkan bahwa 57% perusahaan tidak memiliki rencana, baik untuk
suksesi kepemilikan maupun untuk alih kepemimpinan.
Semementara di Indonesia, dari hasil penelitian The Jakarta
Consulting Group (Susanto, 2008), menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan keluarga di Indonesia belum semuanya menyiapkan penerus
melalui perencanaan suksesi untuk memimpin perusahaan. Perusahaan
keluarga yang telah menyiapkan penerus melalui perencanaan suksesi
sebanyak 67,8% sedangkan yang lain (32,2%) tidak atau belum
menyiapkannya. Perencanaan suksesi sangat penting untuk
mempertahankan dan mengem-bangkan standard of excellence dari
performansi perusahaan dan kompetensi yang dimiliki, serta menjawab
kebutuhan persiapan eksekutif masa depan, maka perencanaan suksesi
merupakan ke-butuhan yang tak terelakkan.
Fenomena empiris dan teoritis yang dijelaskan sebelumnya, dialami
juga oleh perusahaan keluarga yang terdapat di Bali. Tumbuhnya
perusahaan keluarga di Bali dimulai saat semakin maraknya pendirian
perusahaan-perusahaan pada awal tahun 1980an, saat industri pariwisata
semakin menggeliat. Pendirian perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya
terbatas pada industri jasa pariwisata, namun juga industri-industri lainnya,
seperti tekstil, kerajinan kayu, perdagangan, keuangan dan jasa. Industri
tekstil dan kerajian kayu, mendapatkan dukungan yang kuat dari
Pemerintah Provinsi Bali, karena banyak menyerap tenaga kerja, investasi
yang sangat signifikan, sebagai penggerak ekonomi masyarakat, serta
sebagian besar berorientasi ekspor. Perusahaan keluarga yang muncul itu,
hingga kini masih banyak dikelola secara tradisional oleh pihak keluarga.
Pengelolaan perusahaan-perusahaan tersebut sebagian besar kini sudah
beralih kepememimpinan ke generasi kedua, bahkan ada beberapa yang
sudah ke generasi ketiga.
Penelitian suksesi persahaan keluarga yang dilakukan oleh Marpa
(2010) menemukan beberapa perusahaan keluarga di Bali berkembang
lebih cepat dibandingkan perkembangan penyiapan organisasi dan

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /11


manajemen yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan industri
pariwisata, serta sebagian besar masih dikelola secara konvensional dengan
rata-rata pemahaman mengenai manajemen modern yang masih relatif
rendah. Selain itu, perusahaan keluarga di Bali sebagian besar masih
dipimpin dan dikelola oleh generasi pertama, sehingga belum memiliki pola
dan pengalaman suksesi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk
melakukan transfer kepemimpinan.
Survei awal yang telah dilakukan pada 30 perusahaan keluarga
yang ada di Denpasar, Badung, dan Gianyar menunjukkan bahwa suksesi
sudah dilakukan ke generasi kedua. Sebagian besar responden, yakni
sebesar 26 orang atau 86,60 %, menyatakan telah merencanakan suksesi
kepemimpinan perusahaannya. Sebagian besar perencaan suksesi
dilakukan dengan pendampingan sebanyak 23 orang atau 76,66 %,
menyekolahkan 5 orang atau 16,66 % dan sisanya dilakukan dengan cara
magang sebanyak 2 orang atau 6,68 %. Dalam pengalihan kepemimpinan,
para pendahulu mewariskan nilai-nilai kepada suksesor yakni berupa
kejujuran, taat pada hukum, mengutamakan kualitas, bersikap melayani,
bertanggung jawab dan pentingnya inovasi dalam berbisnis. Suksesor
dalam menjalankan bisnisnya mengutamakan karakter berupa kreativitas
sebanyak 21 orang atau 70,00 %, integritas sebanyak 7 orang atau 23,33
% dan agresif sebanyak 2 orang atau 6,66 %. Sementara itu, untuk
mengukur kinerja usaha para responden menggunakan tolok ukur
persentase peningkatan omset, peningkatan jumlah pelanggan, adanya
inovasi produk, kontribusi pada lingkungan sekitar dan adanya efisiensi
manajemen.
Dengan memperhatikan fakta bahwa hanya sedikit perusahaan
keluarga di dunia dapat bertahan pada generasi kedua, dan belum adanya
perencanaan suksesi yang memadai pada sebagian besar perusahaan
keluarga di Bali, maka ada kekhawatiran dari sebagian besar pemilik dan
pemimpin perusahaan keluarga di Bali bahwa proses suksesi kepemimpinan
pada perusahaan-perusahaan tersebut tidak berjalan dengan baik. Dapat
dibayangkan jika perusahaan-perusahaan keluarga di Bali yang saat ini

12/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


memiliki peran cukup signifikan dalam menopang perekonomian daerah
Bali dan menyediakan banyak lapangan kerja, mengalami kegagalan dalam
melakukan suksesi kepemimpinan dikarenakan kurangnya pernecanaan
yang baik.
Dalam menjaga keberlangsungan hidup perusahaan dan menjadikan
kinerja semakin baik setelah terjadinya suksesi, maka diperlukan kajian
lebih mendalam, misalnya nilai-nilai yang ada di masyarakat yang kemudian
menjadi nilai-nilai yang dianut oleh keluarga pemilik perusahaan. Sementara
hal yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan suksesi perusahaan
keluarga, tidak dapat dipisahkan tiga faktor penting yakni faktor dari dalam
keluarga, faktor calon penerus (suksesor) dan faktor dari perusahaan
(Marpa, 2010). Faktor keluarga antara lain keharmonisan keluarga, faktor
individu dapat berupa karakteristik suksesor maupun pemilik-pengelola,
dan beberapa fraktor dari dalam perusahaan mencakup faktor organisasi,
budaya serta adanya perencanaan suksesi yang baik.
Nilai-nilai dan tradisi keluarga (family values and tradition)
memberikan pengaruh yang besar terhadap penerus saat perusahaan akan
mengambil keputusan bisnis. Seperti yang dikatakan oleh Stavrou (1998)
yang menyatakan kompleksitas dalam nilai-nilai, tradisi dan hubungan
keluarga (family relationship) berpengaruh pada penerus secara efektif
dapat mengembangkan perannya dalam perusahaan keluarga. Kekhasan
bisnis keluarga dalam hal nilai-nilai umumnya berasal dari nilai-nilai yang
dimiliki oleh pendiri. Para peneliti mengakui bahwa pendiri memberikan
pengaruh yang besar terhadap budaya (culture), nilai-nilai (value) dan
kinerja (performance), selama dan setelah masa jabatan (Sharma, 2004).
Pengukuran kinerja perusahaan selama ini menggunakan
pendekatan keuangan (financial) seperti Return on Asset (ROA), Return
on Equity (ROE), Return on Investment (ROI) dan pendekatan Balance
Score Card (BSC) untuk individu perusahaan. Sementara penelitian ini
akan mengukur kinerja suksesor dengan menggunakan pendekatan dari
Dempsey et al. (1997), yang mengelaborasi kinerja dalam integrated
performance measurement systems dengan pendekatan kualitatif, yakni

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /13


dari sisi: (1) keuangan; (2) kualitas produk dan kepuasan pelanggan; (3)
efisiensi proses; (4) inovasi produk dan proses; (5) lingkungan yang
kompetitif; (6) efisiensi manajemen; (7) manajemen sumber daya manusia;
dan (8) tanggung jawab sosial.
Beberapa fakta yang diungkap dalam beberapa penelitian tersebut
di atas, merupakan research gap penelitian perusahaan keluarga, yaitu,
Triyatna, (2010). Menemukan “generasi pertama merintis dan membangun,
generasi kedua menikmati, sedangkan generasi ketiga menghabiskan. Hall
and Nordqvist, (2008) menemukan 30% perusahaan keluarga bisa bertahan
pada masa transisi antar generasi pada generasi ke-dua, dan hanya 12%
mampu bertahan pada generasi ke-tiga. Di Amerika Serikat, hanya 28
persen perusahaan keluarga mempunyai perencanaan suksesi (Susanto et
al. 2008). Miller dan Isabelle (2006) menemukan perencanan suksesi yang
baik merupakan keberhasilan kinerja perusahaan. Di Indonesia, ditemukan
banyak perusahaan keluarga yang gagal pada kepemimpinan generasi
kedua, tetapi banyak sukses, bahkan menjadi besar setelah dikelola oleh
generasi kedua akibat keberhasilan perencanaan suksesi. Sejumlah
penelitian menemukan perusahan keluarga menunjukkan bahwa kinerja
pada perusahaan keluarga dipengaruhi oleh perencanaan suksesi dan nilai-
nilai keluarga pemilik berpengaruh terhadap budaya perusahaan.
Selanjutnya penelitian Marpa, (2010) menemukan perencanaan dan
pelaksanaan suksesi perusahaan keluarga, dipengaruhi tiga faktor penting
yakni faktor dari dalam keluarga, faktor calon penerus (karakteristik
suksesor) dan faktor dari perusahaan.
Beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukan bahwa,
suksesi kepemimpinan dalam perusahaan keluarga merupakan faktor yang
penting di dalam keberlanjutan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan
keluarga perlu merencanakan suksesi perusahaan sebaik dan sedini
mungkin. Perencanaan suksesi, nilai-nilai, dan karakteristik pengganti
(suksesor) akan berpengaruh terhadap keberlanjutan perusahaan.
Kompleksitas dalam nilai-nilai dan hubungan keluarga (family relationship)

14/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


akan berpengaruh pada apakah penerus akan secara efektif dapat
mengembangkan perannya dalam perusahaan keluarga.
Sharma (2004) menyatakan suksesi kepemimpinan dalam
perusahaan keluarga sangat ditentukan oleh adanya keinginan pendiri
(pemilik) untuk memberikan kewenangan mengelola kepada generasi
penerusnya, adanya komitmen keluarga, kepercayaan terhadap calon
penerus dan dimilikinya jiwa kepemimpinan bagi calon pengganti
(suksesor).
Bradley dan Burroughs (2010) mengatakan ada lima langkah dalam
perencanaan suksesi, yaitu: (1) menentukan tujuan jangka panjang dari
pemilik; (2) menentukan kebutuhan finansial dari pemilik perusahaan beserta
pasangannya untuk kemudian membentuk perencanaan keberlanjutan yang
menjamin kemanan finansial mereka; (3) menentukan siapa yang akan
mengelola bisnis dan mengembangkan tim manajemen; (4) menentukan
siapa yang akan memiliki bisnis yang memiliki kepentingan yang sama; dan
(5) meminimalisir pajak penghasilan dan merencanakan kepemilikan yang
tepat. Namun demikian menurut Brockhaus (2004) dan Sharma et al.
(2003) ada 5 (lima) indikator yang dapat dipakai sebagai indikator
perencanan suksesi, yaitu sikap, keinginan pendahulu (incumbent),
komitmen, kepercayaan dan kepemimpinan.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /15


BAGIAN 2
DEFINISI DAN KARAKTERISTIK
PERUSAHAAN KELUARGA

Perusahaan keluarga merupakan perusahaan yang dimiliki,


dikontrol, dan dijalankan oleh satu atau beberapa keluarga yang dikelola
oleh anggota-anggota keluarganya. Tetapi bukan berarti semua pekerja
dalam perusahaan merupakan anggota keluarga. Banyak perusahaan
keluarga, terutama perusahaan-perusahaan kecil, memperkerjakan orang
lain untuk menempati posisi rendahan, sementara posisi tinggi (top
manager) dipegang oleh orang dari dalam keluarga pemilik perusahaan.
Partisipasi keluarga dalam perusahaan dapat memperkuat perusahaan
tersebut karena biasanya anggota keluarga sangat loyal dan berdedikasi
tinggi terhadap perusahaan milik keluarganya. Meskipun demikian,
seringkali timbul masalah-masalah dalam mengatur perusahaan keluarga,
perusahaan akan cenderung mempertahankan seorang anggota keluarga
untuk bekerja meskipun kurang kompeten dalam pekerjaannya sehingga
akan membahayakan kelangsungan hidup perusahaan, selanjutnya
permasalahan yang paling utama dihadapi perusahaan keluarga adalah
ketika terjadi pergantian kepemimpinan atau suksesi kepemimpiman
perusahaan, karena hal ini menyangkut keberlanjutan dari perusahaan
keluarga tersebut
Ada juga yang menyatakan perusahaan keluarga (family business)
adalah suatu perusahaan yang pemegang saham mayoritasnya adalah sebuah
keluarga, dan posisi pengelola (manajemen) dikuasai oleh anggota keluarga
serta diharapkan keturunan keluarga tersebut mengikuti jejak mereka
nantinya sebagai pengelola (Rock, 1991). Sementara Aronoff dan Ward

16/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


(1995) menyatakan suatu perusahaan dinamakan perusahaan keluarga jika
terdiri dari dua atau lebih anggota keluarga yang mengawasi keuangan
perusahaan, sementara Donnelley (1988) menyatakan suatu organisasi
digolongkan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan
dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan
perusahaan.
Perusahaan keluarga biasanya didirikan, dipimpin dan dikelola oleh
anggota keluarga, walaupun sebagian dari perusahaan keluarga dewasa
ini telah dikelola oleh para profesional yang berasal dari luar keluarga.
Kalau ditinjau dari sisi arti kata, “keluarga” dan “bisnis” sejatinya adalah
dua hal yang berbeda, sebab masing-masing merupakan sistem yang
mempunyai elemen tersendiri. Keluarga sebagai sistem lebih bersifat
emosional, karena disatukan oleh ikatan mendalam yang mempengaruhinya
dalam berbisnis, diantaranya adalah keluarga sangat menjunjung tinggi
loyalitas dan nurturing (pemeliharaan) usahanya. Selain itu keluarga juga
cenderung konservatif, meminimalisir perubahan untuk menjaga mereka
agar intact (utuh). Dengan kata lain, orientasi keluarga lebih ke dalam
(inward looking). Sementara itu, bisnis berbasiskan pekerjaan yang
berorientasi pasar dan mengambil peluang dari setiap perubahan
sekecil apapun.
Carsrud (2004) menyatakan perusahaan keluarga adalah usaha
yang dimiliki dan mayoritas aturan yang dijalankan oleh usaha itu dibuat
oleh anggota dari kelompok yang terikat secara emosional. Sementara itu,
IFC Corporate Governance (2008) menyatakan perusahaan keluarga
adalah perusahaan dimana mayoritas suara ada pada keluarga dalam
mengatur jalannya bisnis. Mmenurut Centre for labour Reseach (2005)
sebuah bisnis yang mana kepemilikan dan manajemennya dikuasai oleh
anggota keluarga. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak definisi
perusahaan keluarga disampaikan, kebanyakan berfokus pada beberapa
faktor yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali,
manajemen dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar generasi.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /17


Banyak peneliti sependapat bahwa keterlibatan keluarga dalam
perusahaan membuat bisnis keluarga menjadi berbeda dibanding dengan
perusahaan non keluarga (Miller & Miller, 2006). Pendapat hampir senada
juga dikemukakan oleh Bernard (1995:42) yang mengatakan bahwa bisnis
keluarga dikendalikan oleh anggota keluarga tunggal, khususnya dalam
proses pengambilan keputusan bisnis yang penting.
Beberapa peneliti mengintepretasikan keterlibatan keluarga dalam
hal kepemilikan dan manajemen (Handler, 1990). Sementara itu Churchill
& Hatten (2007) lebih cenderung menambahkan faktor keberadaan
keluarga pada saat terjadinya suksesi yang berasal dari dalam anggota
keluarga. Selanjutnya Carsrud (2004) memaparkan bahwa perusahaan
keluarga adalah bisnis yang benar-benar dimiliki oleh keluarga dan
pembuatan dan pengambilan kebijakan perusahaan didominasi oleh anggota
keluarga.
Menurut Handoyo (2010), perusahaan keluarga atau family
business merupakan bisnis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh sejumlah
orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, baik suami-istri maupun
keturunannya, termasuk hubungan persaudaraan. Definisi ini diperlengkapi
lagi dengan definisi dari Dictionary of Law (2000) yang menyatakan bahwa
perusahaan keluarga adalah perusahaan yang sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh anggota keluarga yang sama.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
Burgerlijk Wetboek (BW), persaudaran dalam keluarga ada empat
golongan. Golongan pertama ialah keluarga dalam garis lurus ke bawah
(anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami/ isteri. Golongan
kedua, terdiri atas keluarga dalam garis lurus ke atas (orang tua dan saudara,
baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka). Golongan
ketiga terdiri atas kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas. Golongan
keempat terdiri dari anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam. Penggolongan semacam ini
lazimnya terkait dengan urutan keutamaan dalam pewarisan.

