Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. Pengertian sunah
2. Kedudukan sunah sebagai sumber hukum Islam
3. Macam-macam fungsi sunah sebagai sember hukum
Islam
1
URAIAN MATERI
A. Pengertian Sunah
Sunah secara etimologi berarti metode (al-thariqah), jalan (sabiil), cara yang
dibiasakan atau cara yang terpuji. Sunah juga biasa disebut hadis dan juga mempunyai
beberapa arti, yaitu qarib, yang berarti dekat, jadid yang berarti baru, dan khabar yang
berarti berita. Hadis berarti khabar seperti dalam firman Allah swt.
ٍ فَلْ َيأْتُوا ح َِب حد
يث حمث ح حِْل ان ََكنُوا َصا حد حق َني
ِ
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an itu jika
mereka orang-orang yang benar. (QS al-Tur/52: 34).
Sunah menurut ahli usul seperti yang dikemukakan oleh al-Amidi adalah apa-
apa yang datang dari Rasulullah saw. berupa dalil-dalil syariat, yang bukan dibaca
(maksudnya bukan al-Qur`an) dan bukan mu’jizat. Sementara menurut ulama fikih
sunah adalah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi saw. dan hukumnya tidak fardu
dan tidak wajib, yakni hukumnya sunah.
Sunah atau hadis dalam pengertian yang lebih umum ialah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi saw. dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir
(penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’
(pensyari’atan) bagi umat Islam.
2
oleh para sahabat yang mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa dengan restu
Nabi saw. kemudian disampaikan secara mutawatir (melalui sejumlah orang dinilai
mustahil mereka berbohong). Atas dasar ini al-Qur’an dinilai qath’iy (mempunyai nilai
ketetapan yang otentik tanpa ada perubahan sedikitpun).
2. Dari Segi Penyampaian dan Penerimaan
Sunah pada umumnya disampaikan melalui hafalan orang perorang (oleh para
sahabat). Hal ini karena Nabi saw. melarang menuliskannya, kecuali wahyu Allah swt.
Oleh sebab itu, bisa didapati redaksi hadis/sunah yang tampak berbeda satu dengan
yang lain walaupun mengandung makna yang sama. Di samping itu, walaupun para
ulama ahli hadis (muhadditsin) ada yang menulisnya tetapi hafalan andalan utama
mereka. Dalam sejarahnya, hadis/sunah baru mulai ditulis dan dikumpulkan untuk
diuji dan diteliti tingkat kesahihannya baru dimulai satu abad setelah Nabi saw. wafat.
Oleh karena hadis/sunah dari aspek redaksinya merupakan hasil dari hafalan sahabat
dan tabi’in, maka otentisitasnya adalah zhanny yaitu atas sangkaan tertentu tergantung
dari tingkat hafalan para sahabat dan tabi’in. Maka wajar bila hadis ditempatkan di
bawah al-Qu’ran sebagai sumber pokok ajaran Islam.
3
Malaikat Jibril bertanya: ”Hai Muhammad, terangkan padaku tentang Islam!”
Jawab Muhammad: ”Islam itu ialah persaksianmu bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah, tindakanmu mendirikan salat,
pembayaranmu atas zakat, berpuasamu di bulan Ramadhan dan pergi hajimu ke
baitullah bila kamu mampu melaksanakan perjalanan ke tempat itu... (H.R.
Muslim)
2. Memberikan Keterangan (Bayan) terhadap Ayat-ayat al-Qur'an
Dalam memberikan penjelasan ini ada 3 macam, yakni:
a. Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal ()تفصيل اجململ. Misalnya
perintah salat di dalam al-Qur'an:
◼❑◼ ❑☺⬧
◼⧫ ⧫ ◼❑◼
❑➔❑ ⧫ ✓⬧☺
Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS al-
Nisa’/4: 103).
Ayat tersebut masih mujmal. Kemudian Rasulullah saw. menerangkan waktu-
waktu salat, jumlah rakaatnya syarat-syarat dan rukun-rukunnya, dengan mempraktik-
kan salat lalu setelah itu bersabda kepada para sahabat:
صلوا كما رأيتموىن اصلي
Dirikanlah shalat seperti yang kamu lihat bagaimana aku mengerjakan salat (HR.
Bukhari).
Demikian juga dalam kewajiban berzakat dan pergi haji, Allah berfirman secara
mujmal kemudian Rasulullah saw. menjelaskan macam-macam dan besarnya harta
yang dizakatkan dan menjelaskan cara-cara menjalankan ibadah haji.
b. Membatasi Kemutlakannya ()تقييد املطلق
Misalnya al-Qur'an membolehkan kepada orang yang akan meninggal berwasiat
atas harta peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya, dalam
firman-Nya:
✓❑ ▪◆ ➔⧫
… sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya (QS
al-Nisa’/4: 12).