18/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Chua, et al. (1999) lebih jauh menjelaskan definisi perusahaan
keluarga berdasar studi empiris. Dengan menelaah lebih dari 250 makalah
dan artikel ilmiah dalam kelompok literatur perusahaan keluarga serta
melakukan beberapa kali wawancara dengan manajemen perusahaan
keluarga, mereka menyimpulkan bahwa hanya bisnis yang dimiliki oleh
keluarga secara penuh saja yang bisa disebut perusahaan keluarga.
Termasuk didalam pengertian perusahaan keluarga adalah manakala
beberapa saudara kandung dan saudara ipar ikut memiliki dan mengelola
bisnis tersebut, namun mereka tidak mengelola perusahaan lainnya diluar
perusahaan itu serta beberapa keputusan seringkali dipengaruhi oleh
pasangan (suami/istri) dan anak-anak. Oleh karenanya, definisi perusahaan
keluarga seringkali berdasar komponen yang mempengaruhinya bukan pada
hal-hal yang termasuk esensinya, termasuk visi yang dibawa oleh keluarga
atau sebagian kecil anggota keluarga. Seharusnya definisi perusahaan
keluarga dibangun berdasar tujuan dari kondisi dominan yang membentuk
dan bagaimana mencapai visi melampaui beberapa generasi.
Menurut Sutanto et al. (2007) perusahaan keluarga terbagi menjadi
dua tipe, yaitu:
1. Family Owned Enterprise (FOE), yaitu perusahaan yang dimiliki oleh
keluarga, namun dikelola oleh profesional yang berasal dari luar lingkaran
keluarga. Peran keluarga hanya sebagai pemilik dan tidak melibatkan
diri dalam operasi di lapangan.
2. Family Business Enterprise (FBE), yaitu perusahaan yang dimiliki
dan dikelola oleh keluarga pendirinya. Ciri perusahaan tipe ini adalah
posisi-posisi kunci dalam perusahaan dipegang oleh anggota keluarga.
Sementara menurut Westhead (1997), ciri-ciri perusahaan keluarga
pada umumnya adalah: (1) dimiliki oleh kelompok keluarga tunggal
yang dominan dengan jumlah kepemilikan saham lebih dari 50%; (2)
dirasakan sebagai perusahaan; dan (3) dikelola oleh orang-rang yang
berasal dari keluarga pemilik mayoritas saham. Hal tak jauh berbeda
dinyatakan oleh Tugiman (1995) yang menyatakan ciri-ciri perusahaan
keluarga dalam konteks usaha kecil adalah (1) posisi kunci dipegang

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /19


keluarga; (2) keuangan perusahaan cenderung berbaur dengan keuangan
keluarga; (3) tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban yang ketat,
(4) motivasi kerja tinggi; (5) tidak adanya kekhususan dalam manajemen.
Memang dengan cirri-ciri tersebut, perusahaan keluarga sangat lentur
terhadap perubahan lingkungan. Hal itulah yang menjadi alasan utama
sebuah perusahaan keluarga cepat beradaptasi dan menemukan bentuk
bisnis yang cocok, sehingga dengan segera dapat meraih peluang sekaligus
dapat mengatasi kendala yang ada. Keluwesan dan kecepatan
menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah itu menyebabkan
keberhasilan dan sekaligus kegagalan perusahaan keluarga. Seringkali
keluwesan itu menyebabkan tumpang tindih tugas dan peran yang justru
merupakan sumber konflik (Dyer, 2006; Kepner, 2001; Lansberg, 1999).
Pada titik ekstrim yang lain, karakteristik perusahaan keluarga,
justru membuat perusahaan keluarga memilih strategi konservatif, bermain
aman, serta bermain pada pasar yang kurang kompetitif yang
pertumbuhannya lambat (Davis & Stern, 1998). Sementara itu Donckels
dan Frohlich (2009) setelah membandingkan banyak perusahaan keluarga
di delapan negara Eropa menemukan bukti bahwa perusahaan keluarga
secara konsisten menunjukkan jaringan yang lebih terbatas, kurang
kerjasama, berkolaborasi atau melakukan sub-kontrak dengan perusahaan
lain. Berdasarkan hal itu, Perry (2000) berani menyimpulkan bahwa sebagai
konsekuensinya perusahaan keluarga tidak bisa memperoleh tingkat
keuntungan yang tinggi, cenderung tidak stabil dan tidak dinamis. Kondisi
persusahaan keluarga di Eropa itu cukup berbeda dengan kondisi
perusahaan keluarga di Asia Timur dan Tenggara, khususnya Cina, dengan
ciri-cirinya yang cenderung dinamis, pengambilan keputusan cepat dan
tidak bertele-tele karena didasari oleh kepercayaan (trust) sebagai dasar
untuk hidup selamanya, mempunyai hubungan personal yang erat dengan
seluruh karyawan dengan menabrak tingkatan manajemen.
Harianto (1997) menyatakan kondisi tersebut kondusif bagi
perkembangan perusahaan keluarga. Berdasar kepercayaan itu, selain
keputusan lebih cepat diambil, juga memupuk disiplin dan budaya amanah.

20/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Dengan menghilangkan jenjang manajemen yang ada, menempatkan setiap
karyawan pada posisi yang setara dengan karyawan yang lain apapapun
jabatannya, sehingga menimbulkan komitmen yang lebih kuat. Hal ini juga
memungkinkan pemilik memiliki “jendela yang dipercayai” dengan mana
monitor perusahaan berjalan efektif, inilah yang menyebabkan kohesi yang
diperoleh perusahaan keluarga orang-orang Cina membuatnya responsif
pada peluang baru yang cocok dengan visi personal pemilik.
Gersick et al. (1999) menyatakan bahwa terdapat tiga (3) elemen
pengaruh dalam bisnis keluarga, seperti terlihat dalam gambar 2.1.
Berdasarkan gambar 2.1, keberhasilan dalam keluarga diukur dalam artian
keharmonisan, kesatuan, dan perkembangan individu yang bahagia dengan
harga diri yang solid dan positif, sementara bisnis adalah entitas ekonomi
dimana keberhasilan diukur bukan pada harga diri dan kesenangan
interpersonal individu, tetapi dalam produktivitas dan profesionalisme.

KELUARGA BISNIS

KEPEMILIKAN

Gambar 2.1
The Three-Circle Model (Gersick et al. 1999: 287)

Dalam perusahaan keluarga, ketiga elemen tersebut bercampur


menjadi satu bahkan batas-batas diantara ketiganya kabur dan tak tampak.
Banyak fungsi menjadi tumpang tindih sehingga sering terjadi ketegangan
hubungan, tetapi banyak hal menunjukkan bahwa kesuksesan bisnis
keluarga dimulai dari kaburnya batas-batas itu. Berikut adalah matriks

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /21


aturan hubungan dalam bisnis keluarga yang tertuang dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 mempertegas aturan hubungan yang menjamin dinamika bisnis
keluarga tetap dalam posisi menguntungkan, dimana ada lima indikator
yang digunakan untuk mengelaborasi antara keluarga, bisnis dan
kepemilikan.

22/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


BAGIAN 3
TEORI DAN SUKSESI PERUSAHAAN KELUARGA

Teori Perusahaan Keluarga


Poza (2007) menyatakan bahwa hingga saat ini ada dua teori yang
digunakan sebagai dasar penelitian perusahaan keluarga, yaitu Teori Sistem
Perusahaan Keluarga (The System Theory of Family Business) dan Teori
Keagenan (Agency Theory). Teori Sistem perusahaan keluarga dipakai
untuk menjelaskan fenomena interaksi antar subsistem dalam perusahaan
keluarga, sedangkan Teori Keagenan digunakan untuk menjelaskan
perilaku agen dalam menyikapi biaya yang timbul akibat adanya informasi
yang tidak simetris. Rogoff dan Heck (2003) menyatakan bahwa penelitian
terdahulu tentang perusahaan keluarga sebagian besar menggunakan Teori
Sistem Perusahaan Keluarga.
Teori Sistem perusahaan keluarga yang dalam hal ini disebut dengan
Teori Sistem adalah pendekatan teori yang pertama kali dipakai para
peneliti dalam perusahaan keluarga (Poza, 2007). Dalam teori ini,
perusahaan digambarkan sebagai tiga unsur yang tumpang tindih, saling
berinteraksi dan interdependen antara tiga subsistem, yakni keluarga,
manajemen dan kepemilikan, sebagaimana tersaji pada Gambar 3.1 Dapat
dijelaskan bahwa, posisi 1 merupakan posisi pendahulu yang sekaligus
sebagai pengelola perusahaan. Posisi 2,3 dan 4 merupakan anggota
keluarga dan kerabat yang ikut terlibat aktif dalam pengelolaan dan
kepemilikan perusahaan. Posisi 5 dan 6 bertururt-turut adalah pendahulu
dan anggota keluarga yang tidak aktif dalam manajemen, sedangkan posisi
7 adalah manajer yang berasal dari bukan keluarga. Dalam Teori Sistem,
agar organisasi berkinerja secara optimal, maka masing-masing subsistem

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /23


harus terintegrasi sehingga terjadi penyatuan fungsi seluruh sistem seperti
yang terlihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1..
Model Teori Sistem Peursahaan Keluarga (Poza, 2007,p.9)

Sharma (2004) meyatakan bahwa sebagaimana pada kebanyakan


ilmu sosial lainnya, tujuan utama penelitian di bidang perusahaan keluarga
adalah untuk mengembangkan teori-teori perusahaan keluarga. Titik awal
untuk mencapai tujuan utama tersebut menurut peneliti ini adalah dengan
cara menguji kembali teori-teori yang sudah ada pada pidang kajian
keluarga dan organisasi.

Suksesi Perusahaan Keluarga


Suksesi merupakan perihal yang penting dalam kesinambungan
perusahaan (corporate sustainable), terutama setelah pengelolaan
perusahaan dialihkan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya.
Ketidakberhasilan dalam pergantian pengelolaan akan berpengaruh pada
perkembangan dan kinerja, oleh karenanya suksesi pengelolaan merupakan
hal penting untuk direncanakan secara matang. Fleming (2000) membagi

24/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


suksesi menjadi dua tipe yakni suksesi secara evolusi (evolutionary
succession) dan suksesi secara revolusi (revolutionary succession) di
mana evolutionary succession merupakan suksesi yang didorong dan
dikendalikan secara intenal. Perusahaan telah mampu mengantisipasi dan
meminimalkan masalah-masalah suksesi yang mungkin timbul selain itu juga
dapat memaksimalkan potensi keuntungan. Secara umum suksesi tipe ini
didorong oleh keinginan pemilik untuk melakukannya.
Sementara suksesi yang dilakukan secara revolusi biasanya
dilakukan atas desakan eksternal, seperti pimpinan lama mendadak tidak
mampu atau tidak lagi bisa memimpin atau atas desakan-desakan lainnya.
Suksesi jenis ini biasanya tidak direncanakan dengan baik, hanya
melibatkan sebagian kecil pihak-pihak dalam perusahaan, tidak memiliki
sistem pembinaan dan pengembangan suksesor yang baik dalam arti kata
suksesor berkembang sendiri tanpa arahan yang jelas, seleksi dilakukan
tanpa adanya ukuran-ukuran yang memadai sehingga setiap suksesor
merasa berhak untuk menggantikan pimpinan lama. Suksesi tipe ini dapat
dipastikan akan menimbulkan kerusakan dalam organisasi pada sekala
yang berbeda-beda
Seperti yang diungkapkan oleh Sharma (2004) suksesi
kepemimpinan perusahaan memegang peranan yang penting dalam
keberlanjutan perusahaan keluarga. Sementara suksesi perusahaan keluarga
dapat didefinisikan sebagai penyerahan pengelolaan dari pemilik-pendiri
atau pemilik-pengelola (incumbent) kepada seorang suksesor, baik
merupakan anggota keluarga maupun bukan anggota keluarga yaitu seorang
pengelola profesional (Beckhard & Dyer, 1988).
Handler (1990) dalam artikelnya mendeskripsikan suksesi sebagai
suatu transisi yang terdiri dari empat tahap yang terjadi pada karir suksesor.
Proses ini dideskripsikan sebagai suatu penyesuaian peran informal yang
lambat, berkaitan dengan suatu evolusi tanggung jawab dan otoritas
pembuatan keputusan untuk suksesor (from helper, to manager, to
leader), yang berhubungan dengan turunnya otoritas incumbent. Transisi
dalam perusahaan keluarga sebenarnya menyangkut pengalihan

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /25


kepemilikan, pengalihan manajemen dan pengalihan aturan-aturan
(governance). Oleh karenanya penting untuk mengetahui bagaimana
perusahaan keluarga mengatur pengalihan-pengalihan ini (Lambrecht,
2005).
Dalam perencanaan jangka panjang perusahaan keluarga, ada model
yang dikenal dengan nama continuity planning triangle, tampak pada
Gambar 3.2. Berdasarkan Gambar 3.2, perencanaan suksesi
kepemimpinan (leadership and ownership succession planning) memiliki
keterkaitan dengan perencanaan kepemilikan saham perusahaan,
perencanaan keuangan dan kekayaan keluarga dan perencanaan strategis
perusahaan (business strategy planning). Perencanaan kepemilikan
saham perusahaan dapat berupa rencana untuk menjual saham kepada
masyarakat (going public), rencana untuk mencari mitra strategis dan
rencana pendistribusian saham kepada anggota keluarga. Sementara itu
perencanaan keluarga (family plan) dapat berupa rencana keuangan dan
kekayaan keluarga serta rencana-rencana individu termasuk di dalamnya
rencana dari individu suksesor. Sedangkan suksesi itu sendiri terdiri dari
perencanaan suksesi (succession plan) dan proses suksesi (succesion
process).

Gambar 3.2.
Continuity Planning Triangle (Ward, 2004)

26/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Keberhasilan dalam menggabungkan unsur-unsur kepemilikan,
perusahaan dan keluarga, dalam perusahaan keluarga ditujukan untuk
meningkatkan kinerja (performance), daya saing yang berkesinambungan
(sustainable competitive advantage/SCA) serta kepuasan dari para
pihak (stakeholder satisfaction) yang selaras dengan rencana keluarga
yang berkesinambungan (family continuity planning).
Banyak perusahaan keluarga yang tidak siap dengan pergantian
kepemimpinan, sehingga perusahaan tersebut harus terhenti di generasi
pertama saja, seperti dalam kasus Surabaya Post, harian terkemuka yang
terbit di Surabaya dengan cakupan wilayah edar seluruh Jawa Timur.
Meskipun putra-putri pendiri (R. Abdul Azis dan istrinya) bersekolah tinggi
di Amerika Serikat dengan gelar doktor ekonomi, tetapi tidak bisa
menyelamatkan perusahaan, sehingga harus dipailitkan oleh Pengadilan
Niaga di tahun 2002. Berbeda dengan Surabaya Post, Thayeb Mohammad
Gobel, pendiri PT Gobel Dharma Nusantara (dahulu PT. National Gobel),
menyiapkan Rachmat Gobel, anak kelima dan anak lelaki tertua. Gobel
tua telah menyiapkan Rachmat sejak usia 8 tahun dengan sesering mungkin
dilibatkan dalam suasana kantor dan pabrik di kawasan Cawang, Jakarta.
Selain itu Rachmat juga disekolahkan bisnis di Jepang (Chuo University),
selain menjalani kerja magang di perusahaan keluarganya sendiri. Selepas
dari kuliahnya di Jepang, Rachmat harus menjalani masa 6 tahun dengan
bekerja mulai dari bawah sampai akhirnya memegang tampuk Direktur
pada tahun 1990. Keputusan menyekolahkan Rachmat ke Jepang adalah
visi cemerlang Gobel tua.
Kasali (2008) menguatkan keberhasilan peralihan kepemimpinan
perusahaan keluarga Gobel tersebut di PT Mustika Ratu Tbk dari BRA
Mooryati Soedibyo kepada anaknya Putri Koeswisnu Wardani yang juga
didahului dengan mekanisme pemagangan yang sungguh-sungguh. Proses
pemagangan itu dijalaninya selama 5 tahun, dengan melibatkan pada
pekerjaan yang berbeda-beda. Mulai dari bekerja di bagian pemasaran,
kemudian pindah ke bagian keuangan, dengan perlakuan yang sama dengan
karyawan biasa yang lain. Untuk menghindari terjadi tumpang tindih peran,

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /27


dan adanya kemungkinan “gangguan” dari anggota keluarga yang lain, maka
sang Ibu memberikan tugas yang berbeda kepada anak-anak yang tidak
kebagian tongkat suksesi.
Bagi pendiri perusahaan keluarga, keberhasilan dalam suksesi
adalah salah satu ujian akhir dalam mengukur keberhasilan bisnis yang
dijalankannya. Adalah sulit untuk memahami, mengapa suksesi seringkali
merupakan isu yang peka, khususnya bagi perusahaan keluarga pada
generasi pertama. Orang yang mendirikan dan membesarkan, merasa sedih
untuk mati, dan kegagalan membuat rencana suksesi merupakan hal yang
egois dan kurang cerdas (Tracey, 2001). Adalah hal yang tak bisa diabaikan
apabila karena penanganan suksesi yang buruk, akhirnya memberi peluang
bagi pesaing untuk mendapat keuntungan yang signifikan.
Carsrud (2004) menyarankan beberapa hal untuk rencana suksesi
perusahaan keluarga yang berhasil di antaranya adalah: (1) penyusunan
harapan tentang masing-masing tugas dan peran secara jernih; (2)
pemberian gaji berbasis kinerja aktual, bukan berdasar kebutuhan personal;
(3) pengaturan waktu untuk supervisi, pemantauan, dan saran bagi mentor
yang bukan keluarga; (4) menyediakan tanggung jawab yang sesungguhnya
atas kinerja yang sesungguhnya; (4) pemutaran penugasan untuk periode
yang berarti; dan (5) menyediakan prosedur tertulis bagi anggota keluarga
yang ingin meninggalkan perusahaan keluarga.
Menyangkut suksesi dalam perusahaan keluarga, Neuberger dan
Lank (1998) menyimpulkan bahwa suksesi CEO (chief executive officer)
atau pimpinan puncak, sejauh ini merupakan isu yang paling sering
dibicarakan dan faktor kritis yang menentukan apakah suatu perusahaan
keluarga dapat bertahan. Sementara itu, Moores dan Barrett (2002)
menyatakan bahwa kesinambungan dari bisnis keluarga adalah sangat
tergantung dari keberhasilan dalam suksesi, maka tidak bisa dipungkiri
bahwa masa depan perusahaan keluarga tergantung pada keberhasilan
suksesi. Perusahaan keluarga seringkali menghadapi masalah dalam
pengelolaan suksesi ketika pendiri bisnis atau generasi pengelola saat ini
telah begitu lama mengelola perusahaan keluarganya dan mendekati masa

28/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


pensiun. Jika generasi sesudahnya mengambil alih manajemen, ada
kemungkinan terdapat kesenjangan antara kepemilikan dengan kemampuan
mengendalikan bisnis yang memerlukan ketrampilan dan kerja keras dalam
memelihara dan mempertanggungjawabkan perusahaan keluarganya. Di
sisi lain, generasi tua sulit untuk menerima kenyataan bahwa ketuaannya
dan dominansi patriarkal sudah tidak bisa diterima atau tidak sesuai lagi.
Mengacu pada permasalahan kepemilikan dan pengendalian,
Connolly et al. (1996:177) merekomendasikan sebanyak 30% dari
kepemilikan yang dipindahkan kepada generasi yang lebih muda bertujuan
agar generasi yang lebih muda bersemangat dalam mengelola dan
memajukan perusahaan keluarga namun bagi generasi yang lebih tua merasa
aman dan tanpa rasa khawatir atas kelajutan bisnisnya di perusahaan
keluarga. Menurut Saerang (2012) ada empat prinsip keberhasilan bisnis
keluarga, yakni (1) komitmen bersama untuk masa depan keluarga dan
bisnis, (2) pertemuan bersama untuk memecahkan konflik dan menjaga
komunikasi, (3) family agreement untuk mendukung fair process dalam
menjalankan bisnis, dan (4) perencanaan yang berkelanjutan.
Craig (2003) dalam penelitiannnya menemukan beberapa hal, yaitu:
(1) Generasi pendiri mempunyai derajat individualitas dan kepercayaan
(self-belief) yang lebih tinggi dibanding generasi kedua atau ketiga dari
perusahaan keluarga; dan (2) Generasi pendiri berbeda secara signifikan
dengan generasi ketiga (tapi tidak dengan generasi kedua) pada masalah-
masalah pelaksanaan (direction) dan perencanaan (planning).
Ketika proses suksesi sedang berjalan, hal terpenting untuk diingat
adalah seharusnya terdapat uji coba terlebih dahulu untuk mengukur
ketepatan suksesor (pengganti) dalam hal peraturan terdahulu dengan
kebiasaan yang berjalan. Terdapat beberapa uji, menurut Lansberg (2007)
seperti uji kualifikasi (qualifying test), uji ketabahan (self-imposed test),
uji loyalitas (circumference test), dan uji politis (political test).
Secara umum, menurut Lembaga Pengembangan Sumber Daya
Manusis Institut Teknologi Bandung (2004), beberapa hal yang menjadi
faktor penentu kesuksesan suatu bisnis diantaranya adalah: (1) adanya

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /29


strategi yang jelas (strategic intent); (2) diterapkan good corporate
govenance; (3) kecukupan pendanaan (funding); (4) adanya rencana
bisnis (business plan); (5) adanya kerjasama yang baik antar staf dalam
bisnis tersebut (management team); (6) pelaksanaan (good execution)
program yang baik dan (7) waktu yang tepat (timing). Diantara ketujuh
faktor tersebut, faktor yang paling utama dan perlu menjadi perhatian adalah
adanya strategic intent. Suatu perusahaan dikatakan mampu
memperlihatkan strategic intent, jika manajemennya tetap konsisten
dengan tujuan tertentu dalam jangka panjang sesuai dengan visi dan misinya
serta mengkonsentrasikan seluruh tindakannya dalam mencapai tujuan
tersebut. Tidak adanya strategic intent akan mendorong manajemen hanya
sekadar berpikir dan bertindak dalam jangka pendek dan mengabaikan
kepentingan jangka panjang. Padahal, bisnis yang kokoh sudah pasti
memerlukan waktu yang cukup lama. Sangat jarang namun tidak mustahil
bahwa suatu bisnis dapat sukses seketika. Semuanya akan memerlukan
waktu dan proses dan tentu saja pengorbanan.
Perusahaan yang berkesinambungan sangat ditentukan oleh
bagaimana perusahaan tersebut mengelola dan mengimplementasikan
konsep-konsep bisnisnya. Namun demikian, beberapa identifikasi
menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menjadi
penyebab berkesinambungannya sebuah perusahaan (De Geus, 1997),
yaitu :
1. Memiliki sensitivitas terhadap lingkungan. Perusahaan yang
berkesinambungan adalah perusahaan yang memiliki sensitivitas
terhadap lingkungan. Meskipun perusahaan yang bersangkutan
melakukan pengkajian dan pengembangan teknologi, atau memiliki
sumberdaya alam yang banyak mereka akan tetap menjaga
harmonisasi dan kestabilan lingkungan. walau perang, depresi dan
bahkan dinamika politik, perusahaan akan tetap unggul, apabila tetap
menjaga keseimbangan lingkungan bisnisnya. Artinya bahwa,
lingkungan internal dan eksternal perusahaan tersebut telah dapat
dikendalikan dengan sebaik mungkin, dan hal ini membuktikan

30/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


eksistensi yang kuat dari perusahaan yang bersangkutan. Terlepas
dari apakah keuntungan perusahaan dibangun di atas pengetahuan
atau sumberdaya alam tadi, mereka hidup dan adaptif terhadap
lingkukngan sekitarnya.
2. Menjaga nama besar serta memiliki kohesivitas/keterikatan yang kuat
terhadap identitasnya. Perusahaan yang berkesinamabungan adalah
perusahaan menjaga nama besar serta memiliki kohesivitas/keterikatan
yang kuat terhadap identitasnya. Tidak peduli berapa luasnya
diversifikasi usaha yang dijalankan perusahaan, manajemen, karyawan
bahkan mitra bisnisnya merasakan berada dalam satu entitas. Tiap
generasi (pengelola perusahaan) merasa dihubungkan oleh rantai
kesehatan perusahaan. Keanekaragaman yang terdapat dalam
lingkungan internal dan eksternal perusahaan telah dapat dikelola
dengan baik. Hal ini akan turut membentuk suatu kesatuan yang akan
mendorong kekuatan perusahaan dalam persaingannya.
3. Memiliki toleransi dan menghindari suatu kontrol yang terpusat.
Perusahaan yang berkesinambungan memiliki toleransi dan
menghindari suatu kontrol yang terpusat, ditangan satu orang entah
itu eksekutif maupun owner, melainkan selalu berusaha
mengembangkan desentralisasi dan pembagian wewenang sesuai
konsep bisnis yang dikembangkannya. Dalam hal ini terjadi, dengan
alasan bahwa suatu toleransi dan kontrol yang terpusat cenderung
mendorong perusahaan menjadi otoriter dan akan banyak muncul
kontradiktif akibat instruksinya yang mutlak. Selain itu, desentralisasi
yang dilakukan bertujuan untuk memberikan kebebasan dalam
pengembangan variasi dan inovasi dalam perusahaan yang
bersangkutan.
4. Memiliki sikap konservatif terhadap aspek keuangan. Perusahaan yang
berkesinambungan adalah perusahaan yang memiliki sikap konservatif
terhadap aspek keuangan. Perusahaan model ini memiliki pertimbangan
bahwa jika mereka memiliki uang di kas, mereka akan dapat
beraktivitas secara fleksibel dan akan lebih banyak mengajukan pilihan

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /31


dalam berbisnis dibandingkan pesaingnya. Artinya mereka tidak
menngatur resiko keuangan jika tidak perlu sama sekali.
Perusahaan yang sanggup untuk tetap eksis dan sustainable
sebagai sebuah living company adalah perusahaan yang memiliki
pemimpin yang visioner. Perusahaan model ini tidak terlalu mengagungkan
maksimalisasi kekayaan pemegang saham, meskipun diakui bahwa
profitabilitas adalah suatu keharusan sebagai sarana perusahaan untuk tetap
eksis. Namun profit/laba bukan segalanya, begitu pun dengan konsep
bisnisnya bukan hanya sekedar kegiatan ekonomi, namun cenderung
mengutamakan kepentingan stakeholder, termasuk karyawan.
Untuk bisnis keluarga, salah satu kelemahannya adalah sering
adanya perbedaan kepentingan bisnis dan keluarga yang sarat akan konflik.
Konflik tersebut menjadi pemicu keretakan bisnis keluarga yang berimbas
pada keberlangsungan bisnis. International Finance Corporation (IFC)
Corporate Governance (dalam Susanto, 2007) menyatakan hanya 5–
15% bisnis keluarga yang sukses melanjutkan bisnisnya hingga generasi
ketiga. Meskipun banyak hal lain yang dapat memicu terganggunya bisnis
hingga harus ditutup, seperti manajemen yang buruk dan keterbatasan
modal, harmonisasi keluarga tetap menjadi hal yang sangat dipertaruhkan
jika terjun ke ranah bisnis keluarga. Sementara kelemahan yang sering
dimiliki oleh perusahaan keluarga di Indonesia salah satunya adalah
kelemahan pola pengembangan, pengelolaan, dan persiapan suksesi untuk
jangka panjang.
Di Amerika Serikat bahkan beberapa perusahaan yang merupakan
bisnis keluarga berkembang pesat selama ratusan tahun dan membesar
bersamaan dengan alih generasi yang dikarenakan keberhasilan dalam
suksesi, seperti Bloomberg & Co berdiri tahun 1836, Levi Straus berdiri
tahun 1853, The Lyman Farm berdiri tahun 1771, Miller Farm berdiri
tahun 1684 dan masih banyak lagi perusahaan-perusahaan keluarga yang
telah berdiri ratusan tahun yang sampai sekarang masih bertahan (O’hara
& Mendel, 2002).

32/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Menurut Bradley dan Burroughs (2010), ada lima langkah dalam
perencanaan suksesi, yaitu: (1) Menentukan tujuan jangka panjang dari
pemilik; (2) Menentukan kebutuhan finansial dari pemilik perusahaan beserta
pasangannya untuk kemudian membentuk perencanaan keberlanjutan yang
menjamin kemanan finansial mereka; (3) Menentukan siapa yang akan
mengelola bisnis dan mengembangkan tim manajemen; (4) Menentukan
siapa yang akan memiliki bisnis yang memiliki kepentingan yang sama; dan
(5) Meminimalisir pajak pengalihan dan merencanakan kepemilikan yang
tepat.
Menurut Brockhaus (2004), hal terpenting yang berpengaruh
terhadap rencana suksesi adalah sikap keluarga yang tentunya juga
merupakan nilai-nilai pada sebuah keluarga. Sikap keluarga yang tidak
mendukung calon penerus akan berpengaruh buruk terhadap kelanjutan
bisnis keluarga. Oleh karena itu, penerus yang potensial harus mendapat
dukungan, kepercayaan dan sikap positif dari keluarga.
Sementara menurut Moris et al. (1996), faktor-faktor yang
mempengaruhi suksesi bisnis keluarga dikelompokkan menjadi tiga.
Kategori pertama yang sangat mempengaruhi suksesi bisnis keluarga adalah
kegiatan perencanaan dan pengendalian. Kategori kedua yaitu hubungan
personal antara keluarga, dan antara karyawan dalam dan luar keluarga di
perusahaan, terutama kepercayaan dan komunikasi antara anggota
keluarga. Kategori terakhir yang berpengaruh terhadap suksesi bisnis
keluarga yaitu persiapan penerus atau suksesor, yang akan menjadi
pengganti kepemimpinan dalam perusahaan keluarga.
Marpa (2011) mengemukakan ada lima hal penting yang
menyangkut masalah internal keluarga yang sangat mempengaruhi
keberhasilan dari suksesi kepemimpinan bisnis keluarga. Apabila salah satu
dari kelima masalah ini ada dalam mekanisme dan pelaksanaan suksesi
maka sangat memungkinkan suksesi tersebut akan gagal. Kelima hal
tersebut adalah kompetensi individu dari suksesor, ketidakharmonisan
hubungan antara para pihak, masalah-masalah keuangan, masalah-masalah
kontekstual dan proses suksesi. Efektivitas sebuah suksesi dalam

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /33


perusahaan antara lain merencanakannya sejak jauh-jauh hari dengan
banyak melibatkan anggota keluarga. Dalam kaitan itu, diberikan pilihan
bagi generasi penerusnya untuk bergabung atau tidak dalam perusahaan
(Susanto et al., 2007).
Selain itu, The Jakarta Consulting Group memiliki beberapa
kriteria pemimpin dalam perusahaan keluarga yang disingkat ACE MAN
(Susanto et al., 2007):
1. Acceptable, artinya seorang pemimpin dalam tipe ini harus bisa
mengakomodasi atau menerima pendapat orang lain dan dapat
mengambil sebuah keputusan dari hasil tersebut.
2. Charismatic, artinya pemimpin dalam tipe ini harus bissa dalam segala
hal (mempunyai visi ke depan, menarik, dan menyangkan) sehingga
dapat menghadapi tipe-tipe pemimpin lainnya.
3. Energetic, artinya pemimpin dalam tipe ini harus pandai memanfaatkan
peluang, memiliki gagasan, dan dapat membuat keputusan.
4. Managing, artinya pemimpin dalam tipe ini mampu mengelola dan
menerima tanggung jawab atas pekerjaan yang diserahkan.

34/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


BAGIAN 4
PERENCANAAN SUKSESI PERUSAHAAN KELUARGA

Perencanaan Suksesi
Suksesi merupakan hal yang sangat krusial dalam mempertahankan
kelanggengan atau kesinambungan perusahaan keluarga. Suksesi sering
diartikan sebagai peralihan pimpinan puncak saja, karena kepemimpinannya
akan menjangkau berbagai lapisan manajerial. Pola suksesi manajemen
puncak di antaranya adalah: Planned Succesion yaitu perencanaan suksesi
yang terfokus pada calon yang telah dipersiapkan untuk menduduki posisi
kunci. Sementara itu, Informal Planned Succession, merupakan
perencanaan suksesi yang lebih mengarah pada pemberian pengalaman
dengan cara memberikan posisi di bawah “orang nomor satu” dan secara
langsung menerima perintah dan petunjuk dari orang tersebut, dan
Unplanned Succesion, yaitu peralihan pimpinan puncak kepada
penerusnya berdasarkan keputusan pemilik dengan mengutamakan
pertimbangan-pertimbangan pribadi.
Hollinger (2013) menyatakan hal penting perencannan suksesi
adalah keberlanjutan dari pengembangan kepemimpinan. Saan (2013)
menyampaikan model tentang kerangka konsepsual perencanaan suksesi
dan kesinambungan perusahaan keluarga (conceptual framework of
succession planning and FOB continuity) yang mengkaitkan antara
pendiri (pemilik) dengan suksesor dan lingkungan, yang mempengaruhi
proses suksesi dan keberhasilan suksesi perusahaan keluarga. Model Saan
(2013) dapat dilihat Gambar 4.1:

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /35


Gambar 4.1.
Conceptual Framework of Succession Planning and FOB
Continuity (Saan, 2013)

Gambar 4.1 menyajikan kerangka konsepsual berbagai hubungan


untuk mencapai keberhasilan suksesi yang mengarah ke kesinambungan
perusahaan. Kesediaan pendiri / pemilik untuk mundur dan memberikan
pilihan untuk pengganti, baik di dalam atau di luar keluarga merupakan
indikasi perlunya suksesi. Kepentingan pribadi suksesor dan kompetensi
serta pengalaman akan dapat memfasilitasi kesediaannya untuk mengambil
alih suksesi sesegera mungkin. Lingkungan yang terdiri dari internal dan
eksternal, bersama-sama dengan pendiri dan penerus melalui proses suksesi
akan menghasilkan suksesi sukses yang mengarah ke kontinuitas.
Susanto et al. (2007) menyatakan perencanaan suksesi adalah
penting karena adanya berbagai proses kebijakan perusahaan yang terlibat,
termasuk di dalamnya proses pengembangan perusahaan, kebijakan
perencanaan karir, sistem promosi dan mutasi. Suksesi tidak hanya berarti
“alih Generasi” di pimpinan puncak, tidak hanya berdasar kriteria usia
atau dari pemimpin ke keturunan atau profesional saja. Pandangan mengenai

36/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


perencanaan dan pelaksanaan suksesi dengan tujuan yang lebih luas juga
dapat diartikan suksesi tidak selalu berbicara mengenai tujuan bisnis saja,
namun lebih luas dari itu yaitu keharmonisan keluarga yang menjadi alasan
utama mengapa bisnis keluarga dibangun.
Penerapan succession planning dapat berjalan dengan baik bila
proses pemilihan suksesor dan persiapan suksesornya juga berjalan dengan
lancar. Proses pemilihan suksesor berbicara mengenai nilai komunikasi
dalam proses pemilihan tersebut dan nilai objektivitas dalam proses
pemilihan suksesor. Sedangkan proses persiapan suksesor berbicara
mengenai Successor Development Programme (program yang berisi
tahap-tahap pengembangan suksesor) dan allowance from previous
Family Business Leadership (FBL) atau restu yang diberikan oleh FBL
sebelumnya (Fishman, 2009).
Miller dan Isabelle (2005) menyatakan bahwa perencanaan suksesi
bisnis yang baik merupakan indikator yang valid sebuah kinerja bisnis.
Dalam masa peralihan kepemimpinan dalam bisnis keluarga akan lancar
bila suksesor (pengganti) telah disiapkan dengan lebih baik. Persiapan
tersebut diantaranya dengan mempersiapkan suksesor dengan ramah
(affable) dan diikutkan dalam proses perencanaan suksesi termasuk di
dalamnya adalah proses perpinda-han kekayaan dan hak kepemilikan serta
hal-hal yang berpotensi mendatangkan kekayaan (wealth-transfer).
Suksesi dan karakteristik dari penerus juga ditentukan oleh tingkat
hubungan yang terjadi dalam keluarga atau sistem dan tata nilai keluarga
yang dianut (Lee, 2003). Dalam perusahaan keluarga terdapat saling
ketergantungan antara keluarga dan perusahaan. Sebagaimana sifat
perusahaan keluarga, sistem keluarga (family system) memiliki saling
ketergantungan yang sangat dekat dan mendalam antara sistem keluarga
dan sistem perusahaan (Kepner, 2013). Perusahaan keluarga merupakan
keterpaduan dua sistem yang saling bersinggungan (Beckard & Dyer, 1983;
Lansberg, 1988). Di antara dua sistem tersebut terdapat perbedaan
kepentingan, perbedaan norma-norma, nilai-nilai serta perbedaan struktur.
Tekanan di antara perbedaan dua sistem tersebut akan berpengaruh pada

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /37


perilaku individu baik di dalam kerja maupun di luar lingkungan kerja
(Zedeck, 1992). Chitor & Dass (2007) menggambarkan hubungan lima
faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari suksesi perusahaan keluarga
seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2
Management Succession: An Integrative Framework
(Chittoor & Das, 2007)

38/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Berdasarkan Gambar 4.2, faktor-faktor yang mempengaruhi
proses suksesi dapat dibagi dalam lima kategori:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pendahulu (incumbent or
predesor related factors), yang meliputi kepribadian pendahulu,
motivasi, hubungan antara pendahulu dan suksesor (Handler, 1994;
Lansberg, 1988).
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan suksesor (successor related
factors), meliputi kapabilitas, motivasi, pengalaman di luar perusahaan,
pengalaman di dalam perusahaan, serta tingkat pendidikan (Chrisman,
Sharma & Chua, 1998; Goldberg, 1996; Morris, et al., 1997;
Sharma, Chrisman, Pablo, & Chua, 2003).
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keluarga (family-specific
related factors), meliputi dinamika keluarga dan kualitas komunikasi
dalam keluarga, kepercayaan antara kelompok-kelompok individu
keluarga yang terlibat dalam perusahaan, sumber-sumber penolakan
yang mungkin akan berdampak pada proses suksesi (Davis &
Harveston, 1998; Dyer, 1988; Handler, 1990).
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perusahaan (business-
specific related factors), meliputi komposisi dari dewan direktur,
pengalaman suksesi sebelumnya, budaya organisasi, hubungan antara
siklus bisnis dan siklus keluarga (Astrachan & Shanker, 2003; Dunn,
1999).
5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan proses suksesi (succession
process factors). Suksesi merupakan satu proses bukan satu kejadian,
faktor-faktor yang perlu diperhatikan antara lain: prosedur pemilihan
suksesor, pembinaan, pengembangan dan pelatihan dari suksesor,
struktur tata kelola dan mekanisme perusahaan (Morris et al, 1997;
Elstrodt, 2003)
Sharma (2004) menyatakan suksesi kepemimpinan dalam
perusahaan keluarga sangat ditentukan oleh adanya keinginan pendiri
(pemilik) untuk memberikan kewenangan mengelola kepada generasi
penerusnya, adanya komitmen keluarga, kepercayaan terhadap calon

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /39


penerus dan dimilikinya jiwa kepemimpinan bagi calon pengganti
(suksesor).
Bradley dan Burroughs (2010) mengatakan ada lima langkah dalam
perencanaan suksesi, yaitu: (1) menentukan tujuan jangka panjang dari
pemilik; (2) menentukan kebutuhan finansial dari pemilik perusahaan beserta
pasangannya untuk kemudian membentuk perencanaan keberlanjutan yang
menjamin kemanan finansial mereka; (3) menentukan siapa yang akan
mengelola bisnis dan mengembangkan tim manajemen; (4) menentukan siapa
yang akan memiliki bisnis yang memiliki kepentingan yang sama; dan (5)
meminimalisir pajak penghasilan dan merencanakan kepemilikan yang tepat.