Kemudian Rasulullah saw. memberikan batasan maksimal wasiat yang diperke-
nankan dalam salah satu wawancaranya dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang meminta
agar diperkenankan berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaan wasiat
sebesar itu ditolak oleh beliau, minta diperkenankan wasiat ½ harta peninggalannya
dan setelah permintaan yang akhir ini ditolak pula, lalu minta diperkenankan 1/3
hartanya. Rasulullah saw. mengizinkan 1/3 ini, katanya:
ِ ِ َ ََّك أَ ْن تَ َذر ورثَت
َ ث َكبِريٌ أ َْو َكثِريٌ إِن
َ ك أَ ْغنيَاءَ َخ ْريٌ م ْن أَ ْن تَ َذ َرُه ْم َعالَةً يَتَ َك َّف ُفو َن الن
َّاس ََ َ ُ َُوالثُّل
4
Sepertiga itu banyak dan besar. Sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik daripada jika kamu meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak. (HR.
Bukhari dan Muslim).
c. Mengkhususkan Keumuman ()ختصيص العام
Misalnya Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai
(binatang yang tidak disembelih dengan nama Allah) dan darah dalam firman-Nya:
➔⧫☺ ◼⧫ ⧫
⧫◆ ◆
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi… (QS al-
Maidah/5: 3).
Kemudian Rasulullah saw. mengkhususkannya dengan memberikan pengecuali-
an kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa dalam sabdanya:
ُ ان فَالْ َكبِ ُد َوال ِطِ َح
ِ ان فَا ْْلوت وا ْْلراد وأ ََّما الدَّم
ِ َان فَأ ََّما الْمي تَ ت
ِ ان ودمِ ِ
ال َ َ ُ ََ َ ُ ُ َْ ْ َّأُحل
َ َ َ َت لَ ُك ْم َمْي تَ ت
Dihalalkan bagi kalian dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam
bangkai itu ialah bangkai ikan air dan belalang. Sedangkan dua macam darah itu
ialah hati dan limpa (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
Demikian juga dalam masalah pusaka-mempusakai antara anak dan kedua orang
tuanya disebutkan secara umum oleh Tuhan dalam firman-Nya:
ِ ْ َظ األُنثَي
ّي َّ ِاَّلل ِِف أ َْوَلَ ِد ُكم ل
ِِ لذ َك ِر ِمثْ ُل َح ِ
ْ ُِ يُوصي ُك ُم
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan (QS al-Nisa’/4: 11).
Dalam ayat tersebut dikatakan secara umum orang tua yang mewariskan harta
peninggalannya kepada anak-anaknya. Kemudian keumuman itu ditakhshsishkan oleh
sabda Rasulullah saw.:
ٌص َدقَة
َ ث َما تَ َرْكنَا
ُ َ ََل نُ َور- حنن – معاشر اَلنبياء
Kami, khususkan para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan
adalah sebagai sedekah. (HR. Muttafaq alaih).
Perkataan anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan secara umum dengan lafaz
”awladukum” (anak-anakmu). Kemudian anak tersebut dikhususkan oleh Nabi
Muhammad saw. kepada anak yang dapat mewarisi. Sedang anak yang tidak berhak
mempusakai harta orang tuanya, misalnya karena ia membunuh orang tuanya,
dikeluiarkan dari pengertian umum itu, mengingat sabda Rasulullah:
ليس للقاتل من املقتول شيئ
Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan or yang dibunuh
sedikitpun. (HR. al-Nasa’i).
5
3. Menciptakan Hukum Baru yang Tidak Terdapat di Dalam al-Qur'an
Misalnya beliau menetapkan hukum haramnya binatang buas yang bertaring dan
burung yang berkuku kuat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
ٍ َالسبَ ِاع و َع ْن ُك ِل ِذي ِِمْل
ِ ِ ٍ ِ ِ َّ اَّللِ صلَّى
ب ِ َ ِ اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َع ْن ُك ِِل ذي ََنب م ْن َ َّ ول
ُ ال ََنَى َر ُس ٍ ََّع ْن ابْ ِن َعب
َ َاس ق
ِم ْن الطَِّْري
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw. melarang memakan setiap binatang
yang bertaring dari golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku
kuat dari golongan burung. (HR. Muslim).
Rasulullah saw. juga mengharamkan seorang laki-laki mengawini wanita yang
sepersusuan, karena mengawini wanita yang sesusuan itu adalah sama dengan
mengawini wanita yang tunggal nasab.
ِ اع ِة َما ََْيرُم ِم ْن النَّس
ب َض َّ فَإِنَّهُ ََْي ُرُم ِم ْن
َ الر
َ ُ
Sesungguhnya Allah telah melarang seseorang mengawini wanita karena
sepersusuan, sebagaimana halnya Allah mengharamkan mengawini wanita
karena senasab. (HR. Muttafaq ‘alaih).
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. itu adakalanya atas ilham
dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijtihad sendiri,
tetapi karena dasar yang dipergunakan berijtihad itu adalah jiwa dan dasar perundang-
undangan yang umum dalam al-Qur'an, maka mustahillah ia bertentangan dengan
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an.