Indikator Perencanaan Suksesi Perusahaan Keluarga


Hollinger (2013) menyatakan salah satu indikator perencanaan
suksesi yang penting adalah kepemimpinan. Brockhaus (2004) mengatakan
sikap keluarga merupakan nilai-nilai pada sebuah keluarga merupakan hal
yang penting juga dan penerus yang potensial harus mendapat dukungan,
kepercayaan dan sikap positif dari keluarga. Sharma (2004) menyatakan
perencanaan suksesi dalam perusahaan keluarga sangat ditentukan oleh
adanya keinginan incumbent, yang umumnya merupakan pendiri/pemilik
untuk memberikan kewenangan mengelola kepada generasi penerusnya,
adanya komitmen keluarga, kepercayaan terhadap calon penerus dan
dimilikinya jiwa kepemimpinan bagi calon pengganti (suksesor).
Susanto (2007), dalam kaitannya dengan pemilihan putra atau putri
mahkota, ada dua kesalahan mendasar yang sering terjadi. Pertama, kriteria
putra-putri mahkota tidak pernah diumumkan. Kedua, Putra-putri mahkota
terlalu cepat ditentukan. Padahal masing-masing diantara mereka memiliki
kondisi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, perlunya dibuat sebuah kriteria
yang menjadi patokan dalam proses pemilihan. Selanjutnya semuanya
diharapkan meningkatkan diri dan ikut berkompetisi untuk memenuhi
kriteria tadi. Menurut Fishman (2009), proses pemilihan suksesor berbicara
mengenai nilai komunikasi dalam proses pemilihan tersebut dan nilai
objektivitas dalam proses pemilihan suksesor.

40/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


1. Komunikatif
Nilai utama dari pemilihan suksesor adalah selalu
mengkomunikasikan succession plan kepada anggota keluarga dan pihak
yang bersangkutan sedini mungkin serta peka terhadap reaksi yang mungkin
muncul di dalam anggota keluarga
2. Objektif
FBL perlu memilih suksesor dengan mengidentifikasi faktor objektif
yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis secara efektif. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagi berikut:
a. Passion
Kandidat suksesor perlu mengetahui apa yang suksesi butuhkan,
termasuk di dalamnya pengorbanan dan komitmen yang perlu
kandidat buat. Hanya suksesor yang benar-benar memiliki passion
yang mau dan mampu untuk berkorban dan membuat komitmen demi
suksesi bisnis keluarga. Tanpa passion tersebut, suksesor akan gagal
dalam menjalankan bisnis keluarga terlepas dari kemampuan yang
mereka miliki.
b. Kompetensi
Kompetensi dapat diartikan ciri-ciri pengetahuan, keterampilan
dan kepribadian yang diperlukan untuk mencapai performan yang
tinggi. Artinya orang dengan ciri-ciri tertentu diprediksi akan memiliki
kinerja yang tinggi dalam suatu jabatan.
c. Aptitude ( bakat )
Kemampuan teknik dalam menjadi FBL saja tidaklah cukup. Bakat
untuk berpikir cepat, mandiri, dan mampu menyelesaikan masalah
dengan kreatif dibutuhkan oleh suatu bisnis keluarga.
d. Vision
Suksesor memerlukan visi untuk beradaptasi dan merubah bisnis
agar tetap kompetitif dan bertumbuh. Visi yang dimaksud adalah visi
yang mampu melihat “gambaran besar” pada bisnis keluarga.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /41


Proses suksesi adalah salah satu poin penting dalam perjalanan bisnis
keluarga . Tidak sedikit dari bisnis keluarga mengalami kegagalan dalam
transfer manajemen. Masalah ini menunjukkan pentingnya mempersiapkan
generasi berikutnya sedari awal. Seperti yang sudah di katakan kemauan
jauh lebih penting dari sekadar kemampuan. Betapa pentingnya tekad
untuk memulai suatu bisnis, termasuk bisnis yang di rintis oleh keluarga.
Oleh sebab itu, agar setiap anak dapat memiliki itikad dan kemauan yang
keras, termasuk dalam bisnis, ada 4 hal utama yang perlu di lakukan
orangtua terhadap anaknya menurut Soedibyo (2012):
1. Kemandirian
2. Empati
3. Problem Solver
4. Thinking out of box
Keempat pembentuk semangat bisnis tersebut akan makin kuat jika
di sertai pendidikan yang baik bagi anak (Soedibyo, 2012). Selain itu,
Susanto (2007) mengukapkan pra-suksesi sebagai tahap awal dalam
suksesi, membahas kriteria suksesor yang di butuhkan untuk menjadi
generasi penerus. Kriteria tersebut terdiri dari beberapa indikator :
1. Motivasi
Hal yang sangat penting yaitu sebelum bergabung dengan perusahaan,
pemimpin harus dapat mengidentifikasi motivasi suksesor karena
penerus dalam bisnis keluarga memiliki peran yang sulit.
2. Pendidikan dan pengalaman
Di dalam proses suksesi, generasi penerus wajib untuk meningkatkan
pengetahuan dan keahlian yang dimiliki untuk menjadi modal yang dapat
di manfaatkan bagi kesuksesan generasi penerus menjalankan tugas-
tugas strategis, pengalaman bekerja diluar perusahaan sebelum
bergabung dalam perusahaan keluarga juga akan memberi nilai tambah.

Menurut Walsh (2011, p. 20-51) dimensi dalam perencanaan suksesi


dibagi menjadi dua :

42/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


1. Management Succession
Management Succession (suksesi manajemen) berkaitan dengan
pemimpin eksekutif yang professional dan kompeten, memiliki keterampilan
serta komitmen dalam mengelola bisnis. Bertujuan untuk dipersiapkan
menjadi generasi selanjutnya dalam posisi manajemen dan dengan
pengelolaan yang berkaitan dengan komponen keluarga. Bertujuan agar
memberikan pengaruh pada kemampuan bisnis keluarga dalam transisi
manajemen. Proses-proses management succession melalui family
communication, grooming successors, dan Management Process.
2. Ownership Succession
Ownership Succession (suksesi kepemimpinan) berhubungan
dengan pengambilalihan kepemilikan perusahaan kepada generasi
selanjutnya. Pemimpin harus mengetahui nilai-nilai bisnis yang sudah ditanam
dalam perusahaan. Proses penting dalam ownership Succession berkaitan
dengan anggota keluarga untuk menetapkan aturan didalam bisnis keluarga
melalui family communication, family governance dan shareholder
agreement.
Dari berbagai konsep, pengertian dan teori di atas, ada 5 (lima)
indikator yang dapat dipakai sebagai indikator perencanan suksesi menurut
Hollinger (2013), Brockhaus (2004) dan Sharma et al. (2004), yaitu sikap,
keinginan pendahulu (incumbent), komitmen, kepercayaan dan
kepemimpinan.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /43


BAGIAN 5
NILAI-NILAI PERUSAHAAN KELUARGA

Pengertian Nilai-nilai (Values)


Koiranen (2002) dan Tapies dan Moya (2012) menyatakan nilai-
nilai berarti prinsip-prinsip moral, standar, etika dan norma-norma perilaku
yang terdapat pada suatu kelompok atau organisasi. Tidak jauh berbeda,
Robbins (2007) menyatakan bahwa nilai (value) merupakan bagian dari
budaya dalam suatu organisasi yang menentukan tingkat bagaimana anggota
melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan organsasi. Sementara itu,
Susanto (2008) mendefinisi nilai-nilai dalam budaya organisasi memberikan
pedoman kepada sumber daya manusia dalam menghadapi permasalahan
eksternal dan upaya penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan, sehingga
masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada serta
mengerti bagaimana bagaimana mereka harus bertingkah laku.
Dalam buku Handbook of Human Resource Management
Practice oleh Armstrong (2009), tercantum bahwa budaya organisasi atau
budaya perusahaan adalah nilai, norma, keyakinan, sikap dan asumsi yang
merupakan bentuk bagaimana orang-orang dalam organisasi berperilaku
dan melakukan sesuatu hal yang bisa dilakukan. Nilai-nilai adalah apa yang
diyakini bagi orang-orang dalam berperilaku dalam organisasi. Norma
adalah aturan yang tidak tertulis dalam mengatur perilaku seseorang
(Amstrong, 2009). Pengertian tersebut menekankan bahwa budaya
organisasi berkaitan dengan aspek subjektif dari seseorang untuk memahami
apa yang terjadi dalam organisasi. Hal ini dapat berpengaruh terhadap
nilai-nilai dan norma-norma semua kegiatan bisnis, yang mungkin terjadi
tanpa disadari, yang selanjutnya mempengaruhi perilaku individu. Menurut

44/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Robbins (2007), budaya organisasi diartikan sebagai sistem makna bersama
yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari
organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih
seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh
suatu organisasi.
Sementara itu Davis dan Harveston (1998) menyatakan pola
keyakinan dan nilai-nilai yang merupakan budaya organisasional yang harus
dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh anggota organisasi, sehingga pola
tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar berperilaku dalam
organisasi. Nilai-nilai organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian
bersama yang dipegang oleh anggota--anggota suatu organisasi, yang
membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Wood et al.
(2001:391) menyatakan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan oleh
organisasi akan menuntun perilaku anggota organisasi itu sendiri. Hal itu
dipertegas lagi oleh Gibson et al. (2008) yang mengatakan sistem yang
menembus nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada di setiap organisasi
dapat mendorong atau menurunkan efektifitas organisasi. Demikian juga
Kluckhohn (1951, dalam Rokeach, 1973) menyatakan nilai-nilai adalah
konsepsi secara eksplisit atau implisit yang diinginkan yang mempengaruhi
seleksi dari mode yang tersedia, sarana dan tujuan tindakan organisasi.
Hal senada dikatakan oleh Aronoff dan Ward (2000) bahwa nilai-
nilai (value) adalah landasan pencapaian seseorang dan komitmennya.
Nilai-nilai menginspirasi orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang sulit
dan untuk membuat komitmen dalam hal disiplin guna pencapaian rencana
jangka panjang. Sementara itu, Dumas dan Blodgett (1999) menjelaskna
bahwa nilai-nilai menjawab pertanyaan tentang apa yang penting bagi
anggota organisasi dan nilai-nilai inti yang meresap dengan mendalam yang
mempengaruhi hampir setiap aspek dari kehidupan yakni nilai moral dan
respon kepada orang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat dan konsep tentang nilai-nilai
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai (values) adalah suatu

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /45


prinsip moral, standar, etika dan norma-norma perilaku yang melekat atau
yang dianut oleh seseorang atau kelompok, dan dipakai sebagai penuntun
atau pedoman dalam berperilaku keseharian, seperti dalam berpikir,
bersikap, bertindak dan mengambil keputusan. Semua sumber daya
manusia yang ada dalam suatu organisasi harus dapat memahami dengan
benar nilai-nilai dari budaya organisasi yang dianutnya, karena pemahaman
ini sangat berkaitan dengan setiap langkah ataupun kegiatan yang dilakukan,
baik perencanaan yang bersifat strategis dan taktikal, maupun kegiatan
implementasi perencanaan di mana setiap kegiatan tersebut harus berdasar
pada budaya organisasi. Khusus utuk bisnis keluarga, Ward (2008)
menyatakan nilai-nilai adalah pengatur variabel bebas membentuk setiap
dimensi manajemen bisnis keluarga.
Aronoff dan Ward (2000) menyatakan kekuatan nilai-nilai dalam
bisnis keluarga itu terkait dengan beberapa faktor : (1) meletakkan landasan
untuk budaya perusahaan; (2) menyediakan template untuk pengambilan
keputusan; (3) merupakan puncak inspirasi untuk kinerja; (4) mendukung
pelanggan; (5) pandangan jangka panjang; (6) mengurangi biaya modal;
(7) menantang pemikiran konvensional; (8) beradaptasi dengan perubahan;
(9) meningkatkan strategis perencanaan; (10) melaksanakan strategi; (11)
aliansi strategis; (12) merekrut dan mempertahankan karyawan; dan (13)
makna untuk bekerja.
Stavrou (1998) menyatakan interaksi antara orang tua dan anak
akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil oleh sang
anak di masa yang akan datang. Lebih lanjut lagi, nilai-nilai dan tradisi
keluarga berpengaruh kuat terhadap penerus saat mereka akan mengambil
keputusan. Kompleksitas dalam nilai-nilai dan hubungan keluarga (family
relationship) akan berpengaruh pada efektifitas karakteristik penerus untuk
mengembangkan perannya dalam perusahaan keluarga. Secara garis besar
keputusan generasi penerus untuk bergabung dan mengambil alih
kepemimpinan perusahaan keluarga dapat digambarkan pada Gambar 5.1.

46/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Gambar 5.1
Intergenerational Transition Decision Model
(Stravou, 1998)

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /47


BAGIAN 6
KARAKTERISTIK DAN KINERJA SUKSESOR

Karakteristik Suksesor
Karakteristik suksesor berperan dalam proses suksesi terutama
pada kemauan dari suksesor untuk melanjutkan perusahaan dan hubungan
antara suksesor dengan pemilik perusahaan. Marpa (2010) menggunakan
beberapa tolok ukur untuk melihat karakteristik suksesor yakni: (1) usia;
(2) tingkat pendidikan (3) lama waktu bergabung dalam perusahaan; dan
(4) pengalaman bekerja di luar perusahaan keluarga
Berhubungan dengan profil atau motivasi individu yakni: (1) faktor
yang berhubungan dengan suksesor: kurangnya kemampuan, kurang atau
ketidakpuasan motivasi, masalah yang tidak terduga (meninggal, sakit dll);
dan (2) faktor yang berhubungan dengan Incumbent: keterikatan
incumbent terhadap bisnis, masalah yang tidak terduga (meninggal, sakit
dan lain-lain), kemungkinan incumbet menikah lagi, bercerai atau memiliki
anak lagi. Dalam beberapa literatur, ada banyak ukuran dari karakteristik
pribadi seorang suksesor, diantaranya dikemukakan oleh Malone dan
Jenster (2008) dan Levinson (2001) yang meninjau karakteristik seorang
suksesor dari sisi agresivitas, integritas dan kreativitas yang dimiliki.
Berkaitan dengan karakteristik suksesor, beberapa penelitian
sebelumnya menemukan bahwa:
1. Faktor-faktor individu yang merupakan karakteristik dari seorang
suksesor dengan menggunakan variabel motivasi, kemampuan, tingkat
pendidikan, pengalaman di luar perusahaan serta lama waktu magang
di perusahaan menghasilkan temuan bahwa tingkat pendidikan yang

48/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


memadai; pengalaman di luar perusahaan; lama magang di perusahaan
memiliki korelasi yang positif terhadap efektivitas perencanaan suksesi
(Barach & Ganitsky, 1995; Chrisman et. al,1998; Morris et. al, 1997;
dan Sharma et. al., 2003).
2. Rekomendasi agar suksesor memiliki pengalaman di perusahaan lain
(Nelton, 2006 dan Danco, 2012). Hal ini didukung oleh pendapat
Barnes (2014) dan Correl (1989) yang menyebutkan bahwa
berdasarkan rekomendasi dari konsultan bahwa suksesor minimum
memiliki pengalaman selama lima tahun di perusahaan lain dan paling
tidak diikuti dengan satu kali promosi di perusahaan tersebut yang
menandakan kemampuan suksesor memang diakui di luar perusahaan.
3. Pengalaman dan turut serta dalam pengelolaan perusahaan keluarga
akan membantu suksesor dalam membangun hubungan dengan pihak-
pihak lain dalam perusahaan untuk memahami budaya dalam
perusahaan (Danco, 2012; Lansberg & Astrachan, 1994).
4. Tingkat kemampuan dan pengetahuan dari generasi penerus amatlah
penting dan evaluasi dari kinerja individu tersebut seharusnya dijadikan
satu bagian dari proses suksesi (Danco, 2012).
5. Lambrecht (2005) mengatakan bahwa untuk memasuki dan memimpin
perusahaan keluarga tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.
6. Komitmen keluarga terhadap perusahaan juga memiliki hubungan
dengan kemungkinan berhasil tidaknya suksesor berkembang dan
berlatih (Lansberg & Astrachan, 1994).
7. Studi yang dilakukan Venter dan Maas (2005) menunjukkan bahwa
persiapan keras yang dilakukan suksesor di luar perusahaan akan
berpengaruh positif terhadap keberlanjutan keuntungan perusahaan
keluarga.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /49


Gambar 6.1
Successor Characteritics (Meijaard, 2005)

50/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Berdasarkan Gambar 6.1, Meijaard (2005) merinci indikator
karakteristik suksesor yaitu: usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman
bisnis, pelatihan bisnis, motivasi, hubungan dengan pendahulu, jangka waktu
keterlibatan, keinginan untuk mengambil alih, person atau komite.

Indikator Karakteristik Suksesor


Saan (2013) dalam kerengka konsepsual tentang perencanaan
suksesi dan keberlanjutan perusahaan keluarga menyebutkan karakteristik
sukesor terdiri dari keinginan pribadi dan pengalaman. Chittoor & Das
(2007) dalam model manajemen suksesinya menjelaskan salah satu
indikator karakteristik suksesor adalah dimilikianya pengalaman suksesor.
Sementara indikator karakteristik suksesor yang dikemukakan oleh
Meijaard (2005) diantaranya adalah pengalaman bisnis, jangka waktu
keterlibatan, dan keinginan untuk mengambil alih.

Kinerja Suksesor
Kinerja merupakan capaian atau hasil akhir dari suatu proses dan
sistem manajemen. Sebuah sistem pengukuran kinerja dapat didefinisikan
sebagai suatu yang formal, prosedur dan rutinitas yang berbasis pada
informasi yang digunakan manajer untuk mempertahankan atau mengubah
pola di dalam aktivitas perusahaan (Royer et al., 2008). Hal senada
diungkapkan Nurlaila (2010) yang menyatakan performance atau kinerja
merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Berdasarkan pendekatan
perilaku dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu
yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan
pekerjaan (Luthans, 2005). Salah satu dari karakter dari sistem pengukuran
kinerja yang efektif, yang dapat meningkatkan tujuan perusahaan adalah
harus dihubungkan dengan tujuan dan strategi perusahaan (Ittner & Larcker,
2001; Otley, 1999) dan juga karakter dari perusahaan (Chenhall, 2003).
Sebuah sistem pengukuran kinerja seharusnya memberikan sebuah
pengukuran yang komprehensif dan praktis, terhubung dengan tujuan dan
strategi perusahaan dan juga pengukuran kinerja tersebut seharusnya efektif

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /51


(Malina & Selto, 2006). Karakter kedua dari sistem pengukuran kinerja
yang efektif adalah pengukuran kinerja seharusnya menunjukkan usaha
manajemen, dan sesuai dengan target serta seharusnya terkait dengan
imbalan yang sesuai (Merchant & Stede, 2007; Malina & Selto, 2001;
Royer et al., 2008).
Kinerja organisasi adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
sasaran ataupun tujuan organisasi sebagai penjabaran dari visi, misi, yang
mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan
sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Kinerja organisasi
adalah sejumlah luaran (output) berupa barang atau jasa yang dihasilkan
dari kegiatan dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Menurut Rivai
(2004) kinerja merupakan hasil atau tingkat keberhasilan seseorang atau
organisasi secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam
melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti
standar hasil kerja, target/sasaran atau kriteria yang telah disepakati
bersama. Selain itu, Mulyadi (2007) mendefinisikan bahwa kinerja
organisasi adalah keberhasilan personel, tim, atau unit organisasi dalam
mewujudkan sasaran stretegis yang telah ditetapkan sebelumnya dengan
perilaku yang diharapkan. Dimensi yang digunakan dalam mengukur kinerja
di antaranya adalah kualitas kerja, kuantitas kerja, pengetahuan kerja,
kreativitas, dan kerja sama (Gorda,2004).
Kinerja mempunyai makna luas, tidak hanya hasil kerja, tetapi
bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Adapun pendapat lain yang
dikemukakan oleh Armstrong dan Baron (1998), kinerja merupakan hasil
pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan tujuan strategis organisasi,
kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi.
Venkatraman dan Ramanujam (1986) menunjukkan bahwa kinerja
merupakan sebuah konstruk multidimensi. Dalam hal ini, kinerja suksesor
terdiri dari kinerja keuangan, kinerja bisnis, dan kinerja keorganisasian.
Kinerja keuangan berada di pusat wilayah efektifitas keorganisasian.
Pada dekade terakhir, metode pengukuran kinerja (performance
measurement) berkembangan semakin pesat. Para akademisi dan praktisi
telah banyak mengimplementasikan model-model baru dari sistem
pengukuran kinerja, antara lain Balanced Scorecard (Kaplan & Norton,
52/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––
1996), Integrated Performance Measurement System (IPMS) (Bititci
et al., 1997), SMART System (Ghalayani & Noble 1998; Lynch & Cross,
1991), The Performance Measurement Matrix (Keegan et al., 1998),
The Integrated Dynamic Performance Measurement System (Ghalayani
& Noble, 1998). Sementara itu, ada juga pengukuran kinerja yang disebut
dengan Performance Prism yang awalnya merupakan sebuah teori yang
dikembangkan oleh Universitas Cranfield, kemudian diperluas
penggunaannya untuk mengukur kinerja (Neely et al., 2002). Metode
Performance Prism mencoba memperbaiki kekurangan-kekurangan yang
ada pada metode-metode sebelumnya seperti Balanced Scorecard.
Kelebihan metode ini dibanding dengan metode-metode sebelumnya adalah
bahwa Performance Prism mencoba mempertimbangkan seluruh
stakeholder dari perusahaan seperti investor, pelanggan, karyawan dan
peraturan pemerintah sebagai aspek yang saling terintegrasi.
Ukuran kinerja pada umumnya masih didominasi ukuran-ukuran
keuangan seperti anggaran, laba, atau ukuran akuntansi lainnya (Bushman et
al., 1996; Ittner et al.,1997; Otley, 1999). Pada akhir dekade ini, pengukuran
kinerja secara akuntansi telah dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan akan
sistem pengukuran kinerja yang efektif (Hoque dan James, 2000; Ittner dan
Larcker, 2001). Ketidakmampuan pengukuran kinerja secara akuntansi telah
memotivasi beberapa akademisi dan praktisi untuk menganjurkan beberapa
inovasi pengukuran kinerja, mulai dari metriks keuangan yang telah dimodifikasi
seperti Economic Value Added (Stern et al., 1995), sampai dengan Balanced
Scorecard, yang menyatukan pengukuran keuangan dan non-keuangan
(Kaplan & Norton, 2004) dan pengukuran personal atau pengukuran subjektif
(Gibbs et al., 2004; Ittner et al., 2003).
Menurut Robbins (2007) indikator untuk mengukur kinerja secara
individu ada lima, yaitu:
1. Kualitas kerja yang diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap
keterampilan dan kemampuan karyawan.
2. Kuantitas yang merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam
istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /53


3. Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal
waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output
serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
4. Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi
(tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud
menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
5. Kemandirian merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan
dapat menjalankan fungsi kerjanya Komitmen kerja. Merupakan suatu
tingkat dimana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan instansi
dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor.

Indikator Kinerja Suksesor


Chittoor & Das (2007) menyatakan kinerja suksesi salah satunya
diukur dengan meningkatnya pertumbuhan penjualan. Kaplan & Norton
(2004) dalam menyatakan keseimbangan (balanced) untuk mengukur
kinerja menunjuk pada adanya kesetimbangan pada perspektif keuangan
dan perspektif non-keuangan seperti perspektif pelanggan, perspektif
internal, perspektif inovasi dan pembelajaran, dan perspektif keuangan.
Dempsey et al. (1997) telah merinci indikator kinerja, baik kinerja secara
organisasi maupun individu, ke dalam beberapa bagian dalam Integrated
Performance Measurement Systems dan dapat dilakukan secara
kualitatif, yakni: (1) keuangan (financial); (2) kualitas produk dan kepuasan
pelanggan (Product Quality & Costumer Satisfaction); (3) efisiensi
proses (Process efficiency); (4) inovasi produk dan proses (Product &
Process Innovation); (5) lingkungan yang kompetitif (Competitive
Environment); (6) efisiensi manajemen (Management efficiency); (7)
manajemen sumber daya manusia (Human Resource Management); (8)
tanggung jawab sosial (Social Responsibility).
Dengan demikian, kinerja indvidu seorang suksesor dapat pula
diukur dengan pendekatan konsep Dempsey et al. (1997), sebab
pendekatan pengukurannya dapat dilakukan dari sisi keuangan dan non
keuangan secara kualitatif.

54/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


BAGIAN 7
KETERKAITANANTARA NILAI-NILAI, KARAKTERISTIK
SUKSESOR, PERENCANAAN SUKSESI DAN
KINERJA SUKSESOR

Keterkaitan antara Nilai-nilai terhadap Karakteristik Suksesor


Ada 15 indikator yang merefleksikan variabel nilai-nilai, yakni
kejujuran, kredibilitas, kepatuhan, kualitas, kerajinan, kemauan kerja keras,
menjaga kehormatan, sikap melayani, tanggung jawab, keluwesan, toleran
terhadap stres, kesejahteraan, keinovatifan, otonomi, dan kepemilikan visi
manajemen. Jika dilihat dari profil variabel nilai-nilai, indikator kerajinan
tertinggi dan untuk nilai rerata indikator menjaga kehormatan memperoleh
tanggapan tertinggi. Berdasarkan hal itu maka temuan yang mengatakan
nilai-nilai terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap karakteristik
suksesor, dapat diartikan bahwa semakin kuat nilai-nilai pendahulu, maka
karakteristik suksesor semakin diperlukan untuk suksesi, atau dapat
dimaknai bahwa semakin kuat nilai-nilai yang ditekankan oleh pemilik
(pendahulu), maka karakteristik suksesor semakin diperlukan untuk
suksesi.
Adanya keterkaitan antara nilai-nilai dengan karakteristik suksesor
sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Miller dan Le Breton-Miller
(2005), bahwa values dari pendiri atau pemilik perusahaan merupakan
dorongan bagi karyawan sebagai hal yang mutlak untuk menjadikan bisnis
keluarga dapat sustainable, dan transfer nilai-nilai dipentingkan agar
penerusnya mengikuti apa yang dicita-citakan oleh pendiri. Sementara itu
Stavrou (1998) menyatakan semakin kuatnya interaksi antara orang tua
dan anak yang menjadi generasi penerus akan mempengaruhi keputusan-
keputusan yang diambil oleh sang anak di masa yang akan datang. Salah

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /55


satu diantaranya adalah nilai-nilai dan tradisi keluarga berpengaruh besar
terhadap karakter generasi penerus saat mereka akan mengambil keputusan
bisnis.
Kompleksitas dalam nilai-nilai dan hubungan keluarga (family
relationship) berpengaruh karakteristik penerus akan secara efektif dapat
mengembangkan perannya dalam perusahaan keluarga. Values ditekankan
kepada suksesor agar tidak terjadi perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh
generasi sebelumnya sebagai pendiri dan karakteristik yang dimiliki oleh
suksesor sebagai individu yang melanjutkan bisnis keluarga. Jika terjadi
ketidakpercayaan dari pemilik akibat dari perbedaan nilai-nilai, dapat
membuat pemilik tidak bersedia untuk melepaskan kepemimpinannya
secara iklhas.
Ditemukannya keterkaitan antara nilai-nilai dengan karakteristik
suksesor dalam bahasan ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh
Koiranen (2002), Tapies & Moya (2012) dan Robbins (2007) yang
menyatakan bahwa nilai-nilai yang berasal dari pendiri atau pengelola
sebelumnya adalah prinsip-prinsip moral, standar, etika dan norma-norma
perilaku yang merupakan bagian dari budaya yang menentukan tingkat
bagaimana anggota organisasi termasuk suksesor melakukan kegiatan
dalam mencapai tujuan perusahaan. Hal senada dinyatakan juga oleh
Amstrong (2009) dan Wood et al. (2001) yang menekankan nilai-nilai
merupakan bagian budaya organisasi berkaitan dengan aspek subjektif
dari seseorang dalam memahami apa yang terjadi dalam organisasi sehingga
memberikan pengaruh pada individu yang ada dalam organisasi. Demikian
juga Davis & Harveston (1998) yang menyatakan nilai-nilai yang
merupakan bagian dari budaya organisasional yang harus dipahami, dijiwai
dan dipraktekkan oleh anggota organisasi, sehingga pola tersebut menjadi
dasar berperilaku dalam perusahaan.
Di sisi yang sama Aronoff dan Ward (2000) menyatakan bahwa
kekuatan nilai-nilai dalam bisnis keluarga itu terkait dengan beberapa faktor
yaitu : landasan untuk budaya perusahaan; menyediakan template untuk
pengambilan keputusan; merupakan puncak inspirasi untuk kinerja;

56/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


mendukung pelanggan; pandangan jangka panjang; mengurangi biaya
modal; menantang pemikiran konvensional; beradaptasi dengan perubahan;
meningkatkan strategis perencanaan; melaksanakan strategi; aliansi
strategis; merekrut dan mempertahankan karyawan; serta dianggap
merupakan makna untuk bekerja.
Namun agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Nelton
(2006) dan Danco (2012) yang menyatakan bahwa umumnya pendahulu
berharap kepada pengantinya agar memiliki pengalaman bisnis sebelum
mengambil alih perusahaan keluarga. Hal ini didukung oleh pendapat Barnes
(2008) dan Correl (1999) yang menyebutkan bahwa suksesor minimum
memiliki pengalaman selama lima tahun di perusahaan lain dan paling tidak
diikuti dengan satu kali promosi di perusahaan tersebut, karena itu berarti
kemampuan suksesor telah diakui di luar perusahaan. Selain itu, Danco
(2012) dan Lansberg & Astrachan (1994) menyatakan pentingnya
pengalaman dan keikutsertaan dalam pengelolaan perusahaan keluarga
akan membantu suksesor dalam membangun hubungan dengan pihak-pihak
lain dalam perusahaan untuk memahami budaya dalam perusahaan.
Ternyata ada perbedaan dengan teori yang dikemukakan oleh King
et al. (2001) yang menyatakan indikator nilai-nilai yang ditekankan kepada
suksesor perusahaan keluarga adalah lebih menonjol pada kualitas
kepemimpinan (leadership quality), sehingga nilai-nilai keluarga ditekankan
pada kemampuan dari segi kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang
memiliki kualitas yang baik, dianggap akan mampu menakhodai organisasi
yang dikelolanya. Aspek kepemimpinan juga menjadi salah satu aspek
dalam penelitian Sharma (2004). Hal yang melandasinya adalah succession
of leadership, dikarenakan merupakan isu mengenai ketepatan pemilihan
generasi penerus dari segi keahlian dan pengalaman, pemilihan waktu
penetapan generasi penerus, teknik-teknik yang digunakan dalam
melaksanakan suksesi kepemimpinan dan komunikasi yang terjalin antara
pendiri / pemilik dengan generasi penerus (Sharma, 2004).
Isu penting lainnya yang menjelaskan pentingnya aspek
kepemimpinan adalah succession of ownership, adalah isu mengenai

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /57


apakah kepemilikan dalam perusahaan keluarga mengalami pemisahan
antara keluarga, bisnis dan fungsi manajerial dalam perjalanan
perusahaannya atau masih memegang teguh kesatupaduan antara unit
keluarga, unit bisnis dan unit manajerial, karena bisnis keluarga memiliki
kecenderungan idiosinkretis yang hanya dapat memercayakan pihak di
luar keluarga yang benar-benar dipercaya (Sharma, 2004).
Perbedaan dinyatakan oleh Kellermans et al. (2008) yang
menyatakan kualitas individual yang mengacu kepada kompetensi individu
suksesor lebih diutamakan saat akan mengambil alih perusahaan. Dikatakan
oleh Kellermans et al. (2008), dalam bisnis keluarga, kompetensi individu
dianggap memegang peranan yang cukup dominan dan vital untuk
menjalankan suatu usaha.

Keterkaitan antara Nilai-nilai dengan Perencanaan Suksesi


Keterkaitan nilai-nilai terhadap perencanaan suksesi sejalan dengan
apa yang ditemukan oleh Kaslow (2006) dalam risetnya yang menyatakan
nilai-nilai dari pendiri atau pemilik ditransfer kepada penggantinya dilakukan
dalam kegiatan pendampingan (incumbent’s mentoring), di mana kegiatan
pendampingan merupakan salah satu bagian dari persiapan atau
perencanaan suksesi. Selain itu, dengan adanya pendampingan, suksesor
umumnya menunjukkan hubungan yang lebih baik dengan pendahulunya
secara signifikan. Selain itu, Miller dan Isabelle (2005) juga menyatakan
dalam masa peralihan kepemimpinan dalam bisnis keluarga, akan menjadi
lancar bila suksesor (pengganti) telah disiapkan dengan lebih baik. Persiapan
tersebut diantaranya dengan mempersiapkan suksesor dengan ramah
(affable) dan diikutkan dalam proses perencanaan suksesi termasuk di
dalamnya adalah proses perpinda-han kekayaan dan hak kepemilikan serta
hal-hal yang berpotensi mendatangkan kekayaan (wealth-transfer).
Keterkaitan nilai-nilai terhadap perencanaan suksesi sejalan pula
dengan yang dinyatakan oleh Susanto & Sujanto (2008) yang menyatakan
bahwa nilai-nilai keluarga sang pemilik sangatlah mempengaruhi budaya
organisasi sebuah perusahaan keluarga. Oleh karena itu latar belakang
sang pemilik akan sangat menentukan dan latar belakang etnik juga sering

58/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


memberi warna kepada budaya organisasi yang diperkuat oleh nilai yang
diyakini oleh sang pemilik dalam melakukan perencanaan suksesi
kepemimpinan dalam perusahaan keluarga.
Marpa (2010) dalam risetnya menyatakan hal-hal yang berkaitan
dengan perencanaan suksesi perusahaan keluarga, tidak dapat dipisahkan
tiga faktor penting yakni faktor dari dalam keluarga, faktor calon penerus
(suksesor) dan faktor dari perusahaan. Dikatakannya, penelitian yang
menekankan terhadap nilai-nilai yang ada dalam keluarga akan memberikan
kontribusi terhadap proses perencanaan suksesi dan keberhasilan pemimpin
dalam mengelola perusahaan. Dibandingkan perusahaan publik, perusahaan
keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut pandang jangka panjang
terhadap bisnisnya. Pada perusahaan publik seringkali banyak bertumpu
pada pertimbangan-pertimbangan jangka pendek karena terkait dengan
fluktuasi usaha. Sementara pemimpin dalam perusahaan keluarga tentu
memiliki pandangan dan tindakan yang berbeda dibandingkan karyawan,
pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya,
Keterkaitan nilai-nilai terhadap perencanaan suksesi sejalan pula
dengan pernyataan Brockhaus (2004) yang mengatakan hal terpenting yang
berpengaruh terhadap rencana suksesi adalah sikap keluarga, yang
merupakan bagian nilai-nilai yang dianut pada sebuah keluarga. Sikap
keluarga yang tidak mendukung calon penerus akan berpengaruh buruk
terhadap kelanjutan bisnis keluarga. Oleh karena itu, penerus yang potensial
harus mendapat dukungan, kepercayaan dan sikap positif dari keluarga.

Keterkaitan antara Karakteristik Suksesor dengan


Perencanaan Suksesi
Adanya keterkaitan karakteristik suksesor terhadap perencanaan
suksesi sejalan dengan yang dikatakan oleh Barach & Ganitsky (1995)
yang menyatakan bahwa pendahulu dan penerus harus memiliki hubungan
yang baik diantara mereka. Penerus haruslah orang-orang yang paling tidak
sudah memahami seluk beluk bisnis yang akan dikelolanya, sehingga menjadi
penting ada dimilikinya kesamaan karakter antara pendahulu atau pemilik
dengan yang menggantikannya. Karakter suksesor dapat disesuaikan

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /59


dengan rencana pergantian kepemimpinan. Suksesor berperan dalam
proses suksesi terutama pada kemauan mengambil alih dari suksesor untuk
melanjutkan perusahaan dan hubungan antara suksesor dengan pemilik
perusahaan. Barach & Ganitsky (1995) lebih jauh mengatakan bahwa
faktor-faktor individu yang merupakan karakteristik dari seorang suksesor
memiliki korelasi yang positif terhadap efektivitas perencanaan suksesi,
meski indikator yang digunakan agak sedikit berbeda yakni dengan
menggunakan motivasi, kemampuan, tingkat pendidikan, pengalaman di
luar perusahaan serta lama waktu magang di perusahaan.
Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Meijaard
et al. (2005) yang menyatakan bahwa suksesi terjadi karena dua alasan,
yaitu berdasarkan kesiapan generasi penerus sebagaimana yang telah
dilakukan pemilik dalam rangkaian perencanaan suksesi (trigger event),
atau karena faktor dipaksa oleh alam (forced of natural) karena pemilik
lama meninggal dunia atau berhalangan tetap, tanpa memandang sudah
melakukan persiapan suksesi ataukah belum. Selanjutnya Meijaard et al.
(2005) menyatakan bahwa pendidikan dan pengalaman, tujuan setelah
transfer, kepercayaan terhadap kemampuan pengganti serta keinginan untuk
berhenti pemilik lama memiliki pengaruh terhadap perencanaan suksesi.
Keterkaitan karakteristik suksesor terhadap perencanaan suksesi
sejalan pula dengan yang dikatakan oleh Chrisman et al. (1998) meski
dalam dimensi yang sedikit berbeda. Dikatakan oleh Chrisman et al. (1998),
suksesor adalah individu yang dipersiapkan sebagai pengganti kepemilikan
dan pengelolaan perusahaan. Dalam merencanakan suksesi, pemilihan
suksesor didasarkan pada karakteristik atau atribut yang dimiliki oleh
masing-masing suksesor. Pada perusahaan yang keluarga yang besar,
suksesor bisa lebih dari seorang, kemudian melalui proses penilaian dipilih
yang terbaik untuk menjadi pengelola. Dalam risetnya, Chrisman et al.
(1998) mengelompokkan karakteristik atau atribut yang dikehendaki dari
seorang suksesor menjadi 6 kelompok. Pertama adalah hubungan personal
antara suksesor potensial dengan pengelola. Suksesi perusahan keluarga
menekankan pentingnya kualitas hubungan antara suksesor potensial

60/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


dengan pemilik perusahaan saat itu dalam menentukan proses, jadwal serta
efektivitas suksesi. Suksesi yang mulus membutuhkan kerjasama ntara
pengelola saat itu dengan suksesor. Kedua adalah hubungan personal antara
suksesor potensial dengan anggota keluarga lainnya dalam keluarga.
Seorang suksesor potensial harus mendapatkan kepercayaan dari seluruh
anggota keluarga, baik yang aktif terlibat dalam pengelolaan bisnis maupun
yang tidak. Ketiga adalah keutuhan keluarga. Selain dipercaya, suksesor
harus bisa diterima oleh seluruh anggota keluarga berdasarkan nilai-nilai
yang berlaku atau disepakati di dalam keluarga. Keempat adalah
kompetensi. Suksesor potensial hendaknya mempunyai kompetensi yang
seharusnya dimiliki sebagai calon pengganti pemilik perusahaan, yaitu
keahlian di bidang keuangan, pemasaran, teknis, kemampuan membuat
keputusan, serta keahlian interpersonal. Kelima, sifat-sifat kepribadian.
Sifat-sifat kepribadian yang dibutuhkan seorang suksesor adalah
keagresifan, kreativitas, kemandirian, integritas, kecerdasan, percaya diri
serta keberanian menanggung risiko. Keenam adalah keterlibatan suksesor
pada perusahaan keluarga. Keterlibatan dalam bisnis keluarga bisa berupa
kepemilikan saham perusahaan atau berpartisipasi aktif dalam pengelolaan.
Adanya keterkaitan karakteristik suksesor dengan perencanaan
suksesi sesuai juga dengan teori yang dikemukakan oleh Bliss (dalam Bliss
& Colliungridge, 1993) yang mengatakan bahwa perencanaan suksesi yang
baik harus dimulai setidaknya 10 sampai 15 tahun sebelum owner
meninggalkan perusahaan. Perencanaan suksesi yang cukup lama akan
dapat mematangkan proses suksesi itu sendiri dengan memperiapkan orang
yang akan menggantikan sesuai karakter calon pengganti (suksesor) yang
diinginkan. Pengalaman calon suksesor akan lebih banyak dan bervariasi,
sehingga kelak apabila timbul masalah setelah pergantian kepemilikan, calon
suksesor akan dapat menangani masalah tersebut dengan lebih mudah.
Demikian juga dengan penelitian Sharma et al. (2003) yang tidak
jauh berbeda dengan temuan penelitian ini. Sharma et al. (2003)
mengatakan persiapan suksesi tergantung juga dari pemilihan karakter calon
pengganti, sedangkan untuk proses suksesi, Sharma et al. (2003) membagi

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /61


aktivitasnya menjadi empat kategori, yaitu seleksi dan pelatihan suksesor,
strategi bisnis pasca-suksesi, peran pemilik lama pasca-suksesi, serta
penyebaran informasi hasil suksesi kepada stakeholder. Seleksi dan
pelatihan suksesor aktivitasnya meliputi: (1) pengembangan daftar suksesor
potensial; (2) pembuatan kriteria yang jelas untuk menentukan suksesor
terbaik; (3) pelatihan terhadap suksesor potensial; (4) pengakaraban
suksesor potensial terhadap bisnis sebelum suksesi; serta (5) pengakraban
suksesor potensial terhadap pekerja sebelum suksesi.
Hal senada juga dikatakan oleh Morris (2007) yang menyatakan
bahwa perencanaan suksesi harus dipersiapkan sedari awal dengan proses
yang tepat dalam mempersiapkan pemipmin sesuai karakteristik yang
diinginkan agar mampu memimpin perusahaan sebaik mungkin, termasuk
dengan hubungan keluarga yang didasari atas kepercayaan, dan waktu
pelaksanaan suksesi yang tepat.

Keterkaitan antara Nilai-nilai dengan Kinerja Suksesor


Adanya keterkaitan antara nilai-nilai dengan kinerja suksesor
sejalan dengan yang dinyatakan oleh Dyer (1988), yang mengatakan nilai-
nilai yang ada dalam perusahaan adalah salah satu faktor kunci yang
berpengaruh terhadap kinerja dan menggarisbawahi bahwa nilai-nilai dalam
keluarga memberikan kontribusi terhadap kinerja yang tinggi, karena nilai-
nilai dapat memfasilitasi biaya agensi yang lebih rendah disebabkan adanya
kepercayaan yang mendalam antara anggota keluarga, meskipun dia juga
melihat bahwa dalam beberapa kasus nilai-nilai keluarga dapat mendorong
nepotisme.
Aronoff dan Ward (2000) menyatakan pula bahwa nilai-nilai
mempengaruhi kinerja dan mendukung terwujudnya perusahaan untuk
berumur panjang, yang kemudian dikuatkan oleh temuan penelitian Tàpies
dan Fernández (2010). Temuan pertama dari penelitian Tàpies dan
Fernández (2010) adalah digunakannya sederet nilai-nilai yang dtransfer
oleh pendiri perusahaan keluarga tertua di spanyol kepada penerusnya.
Daftar nili-nilai digunakan juga untuk penelitian pembanding, dengan tiga

62/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


negara sampel, yakni kelompok I terdiri negara Spanyol, Perancis, dan
Italia, serta kelompok II adalah negara Finlandia. Temuan utama yang
telah dihasilkan menunjukkan bahwa nilai-nilai berupa kualitas, kejujuran
dan kerja keras adalah nilai-nilai yang berkontribusi sangat besar terhadap
kinerja, sehingga perusahaan dapat berumur panjang.
Demikian juga dengan hasil penelitian Miller dan Le Breton-Miller
(2005) dan La Porta et al. (1999) yang mengatakan bahwa nilai-nilai
(values) yang berasal pemilik perusahaan merupakan dorongan bagi
karyawan untuk menjadikan bisnis keluarga berkinerja yang baik sehingga
memiliki umur yang panjang, serta menunjukkan bukti bahwa kebiasaan
keluarga mempengaruhi kinerja pimpinan perusahaan.
Adanya keterkaitan antara nilai-nilai dengan kinerja suksesor
dikemukakan pula oleh Soedibyo (2007) dalam disertasinya yang
menyatakan bahwa nilai-nilai pendiri sangatlah mempengaruhi budaya
perusahaan sebuah perusahaan keluarga, yang akhirnya dapat menjadikan
perusahaan berkinerja baik dan perusahaan tersebut tetap bisa hidup dan
berkembang. Selain itu, penanaman nilai-nilai kepada generasi penerus
dapat menghindari konflik, sebab adanya kejelasan atas hak dan kewajiban
masing-masing sejak dini, yang salah satunya adalah dengan salah satunya
adalah menerapkan konsep unit entity (pembedaan antara milik sendiri
dan milik perusahaan) yang harus betul-betul dipahami dengan jelas.
Keterkaitan antara nilai-nilai dengan kinerja suksesor sejalan juga
dengan yang dinyatakan oleh Sharma (2004) dan Aronoff & Ward (2000)
yang mengakui bahwa nilai-nilai (values) yang berasal dari pendiri salah
satunya berperan besar terhadap kinerja (performance), dan kekuatan
nilai-nilai dalam bisnis keluarga itu terkait dengan beberapa faktor,
diantaranya merupakan puncak inspirasi untuk kinerja.
Dalam konteks yang sama tapi dengan menggunakan indikator
yang berbeda, menunjukkan bukti bahwa nilai-nilai pendiri berdampak
baik terhadap kinerja. Seperti apa yang dilakukan oleh Kwek Hong Png,
yang menanamkan serta mewariskan sejumlah nilai-nilai kepada anak-
anaknya, yaitu Kenny Yap, yang menjabat sebagai Direktur Pengelola dan

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /63


Ketua Eksekutif Perusahaan Qian Hu, dan juga saudara-saudaranya
(Susanto, 2015). Kwek Hong Png adalah pendiri Hong Leong Group,
konglomerat asal Singapura. Nilai-nilai itulah yang membentuk budaya Qian
Hu saat ini. Nilai-nilai tersebut adalah diantaranya adalah integritas,
ketekunan, kesetiaan, rasa saling percaya, saling menghormati, kerja sama
tim, dan kesatuan keluarga. Nilai-nilai ini bukan hanya diwariskan dari
generasi senior atau pendiri kepada generasi muda, melainkan juga kepada
karyawan non keluarga.
Ada lagi kisah Andrew Tan dari Alliance Global Group Inc. (AGI),
konglomerat asal Filipina (Susanto,2015). Ia mengajarkan putranya, Kevin,
untuk memiliki rasa belas kasihan, kesabaran, ketekunan. kreativitas,
kedermawanan, dan berterima kasih terhadap orang lain. Kevin
mengatakan bahwa ayahnya mengajarinya untuk tidak mengambil jalan
pintas. Jika kita ingin sukses, kita harus bekerja keras melebihi orang lain.
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat diperoleh dengan gratis tanpa
pengorbanan.
Apa yang dilakukan oleh Kwek Hong Png, Yap Tik Huay, dan
Andrew Tan biasa dijumpai dalam perusahaan keluarga yang sejalan dengan
hasil penelitian ini. Generasi senior nenanamkan serta mewariskan nilai-
nilai yang mereka anut kepada generasi penerus. Mereka yakin bahwa
bila generasi penerus konsisten berpegang kepada nilai-nilai ini,
kesinambungan perusahaan keluarga dapat lebih terjamin. Bagi mereka,
nilai-nilai ini sudah teruji keandalannya. Nilai-nilai ini menjadi kebanggaan
keluarga dan melekat dalam perusahaan sebagai budaya yang memandu
perilaku bukan saja anggota keluarga melainkan karyawan dari luar
keluarga, termasuk para manajer profesional.
Meski demikian, penanaman serta pewarisan nilai-nilai kepada
generasi penerus ini hendaknya dilakukan dengan hati-hati, dikarenakan
perusahaan keluarga harus mengantisipasi serta menghadapi perubahan
lingkungan yang sangat cepat (Susanto, 2015). Tidak semua nilai-nilai yang
dianut keluarga kondusif bagi terwujudnya kinerja, daya saing, dan
keberlanjutan perusahaan. Apa yang semula dianggap wajar, boleh jadi

64/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


kemudian menjadi penghalang kemajuan perusahaan. Untuk itu, perusahaan
keluarga wajib memilah dan memilih nilai-nilai yang masih relevan
dipertahankan, nilai-nilai yang harus disesuaikan dengan konteks yang tepat,
dan nilai-nilai yang harus ditinggalkan karena akan menghambat
perkembangan perusahaan.
Di samping itu, seiring dengan tumbuh kembangnya perusahaan,
ada juga nilai baru yang perlu dikembangkan. Nilai-nilai semisal integritas,
kejujuran, kegigihan, kerja keras, kreativitas, orientasi jangka panjang,
dan kedermawanan sudah tentu wajib dipertahankan. Inilah nilai-nilai
universal yang membawa manusia dan organisasi menuju kejayaan dan
kesejahteraan, tak terkecuali bagi perusahaan keluarga. Kabar baiknya,
banyak pemilik perusahaan keluarga yang sadar serta berupaya keras agar
generasi penerus menghayati serta menerapkan nilai-nilai ini saat mereka
memimpin perusahaan kelak.

Keterkaitan antara Karakteristik Suksesor dengan Kinerja


Suksesor
Adanya keterkaitan karakteristik suksesor dengan kinerja suksesor
mendukung apa yang dikatakan oleh Malone & Jenster (2008) dan
Levinson (2001) yang menyatakan karakteristik pribadi dapat
mempengaruhi seorang suksesor dalam pengelolaan perusahaan. Namun
yang berbeda dengan hasil penelitian ini adalah penekanan Malone &
Jenster (2008) pada komitmen sebagai indikator karakteristiknya.
Dikatakannya, komitmen yang kuat seorang suksesor untuk mengambil
alih kepemipinan, berdampak pada keberhasilan dalam menjalankan
perusahaan.
De Alwis (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
karakteristik seorang penerus (suskesor) sebuah bisnis akan mempengaruhi
kinerjanya. Umumnya karakteristiknya terbawa dari karakter pribadinya,
seperti sifat rajin, pekerja keras, keseriusan dan yang lainnya. Hasil penelitian
ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Danco (2012) yang
mengatakan salah satu komponen yang baik dalam mempersiapkan

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /65


suksesor yang kompeten adalah dengan melakukan pelatihan. Pelatihan
yang ditempuh oleh calon suksesor sangat menentukan seberapa siap calon
suksesor menjadi pemimpin perusahaan, sehingga karakeristik yang
diinginkan pemilik bisa terpenuhi. Selain itu Danco (2012) menekankan
pula bahwa tingkat kemampuan dan pengetahuan dari generasi penerus
amatlah penting untuk mempengaruhi kinerja individu yang bersangkutan,
dan jika memungkinkan tingkat kemampuan dan pengetahuan seharusnya
dijadikan satu bagian dari proses suksesi.

Keterkaitan antara Perencanaan Suksesi


dengan Kinerja Suksesor
Adanya keterkaitan perencanaan suksesi dengan kinerja suksesor
sama dengan yang dinyatakan oleh Noraini & Mahfodz (2009) dan Garg
& Weele (2012 yang mengatakan suksesi yang direncanakan akan
mempengaruhi kinerja. Noraini & Mahfodz (2009 dalam penelitiannya
menemukan bahwa perencanaan suksesi yang dipersiapkan sedini mungkin
dapat memberikan dampak positif bagi kinerja perusahaan. Demikian juga
Garg & Weele (2012) mengatakan bahwa perencanaan suksesi yang baik
dapat menambah nilai perusahaan keluarga, khususnya yang bergerak di
sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan perusahaan menjadi
hidup berkelanjutan. Dikatakannya, kurangnya perencanaan calon penerus
yang tepat dapat memiliki efek yang tidak baik bagi perusahaan dan bias
mengakibatkan bisnis keluarga menjadi runtuh.
Keterkaitan perencanaan suksesi dengan kinerja suksesor sejalan
dengan yang dinyatakan oleh Lansberg (1999) dan Lipman (2010) yang
mengatakan bahwa perencanaan suksesi oleh pemilik/pendiri bisnis keluarga
adalah penting dalam menjamin kelangsungan dan kesejahteraan bisnis.
Perencanaan suksesi menjadi suatu hal sangat penting untuk mendukung
keberlangsungan bisnis keluarga, selain itu juga pemilik perlu untuk berbagi
ide tentang keberhasilan dan kelanjutan dari bisnis dengan penggantinya.
Secara khusus Lipman (2010) menyatakan dalam proses perencanaan
dibutuhkan suatu kesadaran dari pendahulu untuk membimbing suksesornya
agar siap ketika tiba waktunya bagi suksesor untuk mengambil alih
66/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––
manajemen. Dengan adanya perencanaan suksesi, akan memungkinkan
suksesor mendapatkan pengetahuan-pengetahuan terkait dengan
perusahaan. Pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh suksesor tersebut
akan menjadi bekal dan membantu suksesor dalam menjalankan
perusahaan sehingga mampu berkinerja baik.
Pernyataan Morris (2007) juga mendukung hasil penelitian ini
dengan mengatakan bahwa perencanaan suksesi harus dipersiapkan sedari
awal dengan proses yang tepat dalam mempersiapkan pemimpin agar
mampu memimpin perusahaan sebaik mungkin, termasuk dengan hubungan
keluarga yang didasari atas kepercayaan, dan waktu pelaksanaan suksesi
yang tepat.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Carsrud (2004) agak
sedikit berbeda. Dikatakannya bahwa pada masa perencanaan suksesi
ada beberapa hambatan dalam pemilihan suksesor, yaitu sering kurangnya
terjadinya komunikasi dan adanya perbedaan kepentingan antara
perusahaan dengan suksesor. Sedangkan Fishman (2009) menyatakan
hambatan yang lainnya adalah bersumber dari pola pikir, budaya, dan
kebiasaan yang dimiliki oleh pemilik bisnis keluarga yang sebelumnya
memimpin perusahaan saat merencanakan suksesi. Hal itu dikuatkan oleh
pendapat Atwood (2007) yang menyatakan ada 6 (enam) hal yang harus
dilakukan agar perencanaan suksesi dapat menghasilkan kinerja yang baik
bagi peruahaan, antara lain mengkomunikasikan kesempatan,
mengidentifikasi kandidat, mempersiapkan kesiapan kandidat,
mempersiapkan pengembangan individual, menyediakan pengembangan
kesempatan, mengevaluasi, melihat dan merevisinya kembali.
Faktor kepercayaan merupakan salah satu indikator perencanaan
suksesi yang terkuat, dimana pengaruhnya positif dan signifikan terhadap
kinerja suksesor yang indikator terkuatnya adalah keuangan (pendapatan).
Berdasarkan jawaban dari kelima narasumber itu, jelas sekali bahwa
perencanaan suksesi memberikan pengaruh terhadap kinerja suksesor yang
diberikan kepercayaan untuk mengelola perusahaan keluarga terbukti dari
pendapatan yang diakui mengalami peningkatan.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /67


BAGIAN 8
PENUTUP

Berbagai paparan yang telah dikemukakan pada bagian-bagian


sebelumnya memberikan suatu gambaran dan pemahaman yang
komprehensif mengenai suksesi dalam perusahaan keluarga, dan faktor-
faktor yang mempengaruhi suksesi perusahaan keluarga yang berhasil serta
faktor kunci keberhasilan perusahaan keluarga tersebut. Hasilnya
menyatakan bahwa nilai-nilai memiliki pengaruh yng positif terhadap
karakteristik suksesor, yng artinya semakin kuat nilai-nilai yang ditekankan
oleh pemilik (pendahulu), maka karakteristik suksesor semakin diperlukan
untuk alih kepemimpinan (suksesi). Dari 15 indikator untuk variabel nilai-
nilai, indikator kerajinan yang paling ditekankan, sedangkan indikator
pengalaman bisnis yang terkuat untuk variabel karakteristik suksesor. Hal
ini dapat diartikan bahwa dimilikinya sifat rajin oleh suksesor akan
menambah pengalaman bisnis.
Demikian juga niilai-nilai memiliki pengaruh positif terhadap
perencanaan suksesi, yang berarti semakin kuat nilai-nilai yang ditekankan
oleh pemilik (pendahulu), maka perencanaan suksesi menjadi semakin baik.
Untuk indikator perencanaan suksesi, indikator keinginan yang paling tinggi
bobotnya. Hal itu dapat dimaknai, bahwa pendiri menekankan suksesor
agar memiliki sifat rajin, sehingga ada keinginan pendiri untuk terjadinya
suksesi. Sementra karakteristik suksesor memiliki positif terhadap
perencanaan suksesi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin
baik karakteristik suksesor, maka perencanaan suksesi menjadi semakin
baik pula. Karena indikator pengalaman bisnis memiliki bobot tertinggi di
variabel karakteristik suksesor, dan indikator keinginan memiliki bobot
tertinggi di perencanaan suksesi, berarti dengan dimilikinya pengalaman
68/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––
bisnis oleh suksesor, maka ada keinginan pemilik untuk melaksanakan
suksesi.
Nilai-nilai ternyata pula memiliki pengaruh positif juga terhadap
kinerja suksesor, yang bermakna bahwa semakin baik nilai-nilai yang
ditransfer oleh pendahulu, maka akan mampu meningkatkan kinerja
suksesor. Jika ditinjau dari indikator yang terkuat, dapat diartikan bahwa
sifat rajin suksesor akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Selain
itu, karakteristik suksesor memiliki pengaruh positif terhadap kinerja
suksesor, yang berarti semakin baik karakteristik suksesor, maka mampu
meningkatkan kinerja suksesor. Jika ditinjau dari indikator yang terkuat,
dapat diartikan bahwa pengalaman bisnis suksesor mengakibatkan kinerja
keuangan perusahaan mengalami peningkatan. Tak jauh berbeda,
perencanaan suksesi memliki pengaruh yang positif teradap kinerja
suksesor, yang jika dilihat dari indikator terkuat dapat dimaknai bahwa
keinginan pendiri untuk melaksanakan suksesi mengakibatkan
meningkatnya kinerja keuangan perusahaan.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /69


DAFTAR PUSTAKA

Allouche, J,, Amann B., Jaussaud J, and Kurashina T., (2008). The Impact
of Family Control on the Performance and Financial
Characteristics of Family Versus Nonfamily Businesses in Japan:
A Matched-Pair Investigation. Family Business Review, XXI
(4): pp. 315-329
Armstrong, M. (2009). Armstrong’s Handbook of Human Resource
Management Practice: 11th ed. Kogan Page, London
Amstrong, M. (1998). Manajemen Sumber Daya Manusia. Elex Media
Kompotindo, Jakarta.
Amstrong, M. and Baron, A. (1998). Performance Management. Institute
of Personel dan Development, London
Anderson, R.C., and Reeb, D.M. (2003). Founding-family ownership and
firm performance: evidence from the S&P 500. Journal of
Finance (58): pp. 1301–1328.
Aronoff R.C., (2003). Business Succession: The Final Test of Greatness.
Family Enterprise Publisher, Marietta.
Aronoff, C.E., & Ward, J.L. (2000). More than family: Non-family
executives in the family business. Family Enterprise Publishers,
Marietta
Aronoff, C. E., and Ward, J. L. (1995). Family-Owned Businesses: A
thing of the past or a model of the future? Family Business
Review, 8(2): pp. 121–130
Astrachan ,J.H. and M.C. Shanker, (2003). Family Businesses’
Contribution to the U.S. Economy: A Closer Look. Family
Business Review (2): pp 211-219

70/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Atwood, C.G., (2007). Implementing Your Succession Plan. T + D. 61(11):
pp 54-58
Basu, K. (2006). Gender and Say: A Model Of Household Behaviour
With Endogenously Determined Balance Of Power. The
Economic Journal, (116): pp. 558-580.
Beckard, R., and Dyer, W. (1983). Managing Continuity In The Family
Owned Business. Organizational Dynamic, (12): pp 5-12
Beehr, T. A., Drexler, J. A. Jr., and Faulkner, S., (1997). Working in
Small Family Businesses: Empirical Comparison to Non-Family
Businesses, Journal of Organizational Behavior (18):
pp 297-312.
Bernard, B., (1995). The development of organization structure in the
family firm. Journal of General Management. Autumn, (2):
pp 42-60.
Birley, S. (1991). Succession In The Family Business: The Inheritors View.
Family Business Sourcebook: Omigraphics,. Detroit
Bititci, U.S., Carrie, McDevitt A.S. and Turner, T. (1997). Integrated
Performance Measurement Systems: A Reference Model.
Proceeding of IFIP-WG5.7 1997 Working Conference, Ascona
Ticono-Switzerland, pp. 15-18.
Bliss, T.V.P., dan Colliungridge, G.L. (1993). A Synaptic Model of Memory
: Long-Term Potentiation in The Hippocampus. Nature.
Bowman-Upton, N., (1988). Transferring Management In The Family-
Owned Business, Emerging Business Series, The John F. Baugh
Center for Entrepreneurship Baylor University Waco, Texas,
pp 21-28
Bradley, D., and Burroughs, S., (2010). A Strategy for Family Business
Succession Planning. Small Business Institute, 34 (1): Pp 38-55

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /71


Brockhaus, R. H. (2004). Family Business Succession: Suggestions for
Future Research. Family Business Review (17): pp. 165–17
Bushman, R.M., Indjejikian, R.J. and Smith, A. (1996). CEO
Compensation: The Roe of Individual Performance Evaluation.
Journal of Accounting & Economics. (21): pp.161–193
Cale, P. (2008). Family Business Succession – A Process … Not an Event.
Connecticut: University of Connecticut Family Business Program.
Electronic resources download: Thursday, March 5th
Carsrud, A.L., (2004). Meanderings of a Resurrected Psychologist or,
Lessons Learned in Creating a Family Business Program.
Entrepreneurship: Theory and Practice (19: pp. 40-50
Casillas, J.C., Fransisco J.A. and Moreno, AM. (2007). International
Entrepreneurship in Family Business, Edward Elgar Publishing,
Inc: Northampton
Chenhall, R. H. (2003). Management control systems design within its
organizational context: findings from contingency-based research
and directions for the future. Accounting, Organizations and
Society (28), pp 127–168.
Chin, W.W. (1998). The Partial Least Squares Approach for Structural
Equation Modeling.”In GA Marcoulides (ed.), Modern Methods
for Business Research, Lawrence Erlbaum Associates, London:
pp. 295-336.
Chittoor, R. and Das R. (2007). Professionalization of Management and
Succession Performance - A Vital Linkage. Family Business
Review, XX, (1): pp. 65-78
Chrisman, J.J., Kellermanns, F.W., Chan, K.C. and Liano, K. (2010),
“Intellectual foundations of current research in family business:
an identification and review of 25 influential articles”, Family
Business Review, 23 (1): pp. 9-26.

72/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Chrisman, J. J., Chua, J. H.,and Sharma, P. (1998). Important Attributes
Of Successors In Family Businesses: An-Exploratory Study.
Family Business Review, 11, (1) : pp 19-34
Chua, J.H., Chrisman JJ and Sharma P. (1999). Defining the Family
Business by Behavior. Entrepreneurship: Theory and Practice.
(23); pp 4-19.
Churchill, N.C., and Hatten, K.J. (2007). Non-market based transfers of
wealth and power: A research framework for family businesses.
American Journal of Small Business, 11 (3): pp. 51-64.
Correl, R. W. (1989). Facing Up To Moving Forward: A Third Generation
Successor Reflections. Family Business Review, 2, (1): pp. 17-29
Connolly, G. and Jay C. (1996). The Private World of Family Business.
FT Pitman Publishing, Melbourne:
Craig, and Justin B.L. (2003). An Investigation and Behavioural Explanation
of Family Businesser Functioning. A Dissertation submitted to
the School of Health Sciences for the Degree of Doctor of
Philosophy, Bond University, Gold Coast.
Danco, L. (2012). Beyond Survival: A Guide For The Business Owner
And His Family. OH University Press, Cleveland.
Davis, P., and Harveston, P. (1998). The Influence Of Family On The
Family Business Succession Process: A Multigenerational
Perspective. Entrepreneurship Theory and Practice, 22, (3):
pp. 31-53
Davis, J. A., and Tagiuri, R. (1989). The Influence Of Live Stage On
Father-Son Work Relationship In Family Company. Family
Business Review, 2. (1): pp. 47-73
Davis, P and Stern D. (1998), Adaptation, survival and growth of the
family business: an integrated systems perspective, Family
Business Review. 1 (1): pp. 69-85.
–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /73
Day, George S. and Reibstein DJ., (1997). Warthon on Dynamic
Competitive Strategy, John Wiley & Sons, London.
De Geus. A., (1997). The Living Company; Habits For Survival In
Turbulent Business Environment. Harvard Business School
Press, Harvard.
Dempsey S.J., Gatti, J.F., Grinnell, D.J. and Cats-Baril, W.L., (1997).
The Use of Strategic Performance Variables as Leading
Indicators in Financial Analysts’ Forecasts, The Journal of
Financial Statement Analysis, (4): pp. 61-79.
Donckels, R. and Frohlich, E. (2009). Are family businesses really different?
European experiences from STRATOS, Family Business
Review, 4 ( 2): pp. 149-160.
Donnelley, and Robert, G. (1988). The Family Business, Family Business
Review, 1 ( 4) : pp. 427–445
Dumas, Colette and Blodgett, M. (1999). “Articulating values to inform
decision making: lessons from family firms around the world”,
International Journal of Value-Based Management, 12 (3):
pp. 209-21.
Dunn, B.. (1999). The Family Factor: The Impact Of Family Relationship
Dynamics On Business-Owning Families During Transitions.
Family Business Review. 12 (1): pp. 41-60
Drucman, D. (2005). Doing Research: Methods of Inquiry for Conflict
Analysis. California: Sage Publication Inc.
Dyer Jr., W. G., (1988). Culture and Continuity In Family Firms. Family
Business Review, 1 (1): pp 18-23
Elstrodt, H. P. (2003). Keeping The Family In Business. McKinsey
Quarterly, (4) pp. 94-100

74/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Feltham, T.S., Feltham, G. and Barnett, J.J., (2005) ‘The dependence of
family businesses on a single decision-maker’, Journal of Small
Business Management, (2) : pp.1–15
Ferdinand A., (2010), Structural Equation Modelling dalam Penelitian
Manajemen, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Fieldman, R. (1989). Survey On Family Owned Manufacturing Firm.
Seattle University Worker Center, Seattle.
Fishman, A.E. (2009) 9 Elements of Family Business Success. United
States of America: McGraw-Hill, New York
Fleming Q.J. (2000). Keep The Family Baggage Out Of The Family
Business: Avoiding The Seven Deadly Sins That Destroy
Family Business. Fireside Rockefeller Center, New York
Fornell C. and Fred L. Bookstein, (1982) Two Structural Equation Models:
LISREL and PLS Applied to Consumer Exit-Voice Theory,
Journal of Marketing Research, 19, (4) : pp. 45-60
Fornell, C., Larcker, D.F., (1981). Evaluating structural equation models
with unobservable variables and measurement error, Journal
of Marketing Research 18 (1): pp. 39-50.
Fishman, Allen E. (2009) 9 Elements of Family Business Success.United
States of America: McGraw-H,ill, New York
Fukuyama, Francis. (2005). Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan
Tata Sosial Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Garg, Ajay K and Weele Erich, (2012), Succession Planning and Its Impact
on the Performance of Small Micro Medium Enterprises within
the Manufacturing Sector in Johannesburg, International
Journal of Business and Management, 7, ( 9): pp 96-107

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /75


Gersick, K., Lansberg, I., Desjardins, M., and Dunn, B. (1999). Stages
and Transitions: Managing Change in the Family Business.
Family Business Review, 12(4): pp. 287-297.
Ghalayani, A.M. and Noble, J.S. (1998). The changing of performance
Measurement, Univesity of Missouri, Columbia, USA.
Ghozali, Imam, (2009). Aplikai Analisis Multivarite dengan SPSS,
Cetakan Keempat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang
Gibson, Ivancevich, Donnelly and Konopaske. (2008). Organizations
Behavior Structure Processes. Thirteenth Edition. McGraw Hill
Inc, New York
Glassop, L. and Dianne W., (2005). Managing the Family Business.
Heidelberg: Heidelberg Press.
Goldberg, S. D., (1996). Research Note: Effective Successors In Family-
Owned Businesses: Signicant Elements. Family Business
Review, IX (2): pp. 185-197
Gorda, IGN. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid I. PT.
Indeks, Jakarta.
Gordon Grand, and Nicholson Nigel. (2008). Family Wars: Classic
Conflict In Family Business And How To Deal With Them.
MPG Books Ltd, Bodmin Cornwall, London.
Hall, A., and Nordqvist M. (2008). Professional Management in Family
Businesses: Toward an Extended Understanding. Family
Business Review. XXI (1): pp. 51-68.
Handler, W.C. (1994). Succession in Family Business: A Review of the
Research, Family Business Review (7): pp. 133-140
Handler, W. C. (1990). Methodological issues and considerations in
studying family businesses. Family Business Review 2 (3): pp.
257-276.

76/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Handoyo, S. dan Stefan (2010). A Conceptual View of a Family-Owned
Corporation, Makalah dalam Pelatihan yang diselenggarakan
oleh Indonesia Institute for Corporate Directorship (IICD),
Jakarta
Harianto, F. (1997). Business Linkages and Chinese Entreprenuers in
Southeast Asia, in T. Brook and H.V. Luong (eds) Culture and
Economy: The Shaping of Capitalism in Eastern Asia, The
University of Michigan Press, Ann Arbor.
Harveston, Paula D., Peter S. Davis and Julie A. Lyden. (1997). Succesion
Planning in family Business: The Impact of Owner Gender. Family
Business Review. Family Firm Institute, Inc: pp. 373-383
Henseler, J.,Esposito Vinci, W.W. Chin, , H. Wang, (2010), “Handsbook
of PLS : Concepts, Methodes, and Applications”, Springer,
New York
Hollinger, Thomas D., (2013). Leadership Development and Succession
Planning: A Biblical Perspective for an Ethical Response, Journal
of Biblical Perspectivenes in Leadership, 1 (1): pp. 157-164
Hoque, Z., and James, W. 2000. Lingking Balanced Scorecard Measures
to Size and Market Factors: Impact on organizational
Performance. Journal of Management Accounting Research,
12: pp. 1-17.
IFC (2008). Family Business Governance.: International Finance
Corporation, Whasington DC.
Ittner, C.D, Lambert, R.A., and Larcker, D.F. (2003). The Structure and
Performance Consequences of Equity Grants to Employees of
New Economy Firms. Journal of Accounting and Economics,
(34) : pp 89–127

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /77


____________ (2001). Assessing Empirical Research in Managerial
Accounting: a Value Based Management Perspective. Journal
of Management Accounting Research. 32: pp. 349-410.
_____________ and Rajan, M.V. (1997). The choice of performance
measures in – annual bonus contract, The Accounting Review,
2 (2): pp. 231-256.
_____________and Meyer, M.W. (2003). Subjectivity and the Weighting
of Performance Measures: Evidence from a Balanced Scorecard.
The Accounting Review. 78 (3): pp. 725-758.
Kaplan, Robert S. dan David P. Norton, 2004. Alignment: Using the
Balanced Scorecard to Create Corporate Synergis. Harvard
Bussiness School, Harvard
Kaslow, F. W., (2006). Handbook of family business and family
business consultation: A global perspective. International
Business Press, Birming-ham.
Kellermans, Frans W., Kimberly A. Eddleston, Barnett T., and Pearson
A. (2008). An Exploratory Study of Family Member
Characteristics and Involvement: Eff, ects on Entrepreneurial
Behavior in the Family Firm. Family Business Review. XXI
(1): : pp. 1-14.
Keegan, D. P., Eiler, R. G. and Jones, C. R., (1989), “Are your performance
measures obsolete?”, Management Accounting, 71, June: pp.
45-50.
Kepner, E. (2013). The Family And The Firm: A Coevolutionary
Perspective. Family Business Review, 4, (2): pp. 30-37
King, Sandra W., George T. Solomon, and Lloyd W. Fernald, Jr. (2001).
Issues in Growing a Family Business: A Strategic Human
Resource Model. Journal of Small Business Management,
39 (1): pp. 3-13.

78/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Koiranen, M. (2002), “Over 100 years of age but still entrepreneurially
active in business: exploring the values and family characteristics
of old Finnish family firms”, Family Business Review, 15 (3):
pp. 175-88.
La Porta, R.,F. Lopez-De-Silanes, and Shleifer, A. (1999). Corporate
Ownership Around the World. Journal of Finance, 54 (2): pp.
471-517.
Lamsfuß & Wallau, (2012) Major family businesses in Germany Facts,
figures, potential 2012 Spring Survey, Bundesverband der
Deutschen Industrie e. V. (BDI) [Federation of German
Industries], Breite Straße 29 10178 ,Berlin
Lansberg, I. (2007). The Test of Prince. Harvard Business Review.
September, (2); pp. 56-65
Lansberg, I. (1999). Succeeding Generations: Realizing the Dream of
Families in Business. Harvard Business School Press, Boston
Lansberg, I. (1988). The Succession Conspiracy Part I. Family Business
Review, (2): pp. 1-18
Lansberg, I., and Astrachan, J. H. (1994). Influence Of Family Relationship
On Succession Planning And Training: The Importance Of
Mediating Factors. Family Business Review, 7, (1): pp. 1-76
Lambrecht, J. (2005). Multigenerational Transition In Family Business: A
New Explanatory Model. Family Business Review, 18, (4):
pp. 1-24
Le Van, G. (1999). Survival Guide for Business Families, Routledge,
New York
Lee, J. (2003). Impact of Family Relationships on Attitudes of the Second
Generation in Family Business. Family Business Review,
Vol.XIX (3): pp. 31-41

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /79


Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia (LPSDM)-IPB. (2004).
Business Criteria Sustainability, Technological and Profesional
Skills Development Sector Project (TPSD), Bogor.
Levinson, H. (2001). Conflicts That Plague Family Business. Harvard
Business Review, (49): pp. 90-98
Lynch, R.L. and Cross, K.F. (1991), Measure Up – The Essential Guide
to Measuring Business Performance,Mandarin, London.
Long, VH. & Kindon, S.L. (1997). “Gender and Tourism development in
Balinese Villages,” Gender, work and Tourism. Sinclair, M.
Thea. London: Routledge
Malina, Mary A., Hanne S. O., Nørreklit, and Selto FH., (2006), Relations
among Measures, Climate of Control and Performance
Measurement Models, Forthcoming in Contemporary
Accounting Research, XX (2): pp. 46-60
Malone, S. C., and Jenster, P. V. (2014). The Problem Of Plateaued Owner
Manager. Family Business Review, 5, No. 1: pp 25-41
McNair, C.J. and Mosconi, W., (1987), “Measuring Performance in an
AdvancedManufacturing Environment”, Management
Accounting, 69 (1): pp. 28–31.
Marpa, N. (2011). Lima Faktor Penting Dalam Suksesi Kepemimpinan
Perusahaan Keluarga Harian Sinar Harapan, edisi tanggal 26
April 2011, Jakarta.
Marpa, N. (2010). Kekerabatan Keluarga Dan Karakteristik Individu
Suksesor Sebagai Faktor Determinan Terhadap Perencanaan
Dan Kinerja Suksesi Kepemimpinan Pada Perusahaan Keluarga
di Provinsi Bali (Disertasi: tidak dipublikasikan). Program Doktor
Ilmu Manajemen Program Pascasarjana Institut Bisnis dan
Informatika Indonesia, Jakarta

80/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Meijaard, Jo., Uhlaner L., Flören R., Bart Diephuis, and Sanders B.
(2005). The relationship between successor and planning
characteristics and the success of business transfer in Dutch
SME, SCALES-paper N200505
Merchant, K.A. and Stede, W.A. 2007. Management Control Systems:
Performance Measurement, Evaluation, and Incentives. 2nd
Edition. Prentice Hall. London
Miller, D., and I.L. Breton-Miller. (2006). Family Governance and Firm
Performance: Agency, Stewardship and Capabilities. Family
Business Review, 19 (1): pp. 73-87.
Miller, D. and Le Breton-Miller I.., (2005). Managing for the long run:
lessons in competitive advantage from great family
businesses. Boston: Harvard Business School Press.
Miller, D., Steierb., Le Breton-Miller I. (2003). Lost In Time:
Intergenerational Succession, Change, And Failure In Family
Business. Journal of Business Venturing, 18 (2003): pp. 513–
531.
Moores, K. and Barrett M. (2002). Learning Family Business,
Paradoxes and Pathways. Aldeshot, Hampshire: Ashgate
Publishing Limited
Morris, M.H. (2007). Correlates of success in family business transitions,
Journal of Business Venturing, 12, (5), September 1997: pp.
385–401
Morris, M. H.,Williams, R. O., Allen, J. A., and Avila, R. A., (1997).
Correlates Of Success In Family Business Transitions. Journal
of Business Venturing, (12): pp 385-401
Neely, A.D., Adams, C. and Kennerley, M. (2002) “The Performance
Prism: The Scorecard for Measuring and Managing Stakeholder
Relationships”, Financial Times, Prentice Hall, London.

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /81


Nelton, S. (2006). “Making Sure Your Business Outlasts You.” Nations
Business.
Neuberger, F, and Lank, A.G, (1998). “The Family Business – Its
Governance for Sustainbility, London, MacMillan.
Nurlaila, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia I. Penerbit Lep Khair,
Jakarta.
O’Hara, W. T., and Mendel, P. (2002). The World’s Oldest Family
Companies: Convincing Evidence that Smaller Firms
Usually Outlast Larger Ones. Spring, London
Otley, D.T., 1999. Performance Management: a Framework for
Management Control System Research. Management
Accounting Research (10): pp. 363-382.
Pambudi, T., (2007). Sebuah Keniscayaan Bernama Suksesi, SWA
Sembada, No. 12/ XXIII/ 4, 13 Juni 2007, Jakarta
Perry, Martin. 2000. Small Firm and Networks Economices, edisi bahasa
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Poza, Ernesto J., (2007) Family Business (Third Edition)Thunderbird:
The Garvin School of International Management, Student
Edition, South-Western Cengage Learning, 5191 Natorp
Boulevard Mason, OH 45040 USA
Redding, G., 2012. Culture and the Business Systems of Asia, Oxford
Handbook of Asian Business Systems, London.
.Rivai, V. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk
Perusahaan. Cetakan Pertama. PT. Raja Grafindo. Jakarta.
Robbins, S.P & Judge, T.A. (2007). Organizational Behavior. Pearson
International Edition, New Jersey
Rock, S., (1991). Family Firms. Director Book-Simon Schuster, England
.

82/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Rogoff, EG and RKZ Heck (2003). Evolving research in entrepreneurship
and family business: Recognizing family as the oxygen that feeds
the fire of entrepreneurship. Journal of Business Venturing,
18(5): pp 559–566.
Royer, S., Simons R., Boyd B., and Farrerty A. (2008). Promoting Family:
A Contingency Model of Family Business Succession. Family
Business Review. XXI, (1): pp. 15-30.
Saan, R.J., Boateng & Kamwines., (2013), Succession Planning And
Family-Owned Business ContinuityIn The Wa Municipality,
International Journal of Innovative Research & Development,
ISSN: 2278-0211: pp. 304-309
Saerang, C., (2102). Kekuatan Bisnis Keluarga. Materi Closing
Ceremony Entrepreneurship 4 Universitas Ciputra May 18.
Sharma, P., and Nordqvist, M., (2008), “A classification scheme for family
firms: from family values to effective governance to firm
performance”, in Ta`pies, J. and Ward, J.L. (Eds), Family Values
and Value Creation: The Fostering of Enduring Values Within
Family-Owned Business, Palgrave Macmillan, New York, NY:
pp. 71-101.
Sharma, P. (2004). An Overview Of Family Business Studies: Current
Status And Directions For The Future. Family Business Review,
XVII (1): pp. 1-33
Sharma P., Chrisman J., Chua J.H. (2003). Succession And Nonsuccesion
Concern Of Family Firms And Agency Relationship With
Nonfamily Managers. Family Business Review XVI, (2): pp
1-15
Sharma P., Chrisman J.J., Chua J.H. (1997). Important Attributes of
Succession of Successor in Family Business: An Exploratory
Study. Family Business Review, XI, (1): pp. 1-35

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /83


Smith, B. and Ben Amoako-Adu. (1999). Management Succession and
Financial Performance of Family Controlled Firms, Journal of
Corporate Finance, (5): pp. 341-368.
Soedibyo, M., (2007). Kajian terhadap Suksesi Kepemimpinan Puncak
(CEO) Perusahaan Keluarga Indonesia - menurut Perspektif
Penerus. Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Spencer L.M., and Spencer S.M., (1993). Competence at Work. John
Wiley & Sons.
Stavrou, E.T. (1998). A Four Factor Model:A Guide to Planning Next
Generation Involvement in the Family Firm. Family Business
Review, XI (2): pp. 135-142
Stern, J.M., Stewart III, G.B. and Chew, D.H. 1995. The EVA in Financial
Management System. Journal of Applied Corporate Finance,
8 (2): pp. 32-46.
Suardana, R.,IB.,, (2005). Pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi,
dan faktor individu terhadap perilaku kerja karyawan dan
produktivitas kerja organisasi pada Bank Umum di Bali,
Disertasi, Unair, Surabaya
Suryadi, E., (2012). Faktor Penentu Keberhasilan Proses Suksesi
Perusahaan Keluarga. JAMS – Journal of Management
Studies, November 2012 ISSN : 2302-8122 01 (01): pp.
56-67
Susanto, P., (2015), Nilai-nilai dalam Perusahaan Keluarga, Bisnis
Indonesia, Minggu (4/10/2015), Jakarta.
Susanto, A.B., Susanto, P., Wijanarko, H., dan Mertosono, S., (2008), A
Strategic Management Approach Corporate Culture &
Organization Culture, Divisi Penerbitan The Jakarta Consulting
Group, Jakarta.

84/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


Susanto, A.B dan F.X Sujanto. (2008). Corporate Culture and
Organization Culture, The Jakarta Consulting Group, Jakarta.
Susanto, A.B., Susanto, P., Wijanarko, H., dan Mertosono, S. (2007).
The Jakarta Consulting Group on Family Business. The
Jakarta Consulting Group, Jakarta.
Tapies J., and Moya, M.F., (2012). Values and longevity in family business:
evidence from a cross-cultural analysis. Journal of Family
Business Management, 2 (2J: pp. 130-146
Tracey, D. (2001). Family Business – Stories from Australian family
business and the people who operate them, the volatile mix
of love, power and money, Information Australia, Melbourne
Tugiman (1995), Peranan Usaha kecil dan Koperasi dalam
Memanfaatkan Sisa Laba BUMN, Penerbit Eresco, Bandung.
Tuhardjo (2008). Hubungan Pengalaman dan Pembelajaran Fungsi Utama
Bisnis dan Suksesi Bisnis dengan Strategi Bersaing dan Kinerja
Bisnis pada sentra Industri Kecil Onix dan Marmer di
Tulungagung. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas
Negeri Malang. Malang.
Venter, E., Boshoff C, and Maas, G. (2005, Desember). The Influence of
Successor-Related Factors on the Succession Process in Small
and Medium-Sized Family Businesses. Family Business Review,
XVIII ( 4): pp 23-30
Venkatraman, N., and V. Ramanujam, 1986. Measurement of Business
Performance in Strategy Research: A Comparison Approaches,
Academy of Management Review, (11): pp 801-814.
Waheed, Al Qassim, (2007) An analysis of Bahrain’s reform process, 1999-
2005: Elite driven reform, developmental challenges, and strategic
opportunities, Durham theses, Durham University. Available at
Durham E-Theses Online: http://etheses.dur.ac.uk/2596/

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /85


Ward, J.L (2004). Perpetuating The Family Business: 50 Lesson
Learned Form Long-Lasting Successful Families In
Business. Palgrave Macmillan, Basingstoke.
Westhead, P., (1997). Ambitions, external environment and strategic factor
differences between family and non-family companies,
Entrepreneurship and Regional Development, 9 (2): pp.
127-158.
Wood, J, et al. (2001). Organizational Behaviour: An Asian Pasific
Perspective. Australia
Zahra S., and Sharma P., (2004). Family business research: A Strategic
Reflection. Family Business Review, (1) pp. 331-346

86/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


LAMPIRAN:
KISAH KEBERHASILAN SUKSESI
PERUSAHAAN KELUARGA

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /87


PARADIGMA BARU PERUSAHAAN KELUARGA
A. B. Susanto*

Dengan adanya perubahan pasar dan persaingan, muncul lima


paradigma baru di lingkungan internal perusahaan keluarga. Pertama,
karyawan merupakan generasi baru. Artinya, mereka mempunyai
pandangan yang berbeda dengan pendiri. Loyalitas karyawan bukan
merupakan kewajiban melainkan komitmen. Karyawan tingkat atas dan
berpendidikan tinggi mengharapkan adanya transparansi, adanya
empowerment, dan melihat karier lima tahun ke depan. Ini disebut new
breed of employees. Karyawan di tingkat bawah juga mempunyai
keberanian untuk melakukan tuntutan-tuntutan.
Kedua, meningkatnya isu-isu yang berkaitan dengan perburuhan,
pemogokan, dan lain lain. Ketiga, tingkat profesionalitas keluarga sudah
mulai meningkat. Barangkali generasi pertama memiliki tingkat pendidikan
sedang-sedang saja, tetapi generasi kedua sudah lebih tinggi tingkat
pendidikannya dan mempunyai profesionalitas yang lebih tinggi. Keempat
adalah tuntutan adanya kompensasi yang adil dan sama (fair and equitable
compensation) baik melalui sistem kompensasi yang dikaitkan dengan
kompetensi, kinerja, ataupun kontribusi. Dan kelima adalah lebih
transparannya sistem remunerasi, sumber daya manusia, dan organisasi.

Keinginan dan Harapan Keluarga


Untuk menyelaraskan keinginan keluarga dengan persyaratan bisnis,
perusahaan keluarga perlu menyadari bahwa perusahaan didirikan
berdasarkan hubungan genetik, bahwa keluarga memiliki bisnis itu, dan
bahwa keluarga sangat terlibat dalam manajemen. Menjaga harmoni
(harmony preservation) merupakan tugas pendiri dan sangat penting untuk
menghindari perselisihan yang berdampak pada operasi perusahaan sehari-
hari. Pendiri (founder) biasanya sangat memperhatikan kesejahteraan

88/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


keluarga. Salah satu keinginan mendirikan perusahaan adalah untuk
kesejahteraan diri sendiri, anak dan cucunya. Banyak perusahaan keluarga
yang bersedia melakukan investasi jangka panjang (long-term investment)
demi mendapatkan kesejahteraan itu.
Perusahaan keluarga sangat mementingkan reputasi dan citra di dalam
komunitasnya. Kekuatan perusahaan keluarga adalah keinginan keluarga
untuk menjaga reputasi sehingga ada usaha-usaha dari para pendiri ketika
akan pensiun untuk mulai aktif dalam kegiatan-kegiaan sosial, keagamaan,
dan amal (filantropis).
Untuk menyelaraskan kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis
dapat dilakukan matching process, penyelarasan (alignment) antara
keinginan keluarga dan business requirements, dengan tujuan agar proses-
proses yang ada dalam operasi perusahaan berjalan lancar. Dalam
penyelarasan ini kunci utamanya terletak pada upaya menggandengkan
company values dan family values.

Kecenderungan Keluarga Dalam Berbisnis


Keluarga dan bisnis sejatinya adalah dua hal. Masing-masing
merupakan sistem yang mempunyai elemen-elemen tersendiri. Keluarga
sebagai sistem lebih bersifat emosional, karena disatukan oleh ikatan
mendalam yang mempengaruhinya dalam berbisnis. Diantaranya, keluarga
sangat menjunjung tinggi loyalitas dan nurturing. Selain itu keluarga juga
cenderung konservatif, meminimalisir perubahan untuk menjaga mereka
agar intact. Dengan kata lain, orientasi keluarga lebih ke dalam (inward
looking). Sementara di sisi yang lain bisnis berbasiskan pekerjaan yang
berorientasi ke pasar dan mengambil peluang dari setiap perubahan sekecil
apapun. Berbeda dengan keluarga yang lebih cenderung berorientasi ke
dalam, bisnis lebih berorientasi ke luar (outward looking). Dengan
karakteristik ini, tentu saja tidak mudah menggabungkan dua sistem ini
agar menjadi paduan yang serasi dan menguntungkan.
Dalam menjalankan roda perusahaan keluarga selalu ada tarik ulur,
mana yang lebih dominan antara perusahaan (bisnis) dan keluarga. Idealnya,
ada kesetimbangan. Tetapi sayangnya, kebanyakan perusahaan keluarga

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /89


cenderung terjebak dominan di keluarga daripada bisnis. Mereka sibuk
melihat ke dalam (inward looking) daripada outward looking untuk
melihat peluang bisnis ke depan. Waktu mereka lebih banyak tersita untuk
urusan-urusan internal keluarga karena adanya perbedaan pendapat.
Berlarut-larut dalam konflik internal yang menghabiskan energi dan
terkadang tidak bermuara pada solusi, bahkan meminggirkan fungsi bisnis
itu sendiri.
Di lain pihak dominannya sistem keluarga dibanding bisnis dalam
perusahaan keluarga berakibat pada kecenderungan perusahaan untuk
konservatif, menolak perubahan (adverse to change), padahal bisnis
menghendaki perubahan luar biasa. Berbagai alasan dapat dikemukakan,
mulai dari menghormati tradisi sampai demi keutuhan keluarga. Alasan
yang sepintas terdengar mulia ini kalau dicermati secara lebih seksama.
Akan lain kondisinya jika kecenderungan lebih ditekankan ke luar
dengan prinsip Apa yang baik bagi perusahaan akan baik bagi keluarga.
Dalam prinsip ini terkandung pesan bahwa ikatan emosi dan hubungan
personal adalah modal, bukan potensi konflik. Dengan prinsip ini ikatan
emosional yang sangat kuat dalam keluarga justru berkontribusi sebagai
penopang bagi kuatnya budaya perusahaan. Berpegang pada norma bisnis
yang diantaranya berupa pembagian peran yang jelas, transparansi, dan
pay by performance, niscaya konflik keluarga bisa dihindari. Hubungan
kekeluargaan yang sifatnya permanen menjadi bibit loyalitas dalam
perusahaan. Di sisi yang lain loyalitas dari karyawan di luar lingkaran
keluarga juga harus diapresiasi. Mengkondisikan karyawan di luar lingkaran
keluarga sebagai bagian dari keluarga. Pengkondisian ini akan mengurangi
resiko tingginya turn over karyawan yang membuat perusahaan menjadi
lebih stabil.
Dari aspek jangka panjang yang hendak dicapai juga bisa dilihat
kecenderungan keluarga dalam berbisnis. Perusahaan keluarga mula-mula
didorong untuk bertahan mulai dari masih kecil. Pada hakekatnya bisnis
mempunyai long-term view of the business agar tetap survive. Tidak
ada keraguan sedikitpun, setiap perusahaan keluarga, entah di generasi

90/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––


yang ke berapa pun, mempunyai pemikiran ke arah itu, tetapi bagaimana
cara mencapainya yang patut dipertanyakan.
Pertanyaan yang lebih spesifik dapat diarahkan pada Mengapa
banyak perusahaan keluarga generasi kedua, ketiga, dan seterusnya
menjadi lebih buruk kinerjanya? Seorang pendiri perusahaan keluarga yang
sudah mewariskan kendali perusahaan kepada anak-anaknnya
mengeluhkan gaya hidup anak-anaknya yang cenderung wah dan tentu
saja boros. Sangat berbeda dengan apa yang dijalaninya saat merintis usaha.
Bagaimana mantan pejuang itu tetap sederhana sampai di saat suksesnya.
Berulang-ulang sudah ia peringatkan anak-anaknya perihal gaya hidup yang
cenderung merongrong kesehatan finansial perusahaan. Dalam kasus ini
muncul perbedaan nilai yang mencolok antara pendiri yang selalu
berorientasi ke long-term view of the business dan generasi ke dua yang
kurang fokus. Padahal long-term view menuntut investasi dan reinvestasi
penghasilan, selain tentu saja investasi human capital melalui penyemaian
loyalitas dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia.
Jika ada pertanyaan kecenderungan apa yang baik bagi kelangsungan
perusahaan keluarga, maka jawabannya adalah kecenderungan melihat
keluar (outward looking) dan berorientasi ke jangka panjang (long-term
view of the business). Inilah paradigma yang mesti dimiliki oleh
keluarga.<Bisnis Indonesia>

Sumber: http://www.jakartaconsulting.com/publications/articles/family-
business

–––––––Suksesi Perusahaan Keluarga /91


92/Suksesi Perusahaan Keluarga–––––––

Anda mungkin juga menyukai